Sebelumnya, ia bersuamikan Abu Salamah. Seorang laki-laki yang istimewa. Laki-laki yang pertama-tama memeluk Islam dan menyambut seruan Nabi untuk berhijrah. Saat sang suami wafat, ia beristirja’ (ucapan innalillahi…) dan memohon ganti yang lebih baik dari sang suami. Walaupun saat itu ia bingung siapa laki-laki yang lebih baik dari suaminya. Tapi keyakinannya mendahului rasa ragu yang menghampirinya. Ia tetap ucapkan kalimat itu dan Allah Maha Benar janjinya. Ia dilamar oleh Rasulullah. Ia adalah Ummul Mukminin Ummu Salamah radhiallahu ‘anha. Mari kita simak kisah tentang wanita mulia ini.
Nasabnya
Namanya adalah Hind binti Abu Umayyah bin al-Mughirah bin Abdullah bin Amr bin Makhzum. Lahir 24 tahun sebelum hijrah dan wafat pada tahun 61 H. Ayahnya adalah seorang Quraisy yang dikenal sangat dermawan. Sampai-sampai dijuluki Zadurrakib. Disebut demikian, karena kalau orang-orang bersafar bersamanya, mereka tak butuh membawa perbekalan. Semua sudah ditanggung oleh Abu Umayyah. Sementara ibunya adalah Atikah binti Amir bin Rabi’ah bin Abdul Muthalib (Muhibbuddin ath-Thabari: al-Sumthu al-Tsamin Hal 133).
Sebelum Bersama Nabi
Sebelum bersama Nabi, Ummu Salamah menikah dengan putra pamannya, yaitu Abdullah bin Abdul Asad bin Hilal bin Makhzum al-Qurasyi. Yang lebih dikenal dengan Abu Salamah. Abu Salamah adalah seorang sahabat yang mulia. Yang pertama-tama memeluk Islam dan merasakan musibah yang besar akibat keislamannya. Ia adalah putra dari bibi Rasulullah. Ibunya adalah Barrah binti Abdul Muthalib.
Saat diizinkan berhijrah ke Habasyah, Ummu Salamah radhiallahu ‘anha berhijrah ke sana bersama suaminya. Ia menuturkan, “Ketika kami sampai di Habasyah, penduduknya memperlakukan kami dengan sangat baik. Kami aman berada di atas agama kami. Kami tidak mendapat gangguan saat beribadah kepada Allah. Saat hal ini sampai kepada Quraisy, mereka mengirim hadiah kepada An-Najasyi. Mereka bawakan kulit (hewan) yang banyak (Ibnu Khuzaimah 2073 dan Ibnu Hisyam: as-Sirah an-Nabawiyah 1/334-335). Hadits ini menunjukkan bahwa Abu Salamah dan Ummu Salamah turut berhijrah ke Habasyah.
Kemudian Allah izinkan kaum muslimin untuk hijrah ke Madinah. Di sinilah terjadi peristiwa memilukan yang dialami Ummu Salamah radhiallahu ‘anha. Dari peristiwa ini kita semakin sadar akan hakikat kesabaran dan berkorban di atas agama Allah Ta’ala. Perlu diketahui, Abu Salamah adalah orang pertama dari sahabat Rasulullah dari bani Makhzum yang hijrah ke Madinah. Ia berhijrah satu tahun sebelum peristiwa Baiat Aqobah. Ia datang dari Habasyah menemui Rasulullah di Mekah. Setibanya di Mekah, keadaan belum berubah. Orang-orang Quraisy masih saja menyakiti kaum muslimin. Di sisi lain, ia mendengar kalau di Madinah sudah terdapat kaum muslimin, ia pun berencana hijrah ke sana. Dan dalam peristiwa hijrahnya ini, istrinya, Ummu Salamah, mengalami penderitaan yang sangat berat.
Ummu Salamah radhiallahu ‘anha berkisah, “Saat Abu Salamah telah mantab untuk hijrah ke Madinah, ia membawakan ontanya untuk kunaiki. Dan bersamaku putraku, Salamah bin Abu Salamah. Kemudian kami berangkat. Sekelompok laki-laki dari bani al-Mughirah bin Abdullah bin Amr bin Makhzum (keluarga Ummu Salamah) mendekati kami dan berkata, ‘Tentang dirimu, kami sudah menyerah. Lalu bagaimana dengan istrimu ini? Apakah kau pikir kami akan membiarkannya pergi bersamamu ke daerah lain?” Akhirnya, Ummu Salamah dan putranya ditahan oleh keluarganya.
Ummu Salamah berkata, “Mereka melepaskan tali kekang onta dari tangan suamiku. Mereka merebutku darinya.” Akhirnya, Ummu Salamah dan putranya tertahan. Ummu Salamah melanjutkan, “Mengetahui kejadian ini, bani Abdul Asad pun murka, yakni saudara Abu Salamah. Mereka berkata, ‘Tidak, demi Allah. Kami tak akan membiarkan anak kami (karena nasab itu dari jalur ayah) berada di sisi ibunya. Karena kalian telah memisahkan ibunya dari saudaa kami’. Mereka pun berebut menarik anakku Salamah, hingga mereka melepaskan tarikannya. Bani Abdul Asad pun membawanya pergi. Aku ditahan oleh keluargaku, Bani al-Mughirah. Sementara suamiku pergi ke Madinah.”
Ummu Salamah melanjutkan, “Aku terpisah dari suami dan anakku. Selama satu tahun atau hampir setahun lamanya, setiap pagi aku pergi ke ujung Kota Mekah dengan deraian air mata. Sampai akhirnya seorang laki-laki dari putra pamanku melihatku. Ia melihat keadaanku dan merasa iba. Ia berkata kepada Bani al-Mughirah, “Apakah kalian tak membiarkan saja dia pergi? Kalian telah pisahkan ia dengan suami dan anaknya.” Keluargaku (Bani al-Mughirah) berkata padaku, “Susullah suamimu jika kau menginginkannya.” Ummu Salamah berkata, “Dan saat itu Bani Saad (keluarga Abu Salamah) mengembalikan putraku ke pangkuanku.”
Aku pacu ontaku. Kugendong anakku dan kuletakkan ia bersamaku. Kami berangkat menuju Madinah untuk berkumpul dengan suamiku. Saat itu, tak ada seorang pun yang menemaniku. Aku berkata pada diriku, Apakah aku akan bertemu dengan seseorang yang bisa mengantarkanku pada suamiku? Saat sampai di Tan’im aku bertemu dengan Utsman bin Thalhah bin Abi Thalhah, keluarga dari Bani Abdud Dar. Ia berkata padaku, “Mau kemana hai putri Abu Umayyah?” Kujawab, “Aku hendak ke Madinah berjumpa dengan suamiku.” “Apakah ada orang yang menemanimu?” tanyanya. “Demi Allah, tidak ada. Hanyalah Allah dan putraku ini.”
Utsman bin Thalhah berkata, “Demi Allah, kau tak pantas dibiarkan sendiri.” Ia pun mengambil tali kekang ontaku, kemudian membawaku pergi. Demi Allah, aku tak pernah ditemani seorang laki-laki Arab pun yang aku pandang lebih mulia darinya. Apabila kami sampai di tempat istirahat, ia menghentikan ontaku. Kemudian ia memperhatikan keadaanku. Sampai-sampai saat aku turun dari ontaku, dia pun memperhatikan ontaku itu. Ia pergi dan mengikat tungganganku di pohon. Setelah istirahat selesai, ia datang lagi dan berkata, ‘Naiklah’. Saat aku telah naik, ia mendekat dan mengarahkan perjalanan kami sampai kami ke tempat istirahat berikutnya. Ia melakukan hal itu terus, sampai kami tiba di Madinah. Saat ia melihat kampung Bani Amr bin Auf di Quba, ia berkata, “Suamimu berada di kampung ini. Masukilah dengan berkah dari Allah.” Kemudian ia pergi kembali ke Mekah.
Ummu Salamah berkata, “Demi Allah, aku tidak mengetahui ada keluarga dalam Islam yang menderita seperti penderitaan keluarga Abu Salamah. Aku tak melihat orang yang lebih mulia dibanding Utsman bin Thalhah.” (Ibnu Hisyam: as-Sirah an-Nabawiyah, 1/468). Akhirnya keluarga ini kembali berkumpul dengan keislaman dan keimanan mereka.
Pada tahun 2 H, Rasulullah mengajak para sahabatnya untuk mencegat kafilah Abu Sufyan. Tanpa disangka, kemudian peristiwa inilah menjadi sebab Perang Badar. Abu Salamah turut serta dalam rombongan yang mencegat kafilah. Dan tentu saja ia juga terlibat dalam Perang Badr. Dalam perang itu ia menderita luka. Luka itu sempat sembuh, tapi kemudian kambuh kembali. Hingga menyebabkannya wafat pada Jumadil Akhir tahun 3 H (Ibnu al-Atsir: Asad al-Ghabah, 3/190).
Ummu Salamah menceritakan, “Suatu hari, Abu Salamah menemuiku. Ia baru saja menemui Rasulullah. Ia berkata, ‘Aku mendengar dari Rasulullah sebuah perkataan yang membuatku bahagia. Beliau bersabda,
لا يُصِيبُ أَحَدًا مِنَ الْمُسْلِمِينَ مُصِيبَةٌ فَيَسْتَرْجِعَ عِنْدَ مُصِيبَتِهِ، ثُمَّ يَقُولُ: اللَّهُمَّ أْجُرْنِي فِي مُصِيبَتِي، وَاخْلُفْ لِي خَيْرًا مِنْهَا. إِلاَّ فُعِلَ ذَلِكَ بِهِ
“Tidaklah seorang muslim ditimpa suatu musibah. Kemudian ia beristirja (mengucapkan innalillahi wa inna ilaihi raji’un) saat musibah tersebut terjadi. Setelah itu berdoa, ‘Ya Allah berilah aku pahala atas musibahku ini. Dan gantikanlah dengan yang lebih baik darinya’. Kecuali Allah akan mengabulkannya.”
Kata Ummu Salamah, “Aku pun menghafalkannya.”
Ketika Abu Salamah wafat, aku beristirja. Dan berdoa, “Ya Allah berilah pahala atas musibahku ini. Dan gantikanlah dengan yang lebih baik darinya.” Setelah itu, aku renungkan ucapanku dan bertanya pada diriku, “Adakah untukku yang lebih baik dari Abu Salamah?” Setelah iddahku selesai, Rasulullah meminta izin padaku. Saat itu aku sedang menyamak kulit. Kucuci tanganku dan kuizinkan beliau masuk. Aku pun membentangkan alas duduk dari kulit yang berisi serat. Beliau pun duduk di atasnya dan meminangku untuk dirinya. Setelah beliau selesai berbicara, aku berkata, “Wahai Rasulullah, siapa aku ini untuk tidak menerimamu. Tapi aku adalah seorang wanita yang sangat pencemburu. Aku khawatir Anda melihat pada diriku sesuatu yang menyebabkan aku diadzab oleh Allah. Dan aku adalah wanita yang sudah berusia dan memiliki anak-anak.”
Rasulullah menanggapi,
أَمَّا مَا ذَكَرْتِ مِنَ الْغَيْرَةِ فَسَوْفَ يُذْهِبُهَا اللَّهُ مِنْكِ، وَأَمَّا مَا ذَكَرْتِ مِنَ السِّنِّ فَقَدْ أَصَابَنِي مِثْلُ الَّذِي أَصَابَكِ، وَأَمَّا مَا ذَكَرْتِ مِنَ الْعِيَالِ فَإِنَّمَا عِيَالُكِ عِيَالِي
“Yang engkau sebut berupa kecemburuan, Allah akan menghilangkan hal itu darimu. Tentang umurmu, aku pun telah berumur sebagaimana engkau. Dan tentang anak-anakmu, anak-anakmu juga anak-anakku.”
Ummu Salamah menjawab, “Aku terima lamaran Anda, Rasulullah.”
Kemudian ia mengatakan, “Sungguh Allah telah menggantikan untuk diriku seseorang yang lebih baik dari Abu Salamah, yakni Rasulullah.” (Ibnu Katsir” as-Sirah an-Nabawiyah, 3/175).
Hikmah Pernikahan dengan Nabi
Pernikahan Nabi dengan Ummu Salamah radhiallahu ‘anha adalah pemuliaan terhadap Ummu Salamah. Setelah suaminya wafat, tak ada pasangan yang melindungi dan menjaganya. Sementara beliau adalah wanita yang telah banyak berkorban demi agamanya dan menyambut dakwah yang penuh berkah ini. Ia juga memiliki empat orang anak yatim. Rasulullah hadir sebagai suami dan seseorang yang menanggung dirinya dan anak-anaknya.
Di rumah Tangga Nabawi
Setelah Abu Salamah radhiallahu ‘anhu wafat dan masa iddah Ummu Salamah usai, ia dipinang Abu Bakar, tapi ia menolaknya. Kemudian Umar meminangnya, ia juga menolaknya. Kemudian Rasulullah meminta izin kepadanya, ia pun menerima pinangan Nabi. Dan putranya yang menjadi wali baginya. Akad pernikahan itu disaksikan sejumlah sahabat. Maharnya sama seperti mahar Aisyah: karpet tebal, kasur yang diisi serat, dan penggilingan. Nabi tinggal bersamanya pada tahun ke-4 H (Ibnu Zibalah: Azwaj an-Nabi, Hal: 64).
Ummu Salamah radhiallahu ‘anha memiliki sesuatu yang berbeda dengan istri-istri nabi yang lain. Ia memiliki keistimewaan bahwa rasa cemburunya telah Allah hilangkan. Dan ia adalah salah seorang istri nabi yang tercantik. Sebagaimana pujian Aisyah terhadapnya.
Ummu Salamah memiliki kedudukan istimewa di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana dijelaskan oleh Zainab putri Ummu Salamah radhiallahu ‘anha. Rasulullah shallallahu berada di sisi Ummu Salamah radhiallahu ‘anha. Beliau meletakkan Hasan di sisi beliau dan Husein di sisi yang lain. Sementara Fatimah berada di bagian depan rumah beliau. Beliau bersabda,
رَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الْبَيْتِ، إِنَّهُ حَمِيدٌ مَجِيدٌ”. وأنا وأمُّ سلمة -رضي الله عنها- جالستان
“Semoga Allah merahmati dan memberkahi kalian wahai ahlul baitku. Sesungguhnya Dia Maha Terpuji lagi Maha Mulia.”
Aku (Zainab) dan juga Ummu Salamah duduk. Kemudian ibuku, Ummu Salama, menangis. Rasulullah melihat ke arahnya dan bertanya, “Apa yang membuatmu menangis?” Ummu Salamah menjawab, “Anda mengkhususkan mereka dan meninggalkan aku dan putriku.” Nabi bersabda,
أَنْتِ وَابْنَتُكِ مِنْ أَهْلِ الْبَيْتِ
“Engkau dan putrimu juga termasuk ahlul baitku.” (HR. ath-Thabrani: al-Mu’jam al-Kabir 18/19).
Saat Rasulullah hendak menemui istri-istrinya, beliau memulainya dari Ummu Salamah radhiallahu ‘anha. Dari Aisyah radhiallahu ‘anha, ia berkata, “Merupakan kebiasaan Rasulullah apabila usai shalat ashar beliau menemui istri-istrinya. Satu per satu. Ia mulai dari Ummu Salamah, karena ialah yang paling senior. Dan beliau tutup dengan mengunjungiku.” (ash-Shalihi asy-Syami: Subul al-Huda wa ar-Rasyad, 11/170).
Ummu Salamah adalah seorang wanita yang baik dan menjaga kehormatan diri. Ia memiliki kedudukan istimewa di sisi Rasulullah. Anak-anaknya dididik di rumah nabi. Pernikahannya dengan Nabi memiliki hikmah yang agung. Saat ia tengah sendiri setelah wafanya Abu Salamah. Tak memiliki keluarga dan pelindung. Ia dan suaminya adalah seorang yang berjuang untuk dakwah dengan segala yang mereka miliki, baik harta maupun jiwa. Pernikahannya dengan Nabi adalah pengganti dari semua kebaikan yang hilang darinya.
Rasulullah memuliakan Ummu Salamah dan suka memberinya hadiah. Saat menikahinya, Nabi berkata kepadanya,
إِنِّي قَدْ أَهْدَيْتُ إِلَى النَّجَاشِيِّ حُلَّةً وَأَوَاقِيَّ مِنْ مِسْكٍ، وَلا أَرَى النَّجَاشِيَّ إِلاَّ قَدْ مَاتَ، وَلا أَرَى إِلاَّ هَدِيَّتِي مَرْدُودَةً عَلَيَّ، فَإِنْ رُدَّتْ عَلَيَّ فَهِيَ لَكِ
“Sesungguhnya aku memberi an-Najasyi suatu perhiasan dan sejumlah misik. Tapi sekarang an-Najasyi telah wafat. Dan aku memandang hadiah tersebut kembali kepemilikannya kepadaku. Seandainya hadiah itu kembali padaku, akan kuberikan padamu.”
Apa yang diucapkan Rasulullah benar terjadi. Beliau memberi masing-masing istri beliau satu uqiyah misik. Dan memberi Ummu Salamah sisa semuanya ditambah perhiasan (HR. Ahmad 27317).
Kecerdasan Ummu Salamah
Di antara keutamaan Ummu Salamah radhiallahu ‘anha, beliau menjadi sebab langsung turunnya beberapa ayat Alquran. Dari Mujahid, Ummu Salamah berkata,
يا رسول الله، تغزو الرجال ولا نغزو، وإنما لنا نصف الميراث. فنزلت: {وَلاَ تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ} [النساء: 32]، ونزلت: {إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ…} [الأحزاب: 35].
“Wahai Rasulullah, laki-laki turut serta dalam perang (jihad) sementara kami tidak. Kami disifati sebagai warisan. Kemudian Allah menurunkan firman-Nya,
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan…” [Quran An-Nisa: 32].
Mujahid rahimahullah berkata, “Saat itu diturunkanlah ayat:
إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim.” [Quran Al-Ahzab: 35].
Saat itu Ummu Salamah merupakan wanita pertama yang tiba di Madinah (al-Qurthubi: al-Jami’ al-Ahkam al-Quran, 5/162).
Ummu Salamah berkata, “Wahai Rasulullah, berkaitan dengan hijrah, kami belum mendengar Allah menyebutkan sedikit pun tentang perempuan. Kemudian Allah menurunkan firman-Nya:
فَاسْتَجَابَ لَهُمْ رَبُّهُمْ أَنِّي لَا أُضِيعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِّنكُم مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ ۖ بَعْضُكُم مِّن بَعْضٍ ۖ فَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَأُخْرِجُوا مِن دِيَارِهِمْ وَأُوذُوا فِي سَبِيلِي وَقَاتَلُوا وَقُتِلُوا لَأُكَفِّرَنَّ عَنْهُمْ سَيِّئَاتِهِمْ وَلَأُدْخِلَنَّهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ ثَوَابًا مِّنْ عِندِ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عِندَهُ حُسْنُ الثَّوَابِ
Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. Dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik”. [Quran Ali Imran: 195].
Ummu Salamah dan Buah Perjanjian Hudaibiyah
Saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menandatangani perjanjian Hudaibiyah, beliau berkata kepada para sahabatnya,
قُومُوا فَانْحَرُوا، ثُمَّ احْلِقُوا
“Berdirilah dan semebelihlah hewan kurban kalian. Setelah itu gundulilah kepala kalian.”
Tak ada seorang pun dari mereka yang melaksanakan perintah nabi. Hingga beliau merasa perlu mengulangi perintahnya sampai tiga kali. Walaupun demikian, masih belum ada yang melakukannya. Karena mereka berat dengan putusan Perjanjian Hudaibiyah, dan mereka masih berharap Rasulullah berubah pikiran atau turun wahyu kepada beliau. Melihat keadaan itu, Nabi pun masuk ke tenda menemui istrinya, Ummu Salamah. Beliau ceritakan keadaan para sahabatnya kepada istrinya. Ummu Salamah merespon curahan hati beliau dengan mengatakan,
يا نبي الله أتحبُّ ذلك؟ اخرج ثم لا تكلِّم أحدًا منهم كلمة حتى تنحر بُدْنَك وتدعو حالقك فيحلقك
“Wahai Nabi Allah kalau Anda mau, keluarlah tanpa berbicara dengan seorang pun dari mereka. Kemudian sembelihlah hewan Anda. Panggil tukang cukur Anda, dan cukurlah rambut Anda.”
Nabi pun keluar tanpa berbicara sepatah kata pun kepada mereka hingga beliau melakukan apa yang dianjurkan Ummu Salamah. Beliau semebelih hewannya. Memanggil tukang cukurnya dan mencukur rambutnya. Saat melihat beliau melakukan itu, para sahabat pun berdiri dan menyembelih hewan mereka. Sebagian mereka mencukur sebagian yang lain. Mereka sibuk melakukan yang demikian (Ibnu Katsir: as-Sirah an-Nabawiyah, 3/334).
Para sahabat sadar bahwa keputusan beliau tak lagi berubah. Dan tidak turun wahyu tentang hal ini. Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Anjurannya kepada nabi pada hari Hudaibiyah ini menunjukkan kecerdasan akalnya dan benarnya pandangannya.” (Ibnu Jakar al-Asqalani: al-Ishobah fi Tamyiz ash-Shahabah 8/224).
Hadits yang Diriwayatkan Ummu Salamah
Adz-Dzahabi menyebutkan bahwa Ummu Salamah meriwayatkan sejumlah 380 hadits. Yang disepakati al-Bukhari dan Muslim ada 13 hadits. Al-Bukhari saja, 3 hadits. Muslim saja, 13 hadits. Beliau meriwayatkan hadits-hadits tentang bimbingan dan pendidikan untuk muslimah. Terdapat juga hadits bahwa nabi menciumnya saat nabi sedang berpuasa. Ada pula hadits tentang ia mandi junub bersama nabi dari satu wadah air. Nabi pernah tidur bersamanya dalam satu selimut. Nabi mengunjunginya saat ia sedang haid. Nabi bertanya, “Apakah engkau mengalami nifas?” Ummu Salamah, “Benar.” Beliau bersabda, “Berdirilah, bersihkanlah dirimu. Kemudian kembalilah ke sini.” Aku mengganti bajuku dan kupakai pakaian haidku. Kemudian aku kembali bersamanya di dalam selimut.” (Muhibbuddin ath-Thabari: as-Samthu ats-Tsamin, Hal: 142-143).
Setelah Nabi Wafat
Setelah nabi wafat, Ummu Salamah radhiallahu ‘anha banyak ambil peranan dalam peristiwa-peristiwa di masanya. Ia pernah menemui Amirul Mukminin Utsman bin Affan dan berkata padanya,
“ما لي أرى رعيَّتك عنك نافرين، ومن جناحك ناقرين، لا تُعَفِّ طريقًا كان رسول الله لَحَبَهَا، ولا تقتدح بزند كان أكباه، وتوخَّ حيث توخَّى صاحباك -أبو بكر وعمر- فإنهما ثَكَمَا الأمر ثَكْمًا ولم يظلمَا، هذا حقُّ أمومتي أَقْضِيه إليك، وإن عليك حقَّ الطاعة. فقال عثمان: أمَّا بعد، فقد قلتِ فوعيتُ، وأوصيتِ فقبلتُ
“Menurutku rakyatmu tak akan lari. Orang-orang yang ada di sisimu akan tetap bersamamu. Jangan kau padamkan jalan yang telah diterangi Rasulullah. Jangan engkau memantik kekacauan. Jalinlah persaudaraan sebagaimana dua orang sahabatmu -Abu Bakar dan Umar-. Keduanya telah menjelaskan perkara dengan sejelas-jelasnya. Mereka berdua tidak menzalimi. Inilah kebenaran… Sesungguhnya engkau berhak ditaati.”
Utsman menjawab, “Sungguh engkau telah berkata dan aku memahaminya. Engkau telah menasihati dan aku menerimanya.” (Min A’lamin Nisa, Hal: 190).
Wafat
Ummul Mukminin Ummu Salamah radhiallahu ‘anha wafat pada masa pemerintahan Yazid bin Muawiyah. Tepatnya di tahun 61 H sebagaimana disebutkan Ibnu Hibban. Saat itu usianya 84 tahun. Ada pula yang menyebutkan bahwa usia beliau mencapai 90 tahun. Semoga Allah meridhai beliau (Ibnu Hajar: Tadzhib at-Tadzhib, 12/483).
Oleh Nurfitri Hadi (@nfhadi07)
Read more: https://kisahmuslim.com/