Type Here to Get Search Results !

18. PERISTIWA BAIAT AQABAH

BAI’ATUL-AQABAH YANG PERTAMA 

لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ 

“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan selamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mu’min”. [at-Taubah/9:128] 

MENCARI TEMPAT IBADAH YANG AMAN 

Sebagai seorang rasul yang sangat menyayangi umatnya, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu berusaha mencari tempat atau wilayah yang bisa untuk melakukan ibadah kepada Allah Azza wa Jalla secara aman. Di antara usaha beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu memerintahkan kepada para sahabatnya berhijrah ke Habasyah. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berhijrah ke Thâif dan menawarkan diri kepada kabilah-kabilah yang ada. 

Dalam meluaskan dakwah agama yang haq ini, Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak selalu memanfaatkan setiap momen-momen penting. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membiarkan momen-momen itu berlalu begitu saja. Semua momen itu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam manfaatkan untuk berdakwah. 

Begitu juga dengan musim haji dan keramaian pasar-pasarnya, merupakan momen penting sehingga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa memanfaatkannya untuk menjumpai para pemuka suku yang memiliki pengaruh dan manusia pada umumnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menawarkan kepada para kepala suku untuk mau melindungi supaya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa berdakwah, tanpa memaksa para pemuka itu untuk menerima dakwahnya.[1] 

Di antara seruan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada momen itu ialah: “Adakah orang yang bisa membawaku ke kaumnya, karena kaum Quraisy melarangku menyampaikan perkataan Rabbku?”[2] 

Banyak kabilah sudah didatangi dan didakwahi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun tidak semuanya menerima. Di antara pendatang yang didakwahi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan yang paling besar sambutannya ialah orang-orang Madinah. Pada tahun ke sebelas kenabian, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menawarkan diri kepada sekelompok orang dari suku Khazraj[3] di ‘Aqabah (bukit) Mina. Mereka duduk bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu beliau mendakwahkan Islam kepada mereka serta membacakan Al-Qur`ân. Mereka pun dengan mudah menerima Islam. 

Salah satu faktor sehingga mereka mudah terbuka menerima Islam, ialah karena mereka hidup bersama orang-orang Yahudi. Sebagaimana diketahui, orang-orang Yahudi adalah Ahli Kitab dan memiliki ilmu. Jika terjadi pertikaian di antara mereka, maka orang-orang Yahudi akan berkata: “Sesungguhnya akan ada seorang nabi yang diutus dan waktunya sudah dekat. Kami akan mengikutinya dan memerangi kalian bersamanya sebagaimana memerangai kaum ‘Ad dan Iram”. 

Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajak orang-orang Madinah ini masuk Islam, mereka saling memandang dan berseru: “Demi Allah! Kalian tahu, bahwasanya ia benar-benar utusan Allah yang diharapkan kedatangannya oleh Yahudi. Jangan sampai mereka mendahului kalian,” maka orang-orang Madinah itu pun menerima dakwah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memeluk Islam. 

Faktor lain yang menjadi penyebab terbukanya penduduk Madinah menerima Islam, yaitu adanya peristiwa Yaumu Bu’âts. Imam al-Bukhâri meriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha, beliau Radhiyallahu ‘anha berkata: 

كَانَ يَوْمُ بُعَاثَ يَوْمًا قَدَّمَهُ اللَّهُ لِرَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ وَقَدْ افْتَرَقَ مَلَؤُهُمْ وَقُتِلَتْ سَرَوَاتُهُمْ وَجُرِّحُوا فَقَدَّمَهُ اللَّهُ لِرَسُولِهِ فِي دُخُولِهِمْ فِي الْإِسْلَامِ 

“Yaum Bu’âts adalah satu hari yang disediakan oleh Allah Azza wa Jalla untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Pada hari itu, Red.) tokoh-tokoh mereka berpecah-belah. Para pemuka mereka yang terbaik terbunuh dan terluka. Maka Allah Azza wa Jalla mempersiapkan (peristiwa) itu untuk Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam supaya mereka bisa masuk Islam”. 

Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, Bu’âts yaitu tempat, ada yang mengatakan benteng, ada yang mengatakan sawah yang berada di kabilah Bani Quraizhah, dua mil dari Madinah. Di tempat ini pernah terjadi pertempuran antara kabilah Aus dan kabilah Khazraj. Dalam peristiwa ini banyak tokoh mereka yang menjadi korban. Peristiwa ini terjadi lima tahun menjelang hijrah Rasulullah. Ada yang mengatakan empat tahun, dan ada pula yang mengatakan lebih dari empat tahun. Adapun pendapat yang lebih kuat ialah pendapat pertama. Para pembesar-pembesar mereka yang tidak mau beriman, maksudnya yang sombong dan tidak mau menerima Islam terbunuh dalam peristiwa itu, sehingga Islam (ketika nantinya masuk Madinah) tidak berada di bawah kendali orang lain.[4] 

Demikian di antara faktor-faktor yang menyebabkan mereka terbuka menerima Islam. Sehingga ketika mereka mendengar dakwah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di bukit Mina, mereka pun menerimanya, kemudian bubar meninggalkan Mina dan berjanji akan menjumpai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada musim haji tahun berikutnya. 

BAI’AH ‘AQABAH PERTAMA 

Pada tahun yang dijanjikan, yaitu tahun 12 kenabian, dua belas orang Madinah yang sudah memeluk Islam –sebagian di antara mereka ialah orang-orang yang pernah berjumpa dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, menerima dakwahnya dan beriman kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tahun sebelumnya– datang ke Makkah menunaikan ibadah haji. Mereka pun berjumpa dengan Rasulullah dan membaiat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. 

Imam al-Bukhâri [5], Muslim [6], an-Nasâ`i [7], Ahmad [8], Ibnu Ishâq [9], Ibnu Sa’ad [10], dan lain-lain meriwayatkan dari hadits ‘Ubâdah bin Shâmit Radhiyallahu ‘anhu, ia merupakan salah seorang yang menunaikan haji kala itu. Mereka meriwayatkan bunyi bai’ah tersebut, yaitu perkataan ‘Ubâdah: Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada mereka: 

تَعَالَوْا بَايِعُونِي عَلَى أَنْ لَا تُشْرِكُوا بِاللَّهِ شَيْئًا وَلَا تَسْرِقُوا وَلَا تَزْنُوا وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ وَلَا تَأْتُوا بِبُهْتَانٍ تَفْتَرُونَهُ بَيْنَ أَيْدِيكُمْ وَأَرْجُلِكُمْ وَلَا تَعْصُونِي فِي مَعْرُوفٍ فَمَنْ وَفَى مِنْكُمْ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا فَعُوقِبَ بِهِ فِي الدُّنْيَا فَهُوَ لَهُ كَفَّارَةٌ وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا فَسَتَرَهُ اللَّهُ فَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ إِنْ شَاءَ عَاقَبَهُ وَإِنْ شَاءَ عَفَا عَنْهُ 

“Kemarilah, hendaklah kalian berbai’at kepadaku untuk tidak menyekutukan Allah dengan apapun, kalian tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak kalian, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki kalian, tidak durhaka kepadaku dalam perkara yang ma’ruf. Barang siapa yang menepati bai’at (janji) ini, maka ia akan mendapatkan pahala dari Allah Azza wa Jalla. Barang siapa yang melanggar salah satunya, lalu dihukum di dunia, maka hukuman itu menjadi kaffarah (penghapus dosa) baginya. Barang siapa yang melanggar salah satunya, lalu Allah Azza wa Jalla menutupi kesalahannya tersebut, maka urusannya dengan Allah, jika Allah Azza wa Jalla berkehendak, maka Allah k bisa menghukumnya; jika Allah Azza wa Jalla berkehendak, maka Allah Azza wa Jalla bisa memaafkanya”. 

Para penduduk Madinah ini pun kemudian berbai’at kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bai’ah (baiat) inilah yang dikenal dengan istilah bai’atul-‘aqabatil-ûlâ (baiat ‘Aqabah yang pertama).

'Ubâdah bin Shamit Radhiyallahu ‘anhu dalam riwayat Ibnu Ishâq[11] berkata: “Lalu kami pun berbaiat kepada Rasulullah n dengan baiat wanita. Peristiwa ini terjadi sebelum diwajibkan perang”. 

Ketika hendak kembali ke negara asal mereka, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Mush’ab bin Umair Radhiyallahu ‘anhu untuk membacakan Al-Qur’an kepada mereka, mengajarkan kepada mereka tentang Islam dan memberikan pemahaman tentang din (agama). Oleh karenanya, Mush’ab bin Umair Radhiyallahu ‘anhu diberi gelar “Muqri’ul-Madinah”. Kedudukan Mush’ab bin Umair Radhiyallahu ‘anhu berada di atas kedudukan As’ad bin Zurârah Radhiyallahu ‘anhu. 

Abu Dâwud [12], Ibnu Ishâq [13], dan yang lainnya meriwayatkan melalaui jalur ‘Abdur-Rahmaan bin Ka’ab bin Mâlik, bahwasanya orang yang pertama kali melaksanakan shalat Jum’at di Madinah ialah As’ad bin Zurârah Radhiyallahu ‘anhu. Ketika jumlah mereka sudah mencapai empat puluh, mereka diimami oleh Mush’ab bin Umair Radhiyallahu ‘anhu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengirim surat kepadanya (Mush’ab bin Umair Radhiyallahu ‘anhu) supaya berjama’ah bersama mereka.[14] 

Mush’ab bin Umair Radhiyallahu ‘anhu dengan bantuan As’ad bin Zurârah Radhiyallahu ‘anhu berhasil mengislamkan banyak orang Madinah. Di antara mereka, ialah Usaid bin al Hudhair dan Sa’ad bin Mu’aadz. Keduanya merupakan tokoh. Sehingga keislaman dua tokoh ini menyebabkan seluruh Bani ‘Abdil-Asyhal, laki-laki dan wanita memeluk Islam, kecuali Ushairam ‘Amr bin Tsâbit bin Waqsy. Dia baru masuk Islam pada saat berkecamuk perang Uhud. Saat itu dia menyatakan keislamannya, lalu terjun ke medan tempur dan meninggal sebelum sempat sujud (shalat) kepada Allah k sama sekali. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberitahu tentangnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : 

عَمِلَ قَلِيلًا وَأُجِرَ كَثِيرًا 

“Dia melakukan amal yang sedikit, tetapi pahalanya banyak”.[15] 

Mulai sejak itu, hampir tidak ada satu pun rumah kaum Anshaar yang sepi dari Islam, baik laki maupun perempuan. Hingga waktunya, sebelum tiba musim haji berikutnya yaitu tahun ketiga belas kenabian, Mush’ab bin Umair kembali ke Makkah dan memberi kabar gembira kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang keberhasilan misinya dengan taufiq Allah Azza wa Jalla. Diringkas dari: As-Sîratun-Nabawiyah fî Dhau`il-Mashâdiril-Ashliyyah, halaman 241-248 _______ 
Footnote 

[1]. Lihat Maghâzi Rasulillah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karya ‘Urwah, hlm. 117, dari hadits Ibnu Lahii’ah, dan riwayat ini terhenti sampai ‘Urwah, sehingga riwayat ini hukumnya mursalah. Diriwayatkan juga oleh al-Baihaqii dalam ad-Dalaa`il, 2/414, dari hadits Musa bin ‘Uqbah dari az-Zuhri, juga secara mursal. Kedua riwayat yang mursal ini memiliki landasan shahîh, sebagaimana dijelaskan pada catatan kaki berikutnya. 

[2]. Diriwayatkan oleh Abu Daawud dalam Sunan-nya, 5/Kitab Sunnah, hadits no. 4734. Ibnu Mâjah dalam al-Muqaddimah, hlm. 73, hadits no. 201. Imam Ahmad dalam al-Fathurrabâni, 20/267, dari hadits Jaabir Radhiyallahu ‘anhu. Riwayat ini disebutkan oleh Imam adz-Dzahabi dalam kitab Sirah-nya, hlm. 282 dan beliau rahimahullah berkata: “Riwayat ini sesuai dengan syarat Imam al-Bukhâri”. 

[3]. Menurut Ibnu Ishaq, jumlah mereka ada enam orang. Lihat Sirah Ibnu Hisyâm, 2/82. Adapun Ibnu Katsir rahimahullah, ia berkata dalam al-Bidâyah: “Musa bin ‘Uqbah menyebutkan dalam riwayatnya dari az-Zuhri dan ‘Urwah bin Zubair, bahwasanya jumlah mereka ada delapan orang”. Dan Ibnu Sa’ad menyebutkan kedua perkataan tersebut. Ketika beliau rahimahullah menyebutkan riwayat yang menyatakan jumlah mereka ada enam yaitu riwayat Ibnu Ishaq, beliau berkata: “Muhammad bin ‘Umar al Wâqidi berkata,”Ini riwayat paling shahîh yang kami dengar tentang jumlah mereka, dan ini telah disepakati.” Lihat ath-Thabaqât, 1/219. 

[4]. Al-Fath, 14/262, hadits no. 3777. 

[5]. Al-Fath, 15/74, hadits no. 3777. Lafazh berikut ini merupakan riwayat beliau rahimahullah. 

[6]. Shahîh Muslim, hadits no. 170.9 

[7]. Kitab al-Bai’atu ‘alal Jihâd, 7/141-142. 

[8]. Al-Musnad, 5/313. 

[9]. Ibnu Hisyâm, 2/85-86, dan sanadnya hasan. 

[10]. Ath-Thabaqât, 1/219-220 dari riwayat al-Wâqidî, namun sanadnya sangat lemah. 

[11]. Ibnu Hisyâm, 2/86. 

[12]. As-Sunan, 1/645-646, hadits no. 1069.

 [13]. Diriwayatkan dengan sanad hasan, Ibnu Hisyâm 2/8, dan para perawi lainnya meriwayatkan hadits ini melalui jalur beliau, kecuali Abu Dawud rahimahullah.

 [14]. Sunan ad-Dâruquthnî, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar rahimahullah dalam al-Fath, 15/75. Ibnu Katsîr dalam kitab al-Bidâyah (3/166) berkata: “Dalam sanadnya terdapat keghariban. Wallâhu a’lam.” 

[15]. Tentang keislamannya yang terlambat serta kisahnya dalam perang Uhud dan penyebutan namanya, secara jelas terdapat dalam riwayat Ibnu Ishâq dalam kitab as-Siyar wal-Maghâzî dengan sanad shahîh dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam al-Fath 11/286. Tentang kisahnya dalam perang Uhud tetapi tanpa penyebutan nama, dibawakan dalam riwayat Imam al-Bukhâri, al-Fath, 11/286 hadits no. 2808. Imam Muslim, 3/1509, hadits no. 1900. Abu Dâwud, 3/43 hadits no. 2537, tanpa menyebutkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : عَمِلَ قَلِيلًا وَأُجِرَ كَثِيرًا “Dia melakukan amal yang sedikit, tetapi pahalanya banyak”. 

[16]. Kisah tentang kembalinya Mush’ab bin ‘Umair dibawakan oleh Ibnu Ishâq, Ibnu Hisyâm (2/92), dengan tanpa sanad.


Meretas Bai’atul ‘Aqabah Kedua MERETAS BAI’ATUL AQABAH KEDUA Setahun setelah Bai’atul-Aqabah pertama berlalu, tepatnya pada musim haji tahun ke-13 kenabian, sekelompok kaum muslimin Madinah dalam jumlah besar datang ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji bersama dengan kaum musyrik Madinah. Saat itu mereka dipimpin oleh al- Barrâ` bin Ma`rûr.[1] Saat itu kaum muslimin sudah saling bertanya di antara mereka: “Sampai kapankah mereka membiarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpindah-pindah tempat di Makkah, terusir di pegunungan Makkah dan keselematannya terancam?”[2] Sementara itu, komunikasi antara kaum muslimin Madinah dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terus terjalin secara rahasia. Komunikasi rahasia ini membawa pada kesepakatan menentukan waktu dan tempat pertemuan, untuk meletakkan pondasi kesepakatan terpenting dalam sejarah Islam. Ibnu Ishâq [3] meriwayatkan kisah pertemuan ini dari Ka’ab bin Mâlik, ia Radhiyallahu anhu menceritakan: Kemudian kami berangkat menunaikan ibadah haji, dan kami telah sepakat dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (untuk bertemu) di ‘Aqabah pada pertengan hari tasyrîq. Ketika usai melaksanakan ibadah haji dan malam itu adalah malam yang telah disepakati dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam … Malam itu kami tidur bersama rombongan di perkemahan. Ketika berlalu sepertiga malam, kami keluar dengan jalan kaki menuju tempat perjanjian dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Kami keluar mengendap-endap seperti kucing. Sampai akhirnya kami berkumpul di syi’b, yaitu celah antara dua bukit di dekat ‘Aqabah. Kami berjumlah 73 lelaki dan dua wanita yaitu Nusaibah binti Ka’ab atau Ummu ‘Ammârah dan Asmâ` binti ‘Amr bin ‘Adiy, yaitu Ummu Manî`. Kami berkumpul di tempat itu menunggu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang bersama pamannya ‘Abbas bin ‘Abdil-Muththalib. Kala itu ‘Abbas masih menganut kepercayaan kaumnya, hanya saja dia ingin menghadiri urusan ponakannya, yaitu Muhammad n dan memastikannya. Ketika beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah duduk, yang pertama kali berbicara ialah pamannya, ‘Abbas. Dia berkata,”Wahai, kaum Khazraj –saat itu orang Arab menamakan orang-orang Anshar ini dengan nama Khazraj, baik yang benar-benar berasal dari Kabilah Khazraj maupun yang dari Kabilah Aus- sesungguhnya Muhammad memiliki kedudukan di sisi kami sebagaimana yang sudah kalian ketahui. Kami telah melindunginya dari kaum kami yang satu keyakinan dengan kami tentang dia. Jadi, Muhammad berada dalam penjagaan dan perlindungan kaumnya di daerahnya. Namun dia lebih memilih bergabung dengan kalian. Jika kalian merasa sanggup memenuhi apa yang kalian janjikan untuknya dan sanggup melindunginya dari orang yang menentangnya, maka terserah kalian. Karena dia (sebenarnya) berada dalam penjagaan dan perlindungan kaumnya di daerahnya”. Ka’ab berkata: Lalu kami menyahut: “Kami sudah mendengar ucapanmu. Sekarang berbicaralah, wahai Rasulullah. Pilihlah untukmu dan Rabbmu apa yang engkau inginkan!” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbicara. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan Al-Qur`ân, menyerukan Islam dan memberikan motivasi dalam berislam. Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Aku bai’at kalian, supaya kalian menjagaku dari segala hal, yang kalian hindarkan dari istri-istri dan anak-anak kalian!” Serta merta al-Barrâ` bin Ma`rûr Radhiyallahu anhu memegang tangan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sembari berkata: “Demi Dzat yang telah mengutus dengan al-haq, sungguh kami akan menjagamu dari segala hal yang kami tolak dari kaum, wanita kami. Bai’atlah kami, wahai Rasulullah! Demi Allah k , kami adalah kaum yang memiliki kemampuan bertempur dan saling bahu-membahu, kami telah mewarisi sifat ini dari pembesar-pembesar kami”. Perkataan al-Barrâ` ini dipotong oleh Abul-Haitsâm, dia berkata: “Wahai Rasulullah, antara kami dan mereka (kaum Yahudi) pernah terjalin hubungan dan kami telah memutusnya. Jika kami telah melakukan itu lalu Allah k memenangkanmu, apakah engkau akan kembali ke kaummu dan membiarkan kami?” Mendengar pertanyaan ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersenyum dan bersabda: “(Tidak, Red.) akan tetapi darah dibalas darah, kehancuran dibalas kehancuran. Aku bagian dari kalian, dan kalian bagian dariku. Aku akan memerangi orang-orang yang kalian perangi dan membiarkan orang-orang yang kalian biarkan”. Baca Juga  Sambutan Raja Najasyi Terhadap Kaum Muslimin Mereka pun kemudian sepakat dengan persyaratan bai’at, namun sebelum bai’at dilaksanakan, al-‘Abbâs bin ‘Ubâdah bin Nadhlah dan As’ad bin Zurârah c berkeinginan menjelaskan hakikat bai’at yang akan dilakukan, sehingga mereka benar-benar memahaminya. Kedua orang ini juga ingin memastikan kesiapan kaum Anshâr untuk berjihad dan berkorban membela dîn (agama) yang mulia serta membela Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Setelah keduanya menjelaskan hakikat bai’at dan konsekwensinya kepada kaum Anshâr, mereka kini mengetahui bawasanya kaum Anshâr benar-benar sudah siap. Akhirnya bai’at pun dimulai. As’ad Radhiyallahu anhu menjabat tangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berbai’at, lalu diikuti yang lainnya satu-persatu. Yang berbai’at kala itu mendapat kabar gembira, yaitu akan dimasukkan ke surga bagi yang menepati bai’atnya. Tentang siapa sahabat yang dibai’at pertama kali, para ulama berbeda pendapat. Ada yang mengatakan As’ad, ada yang mengatakan al Barrâ`, dan ada yang mengatakan Abul-Haitsâm Radhiyallahu anhum. Adapun prosesi bai’at dua wanita yang ikut dalam pertemuan tersebut, Ibnu Ishâq, menyatakan: “Ada yang menyangka kedua wanita juga menjabat tangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berjabat tangan dengan wanita. Dalam bai’at itu, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya mengambil perjanjian; jika kaum wanita sudah menyepakatinya, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepada mereka, ‘Pergilah kalian! Kalian sudah saya bai’at’.” Imam Bukhâri,[5] Imam Muslim,[6] Ibnu Ishâq meriwayatkan pokok-pokok bai’at ini. Akan tetapi penjelasan lebih rinci dibawakan oleh Imam Ahmad[7] dari hadits Jâbir, dan al-Baihaqî.[8] Jâbir Radhiyallahu anhu bertanya: “Wahai Rasulullah, kami berbai’at kepadamu dalam hal apa saja?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Kalian berbai’at kepadaku untuk selalu mau mendengar dan taat dalam keadaan giat (senang) atau malas (berat), selalu memberikan nafkah dalam keadaan susah atau senang, selalu memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, selalu di jalan Allah dan jangan terpengaruh dengan celaan orang yang mencela, jika aku sudah datang ke (tempat) kalian agar kalian menolongku, melindungiku dari hal-hal yang kalian hindarkan dari diri, istri dan anak-anak kalian. Dan kalian akan mendapatkan surga”. (Lafazh ini merupakan riwayat Imam Ahmad). Ketika bai’at sudah terlaksana dan perwakilan masing suku-suku sudah ditentukan, kaum Anshâr pun bersiap-siap hendak meninggalkan tempat itu. Namun, tiba-tiba setan menyibak tabir pertemuan ini, agar kaum musyrik Makkah memiliki kesempatan untuk datang dan menangkapi kaum muslimin sebelum bubar. Setan berseru dengan suara lantang: “Wahai, penduduk Mina! Tidakkah kalian merasa terhina? Orang-orang murtad itu (maksudnya kaum muslimin, Red.) berkumpul bersama Muhammad di daerah kekuasaan kalian!” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berseru: “Ini adalah Azab (nama jin yang tinggal di) Aqabah. Ini anak Azyab. Demi Allah, wahai musuh Allah! Sungguh, aku akan mengerahkan seluruh kemampuan untuk melawanmu.”[9] Ketika mendengar teriakan setan ini, al-‘Abbas berkata: “Demi Dzat yang mengutusmu dengan al-haq, jika engkau mau, sesungguhnya kami bisa menyerang penduduk Mina dengan pedang-pedang kami besok hari,” tetapi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada mereka: “Kita belum diperintah untuk itu. Pulanglah kalian ke perkemahan,” kemudian para sahabat pun kembali ke tempat tinggal mereka.[10] Keesokan harinya, para pembesar Quraisy mendatangi orang-orang Madinah di tempat tinggal mereka. Saat itu masih bercampur antara yang muslim dan yang musyrik. Para pembesar itu menanyakan kebenaran berita bai’at ini. Mereka juga menanyakan keinginan kaum muslimin Madinah yang ingin membawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Madinah. Kaum musyrik Madinah yang mendengar pertanyaan ini bersumpah bahwasanya hal itu tidak benar. Sedangkan kaum Muslimin hanya saling perpandangan.[11] Begitulah Bai’at ‘Aqabah yang kedua. Bai’at ini berlangsung dengan aman, dan kaum Anshâr bisa kembali ke Madinah. Baca Juga  Perang Hunain (Bagian-2) Dari Bai’atul-‘Aqabah yang kedua bisa dipetik pelajaran: 1. Kaum Anshâr benar-benar memahami dan menyadari perlunya kesiapan mereka melindungi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menghadapkan pada permusuhan dengan kaum Yahudi dan kaum musyrikin yang merupakan musuh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Ini berarti jihad, meskipun pokok-pokok bai’at tidak menyebutkan tentang jihad secara jelas. 2. Usaha para pembesar Quraisy untuk menangkap kaum muslimin setelah mengetahui ada usaha kaum muslimin mengatur penjagaan terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , ini mengisyaratkan kesyirikan dan kekufuran akan senantiasa memusuhi iman di manapun juga. 3. Kerahasiaan peristiwa bai’at ini menunjukkan adanya syari’at agar berhati-hati dalam mengatur banyak perkara, terutama berkaitan dengan keberlangsungan dakwah. 4. Bai’at ‘ ini menjadi landasan bagi kaum muslimin untuk hijrah ke Madinah, termasuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . 5. Islam berjaya di Madinah, sehingga orang-orang yang pernah menyembunyikan keislamannya bisa menampakkannya di Madinah. 6. Orang-orang kafir Makkah menindas kaum muslimin setelah mengetahui bahaya hubungan antara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kaum muslimin Madinah. Penindasan ini menjadi salah satu faktor yang mempercepat Rasulullah hijrah ke Madinah. 7. Bai’at ini melandasi berdirinya Daulah Islamiyah di Madinah, yang selanjutnya menjadi pusat penyebaran Islam ke seluruh dunia. 8. Permusuhan setan terhadap al-haq, dan ia merasa tersiksa, karena ketinggian al-haq merupakan kisah lama. Setan senantiasa membangkitkan rasa permusuhan terhadap kaum muslimin Madinah dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . 9. Kasih sayang Allah k terhadap hamba-Nya menyebabkan Allah k tidak membebankan kewajiban jihad kecuali setelah Dârul Islam berdiri. Diangkat dari: As-Sîratun-Nabawiyyah fî Dhau`il Mashâdiril-Ashliyyah, Dr. Mahdi Rizqullah, Cet. I, Th. 1412 H / 1992 M, hlm. 248-256. [Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XI/1429H/2008. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016] _______ Footnote [1]. Riwayat Ibnu Ishâq dengan sanad hasan. Lihat Ibnu Hisyâm, 2/92. [2]. Hadits Jâbir bin ‘Abdillâh z dalam riwayat Imam Ahmad, al-Fathur-Rabâni (20/270) dan sanadnya shahîh. Imam al-Baihaqi meriwayatkan dalam ad-Dalâil (2/1442), dan adz-Dzahabi dalam as-Sîrah, hlm. 289. [3]. Dengan sanad hasan. Lihat Ibnu Hisyâm, 2/94-97. Melalui jalur ini, diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad dalam al-Fathur-Rabbâni (20/271-275), Fadhâ`ilush-Shahâbah (2/923) dengan ringkas. Dan pentahqîq kitab ini menshahîhkan sanadnya; al-Haitsami dalam al-Majma’, al-Baihaqi dalam as-Sunan (9/9). Ibnu Hibbân dalam Mawârid, hlm. 408, al-Hâkim dalam al-Mustadrak (2/624-625) dan beliau t mengatakan: “Hadits ini shahîh sesuai dengan syarat Bukhâri dan Muslim, namun keduanya tidak membawakan hadits ini”. Ad-Dzahabi mengatakan shahîh, dan adz-Dzahabi dalam as-Sîrah, hlm. 301-303, serta hadits ini dishahîhkan oleh Syaikh al Albâni dalam Hâsyiah Fiqhis-Sîrah, karya al-Ghazâli, hlm. 159. [4]. Ibnu Hisyâm (2/120) tanpa sanad. Perkataan Ibnu Ishâq ini didukung oleh hadits semakna yang diriwayatkan Imam al-Bukhâri. Lihat al-Fath 20/99, no. 5288. Imam Muslim, 3/1489 no. 1866, dan ulama lainnya. [5]. Al-Fath, 16/no. 7056, 17/7199 dan 7200. Lafazh hadits terdapat pada dua tempat. Jika engkau gabungkan keduanya, maka sama dengan riwayat Ibnu Ishâq. Dan sanad hadits 7199 dan 7200 sama dengan jalur periwayatan Ibnu Ishâq. Ibnu Hajar t mengingatkan bahwa kejadian itu pada bai’at ‘Aqabah yang kedua. [6]. Lihat dalam Shahîh-nya, 3/1470, no. 1709 dengan jalur periwayatan yang sama dengan Ibnu Ishâq, sebagaimana dalam riwayat Imam al-Bukhâri. [7]. Al-Fathur-Rabbâni, 20/270. [8]. Lihat riwayat Jâbir dalam kitab ad-Dalâil. [9]. Diriwayatkan Ibnu Ishâq dengan sanad hasan dari hadits Ka’ab bin Mâlik. Lihat Ibnu Hisyâm, 2/101-102. [10]. Ibid. [11]. Sîrah Ibnu Hisyâm dengan sanad hasan, dan dishahîhkan oleh Ibnu Hibbân. Lihat as-Sîratun Nabawiyyatush-Shahîhah, Dr. Diyâ’, hlm. 201.