Type Here to Get Search Results !

KONDISI PERADABAN DI ERA ABBASYIYAH AWAL

Artikel ini membahas peradaban di era Abbasiyah periode awal. Bagaimana kondisi kerajaan besar Islam ini dalam politik, administrasi, ekonomi, tata kota, dunia pemikiran dan intelektual. Periode awal Abbasiyah sendiri berlangsung selama satu abad. Dari 132 H (749 M) – 232 H (847 M). Ini adalah periode keemasan Abbasiyah. Dan para khalifah berkuasa penuh dalam urusan agama dan dunia.

Para khalifah di era keemasan ini adalah:

1. Abul Abbas Abdullah as-Safah. Ia adalah khalifah pertama Abbasiyah. Kekuasaannya berlangsung 132 H (749 M) – 136 H (753 M),

2. Al-Mansur 136 H (753 M) – 158 H (775 M),

3. Al-Mahdi 158 H (775 M) – 169 H (785 M),

4. Al-Hadi 169 H (785 M) – 170 H (786 M),

5. Harun al-Rasyid 170 H (786 M) – 193 H (809 M),

6. Al-Amin 193 H (809 M) – 198 H (813 M),

7. Al-Makmun 198 H (813 M) – 218 H (833 M),

8. Al-Mu’tashim 218 H (833 M) – 227 H (842 M),

9. Al-Watsiq 227 H (842 M) – 232 H (847 M).

Artikel ini penulis bagi menjadi dua tulisan. Tulisan pertama menjelaskan bagaimana system politik dan administrasi di era Abbasiyah awal.

Menajemen Politik dan Administrasi

  • Pertama: Kekhalifahan

Orang-orang Abbasiyah mendirikan negara mereka pada tahun 132 H/749 M. Dengan khalifah pertama Abul Abbas Abdullah bin Muhammad as-Safah. Ia memimpin selama empat tahun. Sebelum wafat, ia berjanji kepada saudaranya Abu Ja’far al-Manshur, untuk menjadi suksesornya. Dan setelah Abu Ja’far adalah Isa bin Musa. Demikianlah ketetapan yang telah diberi stempel tersebut ditulis. Kemudian surat tersebut ia serahkan kepada Isa bin Musa.

Dari sini kita bisa mengetahui bahwa mewariskan kepemimpinan sudah menjadi tradisi sejak khalifah pertama Abbasiyah. Pemimpin berikutnya tidak harus anak yang penting ia berasal dari klan Abbasiyah. Kebanyakan khalifah Abbasiyah memberi wasiat lebih dari satu orang. Hal inilah yang menyebabkan perpecahan dan situasi politik dalam kerajaan cenderung tidak stabil.

Saat Abu Ja’far al-Manshur menjabat khalifah, ia mendapat penentangan dari pamannya, Abdullah bin Ali. Sang paman menolak membaiatnya. Bahkan ia mentahbiskan dirinya sendiri sebagai khalifah. Abdullah bin Ali beralasan bahwa dialah yang menjabat sebagai putra mahkota khalifah sebelumnya, Abul Abbas. Klaim Abdullah bin Ali ini memaksa al-Manshur mengerahkan kekuatan militernya untuk menghadapi sang paman. Pasukan al-Manshur yang dipimpin oleh Abu Muslim al-Khurasani pun berhasil menumpas pemberontakan itu. Abdullah bin Ali berhasil ditangkap.

Kemudian al-Manshur mengganti putra mahkotanya yang sebelumnya dijabat oleh anak saudaranya yaitu Isa bin Musa menjadi Muhammad, putranya sendiri. Kemudian pada tahun 158 H/775 M, Muhammad menjabat khalifah setelah sang ayah. Ia digelari dengan al-Mahdi. Muhammad terus menjabat sebagai khalifah hingga ia wafat pada tahun 169 H/785 M. Ia menunjuk putranya, Musa, sebagai khalifah. Dan ia digelari dengan al-Hadi. Namun putranya hanya menjabat khalifah selama satu tahun. Setelah itu naik tahtalah saudaranya sendiri, yaitu khalifah yang shaleh, Harun al-Rasyid.

Di era al-Rasyid, persaingan merebut tahta kekhalifahan seolah-olah menjadi ciri politik Abbasiyah awal ini. Setelah al-Rasyid mangkat, terjadi perebutan kekuasaan antara al-Amin dan al-Makmun. Yang berakhir dengan terbunuhnya al-Amin. Dan naik tahtalah al-Makmun.

  • Kedua: Kementerian

Menteri adalah jabatan prestisius dalam kekhalifahan. Ia menduduki posisi kedua setelah khalifah. Para ulama membagi kementerian ini menjadi dua bentuk: kementerian koordinator dan kementerian pelaksan. Kementerian koordinator diberi otoritas oleh khalifah untuk mengelola negara dengan pemikirannya sendiri. Ia memiliki otoritas yang independen dalam menentukan kebijakan bagian yang ia kelola. Sementara kementerian pelaksana mereka menjadi perantara khalifah dengan rakyat. Mereka hanya melaksanakan apa yang diperintahkan khalifah.

Di awal pemerintahan Abbasiyah, sistem kementerian mereka banyak terpengaruh dengan sistem kementerian Persia. Jabatan menteri memiliki wewenang yang tidak jauh dari juru tulis. Abu Ja’far al-Manshur membatasi peranan dan gerak-gerik menterinya. Dan ia tidak memiliki menteri yang langgeng dengan jabatannya selama pemerintahannya. Di antara menterinya adalah ar-Rabi’ bin Yunus. Seorang menteri yang terkenal dengan keunggulan dalam diplomasi dan kecerdasan. Dalam cakapnya kemampuan menajerial dan politik.

Berbeda dengan masa Khalifah al-Mahdi. Di masanya justru para menteri terlihat begitu menonjol. Dan masa pemerintahannya relatif lebih stabil. Di antara Menteri-menteri yang menonjol di masanya adalah Ya’qub bin Dawud.

Kemudian di masa Harun al-Rasyid dan al-Makmun, para menteri memiliki peranan yang lebih besar. Keduanya terlihat begitu mengandalkan keluarga Barmaki dan keluarga Sahl. Yahya al-Barmaki adalah menteri al-Rasyid. Dan Fadhl bin Sahl adalah menteri al-Makmun. Keduanya diberikan otoritas yang luas dalam pemerintahan. Sehingga akses mereka menjangkau seluruh fasilitas negara. Dan akhirnya menimbulkan pengkhianatan besar. Keduanya pun disingkirkan.

  • Ketiga: Sekretariat Negara

Sekretaris negara memiliki peranan besar dalam Daulah Abbasiyah. Mereka adalah orang-orang yang berilmu dan berwawasan luas. Karena merekalah yang mencetak surat tentang kebijakan politik negara, baik urusan dalam negeri maupun luar negeri. Mereka juga yang menerbitkan kebijakan yang mengatur urusan masyarakat. Mereka duduk berdekatan dengan khalifah untuk merekam kebijakan khalifah. Kemudian menuangkannya dalam bentuk surat dan distempeli oleh khalifah.

Sekretaris negara yang paling terkenal di periode awal Abbasiyah adalah Yahya bin Khalid bin Barmaki. Ia menjabat di masa Harun al-Rasyid. Kemudian Fadhl dan Hasan. Keduanya adalah putra Sahl. Sekretaris lainnya adalah Yusuf. Ketiganya menjabat di masa Al-Makmun. Lalu ada Muhammad bin Abdul Malik az-Zayyat, Hasan bin Wahb, dan Ahmad bin al-Mudabbir di masa pemerintahan al-Mu’tashim dan al-Watsiq.

  • Keempat: Hijabah

Hijabah berperan membantu para pemimpin dalam menjembatani hubungan mereka dengan rakyatnya. Jadi, hijabah semacam humasnya Daulah Abbasiyah. Mereka mempelajari hajat-hajat para rakyat. Membantu mereka untuk bertemu dengan khalifah. Atau menolak mereka yang ingin bertemu karena dianggap tidak memiliki alasan yang cukup. Mereka menjaga wibawa khalifah. Mengatur mana masalah yang layak diajukan ke khalifah dan mana yang tidak. Dalam hal ini, orang-orang Abbasiyah meniru orang-orang Umawiyah.

  • Kelima: Pemimpin Daerah

Dalam Daulah Abbasiyah, pemimpin daerah otonom mengatur wilayah mereka masing-masing. Hal ini berbeda dengan Umawiyah yang pemerintahannya adalah sentralisasi pemerintahan pusat.

Abbsiyah membagi wilayah-wilayah mereka menjadi dua region. Khususnya di masa pemerintahan al-Rasyid. Ada yang dinamakan al-Wilayah al-Kubra. Wilayah ini dipimpin oleh anak-anak khalifah. Atau seseorang yang memiliki kedekatan khusus dengan khalifah. Mereka membawahi beberapa wilayah dan mereka atur dari ibu kota wilayah tersebut. Atau dari wilayah tersebut setelah mendapat perintah khalifah. Yang kedua adalah al-Wilayah al-Kamilah. Dalam bentuk kedua ini, para wali bekerja dengan bantuan pemimpin daerah di bawahnya lagi. Untuk mengatur perihal kewajiban warga negara, mengumpulkan pajak, menjaga keamanan, mengimami shalat, dan memimpin pasukan perang.

  • Keenam: Diwan

Diwan adalah suatu badan yang mengurusi administrasi negara. Ia memiliki peranan besar dalam mengatur keuangan negara. Dari mana pemasukan dan untuk apa dikeluarkan. Mengatur anggaran militer dan jabatan mereka. Dan di masa Abbasiyah, orang yang paling terkenal mengurusi hal ini adalah Khalid bin Barmaki

Para khalifah Abbasiyah menaruh perhatian besar kepada diwan ini. Peranan mereka banyak. Mereka juga menjadi jalan kerja sama antara Abbasiyah dan Persia. Dan memang Abbasiyah banyak belajar administrasi dari pengalaman Persia dan juga Umawiyah. Khususnya dalam permasalahan diwan ini.

  • Ketujuh: Hakim

Hakim memiliki peranan yang urgen dalam daulah Islamiyah. Mereka bertugas menjaga hak dan menegakkan keadilan di tengah masyarakat. Dengan hukumnya yang adil, akan terjagalah akhlak masyarakat. Dan tidak mungkin terwujud keadilan kecuali hukum-hukum tersebut bersumber dari Alquran dan sunnah. Itulah yang berlaku di era ini.

Karena hukum negara berdasarkan Alquran dan sunnah, yang menempati pos hakim ini haruslah para ulama. Syarat berikutnya, mereka harus memiliki kecerdasan dan logika yang kuat. Seorang yang merdeka tidak terikat kepentingan manapun. Dan juga seorang yang adil. Di masa ini, para hakim memiliki kedudukan yang terhormat dan mulia. Pengangkatan dan pencopotan mereka diatur berdasarkan perintah khalifah. Dan yang pertama melakukan hal demikian adalah Khalifah al-Manshur. Ia menunjuk hakim pada tahun 136 H/753 M.

Masa Abbasiyah adalah masa dimana madzhab fikih sudah cukup mapan. Hal ini sangat membantu untuk mengatur tugas hakim, prosedur peradilan, dan standardisasi hukum. Karena para hakim juga merupakan ulama, peradilan pun bisa berjalan di dalam masjid. Khususnya di masa Khalifah Makmun.

Para khalifah Abbasiyah sangat perhatian terhadap kualitas dari sebuah vonis hukum. Untuk mewujudkan vonis hukum yang benar-benar adil, mereka membentuk suatu badan yang orang-orang di dalamnya bertugas meneliti keadaan para saksi. Dan dari sisi para pengadil, negara menjamin kemakmuran para hakim. Hal ini dilakukan untuk mencegah suap.

Lembaga peradilan ini dibuat di ibu kota. Para hakimnya dipilih dan diseleksi dari berbagai wilayah. Dan seorang yang pertama kali disebut sebagai Hakim Agung adalah Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim. Penulis kitab al-Kharaj di masa Harun al-Rasyid.

Referensi: https://islamstory.com/ar/artical/21215/الاوضاع-الحضارية-في-العصر-العباسي-الاول?fbclid=IwAR1a2-FaLgoYtxZFc3Rcpm76ZwvNHNDbqxxfAG1avSRIlqUovCx-bLBqgz4

Sumber Pertama

Kondisi Perekonomian dan Penduduk

Para khalifah Abbasiyah mengetahui pentingnya menajemen pada sektor perekonomian, pengembangan sumber daya, dan kas negara untuk memenuhi pos-pos kebutuhan negara. Khalifah Al-Manshur menyusun beberapa kebijakan untuk mengembangkan sumber daya. Di antaranya, ia membuat kebijakan baru yang menjadi acuan dalam mengelola kas negara saat terjadi pembeontakan melawan kekuasaannya. Ia juga memperhatikan tentang penerapan pajak di sebagian wilayah.

Di masa ar-Rasyid, kondisi perekonomian dan kas negara sangat sehat. Kualitas kehidupan masyarakat pun tinggi. Hal ini disebabkan surplusnya kas negara di Baghdad dan banyaknya sumber keuangan negara. Di antaranya dari zakat, kharaj, jizyah, logam mulia, perdagangan luar negeri yang menguntungkan, dll. Dengan sehatnya ekonomi, dunia militer dan pembangunan pun kecipratan berkahnya. Belanja militer negara pun semakin besar. Sehingga semakin kuat pula militer. Demikian juga pembangunan menjadi pesat dan kota-kota menjadi berkembang.

Kota Baghdad

Awalnya, di masa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan khulafaur rasyidun ibu kota negara Islam adalah Kota Madinah. Kemudian di masa Bani Umayyah pindah ke Damaskud, Suriah. Karena basis pendukung Bani Umayyah ada di sana. Di masa Abbasiyah, ibu kota negara awalnya di daerah Hasyimiyah. Kemudian pindah ke Baghdad. Pemindahan ini terjadi pada masa pemerintahan Abu Ja’far al-Manshur. Di antara alasan pemindahan ibu kota ini adalah:

1. Pemberontakan Ruwandiyah pada tahun 141 H/758 M. Pemberontakan ini bahkan sampai mengancam jiwa Khalifah al-Manshur. Inilah yang menyebabkan al-Manshur berpikir serius untuk memindahkan ibu Kota Abbasiyah dari Hasyimyah menuju Baghdad. Apalagi Hasyimiyah bukanlah wilayah yang terlindungi oleh benteng yang kokoh.

2. Hasyimiyah adalah ibu kota sementara dari Daulah Abbasiyah. Lokasinya berdekatan dengan Kufah yang merupakan pusat Syiah. Tentu hal ini menjadi ancaman serius bagi orang-orang Abbasiyah.

3. Keinginan pribadi dari al-Manshur untuk membuat ibu kota baru sebagai legasinya.

Ada beberapa tahap seleksi dalam pemilihan ibu kota baru. Hingga akhirnya terpilihlah Baghdad. Di antara alasan yang membuat Baghdad terpilih sebagai ibu kota adalah:

1. Baghdad berlokasi dekat dengan Khurasan yang merupakan tempat munculnya gerakan Abbasiyah. Selain itu Baghdad juga dekat dengan wilayah Arab. Dan jauh dari pusat-pusat konflik dengan Romawi.

2. Baghdad terletak di antara dua sungai besar; Eufrat dan Tigris. Kedua sungai ini bisa menjadi benteng ibu kota.

3. Baghdad memiliki jalur perdagangan yang strategis. Letaknya di tengah Irak membuat kota ini memiliki jarak yang sama antara Bashrah dan Mosul. Dan menjadi pelintasan para pedagang Arab yang hendak menuju Syam. Kondisi ini menjadikan Baghdad sebagai pusat perekonomian, baik darat maupun perairan

4. Jalur menuju Baghdad adalah jalur yang landai dan terbuka. Memudahkan orang-orang Arab dan kaum muslimin untuk berangkat menuju kota tersebut.

Al-Manshur memulai membangun Kota Baghdad pada tahun 145 H/762 M. Kota ini dirancang dengan bentuk melingkar. Dikelilingi pagar benteng. Dan memiliki empat pintu kota. Pembangunannya menghabiskan dana sebesar 18 juta Dirham. Lalu nama Baghdad diganti dengan Darus Salam. Namun nama Baghdad sudah kadung populer sejak dulu, hingga nama Darus Salam sulit menggantikannya.

Kota Samarra

Kota Samarra adalah salah satu kota yang istimewa di masa Abbasiyah. Ada yang mengatakan Samarra adalah kependekan dari Surra man Ra-a yang artinya membuat senang orang yang melihatnya. Sebagai gambaran dari indahnya kota ini. Kota ini dibangun oleh Khalifah al-Mu’tashim Billah pada tahun 221 H/836 M. Kemudian ia jadikan kota ini sebagai ibu kota menggantikan Baghdad. Yang mendorong al-Mu’tashim menjadi Samarra sebagai ibu kota baru adalah friksi antara dirinya dengan tantara Turki di Baghdad. Perseteruan tersebut mengakibatnya banyak jatuh korban dari penduduk Baghdad. Terutama para wanita, anak-anak, dan orang tua. Inilah yang mendorongnya untuk memindahkan ibu kota 60 mil di Utara Baghdad.

Kehidupan Ilmiyah

Periode Abbasiyah awal adalah masa kebangkitan besar ilmu pengetahuan dengan berbagai macam cabangnya. Ini merupakan hasil dari perluasan wilayah Abbasiyah, melimpahnya kekayaannya, dan suksesnya perdagangannya, sehingga para khalifah bisa mengalihkan kebijakan mereka pada perkembangan ilmu pengetahuan.

Dilihat dari sumber didapatkannya, ilmu umat Islam terbagi menjadi dua:

1. Ilmu yang berkaitan dengan Alquran. Yaitu ilmu syariat. Ilmu ini meliputi ilmu tafsir, ilmu qira-at, ilmu hadits, fikih, nahwu, mantiq, ilmu bayan, dan sastra.

2. Ilmu yang didapatkan orang Arab dari masyarakat non Arab. Yaitu ilmu-ilmu pasti dan humaniora. Seperti: filsafat, teknik, astrologi, ilmu kedokteran, kimia, sejarah, dan geografi.

Di masa-masa awal perkembangan ilmu pengetahuan ini, masjid memiliki peranan penting dalam menyebarkan ilmu. Terdapat halaqah-halaqah keilmuan di masjid yang bisa diakses dengan mudah oleh masyarakat. Khususnya ilmu syariat. Karena itu, masa Abbasiyah ini dinilai sebagai puncak perkembangan ilmu syariat dan ilmu dunia.

Perkembangan Ilmu Hadits

Di masa ini, para ahli hadits tidak hanya perhatian terhadap hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa salla, tapi mereka juga mulai meneliti atsar para sahabat. Di antara rijalul hadits yang terkenal di zaman ini adalah Hammad bin Salamah (w 165 H), Sufyan bin Uyainah di Mekah (w 198 H), Waki’ bin al-Jarah di Kufah (w 196 H), Abdullah bin al-Mubarak (w 181 H), Sufyan ats-Tsauri di Kufah (w 161 H), Abdurrahman al-Auza’i di Syam (w 157 H), Abdul Malik bin Juraih (w 150 H), Muammar bin Rasyid di Yaman (w 153 H), Saud bin Abu Urwabah di Bashrah (w 156 H), dan Malik bin Anas di Madinah.

Buku paling terkenal pada cabang ilmu ini adalah al-Muwatta yang ditulis oleh Imam Malik, imam darul hijrah, al-Madinah an-Nabawiyah. Ada beberapa kisah yang melatar-belakangi Imam Malik menamai bukunya dengan al-Muwatta. Di antaranya, diriwayatkan bahwa Khalifah Abu Ja’far al-Manshur datang menemui Imam Malik di musim haji. Ia berdiskusi banyak hal dengan beliau terkait ilmu agama. Kemudian ia berkata, “Hai Abu Abdullah, tidak ada lagi orang yang lebih ‘alim dari diriku dan dirimu. Adapun aku disibukkan dengan urusan kekhalifahan. Karena itu, kumpulkan dan susunlah ilmu ini. Wath-thi’hu (buatkan) untuk orang-orang tawthi-atan (pengantar). Yang di dalamnya menjauhkan dari kesulitan Abdullah bin Umar, ringkasan Abdullah bin Abbas, faidah Abdullah bin Mas’ud. Buatlah buku yang menghimpun masalah-masalah yang tidak terlalu berat. Yang telah disepakati oleh para imam dan para sahabat radhiallahu ‘anhum.” Imam Malik rahimahullah merasa tidak mampu melakukan itu. Lalu beliau menghimpun kitab yang menghimpun hadits-hadits dalam fikih. Dan buku tersebut dinamai al-Muwatta.

Perkembangan Ilmu Tafsir

Ilmu tafsir juga menjadi ilmu yang mapan di masa Daulah Abbasiyah. Sebelumnya, tafsir tidak tersusun rapi. Tafsir hanya terdiri dari catatan ayat-ayat pendek yang tidak tersusun antara satu ayat dan surat sebagaimana susunan Alquran. Kecuali tafsir Ibnu Abbas. Ahli tafsir di masa Abbasiyah awal ini adalah Muqatil bin Sulaiman al-Azdi (w 150 H) dan Ibnu Ishaq (w 151 H). namun sayang, tafsir keduanya tidak sampai kepada kita di zaman sekarang.

Perkembangan Ilmu Fikih

Cabang ilmu syariat lainnya yang berkembang pesat di zaman ini adalah ilmu fikih. Di masa itu dikenal ada dua kelompok besar fikih yang sering diistilahkan dengan madrasah. Ada dua madrasah yang terkenal di zaman itu. Pertama, madrasah ahlu ar-ra’yi di Irak dengan tokohnya Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit (w 150 H). Kemudian digantikan muridnya, Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim (w 182 H) dan Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani (w 189 H).

Yang kedua adalah madrasah ahlul hijaz dengan tokohnya Imam Malik bin Anas. Madrasah ini disebut juga dengan madrasah ahlul hadits. Kemudian muncul tokoh berikutnya, Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i (w 204 H). Beliau menggabungkan dua madrasah ini. Beliau mengkombinasikan dua metode ini untuk memahami sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ilmu Kalam

Selain ilmu syariat, di masa Abbasiyah awal ini juga berkembang pesat ilmu kalam. Mulailah agama dan akidah diperdebatkan oleh orang-orang mutakallim ini. Dan di antara kelompok yang paling populer di masa itu adalah Mu’tazilah. Kemudian Murji-ah, Rafidhah, dan Syiah. Ajaran Nasrani dan Yahudi pun turut mengalami perkembangan. Tokoh Mu’tazilah yang paling terkenal adalah Washil bin Atha (w 131 H), Amr bin Ubaid (w 145 H), Bisyr bin al-Mu’tamar (w 210 H), Tsumamah bin Asydad (w 213 H), dan Abu Hudzail al-Alaf (w 227 H).

Perkembangan Ilmu Bahasa Arab

Masa ini juga menjadi saksi perkembangan ilmu bahasa. Di antara ulama bahasa di zaman itu adalah Abu Amr bin Ala’ (w 154 H), Khalf al-Ahmar (w 180 H), al-Ashma’I (w 213 H), Abu Zaid al-Anshari penulis buku an-Nawadir (w 214 H), Abu Ubaidah penulis Naqa-idh Jarir wa al-Farazdaq (w 210 H), Muhammad bin Salam al-Jumahi dan Hammad ar-Rawiyah (w 155 H), al-Mufdhil adh-Dhabi dan Abu Amr asy-Syaibani (w 206 H), dan Abu Ubaid al-Qasim bin Salam (w 224 H).

Dalam ilmu Nahwu ada tokoh-tokoh semisal Isa bin Umar ats-Tsaqafi (w 149 H), al-Khalil bin Ahmad dialah yang disebut-sebut perumus sebenarnya dari ilmu nahwu (w 170 H), Sibaweih (w 180 H), Muadz bin Muslim al-Harra (w 187 H), al-Kisa-i (w 189 H), dan al-Farra (w 207 H).

Penulisan Sirah Nabi dan Sejarah Umat Islam

Kebanyakan ahli bahasa dan nahwu juga merupakan penulis sirah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. yang paling terkenal di antara mereka adalah Muhammad bin Ishaq (w 151 H), Ibnu Hisyam (w 213 H), Muhammad bin Umar al-Waqidi (w 207 H), dan Muhammad bin Saad penulis ath-Thabaqat (w 230 H).

Penulisan sejarah juga semarak di zaman ini. Yang paling terkenal adalah Muhammad bin al-Husein bin Zabalah dan Abu Mukhnif Luth bin Yahya al-Azdi (w 157 H), Saif bin Umar at-Tamimi (w 180 H), Hisyam bin Muhammad al-Kalbi (w 204 H), dan al-Madaini (w 225 H).

Para Penyair

Di masa ini juga banyak terdapat penyair-penyair hebat seperti Basyar bin Bard (w 168 H), Abu Nuwas al-Hasan bin Hani’ (w 195 H), Abu al-Itahiyah (w 211 H), Muslim bin al-Walid (w 208 H), dan Abu Tamam Hubaib bin Aus (w 231 H).

Sajak dan prosa (natsr) juga tak kalah berkembang di zaman ini. Hal ini dikarenakan pengaruh budaya Yunani, Persia, dan India yang memang terkenal dalam ilmu ini. Cabang ilmu sajak dan prosa yang terpenting di zaman ini adalah khotbah dan nasihat. Kemudian diskusi, surat resmi (perjanjian dan wasiat), korespondensi, dan sastra.

Gerakan Terjemah

Harun al-Rasyid termasuk khalifah yang paling bersemangat dalam mengembangkan ilmu pengetahuan di masa Abbasiyah awal. Ia membangun perpustakaan besar yang ia namai dengan Baitul Hikmah. Di dalam Baitul Hikmah, ia himpun para penulis, para penerjemah, dan penyalin naskah. Yang paling terkenal di antara mereka adalah Sahl bin Harun, al-Husein bin Sahl, dan Fadhl bin Naubakhti. Mereka adalah pengalih bahasa Persia ke bahasa Arab. Kemudian ada Hunain bin Ishaq, Yuhana al-Bithriq, dan Yuhana bin Masaweh. Mereka merupakan penerjemah dari bahasa Yunani dan Suryani ke bahasa Arab.

Di masa al-Makmun gerakan terjemah kian menggeliat. Sejumlah ilmu dalam bahasa non Arab ditranslet ke bahasa Arab. Ia mengirim utusan ke Konstantinopel untuk mendatangkan karya tulis di bidang filsafat, Teknik, music, dan kedokteran.

Di masa itu tidak hanya khalifah yang memiliki semangat dan perhatian untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, semangat serupa juga dimiliki oleh orang-orang kaya. Mereka memberi motivasi bagi siapa yang bisa menerjemah akan diberi sejumlah uang. Di antara orang-orang kaya tersebut adalah Muhammad, Ahmad, dan al-Hasan, ketiganya merukan putra dari Musa bin Syakir. Mereka menginfakkan sejumlah uang yang banyak untuk menerjemahkan buku-buku matematika. Mereka sangat berjasa dalam perkembangan ilmu Teknik, music, dan astronomi.

Upaya para penguasa dan orang-orang kaya ini pun disambut oleh para rakyat yang gemar belajar. Mereka bersemangat mempelajari buku-buku terjemah tersebut. Bahkan mereka yang tidak bersumbangsih dalam harta ini, berupaya memberi sumbangsih dari sisi pemikiran. Mereka memberi penjelasan dan catatan-catatan untuk buku-buku tersebut agar semakin mudah dipelajari. Mereka mengoreksi bagian-bagian yang keliru. Karena tidak ada buku yang bebas dari kesalahan. Di antara para cendekiawan ini adalah Ya’qub bin Ishaq al-Kindi. Ia menerjemah dan memberi penjelasan untuk buku-buku filsafat, kedokteran, ilmu hitung, mantiq, Teknik, dan astronomi.

Industri Kertas

Dengan semaraknya perkembangan ilmu pengetahuan dan gerakan terjemah ini memunculkan industri baru di dunia Islam, yaitu kertas. Karena kertas merupakan salah satu bahan pokok untuk menulis. Al-Fadhl bin Yahya al-Barmaki membuat pabrik kertas di Baghdad di masa pemerintah al-Rasyid. Semakin berkembanglah keilmuan di dunia Islam. setelah sebelumnya mereka menulis dengan mengandalkan kulit dan kertas yang dibuat dari daun papirus.

Sumber: Mausu’ah Safir li at-Tarikh al-Islami, jilid ke-3: al-Ashr al-Abbasi fi al-Iraq wa al-Masyriq yang ditulis oleh Hasan Ali Hasan dan Abdurrahman Salim.

Penulis: Oleh Nurfitri Hadi (IG: @nfhadi07)

Sumber: https://kisahmuslim.com/