Type Here to Get Search Results !

SAAD BIN ABI WAQASH


"Aku adalah orang ketiga yang paling dulu masuk Islam, dan aku adalah orang yang pertama kali memanah musuh di jalan Allah.” Demikianlah Sa’ad bin Abi Waqqash memperkenalkan dirinya. Dia adalah orang ketiga yang paling dulu masuk Islam, dan orang pertama yang memanah musuh di jalan Allah.

Sa’ad bin Abi Waqqash bin Wuhaib bin ‘Abdi Manaf  hidup di Bani Zuhrah, yang merupakan paman-paman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dari pihak ibu. Wuhaib adalah kakek Sa’ad. Dia adalah paman Aminah binti Wahab, ibu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Orang-orang mengenal Sa’ad sebagai paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari pihak ibu. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melihatnya, beliau merasa bangga kepadanya karena keberanian, kekuatan, dan kesungguhan imannya, maka beliau bersabda, “Ini adalah pamanku, maka hendaklah seseorang memperlihatkan kepadaku istrinya.”

Masuknya Sa’ad ke dalam Islam terjadi pada awal-awal munculnya Islam. Dia mengenal dengan baik Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam serta mengetahui kejujuran dan sifat amanah beliau. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sudah sering bertemu dengannya sebelum beliau diutus menjadi rasul. Beliau mengetahui betapa besar kecintaan Sa’ad untuk berperang  dan juga keberaniannya.

Sa’ad sangat suka memanah. Dia selalu berlatih melempar anak panah. Dia masuk Islam dengan mudah dan tidak sulit, bahkan sangat cepat masuk Islam. Dia adalah orang ketiga dari tiga orang yang masuk Islam lebih dulu. Kondisi yang dialami Sa’ad tidak berbeda dengan kondisi orang-orang lain. Ketika ibunya ynag bernama Hamnah mengetahui tentang keislamannya, sang ibu pun sangat marah kepadanya.

Sang ibu berkata kepadanya, “Wahai Sa’ad, apakah kamu meninggalkan agamamu dan agama nenek moyangmu, lalu kamu mengikuti sebuah agama yang baru? Demi Allah, aku tidak akan mencicipi satu makanan dan minuman pun hingga kamu meninggalkan agama baru itu.”

Sa’ad menjawab, “Demi Allah, aku tidak akan meninggalkan agamaku dan tidak akan berpisah darinya.”

Sang ibu bersikeras dengan sikapnya, sementara dia mengetahui bahwa Sa’ad sangat mencintainya, sehingga hatinya akan merasa iba ketika dia melihat ibunya berada dalam kondisi tubuh yang lemah dan tidak sehat lagi. Sang ibu tetap melakukan niatnya. Namun karena Sa’ad lebih mencintai Allah dan Rasul-Nya, maka dia pun berkata ibunya, “Wahai Ibu, demi Allah, andai engkau memiliki tujuh  puluh nyawa yang keluar satu demi satu, maka aku tetap tidak akan meninggalkan agamaku untuk selama-lamanya.”

Sang ibu mengetahui bahwa anaknya itu telah berubah dan  tidak akan pernah kembali lagi ke agama sebelumnya untuk selama-lamanya. Karenanya, sang ibu pun makan dalam keadaan bersedih dan marah.

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan Sa’ad sebagai orang yang menyebabkan turunnya salah satu ayat Alquran, Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan firman-Nya :

Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.”

Mengenai anggapan bahwa Sa’ad adalah orang yang pertama kali melemparkan anak panah dalam rangka berjuang di jalan Allah, dikisahkan bahwa suatu ketika kaum muslimin Makkah sedang mengerjakan shalat di lorong-lorong  jalan yang ada di Makkah secara sembunyi-sembunyi. Namun sebagian kaum musyrikin melihat mereka, lalu kaum musyrikin pun menyerang kaum muslimin, maka Sa’ad bin Abi Waqqash bangun dan langsung menyerang , mereka. Dia memanah salah seorang dari mereka hingga darah mengalir dari tubuh orang tersebut. Inilah darah pertama yang ditumpahkan oleh umat Islam.

(Saat kaum kuffar Makkah memboikot kaum muslimin) Sa’ad bersama Rasulullah berlindung di klan Abu Thalib, sehingga harus menahan lapar bersama beliau selama tiga tahun penuh. Selama itu Sa’ad hanya memakan dedaunan hingga akhirnya Allah pun menghendaki ujian ini berakhir. Tak lama kemudian Sa’ad radhiyalahu ‘anhu lalu pergi berhijrah ke madinah bersama orang-orang yang berhijrah di jalan Allah.


Umair bin Abi Waqqash berhijrah bersama saudaranya, Sa’ad, ke Madinah. Ketika orang yang bertugas untuk mengumandangkan seruan jihad berkata, “Hayya ‘alal jihad” (Mari berjihad). Sa’ad pun segera keluar dengan membawa pedang dan panahnya. Saat  itu usia Sa’ad telah lebih dari dua puluh tahun, sedangkan Umair masih kecil. Umurnya belum mencapai tiga belas atau empat belas tahun.

Sebagaimana biasanya, Rasulullah selalu memeriksa kondisi pasukannya. Beliau akan menolak anak-anak kecil yang tidak memiliki kemampuan dan kekuatan untuk berperang. Rasulullah pun melihat Umair. Saat itu Umair bersembunyi agar dia tidak disuruh pulang oleh Rasulullah, yang menyebabkan dirinya tidak bisa ikut berperang bersama dengan kaum muslimin. Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam nelihatnya, maka beliau menolak dan menyuruh Umair untuk pulang. Umair pun menangis hingga Nabi merasa iba kepadanya. Akhirnya, Rasulullah membolehkan Umair untuk keluar bersama pasukan Badar. Umair pun berdiri disamping Sa’ad guna berjihad di jalan Allah.

Ketika peperangan selesai dan debu tidak lagi beterbangan, terlihatlah 14 orang dari kaum muslimin yang gugur sebagai syahid. Orang yang paling muda diantara ke-14 orang tersebut adalah Umair bin  Abi Waqqash. Sa’ad pun pulang dengan membawa kemenangan di satu tangannya dan tangisan (kesedihan) di tangan yang lain.

Kehidupan berjihad berlangsung dengan cepat. Orang-orang Islam berpindah dari satu pertempuran ke pertempuran yang lain hingga tibalah saatnya perang Uhud. Saat itu para pasukan pemanah tidak mematuhi ucapan Nabi kita, lalu mereka meninggalkan tempat-tempat mereka. Melihat keadaan itu, pasukan kaum musyrkin pun menyerang kaum muslimin hingga akhirnya mereka sampai ke Rasulullah yang pada saat itu hanya segelintir shahabat saja yang ada di samping beliau, diantaranya Sa’ad bin Abi Waqqash radhiiyallahu ‘anhu. Ketika Rasulullah melihat Sa’ad, beliau bersabda kepadanya, “Usir mereka (maksudnya pukul mundur orang-orang musyrik itu).”

Sa’ad berkata, “Bagaimana aku dapat melakukan hal itu sendirian?”

Akan tetapi kemudian, Sa’ad segera mengeluarkan anak panah dari sarungnya, lalu dia melemparkan anak panah itu ke arah salah seorang dari kaum musyrikin hingga orang itu tewas. Sa’ad kembali mengambil anak panah yang lain, lalu dengan anak panah itu dia pun membunuh salah seorang  lainnya dari kaum musyrikin. Demikianlah, panahnya telah membunuh banyak orang musyrik, mak a Sa’ad mengambil panahnya itu, lalu berkata, “Ini adalah panah yang diberkahi oleh Allah.”


Sa’ad tidak pernah ikut serta dalam satu pertempuran, kecuali ia akan membawa anak panah tersebut, dan hal itu terus dilakukannya hingga dia meninggal dunia.

Pada hari yang menyedihkan itu, datanglah Ummu Aiman untuk memberi minuman kepada para pasukan yang terluka dalam medan perang. Tiba-tiba seorang kafir melemparnya dengan anak panah, hingga dia pun terjatuh dan auratnya terbuka. Orang kafir tersebut pun tertawa. Melihat itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam segera mengambil sebuah anak panah, lalu beliau bersabda kepada Sa’ad, “Wahai Sa’ad, lemparlah (anak panah ini)! Ayah dan ibuku menjadi tebusanmu.”

Demikianlah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menggabungkan penyebutan nama ayah dan ibu beliau ketika meminta sesuatu kepada Sa’ad, dan hal itu belum pernah beliau lakukan terhadap siapapun, kecuali kepada Sa’ad radhiallahu ‘anhu. Setelah Sa’ad melepaskan anak panah, anak panah tersebut  tepat mengenai leher orang kafir itu, hingga ia pun tewas seketika. Melihat itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tertawa, lalu beliau bersabda, “Sa’ad telah melakukan pembalasan untuknya (untuk Ummu Aiman). Semoga Allah mengabulkan doanya.”

Sejak saat itu yang menjadi senjata Sa’ad dalam setiap peperangannyaa adalah “anak panah yang diberkahi” dan “doa yang dikabulkan” itu. Sa’ad selalu teringat akan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang ditujukkan kepadanya, “Makanlah yang baik-baik, wahai Sa’ad, niscaya doamu akan dikabulkan.”

Dia juga teringat sabda Rasulullah lainnya, “Ya Allah, tepatkanlah lemparannya dan kabulkanlah.”

Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabulkan doa Nabi-Nya itu, maka Sa’ad radhiallahu ‘anhu pun menjadi pemanah  jitu dan doanya selalu terkabulkan.

Mengenai lemparan jitu dan anak panah yang selalu mengenai sasaran, dapat dilihat dengan jelas dalam pertempuran-pertempuran yang selalu diikuti oleh Sa’ad dalam melawan orang-orang musyrik, terutama ketika dia menjadi pemimpin pasukan kaum muslimin dalam penaklukan negeri Persia dengan tujuan menyebarluaskan Islam disana.

Sebelum terjadinya peperangan yang sangat masyhur di negeri Persia (Qadisiyah), orang –orang Persia telah berkumpul dalam jumlah yang besar guna menghadapi orang-orang Islam. Saat itu ‘Umar bin Khaththab yang menjadi Amirul Mukminin ingin keluar guna menghadapi pasukan Persia dan memimpin pasukan kaum muslimin, namun ‘Ali bin Abi Thalib berhasil merayunya agar dia mengurungkan niatnya tersebut.

Tugas yang sangat sulit ini tidak mungkin dapat dilakukan, kecuali oleh orang yang memiliki kekuatan, baik dalam  hal keimanan maupun fisiknya. Dari sini, ‘Abdur Rahman bin ‘Auf berkata kepada ‘Umar, “Sebaiknya kamu mengutus orang yang memiliki cakar-cakar seperti singa. Dia adalah Sa’ad bin Abi Waqqash.”

‘Umar pun mempertimbangkan perkataan ‘Abdur Rahman tersebut hingga akhirnya dia berpendapat bahwa Sa’ad merupakan singa yang pantas untuk dipercaya melakukan tugas yang sulit itu. ‘Umar pun menunjuknya sebagai pemimpin pasukan, lau dia berkata kepadanya, “Wahai Sa’ad, janganlah kamu terperdaya bila dikatakan (kepadamu) : ‘Engkau dalah paman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan engkau adalah shhabat Rasulullah.’ Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan menghapus suatu kejelekan dengan kejelekan lainnya, melainkan dia akan menghapus suatu kejelekan dengan kebaikan. Wahai Sa’ad, sesungguhnya tidak ada satu hubungan pun antara Allah dengan salah seorangpun (dari hamba-hamba-Nya), kecuali hubungan ketaatan.”

Sa’ad bin Abi Waqqash pun keluar sebagai singa bagi Allah dan Rasul-Nya yang diutus untuk memimpin kaum muslimin dalam sebuah peperangan yang sangat menentukan di negeri Qadisiyah.

Melalui perantara Sa’ad, Allah memadamkan “api” (yang menjadi sesembahan) orang-orang Majusi, membersihkan bumi Persia dari najis, dan mengubah tempat-tempat penyembahan api menjadi masjid-masjid yang dipakai untuk menyembah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Madain, ibu kota Persia, pun jatuh ke tangan kaum muslimin, lalu Allah memuliakan pasukan-Nya dengan memberikan kemenangan kepada mereka.

Meskipun pada waktu itu Sa’ad sedang merasakan kesakitan pada sebagian anggota tubuhnya, tetapi dia berusaha untuk menahan rasa sakit itu. Dia tetap memimpin kaum muslimin guna meraih pertolongan yang telah dijanjikan Allah. Pada saat itu kaum muslimin pun selalu mengulang-ulangi perkataan, “Cukuplah Allah sebagai (penolong kami). Sesungguhnya Dia adalah sebaik-baik pelindung.”

Sa’ad dan kaum muslimin berjalan menyeberangi sungai Dijlah hingga mereka dapat sampai di tempat kaum musyrikin. Akhirnya, mereka dapat mengalahkan orang-orang Persia secara total. Hal itu tidak lepas dari kehebatan pemimpin mereka, sang pemilik anak panah yang selalu mengenai sasaran dan pemilik lemparan yang tepat.

Adapun doa yang selalu dikabulkan merupakan senjata kedua yang dipergunakan oleh Sa’ad dalam berperang melawan musuh-musuh Allah. Pintu-pintu langit selalu terbuka untuk  menyambut setiap doa yang dipanjatkan Sa’ad. Allah Subhanahu wa Ta’ala akan selalu mengabulkan doa dan permintaan Sa’ad kapan saja dia berdoa dan meminta kepada-Nya.

Sa’ad mempunyai beberapa orang anak yang masih kecil, sedangkan dia sendiri telah tua, sebab ia tergolong terlambat memiliki anak. Ketika Sa’ad sakit keras hingga hampir saja dia wafat, dia pun berdoa kepada Allah, “Ya Allah, sesungguhnya aku mempunyai beberapa orang anak yang masih kecil-kecil, maka tangguhkanlah kematianku hingga mereka baligh (dewasa).”

Allah pun menangguhkan kematian Sa’ad dua puluh tahun lagi hingga semua anaknya telah besar (dewasa).

Suatu hari ada seorang laki-laki yang mencaci ‘Ali radhiallahu ‘anhu, Thalhah, dan  Zubair. Melihat itu, Sa’ad pun melarang orang itu agar tidak melakukan hal tersebut, namun orang itu tak mau berhenti dari perbuatannya, bahkan dia terus mengulangi perkataannya itu. Karenanya, Sa’ad berkata, “Hentikanlah perbuatanmu ! Jika kamu tidak mau, maka aku akan berdoa untuk kejelekan dirimu!”

Orang itu berkata dengan nada mengejek, “Kamu mengatakan hal itu seolah-olah kamu adalah seorang nabi hingga doamu pun pasti dikabulkan.”

Sa’ad radhiallahu ‘anhu pun berdiri, lalu dia berwudhu, dan melakukan shalat dua rakaat. Setelah itu dia berdoa untuk kejelekan orang tersebut. Tidak berselang lama, orang laki-laki itu pun menjadi sebuah pelajaran dan bukti yang memperlihatkan kepada Sa’ad bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menerima doanya. Tiba-tiba keluarlah seekor unta yang kuat yang datang dengan membabi buta, sepertinya ia sedang mencari seorang laki-laki yang di doakan oleh Sa’ad teersebut. Ketika melihat laki-laki tersebut, unta itu langsung menendang orang tersebut dengan menggunakan kaki-kakinya hingga orang itu pun jatuh ke tanah. Unta itu masih terus menendang dan menginjak orang tersebut hingga dia mati.

Wafatnya Sa’ad bin Abi Waqqash

Setelah wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali, tidak banyak kebaikan dunia yang masih tersisa. Sebagian kaum muslimin saling berseteru dengan sebagian yang lainnya. Adapun Sa’ad berrusaha menjauhkan diri dari fitnah (kerusuhan) tersebut. Dia juga tidak turut berperang dalam kubu ‘Ali ataupun Muawiyah. Akan tetapi, dia lebih memilih untuk tinggal di Madinah yang berada jauh dari tempat terjadinya kerusuhan tersebut. Dia menjadi wali (gubernur) disana.

Ketika hari kematiannya datang, dia sempat berkata, “Aku mempunyai sebuah jubah yang terbuat dari bulu. Ketika menghadapi pasukan kaum musyrikin pada peperangan Badar, aku mengenakan jubah tersebut. Sesungguhnya aku ingin bertemu Allah dengan menggunakan jubah tersebut. Karenanya, kafanilah aku dengan jubah itu bila aku meninggal.”

Pada pagi hari di tahun ke-55 Hijriyah, kaum muslimin melayat  Sa’ad. Mereka memakamkannya di Baqi’ di samping kuburan para shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (Ummahat Almu’minin) ikut mendoakannya. Mereka semua menangis tersedu-sedu, karena sang pelempar jitu dan pemilik doa yang selalu terkabulkan itu telah meninggal dunia.

Semoga Sa’ad dapat sampai ke surga-surga Allah, serta dapat meraih keridhaan dan ampunan-Nya. Kini yang tersisa hanyalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :

“ Lemparkan (anak panah ini), wahai Sa’ad. Ayah dan Ibuku menjadi tebusanmu.”

Sumber: Kisah Teladan 20 Sahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk Anak, Dr. Hamid Ahmad Ath-Thahir, Irsyad Baitus Salam, 2006 (Dipublikasikan ulang oleh Kisah Muslim)


Wahai Sa’ad bin Abi Waqqash, Mengapa Engkau Tidak Berdoa untuk Dirimu?
Ketika Sa’ad bin Abi Waqqash tiba di Mekkah, ia dalam keadaan buta mata. Akan tetapi, orang-orang berdatangan kepadanya untuk meminta didoakan. Sa’ad berdoa untuk kesembuhan berbagai penyakit. Beliau termasuk orang yang apabila berdoa dikabulkan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Pada suatu hari, Abdullah bin Saib berkata, “Ketika aku masih kecil, aku pernah dibawa kepada beliau. Aku memperkenalkan diri beliau pun mengenaliku. Ketika itu beliau berkata, ‘Apakah engkau orang yang mengajari bacaan Al-Quran kepada penduduk Mekkah?’ Aku menjawab, ‘Benar.’

Kemudian, beliau menceritakan suatu kisah, hingga akhirnya aku bertanya kepada Sa’ad, ‘Wahai Pamanku, engkau tidak berdoa untuk dirimu, sehingga Allah menyembuhkan matamu?’

Sa’ad tersenyum sambil berkata, ‘Ketahuilah wahai Anakku, bahwa ketentuan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berlaku atasku jauh lebih baik daripada penglihatanku.’” (Madarijus Salikin, 2/227)

Sumber: 99 Kisah Orang Shalih, Muhammad bin Hamid Abdul Wahab, Darul Haq, Cetakan ke-5, Shafar 1430/2009.
(Dengan penataan bahasa oleh redaksi www.KisahMuslim.com)


Saad bin Abi Waqqash Pemilik Doa Mustajab

Saad bin Abi Waqqash adalah salah seorang sahabat yang paling pertama memeluk Islam. Hanya beberapa orang sahabat saja yang mendahuluinya. Abu Bakar ash-Shiddiq, Ali bin Abi Thalib, dan Zaid bin Haritsah radhiallahu ‘anhu ajma’in merekala orangnya. Laki-laki Quraisy ini mengucapkan dua kalimat syahadat ketika berusia 27 tahun. Di masa kemudian, ia menjadi tokoh utama di kalangan sahabat. Dan termasuk 10 orang yang diberi kabar gembira sebagai penghuni surga.

Nasab Saad bin Abi Waqqash

Merupakan bagian penting dalam rekam jejak seseorang adalah nasab keluarga. Keluarga memiliki peran penting dalam pembentukan karakter seseorang. Ayah Saad adalah anak dari seorang pembesar bani Zuhrah. Namanya Malik bin Wuhaib bin Abdi Manaf bin Zuhrah bin Kilab bin Murah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin Nadhar bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Amir bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’d bin Adnan.

Adnan adalah keturunan dari Nabi Ismail bin Ibrahim ‘alaihimassalam.

Malik, ayah Saad, adalah anak paman Aminah binti Wahab, ibu Rasulullah ﷺ. Malik juga merupakan paman dari Hamzah bin Abdul Muthalib dan Shafiyyah binti Abdul Muthalib. Sehingga nasab Saad termasuk nasab yang terhormat dan mulia. Dan memiliki hubungan kekerabatan dengan Nabi ﷺ.

Ibunya adalah Hamnah binti Sufyan bin Umayyah al-Akbar bin Abdu asy-Syams bin Abdu Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin Nadhar bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Amir bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’d bin Adnan.

Ketika Rasulullah ﷺ sedang duduk-duduk bersama para sahabatnya, beliau memuji dan mencandai Saad dengan mengatakan,

هَذَا خَالِي فَلْيُرِنِي امْرُؤٌ خَالَهُ

“Ini pamanku, maka hendaklah seseorang memperlihatkan pamannya kepadaku.” (HR. al-Hakim 6113 dan at-Tirmidzi 3752. At-Tirmidzi mengatakan hadist ini hasan).

Masa Pertumbuhan

Saad dilahirkan di Mekah, 23 tahun sebelum hijrah. Ia tumbuh dan terdidik di lingkungan Quraisy. Bergaul bersama para pemuda Quraisy dan pemimpin-pemimpin Arab. Sejak kecil, Saad gemar memanah dan membuat busur panah sendiri. Kedatangan jamaah haji ke Mekah menambah khazanah pengetahuannya tentang dunia luar. Dari mereka ia mengenal bahwa dunia itu tidak sama dan seragam. Sebagaimana samanya warna pasir gurun dan gunung-gunung batu. Banyak kepentingan dan tujuan yang mengisi kehidupan manusia.

Memeluk Islam

Mengenal Islam sejak lahir adalah sebuah karunia yang besar. Karena hidayah yang mahal harganya itu, Allah beri tanpa kita minta. Berbeda bagi mereka yang mengenal Islam di tengah jalannya usia. Keadaan ini tentu lebih sulit. Banyak batu sandungan dan pemikiran yang membingungkan.

Saad bin Waqqash memeluk Islam saat berusia 17 tahun. Ia menyaksikan masa jahiliyah. Abu Bakar ash-Shiddiq berperan besar mengenalkannya kepada agama tauhid ini. Ia menyatakan keislamannya bersama orang yang didakwahi Abu Bakar: Utsman bin Affan, Zubair bin al-Awwam, Abdurrahman bin Auf, dan Thalhah bin Ubaidillah. Hanya tiga orang yang mendahului keislaman mereka.

Dipaksa Meninggalkan Islam

Ketika Saad bin Abi Waqqash memeluk Islam, menerima risalah kerasulan Muhammad ﷺ, dan meninggalkan agama nenek moyangnya, ibunya sangat menentangnya. Sang ibu ingin agar putranya kembali satu keyakinan bersamanya. Menyembah berhala dan melestarikan ajaran leluhur.

Ibunya mulai mogok makan dan minum untuk menarik simpati putranya yang sangat menyayanginya. Ia baru akan makan dan minum kalau Saad meninggalkan agama baru tersebut.

Setelah beberapa lama, kondisi ibu Saad terlihat mengkhawatirkan. Keluarganya pun memanggil Saad dan memperlihatkan keadaan ibunya yang sekarat. Pertemuan ini seolah-olah hari perpisahan jelang kematian. Keluarganya berharap Saad iba kepada ibunda.

Saad menyaksikan kondisi ibunya yang begitu menderita. Namun keimanannya kepada Allah dan Rasul-Nya berada di atas segalanya. Ia berkata, “Ibu… demi Allah, seandainya ibu mempunyai 100 nyawa. Lalu satu per satu nyawa itu binasa. Aku tidak akan meninggalkan agama ini sedikit pun. Makanlah wahai ibu.. jika ibu menginginkannya. Jika tidak, itu juga pilihan ibu”.

Ibunya pun menghentikan mogok makan dan minum. Ia sadar, kecintaan anaknya terhadap agamanya tidak akan berubah dengan aksi mogok yang ia lakukan. Berkaitan dengan persitiwa ini, Allah pun menurunkan sebuah ayat yang membenarkan sikap Saad bin Abi Waqqash.

وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS: Luqman | Ayat: 15).

Doanya Tidak Tertolak

Saad bin Abi Waqqash adalah seorang sahabat Rasulullah ﷺ yang memiliki doa yang manjur dan mustajab. Rasulullah ﷺ meminta kepada Allah ﷻ agar doa Saad menjadi doa yang mustajab tidak tertolak. Beliau ﷺ bersabda,

اللَّهُمَّ سَدِّدْ رَمَيْتَهُ، وَأَجِبْ دَعْوَتَهُ

“Ya Allah, tepatkan lemparan panahnya dan kabulkanlah doanya.” (HR. al-Hakim, 3/ 500).

Doa Rasulullah ﷺ ini menjadikan Saad seorang prajurit pemanah yang hebat dan ahli ibadah yang terkabul doanya.

Seorang Mujahid

Saad bin Abi Waqqash adalah orang pertama dalam Islam yang melemparkan anak panah di jalan Allah. Ia juga satu-satunya orang yang Rasulullah pernah menyebutkan kata “tebusan” untuknya. Seperti dalam sabda beliau ﷺ dalam Perang Uhud:

اِرْمِ سَعْدُ … فِدَاكَ أَبِيْ وَأُمِّيْ

“Panahlah, wahai Saad… Tebusanmu adalah ayah dan ibuku.”( HR. at-Tirmidzi, no. 3755).

Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Aku tidak pernah mendengar Rasulullah ﷺ menebus seseorang dengan ayah dan ibunya kecuali Saad. Sungguh dalam Perang Uhud aku mendengar Rasulullah mengatakan,

اِرْمِ سَعْدُ … فِدَاكَ أَبِيْ وَأُمِّيْ

“Panahlah, wahai Saad… Tebusanmu adalah ayah dan ibuku.”( HR. at-Tirmidzi, no. 3755).

Dan Saad sangat merasa terhormat dengan motivasi Rasulullah ﷺ ini.

Di antara keistimewaan lain, yang ada pada diri Saad bin Abi Waqqash termasuk seorang penunggang kuda yang paling berani di kalangan bangsa Arab dan di antara kaum muslimin. Ia memiliki dua senjata yang luar biasa; panah dan doa.

Peperangan besar yang pernah ia pimpin adalah Perang Qadisiyah. Sebuah perang legendaris antara bangsa Arab Islam melawan Majusi Persia. 3000 pasukan kaum muslimin beradapan dengan 100.000 lebih pasukan negara adidaya Persia bersenjata lengkap. Prajurit Persia dipimpin oleh palingma mereka yang bernama Rustum. Melaui Saad lah, Allah memberi kemanangan kepada kaum muslimin atas negara adidaya Persia.

Umar Mengakui Amanahnya Dalam Memimpin

Umar bin al-Khattab radhiallahu ‘anhu pernah mengamanahi Saad jabatan gubernur Irak. Sebuah wilayah besar dan penuh gejolak. Suatu ketika rakyat Irak mengadukannya kepada Umar. Mereka menuduh Saad bukanlah orang yang bagus dalam shalatnya. Permasalahan shalat bukanlah permsalahan yang ringan bagi orang-orang yang mengetahui kedudukannya. Sehingga Umar pun merespon laporan tersebut dengan memanggil Saad ke Madinah.

Mendengar laporan tersebut, Saad tertawa. Kemudian ia menanggapi tuduhan tersebut dengan mengatakan, “Demi Allah, sungguh aku shalat bersama mereka seperti shalatnya Rasulullah. Kupanjangkan dua rakaat awal dan mempersingkat dua rakaat terakhir”.

Mendengar klarifikasi dari Saad, Umar memintanya kembali ke Irak. Akan tetapi Saad menanggapinya dengan mengatakan, “Apakah engkau memerintahkanku kembali kepada kaum yang menuduhku tidak beres dalam shalat?” Saad lebih senang tinggal di Madinah dan Umar mengizinkannya.

Ketika Umar ditikam, sebelum wafat ia memerintahkan enam orang sahabat yang diridhai oleh Nabi ﷺ -salah satunya Saad- untuk bermusyawarah memilih khalifah penggantinya. Umar berkata, “Jika yang terpilih adalah Saad, maka dialah orangnya. Jika selainnya, hendaklah meminta tolong (dalam pemerintahannya) kepada Saad”.

Sikap Saad Saat Terjadi Perselisihan Antara Ali dan Muawiyah

Saad bin Abi Waqqash menjumpai perselisihan besar yang terjadi pada kaum muslimin. Antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abi Sufyan, radhiallahu ‘anhum ajma’in. Sikap Saad pada saat itu adalah tidak memihak kelompok manapun. Ia juga memerintahkan keluarga adan anak-anaknya untuk tidak mengabarkan berita apapun kepadanya.

Keponakannya, Hisyam bin Utbah bin Abi Waqqash, berkata kepadanya, “Wahai paman, ini adalah 100.000 pedang (pasukan) yang menganggap Andalah yang berhak menjadi khalifah”. Saad menjawab, “Aku ingin dari 100.000 pedang tersebut satu pedang saja. Jika aku memukul seorang mukmin dengan pedang itu, maka ia tidak membahayakan. Jika dipakai untuk memukul orang kafir (berjihad), maka ia mematikan”. Mendengar jawaban pamannya, Hisyam paham bahwa pamannya, Saad bin Abi Waqqash sama sekali tidak ingin ambil bagian dalam permasalahan ini. Ia pun pergi.

Wafat

Saad bin Abi Waqqash termasuk sahabat yang berumur panjang. Ia juga dianugerahi Allah ﷻ harta yang banyak. Namun ketika akhir hayatnya, ia mengenakan pakaian dari wol. Jenis kain yang dikenal murah kala itu. Ia berkata, “Kafani aku dengan kain ini, karena pakaian inilah yang aku pakai saat memerangi orang-orang musyrik di Perang Badar”.

Saad wafat pada tahun 55 H. Ia adalah kaum muhajirin yang paling akhir wafatnya. Semoga Allah meridhainya.


Penaklukkan di Irak dan Wilayah Timur

Periode ini dimulai dengan pengangkatan Sa’ad bin Abi Waqqash sebagai Panglima tertinggi untuk berjihad di Irak tahun 14 H.

Penobatan Sa’ad bin Abi Waqqash di Irak

Ketika masuk awal tahun ke 14 H Khalifah Umar bin al-Khaththab memotivasi kaum muslimin untuk berjihad di Bumi Irak. Yakni ketika sampai kepadanya berita terbunuhnya Abu Ubaid pada peperangan di Jembatan sungai Eufrat, dan menguatnya kembali kekuatan Persia di bawah pimpinan Yazdigrid dari kalangan Raja Persia. Ditambah lagi dengan pengkhianatan ahlu Dzimmah di Irak terhadap kesepakatan yang mereka buat dengan kaum muslimin. Mereka telah melepaskan ketaatan mereka terhadap pemerintah Islam, dengan menyakiti kaum muslimin dan mengusir para gubernur wilayah yang ditunjuk Umar dari tempat mereka. Maka Umar memerintahkan kepada seluruh pasukannya untuk keluar dari wilayah Persia dan berkumpul di penghujung negeri-negeri jajahan Persia.

Ibnu Jarir meriwayatkan, maka pada awal bulan Muharram tahun ini Umar berangkat dari Madinah membawa pasukannya dan singgah di sebuah tempat yang banyak airnya disebut dengan Shirar di tempat itu Umar memerintahkan pasukannya untuk berhenti.

Sementara dia telah bertekad untuk memimpin sendiri peperangan melawan Irak. Dia telah menunjuk Ali bin Abi Thalib sebagai penggantinya di Madinah. Dalam keberangkatan ini dia membawa senior sahabat seperti Utsman bin Affan dan lain-lainnya. Kemudian dia menggelar musyawarah untuk membicarakan keinginannya tersebut.

Mereka berkumpul untuk shalat, sementara Umar telah mengirim utusan kepada Ali untuk turut menghadiri pertemuan tersebut. Maka Ali segera datang dari Madinah. Ketika semua telah berkumpul, Umar mengutarakan maksud hatinya. Seluruhnya yang hadir menyetujui usulnya untuk berangkat sendiri menuju Irak kecuali Abdurrahman bin Auf yang memberikan usulan lain padanya. Ia berkata, “Aku khawatir jika engkau kalah, maka kaum muslimin di seluruh penjuru bumi akan menjadi lemah, maka aku mengusulkan agar engkau mengutus seseorang dan engkau kembali ke Madinah.” Akhirnya Umar dan seluruh sahabat menerima dan membenarkan usul Abdurrahman ini.

Umar berkata padanya, “Siapa menurutmu yang akan kita kirim sebagai panglima ke Irak?”

Abdurrahman menjawab, “Aku telah menemukannya.”

Umar berkata, “Siapa dia?”

Abdurrahman menjawab, “Singa yang mencengkram dengan kukunya, Sa’ad bin Malik az-Zuhri.”

Maka Umar membenarkan usulannya ini dan segera mengirim Sa’ad sebagai Panglima tertinggi untuk wilayah Irak.

Wasiat Umar Kepada Sa’ad

Umar berwasiat kepada Sa’ad dan berkata, “Janganlah engkau merasa bangga dengan kedudukanmu sebagai keponakan Rasulullah dan sekaligus sebagai sahabatnya. Sesungguhnya Allah tidak akan menghapus kejelekan dengan kejelekan, tetapi Dia akan menghapus kejelekan dengan kebaikan.

Sesungguhnya tidak ada manfaatnya berbangga dengan keturunan (nasab) di sisi Allah kecuali dengan kepatuhan yang tulus kepada-Nya. Seluruh manusia baik yang berasal dari keturunan mulia maupun dari keturunan yang hina hakikatnya adalah sama dalam pandangan Allah. Mereka semua adalah Hamba Allah dan Allah Rabb mereka. Tingkat mereka akan berbeda-beda seuai dengan kemaafan yang diberikan Allah padanya dan sedikit banyaknya ketaatan mereka kepada Allah.

Lihatlah seluruh perkara yang telah diperbuat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sejak dia diutus hingga berpisah dengan kita, kemudian ikuti jejaknya karena sesungguhnya itulah kebaikan yang hakiki. Inilah nasihatku padamu dan jika engkau menolaknya dan membencinya, maka amalanmu akan gugur sia-sia dan engkau akan menjadi orang-orang yang merugi.”

Ketika melepas kepergiannya Umar berkata, “Engkau akan menghadapi suatu perkara yang sangat berat. Maka bersabarlah terhadap apapun yang menimpamu, maka akan terkumpul dalam dirimu rasa takut kepada Allah, dan ketahuilah sesungguhnya takut (khasyah) kepada Allah akan dapat segala yang dilarang-Nya. Sesungguhnya barangsiapa yang dapat selalu patuh dan tunduk kepada-Nya adalah orang-orang yang membenci dunia dan mencintai akhirat.

Sebaliknya orang-orang yang bermaksiat melanggar perintahnya adalah orang-orang yang mencintai dunia dan membenci akhirat. Sesungguhnya hati itu diciptakan Allah memiliki hakikat, ada yang bersifat rahasia dan ada yang bersifat terang-terangan.

Hakikat hati yang terang-terangan yaitu jika dia merasa bahwa orang yang memujinya dan menghinanya sama saja tidak dapat mempengaruhi dirinya dalam berbuat kebaikan. Adapun hakikat hati yang rahasia dapat diketahui dengan munculnya hikmah dari dalam hatinya melalui ungkapan lidahnya, dan kecintaan manusia terhadap dirinya.

Sesungguhnya jika Allah mencintai seseorang Allah akan menjadikan orang tersebut dicintai makhluk-Nya. Sebaliknya jika Allah membenci seorang hamba Dia akan menjadikan hamba tersebut dibenci oleh makhluk-Nya. Maka ukurlah di mana kedudukan dirimu di sisi Allah dengan kedudukanmu di sisi manusia.”

Maka Sa’ad berangkat menuju Irak dengan membawa 4000 pasukan, 3000 orang dari penduduk Yaman, ada yang menyebutkan dia membawa 6000 pasukan, dan Umar mengiringinya dari Shirar hingga al-A’wash.

Khutbah Umar Radhiallahu ‘Anhu

Kemudian Umar berdiri berpidato di hadapan khalayak dan berkata, “Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada kalian contoh permisalan dan memberikan kepada kalian firman-Nya agar hati-hati menjalani kehidupan. Sesungguhnya asal hati itu adalah mati hingga Allah menghidupkannya. Barangsiapa yang mengetahui sesuatu hendaklah mengambil manfaat darinya.

Sesungguhnya al-‘adalah itu memiliki tanda-tanda dan sikap. Adapun tanda-tandanya yaitu sifat malu, dermawan, mudah dalam bergaul, dan lemah-lembut, dan dalam bentuk sikap yaitu selalu bersikap rahmat terhadap makhluk.

Allah telah menjadikan segala sesuatu itu memiliki pintu, dan Allah mudahkan pintu-pintu dibuka dengan kunci-kunci. Pintu keadilan adalah banyak mengambil i’tibar, dan kuncinya adalah zuhud. Adapun i’tibar akan didapat dengan mengingat kematian dan mempersiapkan diri menyambutnya dengan amal. Sedangkan zuhud yaitu mengambil kebenaran dari semua orang yang membawanya, dan menyampaikan hak kepada pemiliknya dan mencukupkan diri dengan segala sesuatu yang ada pada dirinya. Jika tetap merasa tidak cukup dengan apa yang ada pada dirinya, maka dia tidak akan pernah merasa kaya selamanya.

Sesungguhnya antara kalian dan Allah ada diriku, sementara tidak seorang pun antara aku dan Allah. Sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas didirku menahan orang (yang terzhalimi, pen.) untuk meminta haknya. Oleh karena itu, laporkan segala kezhaliman kepadaku pasti akan aku selesaikan dan aku rebut hak darinya untuk kuberikan kepada pemiliknya.”

Kedatangan Sa’ad di Irak dan Berita Wafatnya al-Mutsanna

Kemudian Sa’ad berjalan menuju Irak, sesampainya di Zarud ketika itu jarak antara dirinya dan pasukan al-Mutsanna hanya beberapa saat lagi dan masing-masing dari mereka memendam kerinduan untuk berjumpa. Tiba-tiba luka pada tubuh al-Mutsanna bin Haritsah ketika peperangan di atas jembatan kembali terkoyak dan membawanya kepada kematian –semoga Allah merahmatinya–, maka beliau menunjuk Basyir bin al-Khasasiyah sebagai pemimpin pasukan. Ketika berita wafatnya sampai ke telinga Sa’ad, dia mendoakannya semoga dirahmati Allah, setelah itu dia menikahi istrinya Salma.

Maka ketika Sa’ad telah berkumpul dengan pasukan al-Mutsanna kepemimpinan seluruhnya beralih kepada dirinya. Seluruh panglima pasukan yang berada di Irak tunduk di bawah perintahnya, kemudian Umar mengirimkan bala bantuan lagi hingga jumlah pasukan Sa’ad bertambah pada perang Qadisiyah menjadi 30.000 personil, dan ada yang mengatakan 36.000 orang.

Umar berkatam “Demi Allah aku akan mempertemukan dan mengadu antara raja-raja orang ‘ajam (bangsa non Arab) dengan raja-raja Arab.”

Formasi Pasukan

Umar menulis surat kepada Sa’ad agar para pimpinan pasukan bertempur bersama pasukannya. Di dalam setiap pasukan terdapat sepuluh senior yang berpengalaman. Setelah itu Sa’ad mulai menentukan para pemimpin pasukan untuk bertempur bersama kabilah-kabilah, dia mengangkat pemimpin untuk pasukan pengintai, pasukan terdepan, sayap kiri dan kanan, pasukan tengah, pasukan berkuda, dan pasukan pejalan kaki, persis sebagaimana yang diperintahkan oleh Amirul mukminin Umar bin al-Khaththab.

Surat-menyurat Antara Umar dan Sa’ad bin Abi Waqqash

Umar menulis surat kepada Sa’ad menginstruksikan padanya agar segera berangkat menuju Qadisiyah –tempat ini merupakan pintu gerbang Persia pada masa jahiliyyah– Umar memerintahkannya agar berdiri di posisi antara bebatuan dan tanah yang lapang, menutup jalan bagi Persia, dan memulai penyerangan terlebih dahulu.

Umar berpesan, “Janganlah kamu merasa gentar melihat banyaknya jumlah musuh dengan perlengkapannya yang sempurna. Sesungguhnya mereka itu adalah kaum yang banyak tipu muslihatnya. Jika kalian bersabar dan bebruat yang benar dengan niat yang tulus untuk menjalankan amanah ini, aku berharap besar kalianlah yang akan keluar sebagai pemenang. Setelah itu tidak akan mungkin lagi kembali kekuatan mereka selama-lamanya, kecuali kembali bersatu walaupun sebenarnya hati mereka bercerai berai.

Jika ternyata kondisi berbalik maka mundurlah ke arah bebatuan sebab kalian lebih berani dan terbiasa dengan medan seperti itu. Sementara mereka lebih penakut dan tidak mengenal medan, hingga Allah akan memberikan kemenangan kepada kalian dan akan mengembalikan kemenangan setelah kalian mundur terdesak.

Umar juga memerintahkan kepadanya agar banyak instrospeksi diri, selalu menasihati pasukannya agar meluruskan niat, mengharap ganjaran pahala dan selalu bersabar, “Sesungguhnya kesabaran dari Allah itu akan datang sesuai dengan niat, dan pahala yang akan didapat sesuai dengan sebesar apa pengharapannya. Berdoalah kepada Allah agar kalian diselamatkan-Nya.

Perbanyaklah bacaan la haula wala quwwata illa billah al-Aliy al-Adzim. Dan selalu kirimkan berita tentang perkembangan situasi kalian dengan detailnya. Beritahukan di mana posisi kalian turun, di mana posisi musuh kalian dan jaraknya dari kalian. Tulislah surat untukku seolah-olah aku sedang melihat secara langsung sepak terjang kalian, dan aku dapat mengetahui persis bagaimana keadaan kalian.

Takutlah kepada Allah dan berharaplah kepada-Nya. Jangan pernah engkau membanggakan hasil perjuanganmu. Ketahuilah Allah telah mewakilkan urusan ini kepadamu tanpa ada yang menggantikannya, maka jangan sampai Allah gantikan kalian dengan kaum yang lain.”

Maka Sa’ad menulis surat kepada Umar memberitahukan kepadanya bagaimana keadaan tempat-tempat di sana seolah-olah Umar melihatnya. Kemudian dia memberitakan perihal tentara Persia yang telah bersiap akan menggempur mereka di bawah pimpinan Rustam dan orang-orang yang kedudukannya setara dengannya. Dia berkata, “Mereka ingin menghabisi kami sebagaimana kami ingin mengabisi mereka, kelak ketetapan Allah jua yang akan berlaku, dan kita selalu menerima segala yang telah ditetapkan-Nya kepada kita baik kemenangan maupun kekalahan. Marilah kita memohon kepada Allah agar memberikan ketentuan takdir yang terbaik dan menyelamatkan kita semua.”

Umar menulis surat jawaban untuk Sa’ad dan berkata, “Aku telah menerima surat darimu dan telah kupahami isinya. Maka jika kelak kalian bertemu dengan musuh dan Allah memberikan kesempatan kepada kalian untuk memburu musuh yang kalah –sebab seolah-olah aku dibisikkan bahwa kalian tanpa ragu lagi pasti akan mengalahkan mereka–, maka jangan kalian berhenti hingga berhasil menyerbu kota Madain, karena di situlah kehancuran mereka insya Allah.”

Setelah itu Umar mendoakan Sa’ad dan kaum muslimin seluruhnya.

Ketika Sa’ad sampai di al-Uzaib tiba-tiba pasukan Persia di bawah pimpinan Syirzad bin Azad datang menyerang. Akhirnya mereka berhasil dikalahkan dan kaum muslimin mendapatkan harta rampasan perang yang cukup besar. Mereka pun merasa gembira dan semakin optimis untuk dapat memenangkan pertempuran. Sa’ad mengkhususkan satu pasukan yang bertugas menjaga kaum wanita yang dipimpin oleh Ghalib bin Abdullah al-Laitsi.


Utusan Kepada Raja Kisra Mendakwahinya Kepada Islam

Sa’ad telah mengirim beberapa orang sahabatnya kepada Kisra untuk mendakwahinya agar masuk Islam sebelum mereka diserang. Mereka minta izin untuk dapat bertemu Kisra, mereka diberi izin masuk, sementara penduduk negeri itu keluar untuk melihat pakaian mereka yang aneh dengan selendang-selendang di atas pundak mereka dan cemeti di tangan-tangan mereka, dengan sandal-sandal yang mereka kenakan, kuda-kuda mereka yang lemah yang memukul tanah dengan kaki-kakinya, mereka sangat heran dengan penampilan para utusan tersebut. Bagaimana mungkin orang-orang seperti mereka dapat menaklukkan pasukan musuh yang bilangannya berlipat ganda dari mereka dan dilengkapi berbagai perlengkapan yang sempurna!!

Mereka diizinkan Raja Yazdigrid untuk datang menemuinya, dan didudukkan di hadapannya –Raja ini terkenal dengan kesombongannya dan tidak beradab– kemudian dia mulai bertanya kepada mereka mengenai pakaian yang mereka kenakan apa namanya? Tentang selendang mereka, sandal dan cemeti yang mereka bawa, setiap kali pertanyaannya dijawab maka dia berbicara seolah-olah optimis akan menang melawan mereka –padahal Allah akan memutarbalikkan rasa optimisnya menjadi kehancuran di atas kepalanya– kemudian dia bertanya, “Kenapa kalian datang ke negeri ini?” Apakah kalian merasa mampu menaklukkan kami ketika kami sibuk mengurusi urusan dalam negeri kami yang sedikit goncang?”

An-Nu’man bin Muqarrin menjawab, “Sesungguhnya Allah telah mencurahkan rahmat-Nya kepada kami. Dia mengutus kepada kami seorang Rasul yang menunjukkan kami kebaikan dan memerintahkan kami untuk mengamalkannya. Dia juga menunjuki kami perkara kejelekan dan mencegah kami untuk melakukannya. Dia menjanjikan kepada kami kebaikan dunia dan akhirat jika kami mengikutinya. Setiap kali dia mendakwahkan agama ini kepada setiap kabilah pasti kabilah tersebut terpecah dua sebagian mengikutinya dan sebagian mendustakannya. Hanya orang-orang tertentu yang masuk ke dalam agamanya.

Dia terus berdakwah dalam jangka waktu yang ditentukan Allah. Hingga akhirnya dia diperintahkan untuk memerangi orang-orang Arab yang menyelisihinya. Akhirnya dia menjalankan perintah tersebut dan memerangi seluruh Jazirah Arab hingga seluruhnya tunduk dan masuk ke dalam Islam dengan sukarela ataupun terpaksa.

Akhirnya kami dapat memahami keutamaan agama yang dibawanya dibandingkan keadaan kami sebelumnya yang saling bermusuhan dan hidup dalam kesempitan. Setelah itu dia memerintahkan kami untuk mendakwahkan agama ini kepada umat yang terdekat dengan kami. Karena itulah kami mendakwahi kalian untuk masuk ke dalam agama ini, agama Islam yang akan menjelaskan mana yang baik dan mana yang buruk, jika kalian menolak maka kalian akan mendapati keburukan yang lebih ringan dari keburukan terakhir yaitu membayar jizyah, jika kalian menolak maka pilihan terakhir adalah perang.

Jika kalian menerima agama kami, kami akan meninggalkan kepada kalian kitab Allah sebagai hukum yang wajib kalian terapkan di tengah kalian. Kami akan kembali ke negeri kami, dan uruslah negeri kalian sendiri. Jika kalian membayar upeti kepada kami, maka kami akan menerimanya dan kalian akan kami lindungi, jika kalian enggan maka kami akan memerangi kalian.”

Kemudian Yazdigrid berbicara, “Aku tidak pernah mengetahui suatu bangsa di atas muka bumi ini yang lebih buruk nasabnya, paling sedikit jumlahnya, dan paling miskin melebihi kalian. Sebelumnya kami memberikan kuasa kepada Qura ad-Dhawahi untuk mengurusi kalian dan melindungi kalian agar tidak diperangi oleh musuh, dan kalian tidak sanggup untuk menaklukkan mereka, maka jika sekarang jumlah personil kalian telah banyak janganlah kalian merasa bangga dan merasa akan dapat mengalahkan kami. Tetapi jika kelaparan dan kesultian hidup yang mengeluarkan kalian hingga datang ke tempat ini, maka kami akan membagi-bagikan makanan untuk kalian, dan kami akan menghormati kalian. Kami juga akan memberikan pakaian kepada kalian dan akan kami angkat seorang raja yang bijaksana untuk mengurusi kalian.”

Sejenak semua terdiam, kemudian al-Mughirah bin Zurarah bin Nabbasy al-Usaidi menjawab perkataannya hingga membuatnya terdiam dan menuntut agar raja tersebut mau membayar jizyah dalam keadaan hina jika tidak mau menerima Islam.


Peperangan Qadisiyah

Pertempuran di Qadisiyah adalah pertempuran terbesar yang tidak pernah terjadi sebelumnya di Irak. Ketika dua pasukan telah berhadap-hadapan, Sa’ad tertimpa penyakit irqunnisa dan bisul-bisul yang tumbuh di sekujur tubuhnya hingga tidak dapat mengendarai kudanya. Dia hanya dapat menyaksikan pertempuran di dalam benteng dengan bersandar di atas dadanya yang terletak di atas bantal sambil mengatur tentaranya. Dia telah mewakilkan urusan perang ini kepada Khalid bin Urfuthah, di sayap kanan dia menempatkan Jarir bin Abdillah al-Bajili, dan di sayap kiri dia mengangkat Qais bin Maksyuh. Qais dan al-Mughirah adalah pasukan bantuan yang dikirimkan Abu Ubaidah dari Syam selesai pertempuran di Yarmuk.

Sa’ad melaksanakan shalat zuhur dengan pasukannya kemudian dia berpidato memberikan wejangan kepada kaum muslimin serta memberi semangat untuk berjihad dan ia membacakan ayat,

“Dan sesungguhnya telah Kami tulis di dalam Zabur sesudah (Kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hamba-Ku yang shalih.” (QS. Al-Anbiya: 105)

Dia membacakan ayat Jihad dan surat yang berkenaan dengan masalah itu. Setelah itu Sa’ad bertakbir empat kali, selesai takbir keempat mereka langsung maju menyerbu musuh hingga malam tiba. Kemudian mereka berhenti bertempur, sementara dari kedua belah pihak telah banyak yang menjadi korban.

Pada pagi harinya pertempuran kembali berkobar hingga larut malam pertempuran masih terus berjalan setelah itu mereka berhenti. Pada pagi hari berikutnya mereka kembali bertempur hingga sore tiba. Esok harinya (hari ketiga) mereka kembali bertempur hingga sore hari, dan malam ini disebut dengan malam al-Harir.

Pada pagi hari yang keempat mereka bertempur dengan sengitnya. Hari itu kaum muslimin mengalami kesulitan disebabkan pasukan bergajah musuh membuat kuda-kuda Arab berlarian menghindarinya. Maka para sahabat berusaha menghabisi seluruh gajah-gajah dengan para pengendara yang mengandalikannya. Mereka berhasil melukai dan membutakan mata-mata gajah ini. Beberapa orang dari tentara kaum muslimin benar-benar menunjukkan kebolehannya dalam bertempur mati-matian memerangi musuh, seperti Thulaihah al-Asadi, Amr bin Ma’di Karib, al-Qa’qa bin Amr, Jarir bin Abdillah al-Bajili, Dhirar bin al-Khaththab, Khalid bin Urfuthah dan lain-lainnya.

Pada waktu matahari tergelincir di hari ini –disebut dengan hari Qadisiyah tepatnya hari senin bulan Muharram tahun 14 H. Sebagaimana yang dikatakan Saif bin Umar at-Tamimi– tiba-tiba angin berhembus sangat kencang hingga menerbangkan tenda-tenda tentara Persia dari tempatnya. Bahkan berhasil menerbangkan dan menjatuhkan singgasana Rustam yang biasa didudukinya. Rustam segera menaiki kudanya dan melarikan diri, namun kaum muslimin segera mengejarnya dan berhasil membunuhnya. Mereka juga berhasil membunuh Jalinius yang berada di posisi depan pasukannya.

Akhirnya tentara Persia mengalami kekalahan telak. Mereka melarikan diri kocar-kacir sementara kaum muslimin dengan leluasa mengejar dan membunuh mereka, maka tentara Islam berhasil membunuh 30.000 pasukan musuh pada hari itu, dan sebelumnya mereka telah membunuh 10.000 tentara Persia, adapun jumlah pasukan Islam yang terbunuh pada hari ini dan hari sebelumnya 2500 orang –semoga Allah merahmati mereka–. Kaum muslimin terus mengejar pasukan persia hingga mereka masuk ke dalam kota al-Madain tempat kediaman raja dan istana kekaisarannya.

Yang berhasil membunuh Rustam adalah Hilal bin Ullafah at-Taimi dan yang menghabisi Jalinius adalah Zuhrah bin Hawaiah as-Sa’di.

Adapun Sa’ad radhiallahu ‘anhu tidak dapat turut bertempur disebabkan penyakitnya. Namun dia terus menerus memantau perkembangan pasukannya sambil memberikan instruksi untuk kebaikan pasukannya, meski demikian dia tidak menutup pintu istana karena keberaniannya, hingga andaikata tenteranya lari pasti dengan mudah tentara Persia dapat menangkapnya dengan tangan mereka tanpa ada perlawanan darinya, dan ketika itu dia membawa Istrinya Salma binti Khasafah yang sebelumnya adalah istri dari al-Mutsanna bin Haritsah.

Ketika sebagian kuda berlari di hari itu istrinya sangat kaget dan takut seraya berkata, “Aduhai al-Mutsanna… mungkin aku tidak lagi memiliki al-Mutsanna setelah hari ini,” Maka Sa’ad marah mendengarnya dan menampar wajahnya. Istrinya menjawab, “Alangkah pengecutnya dirimu” –dia mencelanya karena hanya duduk di istana pada waktu peperangan berkecamuk– ini adalah suatu bentuk pembangkangan darinya padahal dialah yang lebih mengerti udzur suaminya tidak dapat bertempur disebabkan penyakit yang menghalanginya.

Kepahlawanan dan Keberanian Abu Mihjan

Waktu itu Abu Mihjan berada di dalam istana. Ia dipenjarakan karena minum Khamr, dan sebelumnya dia telah berkali-kali didera disebabkan perbuatannya tersebut. Maka kali ini Sa’ad memerintahkan agar dia diikat dan ditahan di dalam istana. Ketika dia melihat kuda-kuda berputar-putar di sekitar istana, maka bangkitlah kemarahan dan semangatnya bertempur. Dia adalah salah seorang dari pahlawan yang paling pemberani dalam peperangan. Maka Abu Mihjan bersyair menceritakan kesedihannya:

Alangkah sedihnya hati melihat kuda-kuda perang berkeliling sekitar istana

Sementara aku ditinggalkan sendiri dalam keadaan terbelenggu kuat

Jika aku berdiri namun penjara besi ini tertutup

Sementara orang-orang lain yang telah terbunuh dalam peperangan seakan-akan memanggilku

Aku sebelumnya adalah orang yang banyak harta dan saudara

Tetapi sekarang mereka meninggalkanku seolah-olah aku tidak lagi memiliki saudara
Setelah itu dia bermohon kepada Zubara –Ummu Walad- milik Sa’ad agar melepaskannya dan meminjamkan Kuda Sa’ad kepadanya. Dia bersumpah akan kembali lagi pada sore hari dan akan kembali meletakkan kakinya dalam belenggu, maka wanita itu akhirnya melepaskannya.

Dia segera mengendarai kuda Sa’ad dan keluar turut bertempur dengan gagah berani di medan perang. Sa’ad heran melihat kudanya yang keluar antara percaya dan tidak menyaksikan penunggang kuda itu adalah Abu Mihjan, karena sepengetahuannya Abu Mihjan berada di dalam istana dalam keadaan terbelenggu. Ketika sore hari tiba Abu Mihjan kembali dan meletakkan belenggu di kakinya. Maka Sa’ad turun dan mendapati kudanya penuh dengan peluh keletihanm, maka dia berkata, “Kenapa begini?” Maka mereka menyebutkan padanya kisah Abu Mihjan, maka Sa’ad senang mendengarnya dan melepaskannya –semoga Allah meridhai keduanya-.

Surat Sa’ad Kepada Umar Memberitakan Kemenangan Mereka

Sa’ad segera mengirim surat kepada Umar menyampaikan kabar gembira atas kemenangan mereka, lengkap dengan jumlah pasukan musuh maupun kaum muslimin yang terbunuh, surat tersebut dibawa oleh Umailah al-Fazari. Isi surat itu sebagai berikut:

“Amma ba’du, sesungguhnya Allah telah menenangkan kami atas bala tentara Persia. Ini merupakan ketetapan yang pasti akan terjadi sebagaimana orang-orang sebelum mereka yang seagama dengan mereka. Telah terjadi pertempuran yang cukup panjang dan alot. Persia telah membawa pasukan dalam jumlah sangat besar untuk menghadapi kaum muslimin. Belum pernah terlihat sebelumnya pasukan sebanyak itu. Namun seluruhnya tidak berguna dan sisa-sia di hadapan Allah, bahkan Allah telah memindahkan kekuasaan dari mereka ke tangan kaum muslimin. Kaum muslimin terus mengejar mereka ke manapun mereka berlari, baik ke arah sungai, gunung ataupun lembah.

Pasukan yang terbunuh dari kaum muslimin adalah Sa’ad bin Ubaid al-Qari, si fulan, fulan, dan lain-lain yang tidak kita ketahui namun Allah mengetahui mereka. Mereka selalu bergemuruh membaca Alquran ketika malam mulai tiba seolah-olah dengungan lebah, dan mereka ibarat singa-singa yang garang di siang hari. Bahkan singa saja tidak segarang mereka. Tidak ada kelebihan bagi orang yang mendahului mereka dengan orang yang masih hidup di antara mereka selain mati syahid yang belum ditakdirkan untuk mereka.”

Disebutkan bahwa Umar membacakan berita gembira ini dari atas mimbar, setelah itu Umar berkata, “Aku tidak ingin melihat ada kekurangan dan kebutuhan kalian kecuali akan kupenuhi dan kututpi agar kita sama-sama merasakan kelapangan. Jika kita tidak mampu melakukan itu, kita akan berusaha hidup secukupnya dan apa adanya. Aku ingin kalian mengetahui bahwa apa yang kalian makan dan rasakan demikian pula yang aku makan dan aku rasakan. Aku tidak pernah mengajari kalian kecuali terus bekerja dan beramal.

Demi Allah aku bukanlah Raja yang memperbudak kalian. Aku hanyalah hamba Allah yang dibebani amanah untuk aku pikul. Jika segala limpahan rezeki sampai kepada kita aku kembalikan dan aku bagi-bagikan kepada kalian hingga kalian merasa kenyang di rumah-rumah kalian, maka aku akan berbahagia, tetapi jika aku membawa seluruh limpahan rezeki itu ke dalam rumahku maka aku akan celaka. Walaupun senang sesaat tetapi pasti aku akan bersedih selamanya, dan aku akan digunjing dan dicela.”

Saif berkata dari syaikhnya mereka berkata, “Orang-orang Arab dari suku Uzaib dan Aden Abyan menunggu-nunggu hasil peperangan Qadisiyah. Mereka mengetahui dengan pasti bahwa eksis maupun runtuhnya kerajaan mereka sangat bergantung dari hasil peperangan ini. Mereka mengutus para utusan mereka dari segala penjuru untuk mencari berita tentang pertempuran tersebut.

Seluruh Negeri Irak yang sebelumnya  telah ditaklukkan oleh Khalid, kemudian mereka berkhianat membatalkan seluruh kesepakatan dan perjanjian yang telah dibuat dengan kaum muslimin secara sepihak, kecuali penduduk Banqiya dan Barusma serta penduduk negeri Ullais. Usai pertempuran Qadisiyah ini seluruhnya kembali takluk kepada kaum muslimin dan masing-masing mengklaim bahwa mereka dipaksa Persia untuk membatalkan perjanjian, dan Persia telah mengambil hasil bumi dan lain-lainnya dari mereka. Namun kaum muslimin sengaja menerima segala laporan mereka dalam rangka menarik hati mereka.

Ibnu Ishaq berpendapat bahwa peristiwa ini terjadi pada tahun 15 H. Sementara Waqidi mengklaim bahwa pertempuran ini terjadi pada tahun 16 H. Adapun Saif bin Umar dan mayoritas ahli sirah menyatakan bahwa kejadian ini pada tahun 14 H, sebagaimana yang diceritakan oleh Ibnu Jarir Ath-Thabari, wallahu a’lam.

Referensi: Albidayah Wan Nihayah