Type Here to Get Search Results !

RINGKASAN SEJARAH BANI UMAYAH

  

Adil Menilai Sejarah Daulah Umayyah

Daulah Umayyah adalah negara Islam yang memiliki sejarah besar dan pengaruh yang luas dalam penyebaran agama Islam. Daulah ini berhasil mempersatukan wilayah dari Cina hingga Prancis bagian Selatan di bawah satu naungan kekhalifahan Islam, Kekhalifahan Bani Umayyah.

Masa ini adalah masa keemasan Islam, masa dimana generasi terbaik Islam hidup bahkan di antara mereka menduduki kursi pemerintahan. Masa ini adalah masa dimana para sahabat Nabi masih hadir membimbing umat. Masa ini adalah masa berkumpulnya tiga generasi terbaik; sahabat, tabi’in, dan tabi’ tabi’in. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ

“Sebaik-baik manusia ialah pada generasiku, kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Dari negeri-negeri taklukkan, Daulah Umayyah lahirlah putra-putra terbaik Islam semisal Imam Bukhari, Muslim, an-Nasa-i, Tirmidzi, Ibnu Khaldun, ath-Thabari, adz-Dzahabi, dan tokoh-tokoh lainnya.

Semestinya hal ini cukup membuat orang-orang setelah mereka memuji mereka dan mendoakan kebaikan untuk mereka atas jasa yang telah mereka usahakan untuk Islam dan kaum muslimin.

Wilayah kekuasaan Bani Umayyah. Terbentang dari sebagian wilayah Cina hingga Selatan Prancis. Artinya, Bani Umayyah telah menyebarkan Islam ke berbagai negara di belahan dunia.

Wilayah kekuasaan Bani Umayyah. Terbentang dari sebagian wilayah Cina hingga Selatan Prancis. Artinya, Bani Umayyah telah menyebarkan Islam ke berbagai negara di belahan dunia.

Namun, orang-orang lebih pandai melihat cela kemudian jasa-jasa besar itu pun seolah-olah tiada artinya. Beberapa kejadian buruk di masa pemerintahan inilah yang selalu diangkat dan diulang-ulang, terutama oleh kalangan musuh-musuh Islam. Sehingga hal itu cukup berpengaruh di sebagian umat Islam.

Munculnya Daulah Umayyah

Kekhalifahan Bani Umayyah didirikan pada tahun 41 H dengan penyerahan kekuasaan oleh cucu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, al-Hasan bin Ali, kepada Muawiyah bin Abu Sufyan. Al-Hasan radhiallahu ‘anhu melakukan hal itu untuk menjaga persatuan dan terjaganya darah kaum muslimin setelah sebelumnya terjadi perpecahan.

Munculnya daulah ini membuat posisi orang-orang penyebar fitnah perpecahan terpojok dan membuat cita-cita mereka pupus. Karena mereka hanya menginginkan kejelekan untuk umat Islam. Mereka menginginkan peperangan dan perpecahan umat ini terus berlangsung.

Penyerahan kekuasaan yang dilakukan oleh cucu Rasulullah menunjukkan bahwa berdirinya kekhalifahan ini tidak dengan cara-cara yang tidak disyariatkan seperti memberontak dan lain sebagainya.

Periodesasi

Daulah Umayyah dibangun dan diperkuat pondasinya pada masa pemerintahan dua khalifah, yakni pada masa Khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan dan anaknya Yazid bin Muawiyah. Proses tersebut berlangsung dari tahun 41 H sampai 64 H.

Periode berikutnya adalah periode fitnah. Berlangsung antara tahun 64 H sampai 86 H, yakni pada masa Khalifah Muawiyah bin Yazid, Marwan bin Hakam, dan Abdul Malik bin Marwan. Pada masa ini terjadi pemberontakan terhadap penguasa dan peperangan sesama umat Islam.

Perideo berikutnya adalah periode kekuatan, sama halnya dengan periode Muawiyah dan Yazid. Berlangsung antara tahun 86 H sampai 125 H. Yaitu pada masa Khalifah al-Walid bin Abdul Malik bin Marwan, Sulaiman bin Abdul Malik, Umar bin Abdul Aziz bin Marwan, Yazid bin Abdul Malik, dan Hisyam bin Abdul Malik.

Periode kemunduran hingga jatuhnya kekhalifahan Bani Umayyah terjadi antara tahun 125 H hingga 132 H. Pada masa ini banyak terdapat khalifah dalam satu negara.

Dengan demikian periode keemasan Daulah Bani Umayyah terbagi menjadi dua fase, antara tahun 41–64 H dan 86–125 H. Begitu pula masa kemundurannya terbagi menjadi dua fase, antara tahun 64–86 H (tidak sampai menyebabkan kekhalifahan runtuh) dan 125–132 H ditandai dengan runtuhnya kekhalifahan.

Khalifah Pertama: Muawiayah bin Abi Sufyan

Muawiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhu memeluk Islam pada tahun 7 H. Ia adalah saudara ipar Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena istri Nabi, Ummu Habibah binti Abi Sufyan, merupakan saudari dari Muawiyah. Ia juga penulis wahyu Alquran dan periwayat hadits-hadits Nabi. Dari sini kita bisa ketahui, orang yang mencela Muawiyah adalah mereka yang menghendaki batalnya apa yang diriwayatkan Muawiyah yakni Alquran dan hadits.

Muawiyah adalah seorang yang ahli dalam kepemimpinan. Tidak heran sedari zaman Rasulullah hingga zaman Utsman bin Affan, ia diberikan amanat yang besar. Rasulullah mengamanitinya sebagai penulis wahyu, Umar dan Utsman menjadikannya sebagai gubernur Syam. Ibnu Taimiyah mengatakan, “Tidak ada penguasa kaum muslimin yang lebih baik dibanding Muawiyah, jika dibandingkan dengan masa setelahnya. Adapun jika dibandingkan dengan masa Abu Bakar dan Umar, barulah terlihat ada penguasa yang lebih utama”. (Minhajussunnah, 6: 232). Demikian juga pendapat ahli sejarah semisal al-Ya’qubi dan al-Mas’udi.

Kebaikan di sini termasuk dalam kepiawaian dalam kepemimpinan. Muawiyah lebih baik dari Umar bin Abdul Aziz, Shalahuddin al-Ayyubi, Muhammad al-Fatih, dll.

Abdullah bin Mubarok – gurunya Imam Bukhari – (w. 181 H) pernah mengatakan,

تراب في أنف معاوية أفضل من عمر بن عبد العزيز

“Debu yang masuk ke hidungnya Muawiyah, lebih baik dari pada Umar bin Abdul Aziz.”


Khalifah Kedua: Yazid bin Muawiyah

Setelah Muawiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhu wafat, putranya Yazid menggantikan kedudukannya sebagai khalifah. Muawiyah memilih Yazid karena menurutnya pengangkatan Yazid akan meredam gejolak dan fitnah. Ia menyadari di saat itu ada orang-orang yang utama semisal Husein bin Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Zubair, Abdullah bin Umar, dll. Namun memilih mereka dikhawatirkan akan terjadi pemberontakan dari kalangan Bani Umayyah yang memiliki kekuatan di saat itu.

Singkat cerita, pengangkatan Yazid memang dipandang kontroversial namun kenyataannya tidaklah seperti penilaian orang-orang pada saat ini. Mari kita serahkan penilaian terhadap Yazid kepada seseorang yang shaleh yang hidup sezaman dengan Yazid, bukan kepada orang-orang yang hidup setelah Yazid dan diperparah seandainya mereka bukan orang yang shaleh. Penilaian itu kita serahkan kepada salah seorang anak Ali bin Abi Thalib, saudara beda ibu dari Hasan dan Husein, dan ulama di masa tabi’in, yakni Muhammad al-Hanafiyah.

Ibnu Muthi` berkata kepada Muhammad al-Hanafiyah, “Sesungguhnya Yazid itu meminum khamr dan meninggalkan shalat”. Ia mengajak Muhammad al-Hanafiyah untuk memberontak kepada Yazid. Lalu Muhammad al-Hanafiyah menjawab, “Aku tidak melihat pada dirinya seperti apa yang kalian katakan. Aku datang di majlisnya dan tinggal bersamanya, kulihat ia adalah seorang yang tekun dalam shalat, semangat mengerjakan kebaikan, bertanya tentang fikih, dan memegang erat sunnah”.

Ibnu Muthi’ dan orang-orang yang bersamanya menjawab, “Hal itu ia buat-buat dihadapanmu”. Muhammad menjawab, “Apa yang ia takutkan dan harapkan dariku? Apakah kalian bisa memperlihatkan kepadaku apa yang kalian katakana terhadapnya?” Tantang Muhammad al-Hanafiyah.

Mereka menjawab, “Sesungguhnya kabar yang kami dengar itu bagi kami adalah kenyataan, walaupun kami belum pernah melihatnya”. Kata Muhammad, “Demi Allah, penilaian seperti itu hanyalah hak bagi orang-orang yang benar-benar melihatnya.” (Huqbah min at-Tarikh, Hal: 138-139).

Syaikh Utsman al-Khomis mengatakan, “Kefasikan yang dinisbatkan kepada pribadi Yazid seperti meminum khamr, mempermainkan hukum, kejal, dll. Tidaklah bersumber dari berita yang shahih” (Huqbah min at-Tarikh, Hal: 139). Berita-berita demikian dibuat-buat oleh orang-orang yang membenci Yazid lalu kemudian menjadi santapan para orientalis untuk menyerang bobroknya kekhalifahan Islam, meskipun masanya tidak jauh dari zaman Nabi. Sangat disayangkan hal ini ditelah mentah-mentah oleh generasi Islam yang belakangan.

Setelah Yazid diangkat seluruh sahabat yang hidup saat itu termasuk Abdullah bin Abbas dan Abdullah bin Umar membaiat Yazid membaiat Yazid kecuali Husein bin Ali dan Abdullah bin Zubair. Dan pada masa pemerintahannya Yazid sangat memuliakan ahlul bait Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sumber:

– al-Khomis, Utsman bin Muhammad. Huqbah min at-Tarikh. 1999. Iskandariyah: Dar al-Iman.

– ash-Shalabi, Ali bin Muhammad. ad-Daulah al-Umayyah. 2008. Beirut: Dar al-Ma’rifah.

Sumber Pertama

Apakah Yazid bin Muawiyah Terlibat Dalam Pembunuhan Husein?

Apa yang terjadi di Karbala pada masa pemerintahan Yazid bin Muawiyah adalah sebuah duka dalam catatan sejarah. Terbunuhnya Husein di tanah itu tentu sebuah peristiwa besar yang tidak diinginkan oleh seorang muslim pun. Tidak ada seorang muslim pun yang rela cucu Rasulullah dizalimi, kecuali mereka orang-orang yang keji. Tidak ada seorang muslim pun yang sudi mencelakakannya, kecuali mereka orang-orang yang celaka.

Alur cerita tentang terbunuhnya cucu Rasulullah ﷺ, Husein bin Ali radhiallahu ‘anhuma, telah kita bahas bersama di artikel Syahidnya Husein Radhiallahu ‘anhu di Padang Karbala. Ia dikhianati oleh orang-orang yang mengundangnya ke Kufah. Dan pasukan Ubaidullah bin Ziyad dengan lancang berani membunuhnya. Para Syiah Husein (pendukung Husein) yang mengkhianatinya telah mengakui bahwa mereka telah mengkhianati cucu Rasulullah. Oleh karenanya mereka membuat Jaisy at-Tawwabin untuk menebus kesalahan mereka.

Lalu sebagian penulis sejarah melemparkan kesalahan ini juga kepada Yazid bin Muawiyah karena ia sebagai khalifah saat itu. Bagaimanakah duduk permasalahannya? Mudah-mudahan artikel berikut ini bisa memberikan kita pemetaan tentang permasalahan ini.

Hubungan Kekerabatan Yazid dan Husein

Yazid bin Muawiyah adalah seorang Quraisy dari bani Umayyah. Ia satu kabilah dengan Amirul Mukminin Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu. Hubungan kekerabatannya dengan Husein bin Ali radhiallahu ‘anhuma sangatlah dekat. Berikut nasab keduanya:

  •     Yazid bin Muawiyah bin Abu Sufyan bin Harb bin Umayyah bin Abdu asy-Syams bin Abdu Manaf.
  •     Husein bin Ali bin Abi Thalib bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdu Manaf.

Keduanya adalah keturunan dari Abdu Manaf. Sementara anak dari Abdu Manaf yakni Abdu asy-Syams dan Hasyim adalah saudara kembar. Dengan demikian hubungan kekerabatan keduanya sangatlah erat. Tidak ada konflik keluarga di antara keduanya. Tokoh-tokoh Ahlul Bait di Madinah seperti: Muhammad al-Hanafiyah dan Ali bin Husein pun setia dengan membaiat Yazid.

Simstem Administrasi Pemerintahan Bani Umayyah

Abdussyafi bin Muhammad Abdul Latif –guru besar sejarah Islam di Universitas Al-Azhar- menjelaskan, “Para khalifah Bani Umayyah memberikan kekuasaan penuh kepada kepala daerah untuk mengatur wilayah mereka dan bekerja sesuai dengan prediksi mereka demi kemaslahatan negara. Kebijakan ini sama sekali berbeda dengan kebijakan Khulafaur Rasyidin. Pada masa Khulafaur Rasyidin, kepemimpinan dibagi-bagi menjadi beberapa bagian; kepemimpinan dalam berperang, politik, dan administratif dibedakan dengan kepemimpinan dalam mengatur keuangan negara. Karena itu, pada masa Khulafaur Rasyidin terdapat waliyyul harb (pemimpin perang), waliyyush shalat (imam shalat), dan wali Baitul Mal (bertugas mengatur keuangan negara) yang disebut dengan waliyyul kharraj; ia bertanggung jawab langsung di hadapan khalifah tentang keuangan dan ia tidak memiliki kekuasaan sama sekali dalam hal politik yang semisal.” (Latif, 2014: 521).

Berikut perbandingan gaya administratif Khulafaur Rasyidin dengan Dinasti Umayyah:

    Ciri khas administrasi masa Khulafaur Rasyidin adalah kepemimpinan terpusat (Sentral), dikarenakan situasi dan kondisi menuntut hal tersebut. Karena fase saat itu adalah fase membangun atau mendirikan negara. Oleh karena itu, Khulafaur Rasyidin mengawasi langsung hampir semua masalah yang dihadapi negara.

    Adapun ciri administrasi bani Umayyah adalah kepemimpinan tidak terpusat (Disentral). Hal ini diberlakukan ketika daerah kekuasaan sudah sangat luas. Dan jarak ibu kota Damaskus menjadi semakin jauh dengan wilayah-wilayah lainnya.


Sisi positif dari sistem administrasi Dinasti Umayyah adalah keputusan lebih cepat diambil dan rakyat segera mendapatkan solusi dari permasalahan di wilayah-wilayah mereka. Namun kelemahannya adalah control pusat tidak begitu ketat. Karena terkendala jarak yang membuat informasi lambat sampai ke ibu kota.

Dari sini, kita bisa mengetahui mengapa Ubaidullah bin Ziyad berani memutuskan untuk menghadapi Husein dengan mengangkat senjata.

Apakah Yazid Terlibat Pembunuhan Husein?

Yazid tidak pernah memerintahkan pegawainya untuk membunuh Husein. Dan ia juga tidak pernah ridha terhadap pembunuhan tersebut. Justru ia menangisi dan bersedih dengan peristiwa itu.

Sejak jauh hari Yazid berupaya meredam perpecahan. Ketika Husein radhiallahu ‘anhuma pergi dari Madinah menuju Mekah karena menolak baiat kepadanya, Yazid menulis surat kepada Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma –sepupu Rasulullah ﷺ-:

“Aku mengetahui banyak orang Timur (maksudnya Irak) mengiming-iminginya dengan khilafah. Engkau memiliki pengetahuan dan pengalaman tentang mereka. jika memang begitu, maka ia telah memutuskan tali persaudaraan. Engkau adalah pembesar dan orang terpandang di tengah keluargamu. Karena itu, cegahlah ia dari tindakan yang memecah belah umat.”

Ibnu Abbas membalas suratnya:

“Aku sungguh berharap perginya Husein (ke Mekah) bukan untuk hal yang tidak kau sukai. Aku tidak akan bosan memberinya nasihat agar persaudaraan terjaga dan pemberontakan terpadamkan.”

Surat ini dinukilkan oleh Abdussyafi bukunya dari Tahdzib Tarikh Ibnu Asakir.

Salah seorang ulama besar Syiah, Murtadha Muthahhari, mengatakan, “Tidak diragukan lagi bahwa penduduk Kufah adalah pendukung Ali, dan yang membunuh Imam al-Husein adalah pendukungnya sendiri.” Perkataan ini termaktub dalam kitab al-Mahamatul Husainiyah, I,129 (al-Khamis, 2014: 255).

Mengapa Yazid Tidak Mencopot Ibnu Ziyad?

Penduduk Irak memiliki karakteristik yang unik. Mereka mudah sekali melakukan pemberontakan dan memprotes kebijakan pemimpin mereka. Di zaman Umar bin al-Khottob, penduduk Bashrah mengkritik gaya kepemimpinan Gubernur Saad bin Abi Waqqash radhiallahu ‘anhu hanya lantaran berprasangka buruk kepadanya. Padahal Saad adalah orang terbaik dari kalangan sahabat Nabi ﷺ. Kemudian penduduk Irak juga turut andil dalam pemberontakan yang mengakibatkan terbunuhnya Amirul Mukminin Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu. Demikian juga revolusi yang hendak mereka gulirkan di zaman Yazid.

Karakter penduduk Irak, apabila dipimpin oleh pemimpin bertangan besi, maka mereka akan tunduk. Kalau pemimpinnya santun dan berlemah lembut terhadap mereka, maka mereka memberontak. Sebelum Ubaidullah bin Ziyad, gubernur Kufah adalah sahabat Rasulullah an-Nu’man bin Basyir radhiallahu ‘anhuma. Di saat itulah mereka menyusun rencana pemberontakan.

Alasan inilah yang membuat Yazid tidak mencopot Ubaidullah bin Ziyad. Yazid khawatir kalau Ubaidullah dicopot, emosi dan keinginan penduduk Kufah untuk memberontak akan terealisasi dengan aksi nyata. Dan sejarah telah membuktikan kebenaran keputusan Yazid. Gerakan at-Tawwabin muncul setelah Yazid meninggal kemudian Ibnu Ziyad dicopot dari Kufah.

Meskipun kita mengetahui bahwa sikap Yazid bin Muawiyah tidak sepakat dengan pembunuhan tersebut, bahkan ia mengecam tindakan Ibnu Ziyad dan menangisi kematian Husein. Kemudian ia juga memuliakan keluarga Husein setelah wafatnya. Namun, tanggung jawab Yazid terletak pada perintah yang kurang jelas kepada Ibnu Ziyad. Langkah apa yang harus diambil Ibnu Ziyad untuk mencegah Husein masuk ke Kufah. Sehingga Ibnu Ziyad tidak berani mengangkat senjata terhadap Husein radhiallahu ‘anhu. Allahu a’lam..

____

Sumber:

– al-Khamis, Utsman bin Muhammad. 2014. Inilah Faktanya. Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafii.

– Latif, Abdussyafi bin Muhammad Abdul. 2014. Bangkit dan Runtuhnya Khalifah Bani Umayyah. Jakarta: Pustaka al-Kautsar.

– islamstory.com

Sumber Kedua


Periode Kekacauan

Setelah Yazid wafat, terjadilah kekosongan posisi khalifah. Abdullah bin Zubair yang tinggal di Mekah segera mendeklarasikan diri sebagai khalifah. Namun, tokoh-tokoh sahabat dan tabi’in semisal Abdullah bin Umar bin al-Khattab, Nu’man bin Basyir, Muhammad bin Ali bin Abi Thalib (Muhammad al-Hanafiyah), Abdullah bin Ja’far bin Abi Thalib, dan Said bin al-Musayyib tidak menyetujui apa yang dilakukan Abdullah bin Zubair.

Mulailah terjadi kekacauan dalam Daulah Umayyah. Kekacauan terus berlangsung antara tahun 64H–86H pada masa Khalifah Muawiyah bin Yazid, Marwan bin Hakam, dan Abdul Malik bin Marwan.

Pada masa ini, dua khalifah yakni Marwan bin Hakam dan putranya, Abdul Malik bin Marwan, menjadi titik balik perubahan dan meletakkan sendi-sendi kebangkitan kekhalifahan.

Bangkit dari Keterpurukan

a. Kebangkitan Militer

Setelah mengalami periode sulit, Daulah Umayyah berhasil bangkit kembali dari keterpurukan. Masa itu bisa dikatakan periode kekuatan yang kedua. Dimulai dari masa Khalifah al-Walid bin Abdul Malik dan berakhir pada masa Khalifah Hisyam bin Abdul Malik.

Pada masa ini, semangat jihad begitu menggelora. Sebagian besar anggaran pembelanjaan negara disalurkan pada bidang militer. Gaji tentara dinaikkan. Jaminan terhadap kesejahteraan keluarga tentara ditingkatkan, seperti diberi perumahan, lahan pertanian, dan berbagai jaminan. Alat utama sistem senjata dan sistem pertahanan semakin diperkuat. Realisasinya berupa pembangunan benteng, mercusuar, parit-parit pertahanan, dll.

Di setiap kota dibangun markas tentara, masjid-masjid, sekolah, dan pasar sebagai pusat perekonomian. Selain itu, dibuat juga pabrik-pabrik

Salah satu sudut Istana Alhambra di Spanyol berhiaskan kalimat Arab "Walaa ghaaliba illallaah" (Tidak ada pemenang kecuali Allah).

pembuatan kapal untuk angkatan laut di Kota Arce. Kemudian diikuti daerah-daerah lainnya seperti di Syam, Mesir, dan Tunisia.

Pada masa ini juga terjadi penaklukkan besar-besaran, yang belum pernah terjadi di masa Khulafaur Rasyidin. Kekuasaan Daulah Islam Umayyah kian meluas, terbentang dari Cina, Andalusia, hingga bagian selatan Perancis. Pintu-pintu Constantinopel sudah mulai diketuk dan bergetar. Laut-laut Romawi berganti menjadi wilayah Islam. Pada masa inilah Islam mulai tersebar di tiga benua; Asia, Afrika, dan Eropa.

Keadaan tersebut membuat orang-orang semakin berbondong-bondong masuk ke dalam Islam. Mereka memeluk Islam tanpa paksaan dan tanpa ancaman pedang. Mereka mengenal kemuliaan Islam, prinsip persamaan dan persaudaraan, dan mengenal kemudahan yang diajarkan Islam. Ketertarikan pun muncul dari kelemah-lembutan tersebut.

Dampaknya, bahasa Arab menjadi kebanggaan di penjuru dunia. Di Asia, Eropa, dan Afrika, orang-orang berbicara dengan bahasa Arab. Dunia mengenal nama-nama besar semisal Qutaibah bin Muslim, Muhammad bin al-Qashim ats-Tsaqafi, Musa bin Nushair, Thariq bin Ziyad, dll.

b. Kebangkitan Ulama

Di antara keistimewaan Daulah Umayyah adalah banyaknya muncul para ulama dan ahli fikih. Yang pertama dan utama tentu saja generasi sahabat radhiallahu ‘anhum yang hidup di tengah-tengah masa ini. Mereka mewariskan peradaban dan ilmu yang begitu tinggi dalam agama, politik, dan social kemasyarakatan. Kemudian generasi tabi’in yang menimba ilmu dari para sahabat dan kemudian mewarisinya ke generasi berikutnya, generasi tabi’ tabi’in.

Tidak hanya rakyatnya, bahkan di antara khalifah Bani Umayyah adalah ulama terkemuka seperti Muawiyah bin Abi Sufyan, seorang sahabat agung, penulis wahyu Alquran. Ada juga Umar bin Abdul Aziz, seorang tabi’in yang diakui keilmuan dan ketawadhuannya, dll.

Para khalifah Bani Umayyah dikelilingi dan bersahabat dengan para ulama dan ahli fikih. Jika kita membaca biografi-biografi para sahabat dan tabi’in betapa seringnya kita temui mereka duduk bersama para khalifah dan memberikan nasihat. Baik dialog langsung ataupun surat-menyurat. Tidak sedikit di antara khalifah yang menangis membaca dan mendengar nasihat dari para ulama tersebut. Hal ini menunjukkan ketawadhuan dan kelembutan hati para khalifah Bani Umayyah.

c. Masyarakat Madani

Sebagian penulis sejarah berbohong tentang keadaan masyarakat Daulah Umayyah. Atau mereka membesar-besarkan sebagian kejadian terhadap sekelompok orang di masyarakat seolah-olah itulah keadaan masyarakat di masa Daulah Bani Umayyah. Keadaan masyarakat di zaman ini sangat dekat dengan ulama. Bacalah kisah mengenai seorang tabi’in Thawus bin Kaisan, bagaimana keadaannya ketika beliau wafat. Manusia penuh sesak menghadiri pemakamannya hingga jenazahnya pun sulit dikeluarkan dari rumahnya karena demikian sesaknya orang yang hadir. Hingga gubernur Mekah terpaksa mengirim pengawalnya untuk menghalau orang-orang yang mengerumuni jenazahnya agar bisa diurus sebagaimana mestinya. Orang yang turut menshalatkan banyak sekali, hanya Allah yang mampu menghitungnya, termasuk di dalamnya Amirul Mukminin Hisyam bin Abdul Malik bin Marwan.

Masyarakat yang agamis ini tidak lepas dari peranan khalifah-khalifah Bani Umayyah yang begitu serius menjaga ajaran Islam yang murni. Membersihkannya dari khurofat-khurofat. Terutama di wilayah-wilayah yang baru mengenal Islam.

Budaya bahasa Arab begitu tersebar tatkala itu. Bangunan-bangunan pun bertuliskan aksara Arab. (Salah satu dinding Istana Alhambra, Spanyol)

Budaya bahasa Arab begitu tersebar tatkala itu. Bangunan-bangunan pun bertuliskan aksara Arab. (Salah satu dinding Istana Alhambra, Spanyol)

Pemerintah Bani Umayyah juga mendorong masyarakatnya untuk terus membangun peradaban yang tinggi. Mendukung kegiatan-kegiatan pendidikan dan penerjemahan. Perkembangan ilmu pengetahuan tidak hanya sebatas ilmu-ilmu agama dan syair Arab semata, akan tetapi diikuti juga oleh ilmu-ilmu pasti. Perkembangan ini juga terjadi pada bidang industri dan perdagangan.

Profil Khalifah-Khalifah di Masa Kejayaan

a. al-Walid bin Abdul Malik

Khalifah al-Walid sangat perhatian dengan pembangunan masjid di wilayah-wilayah kekuasaan Bani Umayyah. Di antara kebijakan strategis lainnya yang ia lakukan adalah pembangunan jalan raya menuju Hijaz (daerah yang meliputi Jeddah, Mekah, dan Madinah) untuk memudahkan jamaah haji bersafar menuju daerah tersebut. Ia juga memerintahkan Gubernur Madinah, yang saat itu dijabat oleh Umar bin Abdul Aziz, untuk menggali sumur-sumur di Madinah dan menyiapkan petugas khusus untuk memberi minum jamaah.

Untuk memperkuat militer, ia mengangkat seorang yang keras seperti Hajjaj bin Yusuf. Meskipun Hajjaj adalah sosok yang kontroversi, namun Hajjaj berhasil memunculkan orang-orang seperti Muhammad al-Qashim dan Qutaibah bin Muslim yang berhasil menaklukkan berbagai wilayah. Pada masa pemerintahan al-Walid juga muncul pahlawan-pahlawan semisal Musa bin Nushair dan Thariq bin Ziyad.

Secara umum, masa pemerintahannya adalah masa-masa yang stabil. Umat Islam berhasil mencapai Cina di Timur hingga Andalus di Barat. Al-Walid bin Abdul Malik wafat pada pertengahan bulan Jumadil Akhir tahun 96 H. Ia menunjuk saudaranya Sulaiman bin Abdul Malik sebagai khalifah setelahnya.

b. Sulaiman bin Abdul Malik

Dengan segala yang ada padanya sebagai manusia, secara umum Sulaiman bin Abdul Malik rahimahullah adalah seorang khalifah yang shaleh. Hal itu terlihat dari pidatonya saat diangkat menjadi khalifah. Dari Jabir bin Aun al-Asadi, ia berkata, “Kalimat pertama yang disampaikan Sulaiman bin Abdul Malik dalam pidatonya saat dikukuhkan sebagai khalifah adalah:

“Segala puji bagi Allah, segala yang Dia kehendaki terjadi. Apa yang Dia inginkan terangkat, maka terangkat. Apa yang Dia mau terjatuh, maka terjatuh. Orang yang Dia kehendaki, maka Dia beri dan orang yang Dia kehendaki (untuk tidak mendapatkan), maka ia terhalangi. Dunia ini adalah negeri yang menipu. Wahai hamba Allah, jadikanlah kitab Allah sebagai imam, ridhailah hukum yang ditetapkannya. Jadikanlah ia sebagai pemimpin. Ia adalah kitab yang telah menghapus hukum-hukum sebelumnya dan tidak akan ada kitab setelahnya yang menghapus hukumnya.”

Bukti keshalehan lainnya adalah terlihat dari teman-teman dekatnya yang ia jadikan sebagai penasihat seperti Umar bin Abdul Aziz dan tokoh tabi’in Raja’ bin Haiwah.

Pada tahun 97 H, Amirul Mukminin Sulaiman bin Abdul Malik menunaikan ibadah haji bersama Umar bin Abdul Aziz. Di hari Arafah, Sulaiman dan Umar wukuf di Arafah. Sulaiman merasa bahagia dengan banyaknya umat Islam yang berkumpul memenuhi panggilan Allah. Sulaiman berkata kepada Umar, “Lihatlah mereka, yang jumlahnya hanya Allah saja yang bisa menghitungnya. Tidak ada yang menanggung rezeki mereka kecuali Allah”. Umar bin Abdul Aziz menanggapinya, “Mereka adalah rakyatmu hari ini, tetapi besok kamu akan ditanya tentang mereka.” Dalam riwayat lain, “Mereka adalah orang-orang yang akan menuntutmu di hari kiamat.” Tiba-tiba Sulaiman menangis, nasihat Umar benar-benar menghujam di dadanya, ia berkata, “Hanya kepada Allah aku memohon pertolongan.” (al-Bidayah wa an-Nihayah, 12: 685).

Muhammad bin Sirrin rahimahullah berkata tentang Sulaiman bin Abdul Malik, “Ia mengawali dan mengakhiri kekhalifahannya dengan kebaikan. Ia mengawalinya dengan membuat aturan wajib shalat di awal waktu dan mengakhirinya dengan mengangkat Umar bin Abdul Aziz”.

Sulaiman wafat pada bulan Shafar tahun 99 H. Ia menunjuk sepupunya, Umar bin Abdul Aziz, sebagai penggantinya.

c. Umar bin Abdul Aziz

Rasa-rasanya tidak perlu penulis bertutur panjang tentang Umar bin Abdul Aziz pada kesempatan kali ini. Karena beliau sudah cukup dikenal dan tidak diingkari kemuliaannya. Secara singkat, Umar bin Abdul Aziz mengawali pemerintahannya pada Bulan Shafar tahun 99 H dan berakhir dengan wafatnya pada Bulan Rajab 101 H.

Berbagai macam kesuksesan yang diraih dalam pemerintahannya dan sedemikian hebatnya ia berhasil memakmurkan rakyatnya tidak terlepas dari usaha-usaha yang dirintis oleh khalifah-khalifah sebelumnya.

Periode Kemunduran dan Runtuhnya Kekhalifahan

Periode kemunduran Daulah Bani Umayyah dimulai saat 6 tahun sebelum daulah ini runtuh. Ditandai dengan keributan yang terjadi di dalam istana; para amir saling berselisih dan memusuhi, maraknya konspirasi yang membingungkan dan mengadu domba. Keadaan demikian membuat para amir lalai dari tugas utama mereka dalam pemerintahan. Negara yang begitu luas pun mulai limbung dan kehilangan stabilitas. Ditambah lagi munculnya pemberontakan dari kalangan orang-orang Abbasiyah, Syiah, dan Khawarij. Keadaan demikian terus berlangsung hingga terbunuhnya Khalifah Marwan bin Muhammad oleh orang-orang Abbasiyah pada tahun 132 H. Saat itulah merupakan akhir dari kisah Daulah Bani Umayyah.

Silsilah Nasab Bani Umayyah menunjukkan mereka adalah kaum Quraisy yang dihormati.

Silsilah Nasab Bani Umayyah menunjukkan mereka adalah kaum Quraisy yang dihormati.

____

Referensi:

– ash-Shalabi, Ali bin Muhammad. ad-Daulah al-Umayyah. 2008. Beirut: Dar al-Ma’rifah.

– artikel-artikel islamstory.com

– artikel-artikel kisahmuslim.com

Oleh Nurfitri Hadi (@nfhadi07)

Sumber: https://kisahmuslim.com/