Kisah Sa’ad Bin Ubadah: Sahabat Nabi yang Dermawan
Sa’ad bin Ubadah Radhiyallahu Anhu adalah salah seorang sahabat Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wa Sallam yang dermawan. Ia sangat suka berbagi dan tidak pernah setengah-setengah saat sedekah. Sa’ad adalah pemimpin seluruh kabilah Khazraj dari Bani Saidah di Madinah.
Riwayat Singkat Sa’ad bin Ubadah
Sa’ad bin Ubadah adalah pemimpin Khazraj dan pembawa panji Ansar. Ibunya bernama Hamrah binti Mas’ud. Dia dijuluki Abu Thaabit dan Abu Qays. Dia memeluk agama Islam paling awal dan menghadiri ikrar kesetiaan ‘Aqabah’ kedua bersama dengan 70 pria dan 2 wanita dari kalangan Ansar. Di antara kelompok tersebut ada 12 pemimpin.
Ketika Rasulullah dan para sahabat berhijrah ke Madinah, Sa’ad menerima mereka dengan hangat. Sampai-sampai ia rela menyerahkan hampir semua hartanya untuk melayani mereka. Dia dikenal sebagai orang yang murah hati. Dia selalu meminta kepada Allah rezeki dan kebaikan yang banyak. “Ya Allah, beri aku kemuliaan. Ya Allah tidak ada kemuliaan tanpa perbuatan, dan tidak ada perbuatan tanpa kemampuan (rezeki).” Ia juga berdoa, “Ya Allah sedikit tidak cocok untuku dan aku juga tidak cocok untuk itu.” Itulah doa meminta rezeki yang selalu dibaca oleh Sa’ad bin Ubadah.
Sahabat Rasulullah yang Dermawan
Sa’ad bin Ubadah terkenal sebagai orang yang dermawan. Jika seorang pria di Ansar hanya bisa melayani satu, dua, atau tiga tamu bersamaan, sedangkan Sa’ad biasa melayani 80 tamu. Seorang pelayannya biasa naik ke atap rumah Sa’ad dan berteriak, “Siapapun yang suka lemak dan daging, biarkan dia datang ke sini.”
Karena kebiasaan Sa’ad ini, Rasulullah memohon kepada Allah untuknya dengan doa, “Ya Allah, berikan berkah dan belas kasihan Anda untuk keluarga Sa’ad bin Ubadah.” Sa’ad juga selalu berdoa meminta rezeki agar selalu bisa memberi ke banyak orang.
Peran Sa’ad bin Ubadah di Badar
Sa’ad adalah seorang pemanah yang baik dan berani. Ibnu Abbas berkata tentangnya, “Di semua medan perang, Rasulullah memiliki dua panji: Panji Muhaaji yang dipegang oleh Ali bin Abi Thalib dan panji Ansar yang dipegang oleh Sa’ad bin Ubadah.
Sa’ad bin Ubadah di perang Badar memiliki keberanian besar. Saat Rasulullah mencari bantuan ke Ansar, lalu Sa’ad berdiri dan berani memulai pertempuran. Dia berkata, “Ya Rasulullah, jika Anda memerintahkan kamu untuk pergi ke Bark Al Ghimad kami pasti akan melakukannya.”
Sa’ad bin Ubadah adalah sahabat Nabi yang ikut serta dalam perang Badar. Meskipun beberapa ahli menyebut ia tidak ikut serta karena beberapa hal. Walaupun dia tidak ikut perang, tapi beliau sudah berniat ikut serta. Oleh karena itu, Rasulullah menetapkan bagian untuknya.
Saat berangkat perang Badar, Sa’ad memberi hadiah sebuah pedang bernama Adhab kepada Rasulullah. Kemudian Rasulullah berperang menggunakan pedang tersebut. Selain itu, Sa’ad juga menghadiahkan keledai kepada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wa Sallam dan sering menjamunya dengan maksimal.
Senang Melayani Rasulullah
Sa’ad bin Ubadah selalu berusaha melayani Rasulullah. Misalnya pada perang Uhud, sebelum berangkat ke medan perang Sa’ad dan dua orang sahabat lainnya yaitu Usaid bin Huzair dan Sa’ad bin Muadz selalu setia menjaga Nabi Muhammad. Mereka terus berjaga hingga subuh di pintu kediaman Rasulullah. Saat Rasul keluar dari rumah dan membawa busur dan tombak, mereka bertiga berlari di depan beliau sementara pasukan lainnya berada di sisi kanan dan kirinya.
Sa'ad bin Ubadah dermawan
Di cerita yang lain, saat masa awal kedatangan Rasulullah di Madinah, setiap hari Sa’ad selalu mempersembahkan semangkuk besar makanan yang berisi daging. Makanan yang biasa disajikan adalah Tsarid yaitu makanan yang terbuat dari roti yang diremukan lalu dicampur dengan kuah daging. Selain itu, Sa’ad juga sering menyajikan Tsarid susu, Tsarid Zaitun, atau mangkuk berisi lemak daging.
Suatu malam, Ia pernah mengirim semangkuk Tufaishal atau sejenis sup ke Rasulullah. Lalu Rasul meminum sup itu sampai kenyang. Padahal Rasul tidak pernah meminum sesuatu apapun sampai kenyang. Dari situ para sahabat tahu bahwa Rasul sangat menyukai sup Tufaishal dari Sa’ad.
Sa’ad bin Ubadah Sedekah Kepada Orang Tua
Sa’ad selalu berusaha berbakti kepada orang tuanya secara maksimal. Saat ibunya wafat, Ia tidak ada di dekatnya karena sedang berjuang bersama Rasul di perang Dumatul Jandal. Setelah kembali ke Madinah, Sa’ad memohon kepada Rasulullah untuk menyolatkan jenazahnya. Rasulullah kemudian menyolatkan ibunya walau telah wafat satu bulan sebelumnya.
Setelah itu, Sa’ad bertanya kepada Rasul, “Ibu saya telah wafat tapi dia tidak mewasiatkan apapun kepada saya. Bolehkah saya bersedekah atas nama beliau dan apakah itu bermanfaat untuknya ?” Beliau Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wa Sallam menjawab, “Iya.”
Lalu Sa’ad bertanya kepada Rasul tentang apa yang paling disukai oleh Rasulullah. Rasul meminta Sa’ad untuk menyediakan air minum karena saat itu sedang terjadi krisis air. Setelah mendengar keinginan Rasul, Sa’ad langsung menggali sumur dan beliau melakukannya atas nama ibunya. Di lain waktu, Sa’ad juga pernah memberi kebunnya untuk sedekah atas nama ibunya. Dan Rasulullah menjadi saksi atas sedekah Sa’ad bin Ubadah.
Sumber: https://islamkita.co/
Kisah Sahabat Nabi: Sa’ad bin Ubadah, Pembawa Bendera Anshar
Setiap menyebut nama Sa’ad bin Mu’adz, pastilah disebut pula bersamanya Sa’ad bin Ubadah. Mereka berdua adalah pemuka-pemuka penduduk Madinah. Sa’ad bin Mu’adz pemuka Suku Aus, sedang Sa’ad bin Ubadah pemuka Suku Khazraj. Keduanya lebih dini masuk Islam, menyaksikan Baiat Aqabah dan hidup di samping Rasulullah sebagai prajurit yang taat dan Mukmin sejati.
Mungkin kelebihan Sa’ad bin Ubadah karena dia satu-satunya dari golongan Anshar yang menanggung siksaan Quraisy yang dialami hanya kaum Muslimin penduduk Makkah.
Adalah suatu hal yang wajar jika Quraisy melampiaskan amarah dan kekejaman mereka kepada orang-orang yang sekampung dengan mereka yaitu warga kota Makkah. Tetapi jika siksaan itu mencapai pada laki-laki warga Madinah, padahal ia bukan laki-laki kebanyakan, tetapi seorang tokoh di antara para pemimpin dan pemukanya, maka keistimewaan itu telah ditakdirkan hanya bagi Sa’ad bin Ubadah seorang.
Begini ceritanya, setelah selesainya perjanjian Aqabah yang dilakukan secara rahasia, dan orang-orang Anshar telah bersiap-siap hendak kembali pulang, orang-orang Quraisy mengetahui janji setia orang-orang Anshar ini serta persetujuan mereka dengan Rasulullah SAW, di mana mereka akan berdiri di belakangnya dan menyokongnya menghadapi kekuatankekuatan musyrik dan kesesatan.
Timbullah kepanikan di kalangan Quraisy, dan mereka segera mengejar kafilah Anshar. Kebetulan mereka berhasil menangkap Sa’ad bin Ubadah. Kedua tangannya mereka ikatkan ke atas pundaknya dengan tali kendaraannya, lalu mereka bawa ke Makkah. Di Makkah, iring-iringan ini disambut beramai-ramai oleh penduduk yang memukul dan melakukan siksaan pada Sa'ad sesuka hati mereka.
Bayangkan, Sa’ad bin Ubadah, sang pemimpin Madinah, mendapat perlakuan seperti ini. Ia yang selama ini melindungi orang yang minta perlindungan, menjamin keamanan perdagangan mereka, memuliakan utusan dari pihak mana pun yang berkunjung ke Madinah, telah diikat, dipukuli, dan disiksa. Dan orang-orang yang memukulnya seolah tidak kenal padanya dan tidak mengetahui kedudukannya di kalangan kaumnya!
Sa’ad segera meninggalkan Makkah setelah menerima penganiayaan, hingga diketahuinya dengan pasti sampai di mana persiapan Quraisy untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap kaum yang tersingkir, yang menyeru kepada kebaikan, kepada hak dan keselamatan. Dan permusuhan Quraisy ini telah mempertebal semangatnya hingga diputuskannya secara bulat akan membela Rasulullah saw, para sahabat dan Agama Islam secara mati-matian.
Rasulullah saw melakukan hijrah ke Madinah, dan sebelumnya itu para sahabatnya telah lebih dulu hijrah. Ketika itu demi melayani kepentingan orang-orang Muhajirin, Sa’ad membaktikan harta kekayaannya. Sa’ad adalah seorang dermawan, baik dari tabiat pembawaan, maupun dari turunan.
Ia adalah putra Ubadah bin Dulaim bin Haritsah yang kedermawanannya di zaman jahiliyah lebih tenar dari ketenaran manapun juga. Dan memang, kepemurahan Sa’ad di zaman Islam merupakan salah satu bukti dari bukti-bukti keimanannya yang kuat lagi tangguh. Dan mengenai sifatnya ini ahli-ahli riwayat pernah berkata, “Sa’ad selalu menyiapkan perbekalan bagi Rasulullah saw dan bagi seluruh isi rumahnya."
Kata mereka pula, “Biasanya seorang laki-laki Anshar pulang ke rumahnya membawa seorang dua atau tiga orang Muhajirin, sedang Sa’ad bin Ubadah pulang dengan 80 orang!”
Oleh sebab itu, Sa’ad selalu memohon kepada Tuhannya agar ditambahi rezki dan karunia-Nya. Dan ia pernah berkata, “Ya Allah, tiadalah yang sedikit itu memperbaiki diriku, dan tidak pula baik bagiku!”
Wajarlah apabila Rasulullah saw mendoakannya, “Ya Allah, berilah keluarga Sa’ad bin Ubadah karunia serta rahmat-Mu!”
Sa’ad tidak hanya menyiapkan kekayaannya untuk melayani kepentingan Islam yang murni, tetapi juga ia membaktikan kekuatan dan kepandaiannya. Ia adalah seorang yang amat mahir dalam memanah. Dalam peperangannya bersama Pasulullah SAW, pengorbanannya amat penting dan menentukan.
Ibnu Abbas RA berkata, “Di setiap peperangannya, Rasulullah SAW mempunyai dua bendera; bendera Muhajirin di tangan Ali bin Abi Thalib dan bendera Anshar di tangan Sa’ad bin Ubadah."
Pada hari-hari pertama pemerintahan Khalifah Umar bin Khathab, Sa’ad pergi menjumpai Amirul Mukminin dan dengan blak-blakan berkata kepadanya, "Demi Allah, sahabat anda, Abu Bakar, lebih kami sukai daripada anda. Dan sungguh, demi Allah, aku tidak senang tinggal berdampingan dengan anda.”
Dengan tenang Umar menjawab, “Orang yang tidak suka berdampingan dengan tetangganya, tentu akan menyingkir daripadanya."
Sa’ad menjawab pula, "Aku akan menyingkir dan pindah ke dekat orang yang lebih baik daripada anda.”
Dengan kata-kata yang diucapkannya kepada Amirul Mukminin Umar bin Khathab itu, tiadalah Sa’ad bermaksud hendak melampiaskan amarah atau menyatakan kebencian hatinya. Karena orang yang telah menyatakan ridhanya kepada putusan Rasulullah SAW, sekali-kali tiada akan keberatan untuk mencintai seorang tokoh seperti Umar, selama dilihatnya ia pantas untuk dimuliakan dan dicintai Rasulullah.
Maksud Sa’ad ialah bahwa ia tidak akan menunggu datangnya suasana, di mana nanti mungkin terjadi pertikaian antaranya dengan Amirul Mukminin. Pertikaian yang sekali-kali tidak diinginkan dan disukainya. Maka disiapkannyalah kendaraannya, menuju Suriah. Dan belum lagi ia sampai ke sana dan baru saja singgah di Hauran, ajalnya telah datang menjemputnya dan mengantarkannya ke sisi TuhannyaYang Maha Pengasih.
Sumber: https://m.republika.co.id/