Type Here to Get Search Results !

55. PERJANJIAN HUDAIBIYAH

 
Hudaibiyah adalah nama sebuah sumur arah barat daya dari kota Mekah dengan jarak sekitar 22 km. Sekarang tempat ini dikenal dengan nama Asyamisiy. Kemudian Hudaibiyyah dikenal sebagai nama sebuah peperangan atau perjanjian antara kaum Muslimin dan kuffar Quraisy yang terjadi pada tahun ke-6 hijriyah pada bulan Dzulqa’dah.[1] 

Permulaan peristiwa ini adalah ketika Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin melaksanakan umrah, meski beliau paham betul orang-orang Quraisy tidak akan membiarkan begitu saja beliau melaksakan keinginan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Dan besar kemungkinan akan terjadi kontak senjata, mengingat kuffar Quraiys adalah musuh terbesar kaum Muslimin saat itu. 

Berbagai kemungkinan inilah yang mendorong Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk keluar dengan jumlah yang lebih besar, bahkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta orang orang arab yang tinggal di pedalaman untuk ikut bersama beliau akan tetapi orang orang tersebut enggan dengan mengemukakan alasan yang mereka buat buat, sikap mereka ini di ceritakan Allâh Azza wa Jalla dalam al-Qur’ân. 

سَيَقُولُ لَكَ الْمُخَلَّفُونَ مِنَ الْأَعْرَابِ شَغَلَتْنَا أَمْوَالُنَا وَأَهْلُونَا فَاسْتَغْفِرْ لَنَا ۚ يَقُولُونَ بِأَلْسِنَتِهِمْ مَا لَيْسَ فِي قُلُوبِهِمْ ۚ قُلْ فَمَنْ يَمْلِكُ لَكُمْ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا إِنْ أَرَادَ بِكُمْ ضَرًّا أَوْ أَرَادَ بِكُمْ نَفْعًا ۚ بَلْ كَانَ اللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا﴿١١﴾بَلْ ظَنَنْتُمْ أَنْ لَنْ يَنْقَلِبَ الرَّسُولُ وَالْمُؤْمِنُونَ إِلَىٰ أَهْلِيهِمْ أَبَدًا وَزُيِّنَ ذَٰلِكَ فِي قُلُوبِكُمْ وَظَنَنْتُمْ ظَنَّ السَّوْءِ وَكُنْتُمْ قَوْمًا بُورًا 

“Orang-orang Badui yang tertinggal (tidak turut ke Hudaibiyah) akan mengatakan, “Harta dan keluarga kami telah menghalangi kami, maka mohonkanlah ampunan untuk kami!” Mereka mengucapkan dengan lidahnya apa yang tidak ada dalam hatinya. Katakanlah, “Maka siapakah (gerangan) yang dapat menghalang-halangi kehendak Allâh Azza wa Jalla jika Dia menghendaki kemudaratan bagimu atau jika Dia menghendaki manfaat bagimu. Sebenarnya Allâh Azza wa Jalla Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Tetapi kamu menyangka bahwa Rasul dan orang-orang Mukmin tidak sekali-kali akan kembali kepada keluarga mereka selama-lamanya dan setan telah menjadikan kamu memandang baik dalam hatimu persangkaan itu, dan kamu telah menyangka dengan sangkaan yang buruk dan kamu menjadi kaum yang binasa. [al-Fath/48:11-12] 

Jumlah kaum Muslimin yang ikut dalam perjanjian Hudaibiyah sekitar seribu empat ratus orang. Ini sesuai dengan kesaksian lima orang shahabat yang ikut langsung menyaksikan perjanjian Hudaibiyah dan mereka sepakat dengan jumlah tersebut walaupun ada riwayat dari beberapa shahabat yang menyebutkan jumlah kaum Muslimin lebih dari itu tapi kesepakan dari lima shahabat tersebut tentu lebih kuat.[2] Dari riwayat Imam Bukhari terpahami bahwa kaum Muslimin membawa serta senjata dan peralatan perang mereka dalam perjalanan ini untuk mengantisipasi penyerangan terhadap mereka dan upaya menjaga diri. 

Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum Muslimin tiba di Dzulhulaifah, mereka langsung shalat dan berihram untuk melaksanakan umrah. Mereka membawa tujuh puluh ekor unta sebagai hadyu (korban). Sementara untuk mengetahui keadaan dan kabar tentang kuffar Quraisy di Mekah, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Busra bin Sufyân al-Khuza’i al-Ka’ nabiy Radhiyallahu anhu sebagai mata mata. 

Abu Qatâdah Radhiyallahu Anhu Berburu Ketika kaum Muslimin sampai di daerah bernama ar-Rauha’ yang berjarak sekitar 73 km dari Madinah, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim Abu Qatâdah al-Anshâri Radhiyallahu anhu – yang pada waktu itu tidak ihram- dan beberapa orang shahabat. Mereka di utus karena telah sampai kabar kepada kaum Muslimin tentang keberadaan beberapa orang musyrikin yang berkumpul di daerah Ghaiqah yang di khawatir kan menyerang kaum Muslimin secara tiba-tiba. Saat menjalankan misi ini, Abu Qatâdah Radhiyallahu anhu melihat seekor himar liar. Beliau Radhiyallahu anhu mengejarnya dan memburunya. Beliau Radhiyallahu anhu melakukan ini karena beliau Radhiyallahu anhu sedang tidak melakukan ihram. Para shahabat yang menyertai beliau Radhiyallahu anhu tidak berani membantu Abu Qatadah Radhiyallahu anhu untuk memburu himar tersebut. Tapi ketika himar sudah tertangkap dan siap dikonsumsi, mereka ikut mengkonsumsi hasil buruan Abu Qatâdah Radhiyallahu anhu lalu mereka mengadukan hal itu kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan para shahabat untuk memakannya selama mereka tidak ikut dan tidak membantu berburu.[5] 

Musyrik Quraisy Berusaha Menghalangi Kaum Muslimin Setelah kaum Muslimin tiba di Usfan (sekitar 80 km dari Mekah), Busra bin Sufyûn dating dengan membawa kabar tentang Quraisy yang telah mengetahui kedatangan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mereka telah menyiapkan pasukan untuk menghalangi kaum Muslimin memasuki Mekah. Dan Khâlid bin Walîd dengan pasukan kudanya sudah sampai di daerah Kura’ al-Gamim yang jaraknya dengan Mekah sekitar 64 km. 

Mendengar berita ini, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam meresponnya dengan meminta pendapat para shahabatnya tentang keinginan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyerang orang-orang yang membantu Quraisy dan bersekutu denga mereka. Tujuan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah agar orang-orang tersebut meninggalkan Quraisy dan kembali ke tempat mereka untuk melindungi diri. 

Abu Bakar Radhiyallahu anhu mengutarakan pendapatnya, “Ya Rasûlullâh, engkau keluar untuk melaksakan umrah bukan untuk memerangi siapapun, maka fokuslah untuk itu ! Barangsiapa yang menghalangi kita dari keinginan itu, maka baru kita perangi mereka.” 

Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : 

اَمْضُوْا عَلَى اسْم اللهِ 

Lanjutkanlah perjalanan atas nama Allâh Azza wa Jalla [6] 

Saat mengetahui pasukan kuda Quraisy sudah dekat dengan kaum Muslimin, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat khauf untuk pertama kalinya bersama para shahabat setelah beliau sampai di daerah Asfân.[7] 

Untuk menghindari pertempuran Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil jalan alternatif melalui Tsaniyyatil Mirar yaitu nama suatu tempat Hudaibiyah, setibanya di tempat tersebut Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : 

مَنْ يَصْعَدُ الثَّنِيَّةَ ثَنِيَّةَ الْمُرَارِ فَإِنَّهُ يُحَطُّ عَنْهُ مَا حُطَّ عَنْ بَنِى إِسْرَائِيلَ 

Siapa yang menaiki Tsaniyatil Mirar maka akan di ampuni darinya apa yang di ampuni dari Bani Isrâ’il Dan yang pertama kali menaikinya adalah kuda dari Bani Khazraj.[8] 

Ketika Khâlid bin Walîd dan orang orang musyrikin mengetahui bahwa kaum Muslimin merubah jalur, mereka kembali ke kota Mekah dan kemudian keluar lagi untuk menghadang kaum Muslimin dan mereka membentuk pasukan di daerah Baldah[9] . Mereka berhasil mencapai sumber air sebelum kaum muslimin.[10] 

Kisah Unta Dan Mu’jizat Rasûlullâh Shallallahu Alaihi Wa Sallam Ketika Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendekati Hudaibiyah tiba-tiba unta yang ditunggangi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama al-Qashwa’ berhenti dan duduk. Para shahabat g berkata, “al-Qashwa mogok !” Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “al-Qashwa tidak mogok. Itu bukan kebiasaannya, akan tetapi dia ditahan oleh yang menahan (Allah Azza wa Jalla) gajah (pasukan gajah),” Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan sabdanya, “Demi jiwaku yang ada di tangan-Nya, tidaklah mereka meminta sesuatu dariku (maksudnya gencatan senjata-red) untuk mengagungkan Allâh Azza wa Jalla melainkan aku berikan kepada mereka (maksudnya, aku penuhi permintaan mereka-red).” 

Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghardik onta tersebut sehingga dia bangkit dan melompat, kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbelok dari kota Mekah dan melanjutkan perjalanan hingga sampai di penghujung Hudaibiyah di tempat yang ada airnya namun sedikit. Tidak lama mereka tinggal di situ airnya pun habis kemudian mereka mengadu kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang rasa haus yang mereka rasakan. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengeluarkan anak panah dan memerintahkan para shahabat untuk meletakkannya di sumur kemudian sumur tersebut penuh dengan air sehingga semua shahabat g bisa minum.[11] 

Disebutkan dalam riwayat yang lain bahwasanya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk di pinggir sumur kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta untuk di bawakan air lalu berkemumur dan membuangnya ke sumur[12].

Kedua riwayat di atas mungkin untuk dipadukan dengan mengatakan kedua peristiwa itu terjadi pada waktu yang sama, sebagaimana disebutkan Ibnu Hajar rahimahullah[13] , dan diperkuat oleh riwayat yang dibawakan oleh al-Wâqidi[14] dan ‘Urwah[15] yang menceritakan bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkemumur pada sebuah bejana dan menuangkannya ke sumur kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil anak panah dan melemparkannya ke sumur lalu berdo’a. Setelah itu air sumur itu menjadi sangat banyak. 

Harapan Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Kepada Quraisy Melihat kedudukan dan keistimewaan yang di miliki Quraisy Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat berharap mereka mendapatkan hidayah dan masuk Islam. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menyayangkan pembangkangan mereka dan orang-orang mereka yang meninggal dalam peperangan melawan kaum Muslimin. Harapan ini Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ungkapkan dengan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Kasihan Quraisy ! Mereka menjadi korban perang. Apa kerugian mereka jika membiarkanku mendakwahi manusia. Jika mereka berhasil mengalahkanku berarti apa mereka (Quraisy) inginkan telah terjadi. Jika Allâh Azza wa Jalla memberikan kemenangan kepadaku atas mereka, mereka akan masuk Islam dan mereka masih tetap hidup. Jika mereka tidak melakukan ini (maksudnya, masuk Islam) mereka bisa memerangi dan mereka punya kekuatan. Demi Allâh ! Sesunggunya aku akan senantiasa berjihad melawan mereka untuk memperjuangkan apa yang menjadi tujuan Allâh Azza wa Jalla mengutusku sampai memenangkan tujuan ini atau atau sampai aku mati …”[16] 

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerahkan segala upaya untuk memahamkan Quraisy bahwa kedatangan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan untuk memerangi mereka akan tetapi Beliau datang untuk mengunjungi Baitul Haram dan mengagungkannya, karena itu adalah hak kaum Muslimin sebagaimana juga hak kaum yang lain. Setelah Quraisy memastikan kebenaran penjelasan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , mereka mengirim utusan untuk berunding dan untuk mengetahui kekuatan kaum Muslimin serta sejauh mana kesiapan mereka untuk berperang jika terpaksa. Sementara disisi lain Quraisy juga ingin menghalangi kaum Muslimin dari Ka’bah bukan dengan cara perang. 

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam di datangi Budail bin Warqa’ bersama orang-orang dari Khuzâ’ah. Khuzâ’ah sangat dekat hubungannya dengan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Mereka adalah penduduk Tuhâmah. Mereka menerangkan bahwa Quraisy bertekad untuk menghalangi kaum Muslimin dari Ka’bah. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjelaskan maksud kedatangan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau juga memerinci kerugian yang harus ditanggung bila Quraisy peperangan tak pernah usai. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusulkan untuk melakukan gencatan senjata sementara waktu sampai jelas bagi Quraisy perkara yang sebenarnaya. Jika mereka tetap bersikukuh maka tidak ada jalan menghindari peperangan walaupun itu bisa menyebabkan kematian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah itu para utusan itu kembali dan menceritkan kepada Quraisy apa yang mereka dengar dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .[17] 

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin menegaskan tujuan kedatangannya ini dan beliau ingin hal ini di saksikan oleh seluruh arab. Oleh karena itu, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Khirasy bin Umayyah al-Khuzâ’i Radhiyallahu anhu untuk mendatangi Quraisy dengan menunggangi unta beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama ats-Tsa’lab, akan tetapi orang-orang Quraisy membunuh onta Rasûlullâhn tersebut dan ingin membunuh Khirâsy akan tetapi mereka di cegah orang-orang arab Ahâbisy[18] karena mereka termasuk kaumnya.[19] 

Kemudian Rasûlullâh memanggil Umar bin Khatthab Radhiyallahu anhu untuk diutus ke Mekah menyampaikan ke para tokoh Quraisy tujuan kedatangan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Umar Radhiyallahu anhu mengatakan, “Wahai Rasûlullâh, saya khawatir terhadap diri saya sendiri dari orang-orang Quraisy. (karena) di Mekah tidak ada satu pun Bani Adiy bin Ka’ab yang bisa menolongku, sementara kaum Quraisy sudah mengetahui bagaimana permusuhannku dan bagaimana kerasnya aku terhadap mereka. Saya akan tunjukkan orang yang lebih terpandang di mata kaum Quraisy daripada aku yaitu Utsmân bin Affân Radhiyallahu anhu .” 

Lalu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil Utsman dan mengutusnya pergi ke Quraisy. Lalu Utsman datang ke Mekah di bawah perlindungan Abân bin Sa’ad bin al-‘Ash al-Umawiy sampai beliau menunaikan tugasnya. Sebenarnya Utsmân Radhiyallahu anhu diijinkan untuk melakukan thawaf di Ka’bah, namun beliau Radhiyallahu anhu mengatakan, “Saya tidak akan melakukannya sampai Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan thawaf.” 

Utsmân Radhiyallahu anhu tertahan agak lama di Quraisy dan sehingga sempat tersiar kabar bahwa Utsmân Radhiyallahu anhu terbunuh.[20] Itulah sebabnya, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil semua shahabatnya untuk berbai’at di bawah pohon samurah. Semua shahabat berbai’at (berjanji setia) sampai mati[21] , kecuali al-Jad bin Qais yang munafik[22]. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa bai’at itu bai’at untuk bersabar[23] , dan di riwayat yang lain bai’at dilakukan untuk tidak lari dari peperangan[24] , dan tidak ada pertentangan antara riwayat riwayat tersebut karena bai’at untuk mati artinya bai’at di atas kesabaran dan tidak lari dari perperangan.[25]

_______ 

Footnote 

[1]. Lihat as-Sîratun Nabawiyyah ash-Shahîhah, hlm. 434 dan as-Sîratun Nabawiyyah fi Dhau’il Mashâdiril Ashliyyah, hlm. 481. 

[2]. Kelima shahabat itu adalah Jâbir Bin Abdillâh, al-Barrâ’ bin Âzib, Ma’qal bin Yasar, Salamah bin Aqwa’, al-Musayyib bin Hazan Radhiyallahu anhum (as-Sîratun Nabawiyyah ash-Shahîhah, hlm. 435). 

[3]. HR. al-Bukhâri, al-Fath, 16/29, no. 4178 dan 4179 

[4]. HR. al-Bukhâri, al-Fath, no. 4179, Musnad Ahmad, 4/323. 

[5]. HR. al-Bukhâri, al-Fath, 8/139-146). 

[6]. HR. al-Bukhâri 

[7]. HR. Muslim no.2780 [8]. Sebuah lembah di Mekah 

[9]. Dalâ’ilun Nubuwwah (4/112) dari mursal Urwah dengan sanad yang lemah; al-Wâqidi(2/582) dan Ibnu sa’ad(2/59) dengan shigah ta’liq. 

[10]. HR. Bukhâri, al-Fath (11/162-163/no:2731,2732). 

[11]. HR. Bukhâri, al-Fath (14/75/no:3577).

 [12]. HR. Bukhâri, al-Fath (11/154/no:2731.2732). 

[13]. Al-Maghâzî (2/588). 

[14]. Dari riwayat Abul Aswad sebagaimana yang disebutkan Ibnu Hajar di al-Fath(11/164). 

[15]. HR. Ahmad, al-Musnad(4/323) dengan sanad yang hasan dan Ibnu Ishâq dengan sanad yang hasan-Ibnu Hisyâm(3/428). 

[16]. HR. Bukhâri, al-Fath:2731,2732). 

[17]. Dari riwayat Ibnu Ishâq dengan sanad yang hasan, Ibnu Hisyâm(3/435-436) dan Ahmad dalam Musnad(4/324) dan al-Fathur Rabbâni (21/101-104) dengan sanad yang hasan dan Ibnu sa’ad (2/96-97) secara mu’alaq dan ringkas. 

[18]. Ibnu Sa’ad(2/97) secara mu’laq dan lafazhnya” kemudian ia di tolong oleh kaumnya” 

[19]. Ibnu Ishaq dengan sanad yang hasan, Ibnu Hisyam(3/426)dan Ahmad di dalam Musnad(4/324). 

[20]. Al Bukhari/Al fath(16/24/ no:4169). 

[21]. Al Bukhariy/ Alfath(12/79/4169). 

[22]. Muslim(3/1483/ no:1856). 

[23]. Lihat Al fah, Ibnu hajar(12/79).

Sumber: https://almanhaj.or.id/