Setelah hijrah ke Madinah, Rasulullah hidup di lingkungan yang lebih majemuk dibandingkan sewaktu beliau berada di kampung halamannya Mekah. Selain tinggal bersama orang-orang musyrik Arab, Rasulullah juga hidup bertetangga dengan ahlul kitab dari kalangan Yahudi. Di antara kabilah Yahudi yang tinggal di Madinah adalah kabilah Bani an-Nadhir.
Sebagai penguasa Madinah, Rasulullah menetapkan beberapa aturan dalam muamalah masyarakat yang heterogen ini. Beliau juga mengikat perjanjian dengan beberapa kabilah Yahudi termasuk Bani an-Nadhir. Namun demikianlah orang-orang Yahudi, mereka tidak pandai memegang janji. Akhirnya mereka pun terusir dari Kota Madinah.
Siapakah Bani an-Nadhir?
Bani Nadhir adalah kabilah Yahudi yang tinggal di wilayah Utara Jazirah Arab, di sebuah oase yang dahulu dikenal dengan nama Yatsrib. Mereka tinggal di wilayah tersebut hingga nama kota itu berganti dengan Madinah an-Nabawiyah. Pada abad ke-7 M, mereka pun terusir dari wilayah yang telah lama mereka diami karena penghianatan perjanjian yang mereka lakukan.
Sebelum kedatangan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam di Kota Madinah, kabilah-kabilah Yahudi seperti Bani Qainuqa’, Bani Quraizhah, dan Bani Nadhir sering terlibat perselisihan bahkan peperangan dengan kabilah-kabilah besar Arab di sana, semisal Aus dan Khazraj. Di antara mereka ada yang bersekutu dengan Aus untuk memerangi Khazraj, demikian pula sebaliknya ada yang bersekutu dengan Khazraj untuk memerangi Bani Aus. Sampai suatu hari orang-orang Yahudi Yatsrib ini berdoa,
اللهم ابعث هذا النبي الذي نجده مكتوبا عندنا حتى نغلب المشركين ونقتلهم
“Ya Allah, utuslah kepada kami seorang Nabi yang kami dapati tercatat dalam kitab kami (Taurat), hingga kami bisa mengalahkan dan membunuh orang-orang musyrik (Arab).”
Mereka berdoa agar Allah mengutus Rasul kepada mereka. Tatkala Allah mengutus Rasul tersebut dari bangsa Arab bukan dari kalangan mereka, mereka pun mengkufurinya karena hasadnya mereka terhadap bangsa Arab. Walaupun mereka mengetahui bahwa laki-laki Arab itu (Nabi Muhammad) adalah utusan Allah.
Hal ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala,
وَلَمَّا جَاءَهُمْ كِتَابٌ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ مُصَدِّقٌ لِمَا مَعَهُمْ وَكَانُوا مِنْ قَبْلُ يَسْتَفْتِحُونَ عَلَى الَّذِينَ كَفَرُوا فَلَمَّا جَاءَهُمْ مَا عَرَفُوا كَفَرُوا بِهِ ۚ فَلَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الْكَافِرِينَ
“Dan setelah datang kepada mereka Al Quran dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka, padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka laknat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu.” (QS. Al-Baqarah: 89).
Sebab Terusirnya Bani Nadhir dari Madinah
Ada beberapa sebab yang melatar-belakangi terusirnya Bani Nadhir dari Kota Madinah, di antaranya:
Pertama, Bani Nadhir merusak perjanjian mereka dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya mereka tidak akan mengganggu dan melakukan tindakan ofensif terhadap umat Islam. Tidak hanya mengganggu umat Islam, Bani Nadhir menjalin persengkongkolan dengan kafir Quraisy untuk memerangi Rasulullah dan para sahabatnya. Salah seorang tokoh Bani Nadhir yang bernama Salam bin Misykam mengadakan pertemuan dengan Abu Sufyan untuk mengabarkan tentang keadaan kaum muslimin di Madinah.
Kedua, melakukan percobaan pembunuhan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ini adalah kesalahan fatal yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi dari Bani Nadhir. Mereka mencoba untuk membunuh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal sebelumnya mereka telah berjanji untuk tidak mengganggu seorang muslim pun.
Suatu hari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama beberapa orang sahabatnya pergi ke perkampungan Bani Nadhir untuk meminta diyat terkait terbunuhnya dua orang dari Bani Kilab oleh Amr bin Umayyah ad-Damiri. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutarakan maksud kedatangan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Bani Nadhir , awalnya mereka menyanggupinya. Mereka mengatakan :
نَفْعَلُ يَا أَبَا القَاسِمِ , اجْلِسْ حَتَّى نَقْضِيَ حَاجَتَكَ
Wahai Abul Qasim, kami akan memenuhinya. Silahkan duduk sampai kami bisa memenuhi kebutuhanmu.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk di dekat tembok rumah mereka bersama Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu , Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu , Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dan beberapa sahabat lainnya.
Sementara di tempat lain orang-orang Bani Nadhir berkumpul dan berencana membunuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam . Mereka mengatakan, “Siapa diantara kalian yang mau menjatuhkan batu ini ke kepala Muhammad sampai pecah ?”
Salah satu dari mereka yang bernama Amru ibnu Jihasy mengatakan, ”Saya.”
Mendengar rencana ini, Salam bin Misykam berusaha mencegah mereka, ”Jangan kalian lakukan! Demi Allah, pasti Allah akan memberitahukan rencana kalian ini kepadanya.” Peringatan Salam bin Misykan ini tidak diindahkan. Mereka tetap berencana meneruskan niat jahat mereka.
Apa yang dikhawatirkan Salam bin Misykan pun benar-benar terjadi, Allah ‘Azza wa Jalla menurunkan wahyu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui Malaikat Jibril ‘alaihissallam memberitahukan rencana tersebut. Setelah mendapat wahyu itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam segera beranjak dari tempat duduknya tanpa mengucapkan sepatah kata pun dan pulang ke Madinah begitu pula para sahabat. Mereka bertanya tentang apa yang menyebabkan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba-tiba bangkit dari tempat beliau dan pulang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan niat keji orang-orang yahudi yang hendak membunuhnya.
Tidak beberapa lama, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Muhammad bin Maslamah untuk menyampaikan keputusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Bani Nadhir. Muhammad bin Maslamah berkata kepada orang-orang Yahudi Bani Nadhir, “Keluarlah kalian dari Madinah. Aku beri kalian tenggat waktu 10 hari. Jika aku menemu kalian setelah 10 hari tersebut, akan aku tebas batang lehernya!”
Referensi: Shalabi, Ali Muhammad. 2007. Ghazawatu ar-Rasul, Durus wa ‘Ibar wa Fawa-id. Kairo: Muassasah Iqra.
Peranan Orang-orang Munafik
Mendengar pesan Rasulullah yang disampaikan oleh Muhammad bin Maslamah radhiallahu ‘anhu, orang-orang Yahudi Bani Nadhir pun takut. Mereka mempersiapkan diri untuk pergi dari Madinah, membawa barang apapun yang bisa mereka bawa. Saat inilah orang-orang munafik Madinah memainkan perannya. Tokoh munafik, Abdullah bin Ubay bin Salul member angin surga untuk orang-orang Yahudi ini. Ia berkata, “Kalian jangan pergi, jangan keluar dari Madinah. Sesungguhnya bersamaku ada 1000 orang yang siap mempertahankan benteng kalian. Membela kalian dan rela mati demi berjuang bersama kalian”. Saat itulah Allah Ta’ala menurunkan firman-Nya,
أَلَمْ تَرَ إلى الَّذِينَ نَافَقُوا يَقُولُونَ لِإِخْوَانِهِمُ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَئِنْ أُخْرِجْتُمْ لَنَخْرُجَنَّ مَعَكُمْ وَلا نُطِيعُ فِيكُمْ أَحَدًا أَبَدًا وَإِنْ قُوتِلْتُمْ لَنَنْصُرَنَّكُمْ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang munafik yang berkata kepada saudara-saudara mereka yang kafir di antara ahli kitab: “Sesungguhnya jika kamu diusir niscaya kamipun akan keluar bersamamu; dan kami selama-lamanya tidak akan patuh kepada siapapun untuk (menyusahkan) kamu, dan jika kamu diperangi pasti kami akan membantu kamu”. Dan Allah menyaksikan bahwa Sesungguhnya mereka benar-benar pendusta. (QS. Al-Hasyr: 11).
Kepercayaan diri orang-orang Yahudi pun kembali ke dada-dada mereka. Tokoh Bani Nadhir Huyai bin Akhtab mengirim utusan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang membawa pesan, “Sungguh kami tidak akan pernah keluar dari kampung halaman kami. Lakukanlah apa yang engkau inginkan”.
Tantangan Yahudi ini pun dibeli oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau langsung memimpin para sahabatnya untuk menyerang perkampungan Bani Nadhir. Melihat respon dari Rasulullah dan para sahabatnya, orang-orang munafik pun menarik dukungan mereka terhadap orang-orang Yahudi Bani Nadhir. Allah Ta’ala berfirman mengisahkan mereka,
لَئِنْ أُخْرِجُوا لَا يَخْرُجُونَ مَعَهُمْ وَلَئِنْ قُوتِلُوا لَا يَنْصُرُونَهُمْ وَلَئِنْ نَصَرُوهُمْ لَيُوَلُّنَّ الْأَدْبَارَ ثُمَّ لَا يُنْصَرُونَ
“Sesungguhnya jika mereka diusir, orang-orang munafik itu tidak akan keluar bersama mereka, dan sesungguhnya jika mereka diperangi, niscaya mereka tidak akan menolongnya; sesungguhnya jika mereka menolongnya, niscaya mereka akan berpaling lari ke belakang; kemudian mereka tidak akan mendapat pertolongan.” (QS. Al-Hasyr: 12).
Oleh karena itu, Allah samakan orang-orang munafik ini dengan setan.
كَمَثَلِ الشَّيْطَانِ إِذْ قَالَ لِلْإِنْسَانِ اكْفُرْ فَلَمَّا كَفَرَ قَالَ إِنِّي بَرِيءٌ مِنْكَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ رَبَّ الْعَالَمِينَ * فَكَانَ عَاقِبَتَهُمَا أَنَّهُمَا فِي النَّارِ خَالِدَيْنِ فِيهَا وَذَلِكَ جَزَاءُ الظَّالِمِينَ
“(Bujukan orang-orang munafik itu adalah) seperti (bujukan) shaitan ketika dia berkata kepada manusia: “Kafirlah kamu”, maka tatkala manusia itu telah kafir, maka ia berkata: “Sesungguhnya aku berlepas diri dari kamu, karena sesungguhnya aku takut kepada Allah, Rabb semesta Alam”. Maka adalah kesudahan keduanya, bahwa sesungguhnya keduanya (masuk) ke dalam neraka, mereka kekal di dalamnya. Demikianlah balasan orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Hasyr: 16-17).
Penyerangan ini tidak berlangsung lama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya hanya membutuhkan waktu satu malam untuk membuat orang Yahudi itu takut bukan kepalang. Akhirnya mereka menyerah dan menyepakati untuk pergi dari Madinah.
Mereka diizinkan membawa onta-onta mereka, namun tidak diizinkan membawa senjata-senjata mereka keluar dari Madinah. Namun yang menakjubkan, dan menunjukkan betapa dengkinya Yahudi terhadap umat Islam, mereka robohkan rumah-rumah mereka sebelum berangkat dan mereka ambil puing-puing yang bisa mereka manfaatkan, lalu dibawa di atas onta mereka. Mereka lakukan itu agar tidak ada yang bisa dimanfaatkan oleh kaum muslimin dari apa yang mereka tinggalkan. Mereka sama sekali tidak ridha kaum muslimin mendapatkan manfaat dan kebaikan walaupun hanya sedikit saja. Dan hanya satu orang dari mereka yang memeluk Islam dari peristiwa ini. Sebagian di antara mereka pergi menuju Syam dan sebagian yang lainnya bergabung dengan orang-orang Yahudi di Khaibar.
Perang Bani Nadhir ini terjadi setelah Perang Uhud, bukan pada Bulan Rabiul Awal tahun 4 H yang bertepatan empat bulan terjadinya Perang Badar. Saat itulah Allah Ta’ala turunkan surat al-Hasyr.
Pelajaran
– Perang Bani Nadhir menunjukkan ke-Maha-Kuasaan Allah dan Maha Perkasa-Nya. Kaum muslimin awalnya menyangka tidak mungkin bisa mengalahkan Bani Nadhir dengan benteng mereka yang kokoh. Sampai Allah katakana dalam surat QS. Al-Hasyr:2 “Kalian menyangka mereka tidak akan keluar”. Namun di situlah hikmah Allah, Dia jadikan mudah sesuatu yang sulit bagi hamba-hamba-Nya yang bertakwa.
– Pertolongan Allah itu dekat, apabila seseorang menempuh jalan yang benat atau tepat.
– Orang atau kelompok yang menghina, merendahkan, dan menzalimi Rasulullah adalah sebagai tanda kebinasaan mereka sudah dekat.
– Kerugian dan kebinasaan orang-orang yang mengkhianati janji.
– Adanya hubungan dekat dan kerja sama antara orang-orang kafir dengan orang-orang munafik untuk menghancurkan Islam. Dalam QS. Al-Hasyr: 11, Allah sebut orang-orang munafik dan orang-orang kafir dari ahli kitab, Yahudi dan Nasrani, adalah saudara.
– Orang yang merencanakan kejelekan, kejelekan tersebut akan menimpa dirinya sendiri.
– Bolehnya menebang pepohonan dan merusak bangunan dalam peperangan jika itu terpaksa dilakukan. Sebagaimana Rasulullah membakar dan menebang pohon-pohon kurma di perkebunan tempat persembunyian Bani Nadhir.
Referensi:
– Shalabi, Ali Muhammad. 2007. Ghazawatu ar-Rasul, Durus wa ‘Ibar wa Fawa-id. Kairo: Muassasah Iqra.
– alaukah.net
Oleh Nurfitri Hadi (@nfhadi07)
Read more: https://kisahmuslim.com/