Peristiwa-peristiwa Penting Menjelang Keruntuhan Khilafah Bani Abbasiyah
Bani Abbasiyah atau kekhalifahan Abbasiyah adalah kekhalifahan Islam kedua yang berkuasa di Baghdad (sekarang ibu kota Irak). Kekhalifahan ini berkembang pesat dan menjadikan dunia Islam sebagai pusat ilmu pengetahuan. Kekhalifahan ini berkuasa setelah merebutnya dari Bani Umayyah dan menundukkan semua wilayahnya kecuali Andalusia. Bani Abbasiyah adalah keturunan paman Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang termuda, yaitu Abbas bin Abdul Muththalib. Oleh karena itu, mereka juga termasuk Bani Hasyim. Kekhilafahan ini berkuasa mulai tahun 750 M dan memindahkan ibukota dari Dmaskus ke Baghdad. Berkembang selama dua abad, tetapi pelan-pelan meredup setelah naiknya bangsa Turki yang sebelumnya merupakan bagian dari tentara kekhalifahan yang mereka bentuk, dan dikenal dengan sebutan Mamluk. Selama 150 tahun berkuasa, kekhalifahan dipaksa untuk menyerahkan kekuasaan kepada dinasti-dinasti setempat, yang sering disebut amir atau sultan. Menyerahkan Andalusia kepada keturunan Bani Umayyah, Marocco dan Afrika keada Aghlabid dan Fathimiyyah. Kejatuhan totalnya pada tahun 1258 M disebabkan serangan bangsa Mongol yang dipimpin Hulaghu Khan yang menghancurkan Baghdad dan tak menyisakan sedikit pun dari pengetahuan yang dihimpun di perpustakaan Baghdad.
Bani Abbasiyah berhasil memegang kekuasan kekhalifahan selama tiga abad, mengonsolidasikan kembali kepemimpinan gaya Islam dan menyuburkan ilmu pengetahuan dan pengembangan budaya Timur Tengah. Tetapi pada tahun 940 M kekuatan kekhalifahan menyusut ketika orang-orang non-Arab, khususnya bangsa Turki (kemudian diikuti oleh Mamluk di Mesir pada pertengahan abad ke-13), mulai mendapatkan pengaruh dan mulai memisahkan diri dari kekhalifahan.
Khilafah Abbasiyah merupakan kelanjutan dari khilafah sebelumnya dari Bani Umayyah. Pendiri khilafah Abbasiyah adalah Abdullah al-Saffah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin al-Abbas. Pola pemerintahan yang diterapkan oleh Daulah Abbasiyah berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) s.d. 656 H (1258 M).
Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik, ahli sejarah membagi masa pemerintahan Daulah Abbasiyah menjadi lima periode:
– Periode Pertama (132 H/750 M -232 H/847 M), disebut periode pengaruh Arab dan Persia pertama.
– Periode Kedua (232 H/847 M -334 H/945 M), disebut periode pengaruh Turki pertama.
– Periode Ketiga (334 H/945 M – 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Bani Buwaih dalam pemeritnahan khilafah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua.
– Periode Keempat (447 H/1055 M – 590 H/1194 M), masa kekuasaan daulah Bani Seljuk dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah; biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua (di bawah kendali) Kesultanan Seljuk Raya (salajiqah al-Kubra/Seljuk Agung).
– Periode Kelima (590 H/1194 M – 656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Baghdad dan diakhiri oleh invasi bangsa Mongol.
Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbasiyyah mencapai masa keemasan. Secara politis, para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun setelah periode ini berakhir, pemerintahan Bani Abbas mulai menurun dalam bidang politik, meskipun ilmu pengetahuan terus berkembang.
Masa pemerintahan Abu al-Abbas, pendiri dinasti ini sangat singkat, yaitu dari tahun 750-754 M. Selanjutnya digantikan oleh Abu Ja’far al-Manshur (754-775 M), yang keras menghadapi lawan-lawannya terutama dari Bani Umayyah, Khawarij dan juga Syi’ah. Untuk memperkuat kekuasaannya, tokoh-tokoh besar yang mungkin menjadi saingannya disingkarkan satu-persatu. Abdullah bin Ali dan Shalih bin Ali, keduanya adalah pamannya sendiri yang ditunjuk sebagai gubernur oleh khalifah sebelumnya di Syria dan Mesir dibunuh karena tidak bersedeia membaiatnya. Al-Manshur memerintahkan Abu Muslim al-Khurasani melakukannya, dan kemudian menghukum mati Abu Muslim al-Khurasani pada tahun 755 M, karena dikhawatirkan akan menjadi pesaing baginya.
Pada mulanya ibu kota negara adalah al-Hasyimiyah, dekat Kufah. Namun, untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang baru berdiri itu, al-Manshur memindahkan ibu kota negara ke kota yang baru dibangunnya, Baghdad, dekat bekas ibu kota Persia, Ctesiphon, tahun 762 M. Dengan demikian, pusat pemerintahan dinasti Bani Abbas berada di tengah-tengah bangsa Persia. Di ibu kota yang baru ini al-Manshur melakukan konsolidasi dan penertiban pemerintahannya. Di antaranya dengan membuat semacam lembaga eksekutif dan yudikatif. Di bidang pemerintahan, dia menciptakan tradisi baru dengan mengangkat wazir (Perdana Menteri) sebagai koordinator dari kementrian yagn ada. Wazir pertama yang diangkat adalah Khalid bin Barmak, berasal dari Balkh, Persia. Dia juga membentuk lembaga protokol negara, sekretaris negara, dan kepolisian negara di samping membenahi angkatan bersenjata. Dia menunjuk Muhammad bin Abdurrahman sebagai hakim pada lembaga kehakiman negara. Jawatan pos yang sudah ada sejak masa dinasti. Bani Umayyah ditingkatkan peranannya dengan tambahan tugas. Kalau dulu hanya sekedar untuk mengantar surat. Pada masa al-Manshur, jawatan pos ditugaskan untuk menghimpun seluruh informasi di daerah-daerah sehingga administrasi kenegaraan dapat berjalan lancar. Para direktur jawatan pos bertugas melaporkan tingkah laku gubernur setempat kepada khalifah.
Khalifah al-Manshur berusaha menaklukkan kembali daerah-daerah yang sebelumnya membebaskan diri dari pemerintah pusat, dan memantapkan keamanan di daerah perbatasan. Di antara usaha-usaha tersebut adalah merebut benteng-benteng di Asia, kota Malatia, wilayah Coppadocia dan Cicilia pada tahun 756-758 M. Ke utara bala tentaranya melintasi pegunungan Taurus dan mendekati selat Bosphorus. Di pihak lain, dia berdamai dengan kaisar Constantine V dan selama gencatan senjata 758-765 M, Byzantium membayar upeti tahunan. Bala tentaranya juga berhadapan dengan pasukan Turki Khazar di Kaukasus, Daylami di laut Kaspia, Turki di bagian lain Oxus dan India.
Kalau dasar-dasar pemerintahan Daulah Abbasiyah diletakkan dan dibangun oleh Abul Abbas as-Saffah dan al-Manshur, maka puncak keemasan dari dinasti ini berada pada tujuh khalifah sesudahnya, yaitu al-Mahdi (775-785 M(, al-Hadi (775 -786 M), Harun ar-Rasyid (786-809 M), al-Ma’mun (813-833 M), al-Mu’tashim (833-842 M), al-Watsiq (842-847 M), dan al-Mutawakkil (847-861 M).
Pada masa al-Mahdi perekonomian mulai meningkat dengan peningkatan di sektor pertanian melalui irigasi dan peningkatan hasil pertambangan seperti perak, emas, tembaga, dan besi. Terkecuali itu dagang transit antara Timur dan Barat juga banyak membawa kekayaan. Bashrah menjadi pelabuhan yang penting.
Popularitas Daulah Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman Khalifah Harun ar-Rasyid (786-809 M) dan puteranya al-Ma’mun (813-833 M). Kekayaan negara banyak dimanfaatkan Harun al-Rasyid untuk keperluan sosial, dan mendirikan rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan farmasi. Pada masanya sudah terdapat paling tidak sekitar 800 orang dokter. Di samping itu, pemandian-peandian umum juga dibangun. Kesejahteraan, sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa inilah kekhalifahan Abbasiyah menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi.
Diambang Keruntuhan
Faktor yang menyebabkan peran politik Bani Abbasiyyah menurun adalah perebutan kekuasaan di pusat pemerintaham, dengan membiarkan jabatan tetap dipegang Bani Abbas, karena khalifah sudah dianggap sebagai jabatan keagamaan yang sakral dan tidak bisa diganggu gugat lagi, sedangkan kekuasaan dapat didirikan di pusat maupun daerah yang jauh dari pusat pemerintahan dalam bentuk dinasti-dinasti kecil yang merdeka. Hal ini sebenarnya juga terjadi pada pemerintahan-pemerintahan Islam sebelumnya. Tetapi, apa yang terjadi pada pemerintahan Abbasiyah berbeda dengan yang terjadi sebelumnya.
Pada masa pemeritnahan Bani Abbas, perebutan kekuasaan sering terjadi, terutama di awal berdirinya. Akan tetapi, pada masa-masa berikutnya, seperti terlihat pada periode kedua dan seterusnya, meskipun khalifah tidak berdaya, tidak ada usaha untuk merebut jabatan khilafah dari tangan Bani Abbas. Yang ada hanyalah usaha merebut kekuasaannya dengan membiarkan jabatan khalifah dari tangan Bani Abbas. Tentara Turki berhasil merebut kekuasaan tersebut. Di tangan mereka khalifah bagaikan boneka yang tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan merekalah yang memilih dan menjatuhkan khalifah sesuai dengan keinginan politik mereka. Setelah kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki pada periode kedua, pada periode ketiga (334-447 H/1055 M), Daulah Abbasiyah berada di bawah pengaruh kekuasaan Bani Buwaih yang berpaham Syi’ah.
Faktor-faktor yang penting yang menyebabkan kemunduran Daulah Bani Abbasiyah pada masa ini, sehingga banyak daerah memerdekakan diri, adalah:
Luasnya wilayah kekuasaan daulah Abbasiyyah sementara komunikasi pusat dengan daerah sulit dilakukan. Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya di kalangan para penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah.
Profesionalisasi angkatan bersenjata membuat ketergantungan khalifah kepada mereka sangat tinggi.
Keuangan negara sangat sulit karena biaya yang dikeluarkan untuk tentara bayaran sangat besar. Pada saat kekuatan militer menurun, khalifah tidak sanggup memaksa pengiriman pajak ke Baghdad.
Posisi-posisi penting negara dipercayakan kepada ahli bid’ah, khususnya jabatan wazir (perdana menteri) dan penasihat yang diserahkan kepada Syi’ah.
Penyakit wahan (cinta dunia dan takut mati) yang menguasa para penguasa dan jajarannya.
Kemerosotan Ekonomi
Khilafah Abbasiyah juga mengalami kemunduran di bidang ekonomi bersamaan dengan kemunduran di bidang politik. Pada periode pertama, pemerintahan Bani Abbas, merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang masuk lebih besar dari yang keluar, sehingga Baitul-Mal penuh dengan harta. Pertambahan dana yang besar diperoleh antara lain dari al-kharaj, semacam pajak hasil bumi.
Setelah khilafah memasuki periode kemunduran, pendapatan negara menurun sementara pengeluaran meningkat lebih besar. Menurunnya pendapatan negara itu disebabkan oleh makin menyempitnya wilayah kekuasaan, banyaknya terjadi kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat. Diperingannya pajak dan banyaknya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri, dan tidak lagi membayar upeti. Sedangkan pengeluaran membengkak antara lain disebabkan oleh kehidupan para khalifah dan pejabat semakin mewah. Jenis pengeluaran makin beragam dan para pejabat melakukan korupsi. Kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan perekonomian negara morat-marit. Sebaliknya, kondisi ekonomi yang buruk memperlemah kekuatan politik Dinasti Abbasiyah kedua, faktor ini saling berkaitan dan tak terpisahkan.
Munculnya Aliran-aliran Sesat dan Fanatisme Kesukuan
Fanatisme keagamaan berkaitan erat dengan persoalan kebangsaan. Karena cita-cita orang Persia tidak sepenuhnya tercapai, kekecewaan mendorong sebagaian mereka mempropagandakan ajaran Manuisme, Zorvasterisme, dan Mazdakisme. Munculnya gerakan yang dikenal dengan gerakan Zindiq ini menggoda rasa keimanan para khalifah. Al-Manshur berusaha keras memberantasnya, bahkan al-Mahdi merasa perlu mendirikan jawatan khusus untuk mengawasi kegiatan orang-orang zindiq dan melakukan mihnah dengan tujuan memberantas bid’ah. Akan tetapi, semua itu tidak menghentikan kegiatan mereka.
Konflik antara Ahlussunnah dengan golongan Zindiq berlanjut mulai dari bentuk yang sangat sederhana seperti polemik tentang ajaran, sampai kepada konflik bersenjata yang menumpahkan darah di kedua belah pihak. Gerakan al-Afsyin dan Qaramithah adalah contoh konflik bersenjata itu.
Pada saat gerakan ini mulai tersudut, pendukungnya banyak berlindung di balik ajaran Syi’ah, sehingga banyak aliran Syi’ah yang dipandang ghulat (ekstrim) dan dianggap menyimpang oleh penganut Syi’ah sendiri. Aliran Syi’ah memang dikenal sebagai aliran yang berlawanan dengan paham Ahlussunnah.
Ancaman dari Luar
Apa yang disebutkan di atas adalah faktor-faktor internal. Di samping itu, ada pula faktor-faktor eksternal yang menyebabkan khilafah Abbasiyah lemah dan akhirnya hancur.
Perang Salib yang berlangsung beberapa gelombang atau periode dan menelan banyak korban.
Sebagaimana telah disebutkan, orang-orang Kristen Eropa terpanggil untuk ikut berperang setelah Paus Urbanus II (1088-1099 M) mengeluarkan fatwanya. Perang Salib itu juga membakar semangat perlawan orang-orang Kristen yang berada di wilayah kekuasaan Islam. Namun, di antara komunitas-komunitas Kristen Timur, hanya Armenia dan Maronit Lebabnon yang tertarik dengan Perang Salib dan melibatkan diri dalam tentara salib. Pengaruh perang salib juga terlihat dalam penyerbuan tentara Mongol. Disebutkan bahwa Hulaghu Khan, panglima tentara Mongol, sangat membenci Islam karena ia banyak dipengaruhi oleh orang-orang Budha dan Kristen Nestorian. Gereja-gereja Kristen berasosiasi dengan orang-orang Mongol yang anti Islam itu dan diperkeras di kantong-kantong ahlul-kitab. Tentara Mongol, setelah menghancur leburkan pusat-pusat Islam, ikut memperbaiki Yerusalem.
Serangan Bangsa Mongol dan Keruntuhan Baghdad
Pada tahun 565 H/1258 M, tentara Mongol yang berkekuatan sekitar 200.000 orang tiba di salah satu pintu Baghdad. Khalifah al-Musta’shim, penguasa terakhir Bani Abbas di Baghdad (1243-1258), betul-betul tidak berdaya dan tidak mampu membendung “topan” tentara Hulaghu Khan.
Jatuhnya kota Baghdad pada tahun 1258 M ke tangan bangsa Mongol bukan saja mengakhiri kekuasaan Khilafah Bani Abbasiyah di sana, tetapi juga merupakan awal dari masa kemunduran politik dan peradaban Islam, karena Baghdad sebagai pusat kebudayaan dan peradaban Islam yang sangat kaya dengan khazanah ilmu pengetahuan itu ikut pula lenyap dibumihanguskan oleh pasukan Mongol yang dipimpin Hulaghu Khan tersebut.
Berikut ini detik-detik runtuhnya Khilafah Abbasiyah dan jatuhnya Baghdad seperti yang direkam oleh Ibnu Katsir:
“Runtuhnya Baghdad di tangan bangsa Mongol (Tatar) tidak lepas dari pengkhianatan yang dilakukan oleh wazir (perdana menteri) Muhammad bin al-Alqami, seorang penganut paham Syi’ah yang sangat dendam terhadap Ahlussunnah. Ia menjabat wazir (Perdana Menteri ) bagi Khalifah al-Musta’shim Billah, khalifah terakhir Bani Abbas di Iraq.
Ini terjadi pada tanggal 12 Muharram 656 H. Hulaghu Khan, cucu Jengghis Khan mengepung Baghdad dengan seluruh bala tentaranya yang berjumlah lebih kurang 200.000 personil. Mereka mengepung istana Khalifah dan menghujaninya dengan anak panah dari segala penjuru, hingga menewaskan seorang budak wanita yang sedang menari di hadapan Khalifah untuk menghiburnya. Budak wanita itu adalah seorang selir yang bernama Arafah. Sebilah anak panah datang dari arah jendela menembus tubuhnya pada saat ia menari di hadapan Khalifah. Hal itu membuat cemas Khalifah dan ia amat terkejut. Pada anak panah yang menewaskan selirnya itu mereka dapati tulisan, “Jika Tuhan hendak melaksanakan ketentuan-Nya maka Dia akan melenyapkan akal waras orang yang berakal.” Setelah kejadian itu Khalifah memerintahkan agar memperketat keamanan.
Pengkhianatan Ibnul al-Alqami yang begitu dendam terhadap Ahlusunnah ini disebbakan pada tahun sebelumnya (655 H) pecah peperangan hebat antara kaum Sunni dan Syi’ah yang berakhir dengan direbutnya Kota Al-Karkh yang merupakan pusat kaum Syi’ah Rafidhah, beberapa rumah milik sanak famili Ibnu al-Alqami sempat kena jarah.
Sebelum runtuhnya Baghdad, Ibnul al-Alqami secara diam-diam mengurangi jumlah tentara, yaitu dengan memecat sebagian besar tentara dan mencoret mereka dari dinas kemiliteran. Sebelumnya, jumlah tentara pada masa kekhalifahan al-Mustanshir mencapai 100.000 personil. Jumlah ini terus dikurangi oleh Ibnu al-Alqami hingga menjadi 10.000 personil saja.
Kemudian setelah itu, barulah ia mengirim surat rahasia kepada banga Mongol dan memprovokasi mereka untuk menyerang Baghdad. Dalam surat tersebut dia beberkan kelemahan angkatan bersenjata Daulah Abbasiyah. Ini merupakan salah satu sebab begitu mudahnya pasukan Mongol menguasai Baghdad.
Semua itu dilakukan oleh Ibnu al-Alqami untuk melampiaskan dendam kesumatnya dan ambisinya untuk melenyapkan sunnah dan memunculkan bid’ah Syi’ah Rafidhah, wallahul musta’an.
Tatkala pasukan Mongol mengepung benteng Kota Baghdad pada tanggal 12 Muharram 656 H, mulailah wazir Ibnu al-Alqami menunjukkan pengkhianatannya yang kedua, yaitu dialah orang yang pertama kali menemui pasukan Mongol. Dia keluar bersama keluarga, pembantu, dan pengikutnya menemui Hulaghu Khan untuk meminta perlindungan kepadanya. Kemudain dia kembali ke Baghdad lalu membujuk Khalifah agar keluar bersamanya untuk menemui Hulaghu Khan dengan usulan serta pembagian hasil devisa setengah untuk Khalifah dan setengah untuk Hulaghu.
Maka berangkatlah Khalifah bersama para qadhi, ahli fiqh, kaum sufi, tokoh-tokoh negara, masyarakat dan petinggi-petinggi negara dengan 700 pengendara. Tatkala mereka hampir mendekati markas Hulaghu mereka ditahan oleh pasukan Mongol dan tidak diizinkan bertemu Hulaghu kecuali Khalifah bersama 17 orang saja.
Lalu Khalifah pun menemui Hulaghu Khan bersama 17 orang tersebut, sedangkan yang lain menunggu di atas tunggangan mereka. Sepeninggal Khalifah, mereka dirampok dan dibunuh oleh pasukan Mongol. Selanjutnya, Khalifah dibawa ke hadapan Hulaghu dan disandera bersama 17 orang yang ikut dengannya. Mereka diteror, diancam, dan diintimidasi serta dipaksa agar menyetujui apa yang diinginkan oleh Hulaghu.
Kemudian Khalifah kembali ke Baghdad bersama Ibnu al-Alqami dan Nashiruddin ath-Thusi yang semadzhab dengan Ibnul al-Alqami. Di bawah rasa takut dan tekanan yang hebat Khalifah pun mengeluarkan emas, perak, perhiasan, peramata, dan barang-barang berharga lainnya yang jumlahnya sangat banyak untuk diserahkan kepada Hulaghu. Akan tetapi sebelumnya, Ibnu al-Alqami bersama bersama Nashriuddin ath-Thusi sudah membsiiki Hulaghu agar tidak menerima tawaran perdamaian dari Khalifah. Mereka berhasil mempengaruhi Hulaghu bahwa perdamaian itu hanya bertahan 1 atau 2 tahun saja. Mereka pun mendorong Hulaghu agar menghabisi Khalifah.
Tatkala Khalifah kembali dengan membawa barang-barang yang banyak, Hulaghu justru menginstruksikan agar mengeksekusi Khalifah. Maka pada hari Rabu tanggal 14 Shafar terbunuhlah Khalifah al-Musta’shim Billahi. Dalang dibalik terbunuhnya Khalifah adalah Ibnu al-Alqami dan Nashiruddin ath-Thusi.
Bersamaan dengan gugurnya Khalifah, maka pasukan Mongol pun menyerbu masuk ke Baghdad tanpa perlawanan yang berarti. Dengan demikian, jatuhlah Baghdad di tangan pasukan Mongol. Dilaporkan bahwa jumlah orang yang tewas kala itu adalah 2 juta jiwa. Tak ada yang selamat keucali Yahudi dan Nasrani serta orang-orang yang meminta perlindungan kepada pasukan Mongol atau berlindung di rumah Ibnu al-Alqami serta para konglomerat yang membagi-bagikan harta mereka kepada pasukan Mongol dengan jaminan keamanan pribadi..!
Belajar dari Sejarah
Demikianlah, mengangkat orang kafir dan ahli bid’ah sebagai pemangku jabatan merupakan salah satu faktor penyebab kehancuran Daulah Bani Abbasiyah. Di samping itu, jauhnya umat dari Islam dan sikap mereka yang memusuhi sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan salah satu sebab yang mempercepat kehancuran suatu negeri. Ingatlah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang artinya:
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS. An-Nur: 63)
Demikian pula, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
“Akan ditimpakan kehinaan dan kerendahan bagi siapa saja yang menyalahi perintahku.”
Apa yang terjadi dahulu tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi sekarang.
Umat manusia sekarang ini, berada dalam jurang yang sangat terjal dan dalam. Belenggu-belenggu kebinasaan siap menghancurleburkan mereka. Realita ini merupakan akibat buruk yang dipetik oleh umat manusia karena telah menjauh dari al-haq. Mereka menjadi bulan-bulanan panah kebatilan. Kenyataan yang ada cukup menjadi bukti dan petunjuk yang jelas. Tanda-tanda kehancuran itu terpampang jelas di hadapan setiap orang yang masih punya pikiran waras dan punya pengetahuan.
Umat manusia berpaling dari Kitabullah, lalu menggantinya dengan undang-undang buatan manusia dan menjadikannya sebagai pedoman dalam berbagai bidang kehidupan.
Para penguasa menyedot kekayaan negara untuk dirinya sendiri dan menetapkan hukum secara sewenang-wenang terhadap masyarakat menurut selera mereka. Siapa saja yang menyanjung perbuatan mereka yang melanggar syariat pasti akan dinaikkan pangkatnya. Dan siapa saja yang menyelisihi atau mengingkari kemungkaran dan perbuatan buruk itu pasti akan dihancurkan haknya dan akan direndahkan kedudukannya. Itulah yang diisyaratkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits:
“Sepeninggalku nanti kalian akan melihat atsarah (monopoli urusan dunia pen.) dan perkara-perkara agama yang kalian ingkar.” Para sahabat bertanya, “Apa yang engkau perintahkan kepada kami wahai Rasulullah?” Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tunaikanlah hak-hak penguasa dan mintalah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala hak-hak kalian.”
Seiring rusaknya kehidupan politik yang semakin terpuruk, pada akhirnya juga merusak kehidupan sosial hingga jatuh ke derajat yang paling hina dan rendah. Sebagaimana dimaklumi bahwa aspek-aspek kehidupan manusia saling terkait satu sama lainnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan bahwa akan muncul nanti beberapa kaum yang tidak lagi menepati perjanjian dan melesat keluar dari agama. Mereka melakukan apa yang tidak diperintahkan, memberikan persaksian sedangkan mereka tidak diminta untuk bersaksi.
Karakter yang paling tepat bagi zaman kita sekarang ini adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturukan harta nafsunya, maka kelak mereka akan menemui kesesatan.” (QS. Maryam: 59)
Ini merupakan kondisi umum manusia sekarang. Manusia telah menjadi hamba nafsu syahwatnya bagaikan seekor anjing yang selalu menjulurkan lidahnya. Mereka tega menjual kehormatan dan amanat dengan harga yang murah di pasar murahan dan hina. Mereka rela mempersembahkan diri sebagai tumbal syahwat. Mereka ini tidak mengingkari kemungkaran dan tidak mengenal perkara kebajikan (kecuali segelintir orang yang dirahmati Allah dan itu pun jumlahnya sangat sedikit). Bahkan sebaliknya, mereka menyuruh kepada perkara mungkar dan melarang dari perkara yang ma’ruf dengan meneriakkan slogan-slogan yang gemerlap lagi menipu, dengan kata-kata yang penuh hiasan dan kiasan, lewat mulut-mulut penuh dusta dan lisan-lisan para kaum munafik.
Sebagai akibat langsung keterpurukan politik dan keganjilan sosial masyarakat, maka yang menjadi penentu segala sikap dan kebijakan adalah dinar dan dirham (uang). Uang begitu mendominasi kehidupan manusia sehingga menjadi sangat diagungkan dan didewakan. Manusia pun menyungkur sujud menyembah uang di samping menyembah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sampai-sampai yang menjadi semboyan manusia sekarang ini adalah, “Siapa yang tidak punya uang tidak akan dipandang. Harga seorang manusia dilihat dari harta yang dimilikinya!”
Sehingga demi meraih kebahagiaan hidup yang diiming-imingi oleh Iblis dan bala tentaranya, maka mereka pun menghlalkan segala cara.
Para penguasa yang berkuasa di negeri-negeri Islam menjauhkan generasi Muslim dari nilai-nilai Islam yang merupakan keistimewaan dan menjadi kebanggaan setiap Muslim serta menjadi penggerak bagi jiwa menuju kemuliaan. Lalu mereka menggantinya dengan budaya rendahan, sia-sia, dan penuh dusta. Maka lahirlah generasi yang minim pengetahuan, tidak memiliki pengetahuan agama, dan tidak pernah merasakan cita rasa ilmu. Lantas mereka mengangkat orang-orang jahil sebagai pemimpin. Apabila mereka dimintai fatwa oleh masyarakat, mereka berfatwa tanpa ilmu, akibatnya mereka sesat lagi menyesatkan.
Realita di atas menimbulkan dampak munculnya kelompok-kelompok dan golongan-golongan yang saling bermusuhan dan bertentangan. Sehingga umat Islam menjadi terpecah belah berkeping-keping tak karuan.
Fenomena kelompok tersebut memicu pertentangan dan menyebabkan tercerai berainya barisan. Dan juga menebar benih perpecahan dan permusuhan di tubuh umat yang satu. Sehingga dengan mudah musuh dapat memporak-porandakan negeri-negeri kaum Muslimin, menjajah dan menjarah harta kekayaan mereka, wallahul musta’an.
“Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Anfal: 46)
Kita harus belajar dari sejarah, mengambil ibrah dari apa yang telah dialami oleh para pendahulu kita. Merupakan karakter umat ini adalah tidak jatuh dalam satu lobang dua kali, apalagi berkali-kali. Keruntuhan khilafah Abbasiyah bukanlah terjadi begitu saja, tetapi ada sebab-sebab yang memicunya. Bila kita tidak belajar dari sejarah umat terdahulu maka bukan tidak mungkin kita akan mengalami apa yang sudah mereka alami.
Ahmad Tagudar, Raja Mongol Pertama Yang Memeluk Islam
Kalau kita merenungkan tentang hidayah Allah, kadang kita mendapatkan sesuatu yang unik dan ajaib. Seorang rasul Ulul Azhmi seperti Nabi Nuh, tapi anak beliau kufur kepada Allah. Di sisi lain, seorang pembantai jutaan kaum muslimin seperti Hulagu Khan, memiliki anak yang seorang mujahid yang berperang di jalan Allah. Padahal kita tahu siapa Hulagu Khan. Melalui dia runtuhlah kerajaan besar Islam yang telah berusia ratusan tahun, kerajaan yang melahirkan peradaban besar untuk dunia, yakni Daulah Abbasiyah.
Benarlah apa yang Allah firmankan:
قُلْ مَن يَرْزُقُكُم مِّنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمَّن يَمْلِكُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَمَن يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَن يُدَبِّرُ الْأَمْرَ ۚ فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ ۚ فَقُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ
“Katakanlah: “Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab: “Allah”. Maka katakanlah “Mangapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya)?” [Quran Yunus: 31].
Ketika menafsirkan firman Allah “ siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati”, Imam al-Qurthubi mengatakan,
ومن يخرج الحي من الميت أي النبات من الأرض ، والإنسان من النطفة ، والسنبلة من الحبة ، والطير من البيضة ، والمؤمن من الكافر .
“Siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati, maksudnya adalah mengelurkan tumbuhan dari bumi. Manusia dari nutfah. Ranting-ranting dari biji. Burung dari telur. Dan seorang mukmin dari kekafiran.” (Tafsir al-Qurthubi).
Allah mampu melakukan sesuatu yang dianggap oleh manusia mustahil. Ahmad Tagudar terlahir dari seorang pembantai kaum muslimin. Ia tumbuh besar di lingkungan masyarakat Mongol yang berpaham Samanisme. Ajaran Islam bukan hanya asing, bahkan kata Islam sendiri mungkin kosa kata yang baru ia kenal. Kekufuran mengepung masa mudanya. Tapi siapakah yang bisa mengeluarkan yang mati dari yang hidup? Hati yang mati karena kekufuran menuju hati yang hidup dengan keimanan? Dialah Allah Ta’ala yang kuasa melakukan hal itu.
Sultan Ahmad Tagudar bin Hulagu Khan adalah Raja ke-3 dari Kerajaan Mongol Ilkhan (Ilkhanate Dynasty). Dan raja Mongol pertama yang berjuang untuk Islam.
Selang 18 tahun setelah Hulagu Khan wafat, anaknya yang bernama Ahmad Tagudar memeluk Islam. Hulagu wafat pada tahun 663 H atau 1275 M, Dalam usia 46 atau 48 tahun. Ia wafat meninggalkan wilayah kekuasaan yang meliputi wilayah Iran, Irak, sebagian Turki, dan Syam.
Anaknya Tagudar memeluk Islam setelah menduduki tahta tertinggi kerajaan. Tepatnya pata tanggal 26 Muharam 681 H bertepatan dengan 6 Mei 1282 M. Ia menggantikan saudaranya, Abaqa Khan, yang merupakan suksesor sang ayah.
Tagudar adalah anak ke-7 dari Hulagu. Saat ayahnya melakukan ekspansi ke Iran, Irak, dan Syam, Tagudar sedang berada di Cina. Ia datang ke Iran di masa pemerintahan saudaranya, Abaqa, untuk membantunya mengurusi negara.
Tagudar tidak mengumumkan keislamannya hingga ia menguasai tahta raja. Barulah disematkan nama Ahmad pada namanya, Ahamd Tagudar. Ialah orang Ilkhan pertama yang memeluk Islam. Melalui perantara dirinya, banyak orang Mongol pun memeluk Islam. Dan mereka bersungguh-sungguh dalam menganut Islam.
Keislaman Tagudar tentu berdampak positif bagi negara-negara tentangganya. Dinasti Ilkhan yang sebelumnya berkonfrontasi dengan kerajaan-kerajaan Islam, kini menjadi sekutu kaum muslimin. Ia mengubah kebijakan konfrontatif terhadap Islam menjadi rekonsiliasi (pemulihan hubungan). Langkah awal yang ia lakukan adalah mengutus dutanya menemui Sultan Kerjaan Mamluk, Manshur Qalawun, di Mesir. Peristiwa ini terjadi pada Jumaril Akhir 681 H atau September 1282 M.
Utusan Dinasti Ilkhan ini membawa kabar gembira kepada Sultan Qalawun dengan keislaman Tagudar. Raja Ilkhan baru itu sangat berkeinginan mengenalkan syariat Islam di tengah masyarakat Mongol. Cita-citanya adalah menjadikan masyarakat Mongol sebagai masyarakat Madani. Jalan menuju cita-cita itu ia wujudkan dengan banyak membangun masjid dan madrasah. Memberikan fasilitas mudah untuk berhaji. Tentu kabar dari surat ini menciptakan iklim dan hubungan yang sejuk antara kerajaan bertetangga itu.
Pada bulan Ramadhan 681 H atau Desember 1282 M, Sultan Qalawun membalas surat Tagudar. Ia memberi ucapan selamat atas keislamannya. Memuji kesungguhan dan usahanya untuk menerapkan syariat. Sekaligus dalam kesempatan itu, Sultan Qalawun mengajak Sultan Tagudar bersedia beraliansi dengan Mamluk, berjihad menghadapi Pasukan Salib.
Raja-raja Mongol (Raja Chagtai, Golden Horde, dan Khan Agung) lain mendengar perubahan yang terjadi di Ilkhan. Tentu kebijakanTagudar tidak mereka sambut baik. Mereka melaporkannya kepada Khan Agung (penguasa tertinggi dinasti-dinasti Mongol) yaitu Kubilai Khan. Mereka menganggap surat-menyurat Tagudar dengan Sultan Mamluk sudah keluar dari kebijakan dewan kerajaan Mongol. Dan tindakan itu dipandang bertolak belakang dengan kebijakan dinasti-dinasti Mongol lain terhadap wilayah Syam dan Mesir. Khususnya terahdap Daulah Mamluk.
Dinasti-dinasti Mongol pun bersatu menghadapi Tagudar. Pasukan Mongol itu dipimpin oleh keponakannya, Urghun bin Abaqa Khan. Urghun menyiapkan kamp pasukannya di Khurasan. Dan disokong oleh Khan Agung Kubilai Khan. Bergeraklah pasukan Urghun untuk memerangi pamannya pada 3 Safar 683 H atau 21 April 1284 M. Pendek cerita, Tagudar berhasil mengalahkan sekutu pasukan Urghun dengan keluarga Mongol lainnya.
Kemenangan Tagudar tentu tidak diharapkan oleh kerajaan-kerajaan Mongol lainnya. Mereka bersatu untuk melengserkan Tagudar dari pucuk kekuasaan Dinasti Ilkhan dan membebaskan Urghun dari tawanan. Saudara Tagudar, Hulagu bin Hulagu, mengumumkan pemisahan diri wilayah Iran atas kekuasaan Tagudar. Dengan itu, Urghun pun berhasil dibebaskan. Pangeran-pangeran yang loyalis Tagudar pun banyak dibunuh. Sebagian lagi lari dari Khurasan menuju Azerbaijan. Mereka berharap bisa bersatu membentuk pasukan untuk kembali menuntut balas atas pengkhianatan Hulagu.
Keluarga kerajaan Mongol sepakat mengganti Hulagu dengan Urghun menjadi penguasa wilayah Iran. Urghun pun segera menyiapkan kembali pasukannya untuk menghadapi sang paman. Sebelum tiba di Azerbaijan, sejumlah loyalis Tagudar dan Tagudar sendiri datang menyerahkan diri pada Urghun. Mereka ingin berdamai. Karena melihat besarnya kekuatan Urghun yang berdampak besar kepada rakyat Ilkhan. Tapi ternyata, beda Tagudar beda pula Urghun. Kalau Tagudar tidak mengeksekusi Urghun saat ia kalah kemarin. Urghun tidak puas hanya dengan lengsernya sang paman dari puncak kekuasaan Ilkhan, ia pun mengeksekusi sang paman dan para loyalisnya. Peristiwa tersebut terjadi pada 26 Jumadil Ula 683 H bertepatan dengan 10 Agustus 1284 M.
Sejarah tetap mencatat bahwa Tagudar adalah seorang yang berjasa. Ia seorang Mongol Ilkhan pertama yang mengorbankan hidupnya untuk memperjuangkan Islam.
Sumber:
– https://lite.islamstory.com/السلطان-أحمد-تكودار-بن-هولاكو-خان/
Oleh Nurfitri Hadi (@nfhadi07)
Sumber: https://kisahmuslim.com/