Type Here to Get Search Results !

KISAH NABI ADAM 'ALAIHISSALAM

 

Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.

Ini adalah kisah nenek moyang seluruh manusia. Dialah Nabi Adam ‘alaihissalam, manusia pertama yang diciptakan Allah. Jika orang-orang tertarik untuk mengenali dan menelusuri sejarah nenek moyang mereka, maka kisah Nabi Adam adalah kisah nenek moyangnya seluruh nenek-nenek moyang. Kebanyakan orang berusaha mengenal keutamaan nenek moyang mereka, maka kita pun berusaha mengenal keutamaan nenek moyang kita yang paling pertama yaitu Nabi Adam ‘alaihissalam.  Allah Subhanahu wa ta’ala menceritakan kisah Nabi Adam ‘alaihissalam dalam beberapa surah di dalam Alquran. Allah mengulang-ulang kisah Adam tidak lain kecuali karena banyak pelajaran yang bisa kita ambil dari kisah Nabi Adam ‘alaihissalam, terutama tatkala dia digoda oleh Iblis. Hal ini menjadi peringatan kepada kita bahwasanya permusuhan kita terhadap Iblis dan keturunannya telah berlangsung sejak lama.

Selain itu dengan mempelajari kisah Nabi Adam ‘alaihissalam akan membuat kita mengetahui bagaimana indahnya Islam dan bagaimana kelirunya pemahaman agama-agama selain Islam maupun firqoh-firqoh yang menyimpang.

Allah mengabarkan kepada Malaikat sebelum menciptakan Adam

Kemudian disebutkan bahwa sebelum Allah menciptakan Nabi Adam, Allah mengabarkan rencana tersebut kepada para Malaikat. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ

“Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui“. (QS. Al-Baqarah: 30)

Di dalam ayat ini terdapat beberapa pendapat di kalangan ahli tafsir yang menyebutkan alasan Malaikat berkata bahwa khalifah yang akan diciptakan oleh Allah akan berbuat kerusakan.

Pendapat pertama: mengatakan bahwa Malaikat mengetahui hal tersebut karena Allah sendiri yang mengabarkan kepada Malaikat tentang sifat Nabi Adam ‘alaihissalam dan keturunannya yang mereka akan saling bermusuhan dan saling menumpahkan darah. Namun pengkhabaran Allah kepada Malaikat akan hal ini tidaklah disebutkan di al-Qur’an

Pendapat kedua: menyebutkan bahwa Malaikat mengetahui hal tersebut karena mereka menduga itulah yang akan terjadi dari manusia. Karena Malaikat tahu Allah menciptakan Malaikat dalam kondisi terjaga (ma’sum) tidak akan membangkang kepada Allah, sementara manusia tidaklah demikian. Maka ini menunjukan manusia akan membangkang dan berpotensi melakukan kerusakan di bumi.

Pendapat ketiga: menyebutkan bahwa Malaikat berkata demikian karena ada makhluk yang tinggal di atas muka bumi sebelum Nabi Adam ‘alaihissalam yang berbuat kerusakan yaitu Jin. Pendapat ini juga dikemukakan oleh sebagian Salaf. Karena Jin lebih dahulu diciptakan dari pada manusia([1]). Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خُلِقَتِ الْمَلَائِكَةُ مِنْ نُورٍ، وَخُلِقَ الْجَانُّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ، وَخُلِقَ آدَمُ مِمَّا وُصِفَ لَكُمْ

“Malaikat diciptakan dari cahaya, dan Jin diciptakan dari api yang menyala, dan Adam diciptakan sebagaimana disifatkan bagi kalian.” ([2])

Para ulama menyebutkan bahwa hadis ini menjadi tertib urutan penciptaan antara Malaikat, Jin dan manusia. Sehingga menjadi jelas bahwa Jin lebih dahulu diciptakan dari manusia. Allah Subhanahu wa ta’ala juga berfirman di dalam Alquran,

وَالْجَانَّ خَلَقْنَاهُ مِنْ قَبْلُ مِنْ نَارِ السَّمُومِ

“Dan Kami telah menciptakan Jin sebelum Adam dari api yang sangat panas.” (QS. Al-Hijr: 27)

Maka dalil ini menguatkan pendapat sebagian Salaf bahwa sebelum Nabi Adam ‘alaihissalam diciptakan, ada Jin yang tinggal di atas muka bumi([3]). Sehingga tatkala Jin tersebut saling berbuat kerusakan, Allah mengirim Malaikat untuk mengusir mereka. Lalu, Allah menciptakan Nabi Adam. Pernyataan Malaikat bahwa Nabi Adam ‘alaihissalam dan keturunannya kelak akan berbuat kerusakan sama seperti yang dilakukan oleh sebagian kelompok Jin dikuatkan dengan kata Khalifah. Kata Khalifah dalam bahasa Arab bermakna pengganti sebagaimana Abu Bakar Ash-Shiddiq digelari sebagai Khalifah ar-Rasul (pengganti Rasulullah). Sehingga memberikan makna bahwa keberadaan Nabi Adam ‘alaihissalam di atas muka bumi sebagai makhluk dari yang sebelumnya yaitu Jin. Akan tetapi ini hanyalah pendapat sebagian ulama. Wallahu a’lam bisshawwab.

Di dalam surah Al-Baqarah ayat 30 ini juga disebutkan bahwa Malaikat mempertanyakan alasan penciptaan Khalifah di atas muka bumi. Seakan-akan Malaikat hendak berkata kepada Allah bahwa jika Allah hendak menciptakan makhluk yang senantiasa beribadah, maka mereka para Malaikat pun telah ada dan senantiasa beribadah kepada Allah. Dan kita ketahui tatkala Malaikat telah beribadah kepada Allah, maka tidak akan ada henti-hentinya dan tidak akan pernah futur. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman, 

يُسَبِّحُونَ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ لَا يَفْتُرُونَ

“Mereka (para Malaikat) selalu bertasbih malam dan siang tiada henti-hentinya.” (QS. Al-Anbiya’: 20)

Akan tetapi Allah menjawab pertanyaan Malaikat dengan mengatakan “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. Dan kita bisa melihat bahwa di antara anak keturunan Nabi Adam ‘alaihissalam terdapat orang-orang yang hebat. Di antaranya adalah para Nabi, para Rasul, para Mujahid, para Da’i, para Dermawan, para Ahli ibadah dan orang-orang hebat lain yang mengorbankan jiwa, raga dan harta mereka untuk Islam. Ternyata banyak hal yang Allah ketahui, akan tetapi Malaikat tidak tahu.

Penciptaan Nabi Adam

Nabi Adam ‘alaihissalam diciptakan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala dari tanah dan air. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman tentang tanah,

إِنَّ مَثَلَ عِيسَى عِنْدَ اللَّهِ كَمَثَلِ آدَمَ خَلَقَهُ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ

“Sesungguhya permisalan (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: “Jadilah” (seorang manusia), maka jadilah dia.” (QS. Ali-‘Imran: 59)

Ayat ini sekaligus menjadi bantahan terhadap orang-orang Nasrani yang mengatakan bahwa Nabi Isa ‘alaihissalam yang lahir tanpa ayah, mengharuskan Nabi Isa ‘alaihissalam menjadi Tuhan. Jika pendapat mereka benar, maka Nabi Adam ‘alaihissalam lebih berhak menjadi Tuhan karena dilahirkan tanpa ayah dan ibu, sedangkan Nabi Isa ‘alaihissalam hanya tanpa ayah. Akan tetapi pendapat mereka tersebut dibantah oleh Allah melalui ayat ini([4]).

Adapun sumber tanahnya maka dari bumi, Nabi shallallahu álaihi wasallam bersabda

إِنَّ آدَمَ خُلِقَ مِنْ ثَلاَثِ تُرَابَاتٍ سَوْدَاءَ وَبَيْضَاءَ وَخَضْرَاءَ

“Sesungguhnya Adam diciptakan dengan tiga tanah :  tanah hitam, tanah putih, dan tanah hijau” ([5])

Demikian juga Ibnu Ábbas berkata:

خَلَقَ اللَّهُ تَعَالَى عَزَّ وَجَلَّ آدَمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ مِنْ أَدِيمِ الْأَرْضِ جَمِيعِهَا مِنْ أَسْوَدِهَا وَأَحْمَرِهَا وَأَبْيَضِهَا وَطَيِّبِهَا وَلَيِّنِهَا وَغَلِيظِهَا وَسِبَاخِهَا فَكُلُّ ذَلِكَ أَنْتَ رَاءٍ فِي وَلَدِهِ

“Allah menciptakan Adam álaihis salam dari dataran/wajah seluruh bumi, baik warna hitamnya, merahnya, putihnya, tanah yang baik, yang lembut, tanah yang keras, dan tanah yang bergaram. Semuanya (warna-warna dan jenis-jenis tanah tersebut) bisa engkau lihat (tercerminkan) pada anak-anaknya” ([6])

Inilah sebab kenapa Adam dinamakan dengan Adam, karena diambil dari kata أَدِيمِ الْأَرْضِ “dataran/wajah bumi”. Sebagaimana dalam riwayat yang lain Ibnu Ábbas berkata:

إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ خَلَقَ آدَمَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ بَعْدَ الْعَصْرِ مِنْ أَدِيمِ الْأَرْضِ فَسُمِّيَ آدَمَ

“Sesungguhnya Allah menciptakan Adam pada hari jumát setelah ashar dari adiim al-ardh (dataran bumi), maka iapun dinamakan dengan Adam”

Maka tidak heran jika anak keturunan Nabi Adam ‘alaihissalam memiliki warna kulit yang beragam. Ada yang berwarna hitam, putih, coklat, sawo matang, kuning langsat dan lain-lain. Demikian juga bervariasi dalam akhlak dan perilaku ada yang keras dan ada yang lembut.

Selain tanah maka sumber penciptaan Adam juga dari air. Allah berfiman:

وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ مِنَ الْمَاءِ بَشَرًا فَجَعَلَهُ نَسَبًا وَصِهْرًا وَكَانَ رَبُّكَ قَدِيرًا

“Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air lalu dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah dan adalah Tuhanmu Maha Kuasa” (QS Al-Furqon : 54)

Tanah yang Allah gunakan untuk menciptakan Nabi Adam ‘alaihissalam dicampur dengan air, sehingga hasil percampurannya disebut dengan طِيْنٍ sebagaimana perkataan Iblis kepada Allah tatkala diperintahkan untuk sujud kepada Nabi Adam ‘alaihissalam,

قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍ

“Iblis berkata: “Aku lebih baik daripadanya, karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah.” (QS. Shad: 76)

Thiin (طِيْن) merupakan campuran dari air dan tanah. Kalau hanya air saja, maka tidak disebut dengan Thiin dan kalau hanya tanah saja tidak pula disebut dengan Thiin melainkan Thurab. Maka tatkala disebut dengan kata Thiin maka maksudnya adalah tanah yang dicampur dengan air. Sehingga, itulah Thiin yang Allah gunakan untuk menciptakan Nabi Adam ‘alaihissalam. Dan sifat at-Thiin tersebut adalah lengket. Dalam ayat yang lain Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

إِنَّا خَلَقْنَاهُمْ مِنْ طِينٍ لَازِبٍ

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan mereka dari tanah liat.” (QS. Ash-Shaffat: 11)

Di dalam ayat ini menyebutkan bahwa Nabi Adam ‘alaihissalam diciptakan dari tanah liat yang memiliki sifat lengket([7]).

Maka setelah tanah tersebut dikumpulkan dan menjadi tanah yang lengket, setelah itu tanah yang bercampur air tersebut dibiarkan sehingga berubah warna dan mengeluarkan bau yang tidak enak. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي خَالِقٌ بَشَرًا مِنْ صَلْصَالٍ مِنْ حَمَإٍ مَسْنُونٍ

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur yang bau. (QS. Al-Hijr: 28)

Ibnu Ábbas berkata tentang حَمَإٍ مَسْنُونٍ adalah مُنْتِنٌ “Berbau” ([8])

Setelah itu Allah membentuk Adam dan membiarkan tanah tersebut menjadi kering seperti tembikar. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ صَلْصَالٍ كَالْفَخَّارِ

“Dia (Allah) menciptakan manusia dari tanah kering([9])  seperti tembikar,” (QS. Ar-Rahman: 14)

Setelah itu baru Allah meniupkan ruh pada Adam. Allah berfirman:

قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي خَالِقٌ بَشَرًا مِنْ صَلْصَالٍ مِنْ حَمَإٍ مَسْنُونٍ. فَإِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِنْ رُوحِي فَقَعُوا لَهُ سَاجِدِينَ

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.” (QS. Al-Hijr: 28-29)

Ayat ini menggambarkan proses penciptaan Nabi Adam ‘alaihissalam. Dimana Allah membentuknya dari tanah tanpa daging dan tulang, kemudian ditiupkan ruh oleh Allah, maka jadilah manusia. Disebutkan dalam riwayat yang hasan, ketika ruh Adam ditiupkan lalu yang pertama menunjukan tanda kehidupan adalah Adam bersin([10]).

Penciptaan Hawwaa

Setelah Allah menciptakan Nabi Adam ‘alaihissalam, barulah kemudian Allah menciptakan istrinya. Hawwa diciptakan oleh Allah sebelum Nabi Adam dimasukkan ke dalam surga. Hal ini sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala,

وَقُلْنَا يَا آدَمُ اسْكُنْ أَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ وَكُلَا مِنْهَا رَغَدًا حَيْثُ شِئْتُمَا

“Dan Kami berfirman: “Hai Adam, tinggallah engkau dan istrimu di dalam surga, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik dimana saja yang kamu sukai.” (QS. Al-Baqarah: 35)

Maka, tidak benar pendapat yang mengatakan bahwa Nabi Adam ‘alaihissalam masuk ke dalam surga dalam keadaan sendiri dan tidak memiliki kawan, sehingga Allah kasihan melihat Adam lalu menciptakan Hawwa. Yang benar adalah Hawwa diciptakan sebelum Nabi Adam ‘alaihissalam masuk ke dalam surga([11]).

Dalam ayat di atas Allah menyebutkan Hawwaa sebelum surga, ini mengisyaratkan kepada pepatah Arab الرَفِيْقُ قَبْلَ الطَّرِيْقِ “Pendamping sebelum menempuh perjalanan”. Hawwa adalah tempat tinggalnya hati, sementara surga adalah tempat tinggalnya badan, maka didahulukan tempat hati sebelum tempat badan. ([12])

Dari Adam dan Hawwa inilah lahir manusia seperti kita. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri (Adam), dan dari padanya Allah menciptakan isterinya (Hawwa); dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS. An-Nisa: 1)

Di dalam Alquran Allah hanya menyebutkan bahwa penciptaan Hawwa berasal dari Adam, sedangkan dalam hadits merincikan asal penciptaan Hawwa dari tulang rusuk. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَإِنَّ المَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ، وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلاَهُ

“Sesungguhnya wanita itu diciptakan dari tulang rusuk, dan yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah yang paling atas.”([13])

Dalam masalah ini terdapat khilaf di kalangan para ulama. Di antaranya adalah pendapat yang menyebutkan bahwa ini merupakan isyarat bahwa pada diri perempuan itu terdapat kekurangan. Yang dimaksud tulang yang paling bengkok ada pada bagian paling atas adalah bahwa bagian dari wanita yang paling kurang adalah lisannya([14]). Hal ini selaras dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain bahwa beliau berkata,

يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ، تَصَدَّقْنَ، فَإِنِّي رَأَيْتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ فَقُلْنَ: وَبِمَ ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ، وَتَكْفُرْنَ العَشِيرَ

“Wahai kaum wanita, bersedakahlah. Sungguh aku melihat kalian adalah yang paling banyak menjadi penghuni neraka”. Mereka bertanya: “Mengapa begitu wahai Rasulullah?”. Beliau menjawab: “Kalian banyak melaknat (mengumpat) dan mengingkari pemberian (suami).” ([15])

Dalam hadits ini disebutkan bahwa kesalahan terbanyak yang menyebabkan wanita menjadi penghuni terbanyak di neraka adalah karena kesalahan lisan mereka. Tentu tidak semua wanita memiliki sifat tersebut, akan tetapi kebanyakan memiliki kodrat seperti yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karenanya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

لَوْ أَحْسَنْتَ إِلَى إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ كُلَّهُ، ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا، قَالَتْ: مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ

“Seandainya kamu (para suami) berbuat baik terhadap salah seorang dari mereka (istrimu) sepanjang masa, lalu dia melihat satu saja kejelekan darimu maka dia akan berkata, “Aku belum pernah melihat kebaikan darimu sedikitpun.”([16])

Ini semua merupakan perkataan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan kita membenarkan segala apa yang dikatakan oleh beliau. Dan beliau tidak mungkin salah. Maka jika keluar dari wanita sifat seperti yang dikatakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, hendaknya para laki-laki seharusnya mengerti dengan kondisi tersebut. Bagaimanapun juga wanita diciptakan dari tulang rusuk laki-laki agar menumbuhkan ketenteraman antara suami dan istri.

Hikmah penciptaan Adam

Para ulama memberikan beberapa hikmah dibalik penciptaan Nabi Adam ‘alaihissalam. Diantaranya :

Pertama: Hikmah yang paling utama yaitu agar kita tidak saling angkuh satu sama lain. Karena kita semua berasal dari asal yang sama([17]). Nabi bersabda:

وَالنَّاسُ بَنُو آدَمَ، وَآدَمُ مِنْ تُرَابٍ

“Manusia adalah anak keturunan Adam, dan Adam dari tanah” ([18])

Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang untuk berbangga-bangga dengan nasabnya karena hal itu merupakan sikap jahiliyah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَرْبَعٌ فِي أُمَّتِي مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ، لَا يَتْرُكُونَهُنَّ: الْفَخْرُ فِي الْأَحْسَابِ، وَالطَّعْنُ فِي الْأَنْسَابِ، وَالْاسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُومِ، وَالنِّيَاحَةُ

“Ada empat perkara pada umatku dari perkara jahiliyah yang mereka tidak meninggalkannya: (yaitu) Bangga pada keturunan, mencela nasab, meminta hujan dengan bintang, dan meratap.”([19])

Sampai dikisahkan tatkala terjadi masalah antara kaum Muhajirin dan Anshar, mereka saling menyebut nasab mereka. Tatkala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar hal itu, beliau marah dan berkata,

مَا بَالُ دَعْوَى الجَاهِلِيَّةِ. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، كَسَعَ رَجُلٌ مِنَ المُهَاجِرِينَ رَجُلًا مِنَ الأَنْصَارِ، فَقَالَ: دَعُوهَا فَإِنَّهَا مُنْتِنَةٌ

“Mengapa panggilan-panggilan jahiliyah itu masih kalian lestarikan?”. Para Sahabat pun berkata: “Wahai Rasulullah, seseorang laki-laki dari kalangan Muhajirin mendorong seorang dari Anshar.” Maka Rasulullah bersabda: “Tinggalkanlah, karena hal itu adalah sesuatu yang busuk.”([20])

Akan tetapi, kita dapati bahwa hal berbangga terhadap nasab masih ada sampai saat ini. Oleh karenanya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ أَوْحَى إِلَىَّ أَنْ تَوَاضَعُوا حَتَّى لاَ يَبْغِىَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ وَلاَ يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ

“Sesungguhnya Allah mewahyukan kepada kalian untuk tawadhu’, jangan sampai seseorang menzhalimi orang yang lain, dan janganlah seseorang bangga di atas yang lainnya.”([21])

Di antara tafsiran kata وَلاَ يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ dalam hadits tersebut adalah jangan seseorang menganggap kabilahnya atau sukunya atau pun nasabnya lebih baik dari orang lain([22]). Dan ketahuilah, bahwa tatkala seseorang membanggakan diri dihadapan orang lain, maka pasti akan ada orang yang lain menganggapnya rendah. Oleh karenanya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang berbangga atas orang lain dengan bersabda,

لَا فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى عَجَمِيٍّ، وَلَا لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ، وَلَا أَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ، وَلَا أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ، إِلَّا بِالتَّقْوَى أَبَلَّغْتُ

“Tidak ada kelebihan bagi orang ‘Arab atas orang ‘Ajam (non-‘Arab), tidak pula orang ‘Ajam atas orang ‘Arab, tidak pula orang berkulit merah atas orang berkulit hitam, dan tidak pula orang berkulit hitam di atas orang berkulit merah, kecuali atas dasar ketakwaan.” ([23])

Maka yang membedakan seseorang dengan orang yang lain adalah ketakwaannya. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ

“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu.” (QS. Al-Hujurat: 13)

Semua dalil ini juga menjadi bantahan untuk orang-orang Yahudi dan orang-orang Hindu. Orang Yahudi menganggap diri mereka sebagai suku terpilih. Mereka menyebut diri mereka dengan sebutan Sya’bullah al-Mukhtar (rakyat Allah yang terpilih), dan menganggap manusia selain mereka diciptakan untuk melayani mereka (orang-orang Yahudi). Bahkan, mereka meyakini bahwa selain orang-orang Yahudi kedudukannya seperti hewan. Hanya saja orang selain mereka itu diciptakan berbentuk manusia hanya untuk sekedar melayani mereka. Adapun orang-orang Hindu membagi manusia dalam empat kasta yaitu Brahmana, Ksatria, Waisya dan Sudra. Dalam agama hindu menempatkan kasta Brahmana sebagai kasta yang paling tinggi dan menjadikan kasta Sudra sebagai kasta yang paling rendah. Khurafat dalam agama hindu menyebutkan bahwa jika kasta Sudra ingin naik kasta pada kehidupan kedua, maka kasta mereka harus melayani kasta Brahmana. Jika tidak dilakukan, maka statusnya akan tetap sebagai kasta Sudra atau lebih rendah yaitu menjadi hewan pada reinkarnasi kehidupan kedua. Maka, ini semua adalah tidak benar. Kita mendapati Islam merupakan agama yang paling mulia dengan tidak membedakan seseorang karena suku maupun kulit nya. Akan tetapi Islam membedakan di antara umatnya dengan ketakwaan. Tatkala kita telah mengetahui bahwa asal usul manusia Nabi Adam ‘alaihissalam yang diciptakan dari tanah, maka hilanglah semua keyakinan seperti ini.

Kedua: Bantahan terhadap teori Darwin

Dari semua keterangan ini menjadi bantahan terhadap orang-orang yang mengatakan bahwa manusia berasal dari kera seperti pernyataan Charles Darwin dengan teori-teorinya. Ketahuilah bahwa teori-teori tersebut hanyalah omong kosong belaka. Bahkan hadis-hadis menyebutkan keterbalikan dari teori Darwin. Nabi Adam ‘alaihissalam adalah manusia yang paling sempurna dari manusia-manusia yang lain([24]). Adapun manusia setelahnya senantiasa memiliki kekurangan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خَلَقَ اللَّهُ آدَمَ وَطُولُهُ سِتُّونَ ذِرَاعًا،… فَلَمْ يَزَلِ الخَلْقُ يَنْقُصُ حَتَّى الآنَ

“Allah menciptakan Adam setinggi 60 Dziro (30 meter)…(sedangkan) anak cucu Adam diciptakan mengecil hingga sampai sekarang.”([25])

Oleh karenanya Nabi Adam ‘alaihissalam menjadi manusia yang paling sempurna karena diciptakan langsung dengan tangan Allah. Salah satu kesempurnaan Nabi Adam adalah memiliki paras yang sangat tampan. Hal ini dijelaskan oleh Ahli tafsir saat menafsirkan perkataan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bertemu dengan Nabi Yusuf ‘alaihissalam saat Isra’ Mi’raj, dimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

إِذَا هُوَ قَدِ اُعْطِيَ شَطْرَ الْحُسْنِ

“Ia (Yusuf) dianugerahi setengah ketampanan.” ([26])

Para ahli tafsir menyebutkan bahwa yang dimaksud setengah ketampanan dalam hadis ini adalah Nabi Yusuf ‘alaihissalam dianugerahi setengah dari ketampanan Nabi Adam ‘alaihissalam. Karena Nabi Adam ‘alaihissalam adalah manusia yang paling sempurna([27]). Oleh karenanya, dalam hadis disebutkan bahwa nanti manusia tatkala masuk ke dalam surga, bentuk mereka akan seperti Nabi Adam ‘alaihissalam yang tinggi dan tampan.

Ketiga: Nabi Adam spesial karena diciptakan langsung dengan kedua tangan Allah

Nabi Adam ‘alaihissalam diciptakan langsung oleh kedua tangan Allah Subhanahu wa ta’ala. Hal ini pula yang menjadi dalil untuk memerintahkan Malaikat dan Iblis sujud kepada Nabi Adam ‘alaihissalam. Maka, tatkala Iblis enggan sujud kepada Nabi Adam ‘alaihissalam, Allah Subhanahu wa ta’ala kemudian berfirman,

قَالَ يَا إِبْلِيسُ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ

“Allah berfirman: “Hai Iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku.” (QS. Shad: 75)

Ayat ini menerangkan kepada kita bahwa akidah Ahlussunnah wal Jama’ah meyakini bahwasanya Allah memiliki tangan. Akidah ini telah disepakati oleh para Salaf dan dinyatakan oleh para ulama([28]). Bahkan, Abu al-Hasan al-Asy’ari dalam kitabnya Maqalat al-Islamiyyin dan Al-Ibanah juga mengatakan demikian([29]). Maka sungguh menyedihkan tatkala melihat orang-orang yang menisbatkan dirinya pada Abu Al-Hasan Al-Asy’ari, akan tetapi mereka mengingkari sifat kedua tangan Allah. Ar-Razi yang menisbatkan dirinya kepada Asy’ari. Dalam kitabnya mengatakan bahwa dirinya menyelisihi Abu Al-Hasan Al-Asy’ari yang menetapkan sifat kedua tangan bagi Allah Subhanahu wa ta’ala. Kalau ada di antara kita yang mengingkari sifat kedua tangan Allah, berarti telah mengingkari keistimewan Nabi Adam ‘alaihissalam. Justru, Nabi Adam ‘alaihissalam menjadi istimewa karena diciptakan dengan sifat kedua tangan Allah. Hal ini diakui oleh para Nabi dan seluruh manusia di padang mahsyar kelak. Disebutkan dalam hadits bahwa tatkala Nabi Musa ‘alaihissalam bertemu dengan Nabi Adam ‘alaihissalam, Nabi Musa berkata,

أَنْتَ آدَمُ الَّذِي خَلَقَكَ اللهُ بِيَدِه

“Wahai engkau Adam, yang Allah menciptakanmu dengan kedua tanganNya.” ([30])

Begitupula para manusia tatkala mencari syafa’at di padang mahsyar, mereka pergi menemui Nabi Adam ‘alaihissalam dan berkata,

يَا آدَمُ أَنْتَ أَبُو البَشَرِ، خَلَقَكَ اللَّهُ بِيَدِهِ، وَنَفَخَ فِيكَ مِنْ رُوحِهِ، وَأَمَرَ المَلاَئِكَةَ فَسَجَدُوا لَكَ، وَأَسْكَنَكَ الجَنَّةَ، أَلاَ تَشْفَعُ لَنَا إِلَى رَبِّكَ، أَلاَ تَرَى مَا نَحْنُ فِيهِ وَمَا بَلَغَنَا؟

“Wahai Adam, engkau adalah bapak seluruh manusia. Allah telah menciptakan engkau langsung dengan tangan Nya dan meniupkan langsung ruh Nya kepadamu, dan memerintahkan para Malaikat sujud kepadamu, dan menempatkan kamu di surga. Tidakkah sebaiknya engkau memohon syafa’at kepada Rabbmu untuk kami? Tidakkah engkau melihat apa yang sedang kami alami?” ([31])

Oleh karena itu, para ulama berusaha terus untuk membantah mereka-mereka yang mengingkari sifat kedua tangan Allah Subhanahu wa ta’ala dengan mengatakan bahwa hal tersebut adalah pemahaman yang menyimpang.

Allah mengajarkan kepada Adam nama-nama segala sesuatu

Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَعَلَّمَ آدَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلَائِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَؤُلَاءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ

“Dan Dia (Allah) mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!.” (QS. Al-Baqarah: 31)

قَالُوا سُبْحَانَكَ لَا عِلْمَ لَنَا إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ

“Mereka (Malaikat) menjawab: “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Baqarah: 32)

Pada ayat ini menjelaskan bahwa Allah memuliakan Nabi Adam ‘alaihissalam di atas para Malaikat dengan ilmu. Nabi Adam ‘alaihissalam menjadi lebih mulia dari Malaikat dengan ilmu yang tidak diketahui oleh Malaikat. Sebagaimana pula perkataan Nabi Sulaiman ‘alaihissalam tatkala mereka dikaruniai ilmu, mereka mengatakan bahwa itu adalah suatu kelebihan. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَلَقَدْ آتَيْنَا دَاوُودَ وَسُلَيْمَانَ عِلْمًا وَقَالَا الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي فَضَّلَنَا عَلَى كَثِيرٍ مِنْ عِبَادِهِ الْمُؤْمِنِينَ

“Dan sesungguhnya Kami telah memberi ilmu kepada Daud dan Sulaiman; dan keduanya mengucapkan: “Segala puji bagi Allah yang melebihkan kami (dengan ilmu) dari kebanyakan hamba-hambanya yang beriman.” (QS. An-Naml: 15)

Maka, dari sini ilmu menjadi sangat penting, karena dapat menjadikan orang lebih mulia dari sebagian orang yang lain.

Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

قَالَ يَا آدَمُ أَنْبِئْهُمْ بِأَسْمَائِهِمْ فَلَمَّا أَنْبَأَهُمْ بِأَسْمَائِهِمْ قَالَ أَلَمْ أَقُلْ لَكُمْ إِنِّي أَعْلَمُ غَيْبَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَأَعْلَمُ مَا تُبْدُونَ وَمَا كُنْتُمْ تَكْتُمُونَ

“Allah berfirman: “Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini”. Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: “Bukankah sudah Ku-katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu nyatakan dan apa yang kamu sembunyikan?” (QS. Al-Baqarah: 33)

Maka tatkala itu nampaklah kemuliaan Nabi Adam ‘alaihissalam dengan ilmu yang Allah berikan. Sehingga Nabi Adam ‘alaihissalam memiliki dua kemulian. Yang pertama yaitu dibuat langsung dengan tangan Allah dan yang kedua adalah memiliki ilmu yang tidak dimiliki oleh Malaikat dan Jin. Maka Allah menjadikan hal ini sebagai dalil agar para Malaikat dan Jin sujud kepada Nabi Adam ‘alaihissalam.

Maka kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ

“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para Malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam”, maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur, dan ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 34)

Terdapat khilaf di kalangan para ulama bahwa apakah Iblis berasal dari golongan Malaikat atau Jin.

Pendapat pertama, jumhur para ahli tafsir dan sebagian para Salaf menyebutkan bahwa Iblis merupakan golongan Malaikat. Pendapat ini juga dirajihkan oleh Ibnu Jarir At-Thabari dalam tafsirnya. Kalau kita melihat dzahir ayat di atas, Allah tidak menyebutkan nama Iblis untuk sujud kepada Nabi Adam ‘alaihissalam. Akan tetapi Allah hanya memerintahkan para Malaikat, sehingga dzahir ayat mengatakan bahwa Iblis dari golongan Malaikat. Pendapat ini pun cukup kuat.

Pendapat kedua, sebagian ulama menyebutkan bahwa Iblis berasal dari golongan Jin([32]). Pendapat ini dikuatkan dengan firman Allah Subhanahu wa ta’ala,

وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ كَانَ مِنَ الْجِنِّ فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ

“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para Malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam, maka sujudlah mereka kecuali Iblis. Dia adalah dari golongan Jin, maka ia mendurhakai perintah Tuhannya.” (QS. Al-Kahfi: 50)

Pendapat ini membedakan antara Malaikat dan Iblis. Karena pada dasarnya sifat Malaikat tidak pernah membangkang perintah Allah Subhanahu wa ta’ala. Allah menyebutkan sifat Malaikat dalam surah lain,

لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

“(mereka para Malaikat) Tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6)

Inilah dalil bahwa Iblis berasal dari golongan Jin. Pendapat kedua ini pun lebih kuat dari pendapat sebelumnya, dan pendapat ini dirajihkan oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim rahimahumallah. Mereka menyebutkan bahwa secara asal Iblis adalah dari golongan Jin. Akan tetapi, karena sebelumnya Iblis juga merupakan makhluk yang saleh, maka dia berada dikalangan para Malaikat([33]). Karena disebutkan dalam buku-buku tafsir bahwa sebelum Nabi Adam ‘alaihissalam diciptakan, Iblis adalah makhluk yang paling ‘alim. Maka, tatkala Nabi Adam ‘alaihissalam diciptakan lebih ‘alim dari pada Iblis, maka dari situlah muncul kekesalan dan kesombongan Iblis([34]).

Seseorang terkadang kelihatan ikhlas dan saleh tatkala beribadah. Akan tetapi, ketika datang orang yang lebih saleh darinya, maka akan tampak apakah ibadahnya selama ini ikhlas atau tidak. Maka, hal seperti inilah yang dialami oleh Iblis. Dia hasad kepada Nabi Adam ‘alaihissalam. Adam pendatang baru akan tetapi langsung memiliki banyak keistimewaan yang tidak ada pada diri Iblis.  Maka, kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala mempertanyakan kepada Iblis tentang pembangkangannya yang tidak mau sujud kepada Nabi Adam ‘alaihissalam. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

قَالَ يَا إِبْلِيسُ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ أَسْتَكْبَرْتَ أَمْ كُنْتَ مِنَ الْعَالِينَ

“Allah berfirman: “Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada apa yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?”. (QS. Shad: 75)

Kemudian Iblis tatkala hendak menjawab pertanyaan dari Allah, dia tidak bisa lagi mengatakan bahwa dirinya yang paling ‘alim, karena dia menyadari bahwa Nabi Adam ‘alaihissalam dilebihkan ilmu oleh Allah Subhanahu wa ta’ala yang dia dan para Malaikat tidak ketahui. Iblis juga tidak bisa mengatakan bahwa proses penciptaan dirinya lebih baik dari Nabi Adam karena dia menyadari bahwa proses penciptaan Adam lebih sempurna karena langsung diciptakan dengan tangan Allah Subhanahu wa ta’ala. Maka akhirnya Iblis berdalil dengan sesuatu yang sebenarnya bukan dalil, yaitu menjadikan api dan tanah sebagai alasan. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍ

“Iblis berkata: “Aku lebih baik dari padanya, karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah.” (QS. Shad: 76)

Dalam ayat ini Iblis menggunakan qiyas dan analogi bahwasanya api lebih baik dari tanah, sehingga membuat Iblis merasa dirinya lebih baik dari pada Adam ‘alaihissalam.

Ketahuilah bahwa qiyas yang dikatakan oleh Iblis merupakan qiyas yang batil([35]), sehingga dibantah oleh para ulama dengan banyak bantahan.

Di antara bantahannya adalah:

Pertama: Tanah lebih baik dari api karena api sifatnya merusak, dan tidak punya ketegaran tatkala terkena angin. Sedangkan tanah sifatnya tenang dan bisa menumbuhkan banyak pepohonan, dan juga sebagai tempat hidup manusia dan hewan-hewan.

Kedua: Bantahan lain adalah Iblis salah menggunakan dalil. Karena yang menjadi perbandingan saat itu adalah antara Iblis dan Nabi Adam ‘alaihissalam, bukan perbandingan asal penciptaan. Bisa jadi seseorang adalah anak dari ayah yang shalih akan tetapi iapun menjadi anak yang buruk (seperti Kan’an anaknya Nuuh ‘alaihis salam). Sebaliknya ada seseorang yang ayahnya buruk namun ia menjadi orang shalih (seperti Ibrahim). Maka tidak boleh anak yang buruk merasa dirinya lebih baik dari anak yang shalih karena berdalil dengan ayahnya. Karena yang menjadi penilaian adalah bukan ayah mereka tapi diri mereka sebagai pribadi tersendiri.

Ketiga: Kalau pun seandainya yang diperbandingkan adalah asal penciptaan, dan Iblis ternyata lebih baik dari pada Nabi Adam ‘alaihissalam, maka Iblis tetap harus sujud kepada Nabi Adam ‘alaihissalam sebagai bentuk ketaatan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Maka, kedua bantahan ini sudah cukup membuktikan bahwa qiyas yang disampaikan oleh Iblis adalah qiyas yang batil([36]).

Maka, yang sebenarnya dialami oleh Iblis adalah karena hasad kepada Nabi Adam ‘alaihissalam. Hasad menjadikan Iblis mencari dalih untuk melegalkan hawa nafsunya. Sebagian ahli tafsir menyatakan firman Allah.

وَأَعْلَمُ مَا تُبْدُونَ وَمَا كُنْتُمْ تَكْتُمُونَ

Dan Aku mengetahui apa yang kamu nyatakan dan apa yang kamu sembunyikan?” (QS. Al-Baqarah: 33)

“apa yang kamu sembunyikan” yaitu kesombongan dan hasad yang disimpan oleh Iblis dan tidak diutarakannya([37]).

Iblis akhirnya tetap enggan untuk sujud kepada Nabi Adam ‘alaihissalam. Meskipun dia tahu bahwa resikonya adalah dia akan dimasukkan ke dalam neraka. Dan beginilah sifat seseorang tatkala dia hasad, dia tidak akan peduli resiko yang akan menimpanya, yang penting kenikmatan orang lain hilang dari orang tersebut.

Hasad pada dasarnya memiliki tingkatan. Akan tetapi hasad yang dilakukan oleh manusia pada umumnya adalah seseorang menginginkan kenikmatan orang lain berpindah kepada dirinya, dan ini adalah perbuatan buruk. Akan tetapi tingkat hasadnya Iblis lebih buruk dari itu. Iblis tidak menginginkan Nabi Adam ‘alaihissalam dikeluarkan dari surga dan Iblis yang masuk ke surga, Iblis tidak butuh dirinya dimasukan ke dalam surga menggantikan posisi Adam, akan tetapi dia menginginkan agar Nabi Adam ‘alaihissalam menemaninya di neraka. Maka, hasad yang dilakukan oleh Iblis adalah hasad yang lebih buruk dari hasadnya kebanyakan manusia saat ini. Oleh karenanya wahai saudaraku, berhati-hatilah dengan hasad, karena dosa pertama di alam semesta ini adalah dosa hasad yang dilakukan oleh Iblis([38]).

Kemudian divonislah Iblis masuk ke dalam neraka. Sebelum dimasukkan ke dalam neraka, Iblis meminta izin kepada Allah agar dapat menggoda Nabi Adam ‘alaihissalam agar Adam dan keturunannya bisa ikut menemani Iblis di neraka di kemudian hari ketika hari kiamat.

قَالَ رَبِّ فَأَنْظِرْنِي إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ

“Iblis berkata: “Wahai Tuhanku, tangguhkanlah (kematian) aku sampai hari mereka dibangkitkan.” (QS. Shad: 79)

قَالَ فَإِنَّكَ مِنَ الْمُنْظَرِينَ

“Allah berfirman: “Sesungguhnya kamu termasuk golongan yang diberi tangguhan.” (QS. Shad: 80)

Ayat ini menjadi dalil bahwa Iblis menyadari bahwa dirinya tidak hidup abadi dan umurnya terbatas, karenanya ia minta untuk ditangguhkan kematiannya. Ini menunjukan bahwa di antara para Jin yang diberikan tangguhan usia hingga hari kiamat hanyalah Iblis. Adapun Jin selain Iblis tidak kita ketahui berapa usianya, namun akan mati.

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa setelah Allah memvonis Iblis masuk ke dalam neraka, Allah kemudian menciptakan Hawwa untuk menemani Nabi Adam ‘alaihissalam. Setelah itu Allah memerintahkan kepada Adam dan Hawwa untuk masuk ke dalam surga. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَقُلْنَا يَا آدَمُ اسْكُنْ أَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ وَكُلَا مِنْهَا رَغَدًا حَيْثُ شِئْتُمَا وَلَا تَقْرَبَا هَذِهِ الشَّجَرَةَ فَتَكُونَا مِنَ الظَّالِمِينَ

“Dan Kami berfirman: “Hai Adam, masuklah oleh kamu dan isterimu ke dalam surga, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, nanti kamu termasuk orang-orang yang zalim”.” (QS. Al-Baqarah: 35)

Allah juga menjelaskan tentang nikmatnya surga kepada Adam

إِنَّ لَكَ أَلَّا تَجُوعَ فِيهَا وَلَا تَعْرَى. وَأَنَّكَ لَا تَظْمَأُ فِيهَا وَلَا تَضْحَى

“Sesungguhnya (ada jaminan) untukmu (disurga), (yaitu) engkau tidak akan kelaparan di dalamnya dan tidak akan telanjang. Dan sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga dan tidak (pula) akan ditimpa panas matahari di dalamnya.” (QS. Taha: 118-119)

Setelah itu Allah ingatkan kepada Adam akan bahaya Iblis yang akan menggodanya dan ingin mengeluarkannya dari surga. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

فَقُلْنَا يَا آدَمُ إِنَّ هَذَا عَدُوٌّ لَكَ وَلِزَوْجِكَ فَلَا يُخْرِجَنَّكُمَا مِنَ الْجَنَّةِ فَتَشْقَى

“Kemudian Kami berfirman: “Hai Adam, sesungguhnya ini (Iblis) adalah musuh bagimu dan bagi isterimu, maka sekali-kali jangan sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari surga, nanti kamu (adam) sengsara([39])”.” (QS. Taha: 117)

Allah Subhanahu wa ta’ala telah mengingatkan Nabi Adam ‘alaihissalam bahwa tidak boleh mendekati pohon yang Allah maksud dan juga tentang bahayanya Iblis. Akhirnya, Iblis mulai menggoda Nabi Adam ‘alaihissalam karena sebelumnya dia telah bersumpah untuk memasukkan keturunan Nabi Adam ‘alaihissalam ke dalam neraka jahannam bersamanya. Kemudian, Allah menceritakan kisah tatkala Iblis mulai menggoda Nabi Adam ‘alaihissalam. Allah berfirman,

فَوَسْوَسَ إِلَيْهِ الشَّيْطَانُ قَالَ يَا آدَمُ هَلْ أَدُلُّكَ عَلَى شَجَرَةِ الْخُلْدِ وَمُلْكٍ لَا يَبْلَى

“Kemudian syaitan membisikkan([40]) pikiran jahat kepadanya (Adam), dengan berkata: “Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepada kamu pohon keabadian (khuldi) dan kerajaan yang tidak akan binasa?” (QS. Taha: 120)

Siasat Iblis menggoda Adam

Iblis pandai ketika menggoda Adam. Diantara kepandaiannya:

Pertama: Iblis menggoda Adam dan Hawwa dari sisi keabadian hidup disurga. Hal ini karena ketika Allah menyebutkan tentang kenikmatan di surga Allah tidak menyebutkan tentang kekekalan bagi Adam dan Hawwa. Sebagaimana telah lalu Allah berfirman:

إِنَّ لَكَ أَلَّا تَجُوعَ فِيهَا وَلَا تَعْرَى. وَأَنَّكَ لَا تَظْمَأُ فِيهَا وَلَا تَضْحَى

“Sesungguhnya (ada jaminan) untukmu (disurga), (yaitu) engkau tidak akan kelaparan di dalamnya dan tidak akan telanjang. Dan sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga dan tidak (pula) akan ditimpa panas matahari di dalamnya.” (QS. Taha: 118-119)

Iblis mengetahui bahwa dari celah inilah yang mampu membuat Nabi Adam ‘alaihissalam percaya dengan perkataan Iblis. Maka, dari sini Iblis menggoda Nabi Adam ‘alaihissalam dengan iming-iming keabadian dengan memakan buah dari pohon yang Allah larang untuk didekati. Karena, Iblis mengetahui bahwa Allah tidak menghendaki keabadian untuk Adam ‘alaihissalam. Iblis berkata:

يَا آدَمُ هَلْ أَدُلُّكَ عَلَى شَجَرَةِ الْخُلْدِ وَمُلْكٍ لَا يَبْلَى

“Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepada kamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan binasa?” (QS Thaha : 120)

Di sini Iblis mengiming-imingi adam pada tiga perkara:

  1.     Kehidupan yang kekal
  2.     Kerajaan surga yang kekal
  3.     Kondisi Adam menjadi penguasa, sebagai raja, sebagai pemilik, bukan sebagai yang diperintahkan([41]).

Kedua: Iblis menamakan pohon yang dilarang tersebut dengan sebutan شَجَرَةِ الْخُلْدِ pohon keabadian. Tentu ini adalah kedustaan besar, karena pohon tersebut tidak memiliki nama. Allah Subhanahu wa ta’ala tidak menyebutkan nama pohon tersebut apalagi menamainya dengan nama pohon keabadian. Karena memang buah pohon tersebut tidak akan mendatangkan keabadian. Akan tetapi, inilah pekerjaan Iblis yang senantiasa menghiasi kemaksiatan, yaitu dengan memberikan nama pohon tersebut dengan nama yang indah([42]).

Hal ini sebagaimana orang-orang yang menamakan riba dengan bunga atau bagi hasil, bir dengan minuman rohani. Akan tetapi inilah yang dilakukan orang-orang dengan menamakan kemaksiatan dengan nama-nama yang indah agar memiliki daya tarik([43]).

Ketiga: Iblis menghiasi rayuannya dengan sumpah, dan mengesankan bahwa ia benar-benar berniat baik kepada Adam, dan serius ingin kebaikan bagi Adam dan Hawwa.

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَقَاسَمَهُمَا إِنِّي لَكُمَا لَمِنَ النَّاصِحِينَ

“Dan dia (Iblis) bersumpah kepada keduanya. “Sesungguhnya saya adalah termasuk yang benar-benar menginginkan kebaikan bagimu.” (QS. Al-A’raf: 21)

Ibnul Qayyim menyebutkan bahwa Iblis memberi penekanan kepada Nabi Adam ‘alaihissalam dengan tiga penekanan. Yang pertama, Iblis berkata وَقَاسَمَهُمَا, yaitu Iblis bersumpah (dengan nama Allah). Yang kedua, Iblis berkata إِنِّي, yaitu Iblis mengatasnamakan dirinya dengan sungguh-sungguh. Yang ketiga, Iblis mengatakan لَكُمَا لَمِنَ النَّاصِحِينَ, yaitu Iblis benar-benar menginginkan kebaikan bagi Nabi Adam ‘alaihissalam. ([44])

Pada ayat sebelumnya Iblis mengatakan,

وَقَالَ مَا نَهَاكُمَا رَبُّكُمَا عَنْ هَذِهِ الشَّجَرَةِ إِلَّا أَنْ تَكُونَا مَلَكَيْنِ أَوْ تَكُونَا مِنَ الْخَالِدِينَ

“Dan Iblis berkata: “Tuhanmu hanya melarangmu mendekati pohon ini, agar kamu berdua tidak menjadi Malaikat atau tidak menjadi orang-orang yang kekal (dalam surga)”.” (QS. Al-A’raf: 20)

Maka, kemudian Nabi Adam ‘alaihissalam tergoda dengan bisikan Iblis. Nabi Adam ‘alaihissalam tidak menyadari bahwa Iblis akan menipunya. Sebagian ulama mengatakan bahwa kemungkinan Nabi Adam ‘alaihissalam husnudzan terhadap Iblis, akan tetapi tidak pada tempatnya, padahal Allah telah memberi peringatan kepada Nabi Adam ‘alaihissalam tentang bahaya Iblis sebelumnya ([45]).

Subhaanallah, nenek moyang kita Adam álaihis salam belum pernah digoda sebelumnya, dan ia belum belum pernah bermaksiat sebelumnya. Baru pertama digoda, dan yang menggodanya langsung adalah gembong dan raja pakar para penggoda, dialah Iblis. Adam belum pernah punya pengalaman tertipu sebelumnya, belum punya pengalaman tergoda sebelumnya, belum punya pengalaman menghadapi tipuan Iblis, sehingga sangat wajar jika Adam tertipu dengan rayuan Iblis ketika itu.

Akhirnya Nabi Adam ‘alaihissalam memakan buah dari pohon tersebut bersama Hawwa. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

فَأَكَلَا مِنْهَا فَبَدَتْ لَهُمَا سَوْآتُهُمَا وَطَفِقَا يَخْصِفَانِ عَلَيْهِمَا مِنْ وَرَقِ الْجَنَّةِ وَعَصَى آدَمُ رَبَّهُ فَغَوَى

“Maka keduanya memakan dari buah pohon itu, lalu nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun (yang ada di) surga, dan durhakalah Adam kepada Tuhan dan sesatlah ia.” (QS. Taha: 121)

Maka, Allah pun menegur mereka. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

أَلَمْ أَنْهَكُمَا عَنْ تِلْكُمَا الشَّجَرَةِ وَأَقُلْ لَكُمَا إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمَا عَدُوٌّ مُبِينٌ

“Bukankah Aku telah melarang kamu berdua dari pohon itu dan Aku telah mengatakan kepadamu bahwa sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?” (QS. Al-A’raf: 22)

Setelah ditegur oleh Allah subhanahu wa ta’ala, dengan segera mereka bertaubat. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

قَالَا رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Keduanya berkata: “Ya Tuhan kami, kami telah menzhalimi diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang merugi”.” (QS. Al-A’raf: 23)

Di dalam ayat yang lain Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

فَتَلَقَّى آدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ

“Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya.” (QS. Al-Baqarah: 37)

Menurut para ulama, tatkala Nabi Adam ‘alaihissalam ingin bertaubat kepada Allah, dia bingung bagaimana cara mengungkapkan taubatnya. Maka, ayat ini menerangkan bahwa maksud Nabi Adam menerima beberapa kalimat yaitu Allah mengajarkan Nabi Adam ‘alaihissalam doa untuk dia panjatkan([46]). Adapun doanya sebagaimana yang dipanjatkan oleh Nabi Adam ‘alaihissalam,

رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Ya Tuhan kami, kami telah menzhalimi diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang merugi.”

Maka, kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala menerima taubat Nabi Adam ‘alaihissalam. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

ثُمَّ اجْتَبَاهُ رَبُّهُ فَتَابَ عَلَيْهِ وَهَدَى

“Kemudian Tuhannya memilih dia (Adam), maka Dia menerima taubatnya dan memberinya petunjuk.” (QS. Taha: 122)

Ketahuilah, bahwa semua ini telah ditakdirkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala, yaitu dengan membuat skenario bahwa Nabi Adam ‘alaihissalam harus makan dari pohon tersebut dan harus turun ke bumi. Maka, setelah itu Nabi Adam ‘alaihissalam dan Hawwa turun ke bumi. Adam di keluarkan dari surga pada hari jumát. Nabi shallallahu álaihi wasallam bersabda:

خَيْرُ يَوْمٍ طَلَعَتْ عَلَيْهِ الشَّمْسُ يَوْمُ الْجُمُعَةِ، فِيهِ خُلِقَ آدَمُ، وَفِيهِ أُدْخِلَ الْجَنَّةَ، وَفِيهِ أُخْرِجَ مِنْهَا

“Hari terbaik matahari terbit padanya adalah hari jumát, pada hari tersebut Adam diciptakan, pada hari tersebut Adam dimasukan ke surga, dan pada hari itu Adam dikeluarkan dari surga” ([47])

Terdapat khilaf dikalangan ahli sejarah tentang dimana lokasi turunnya Nabi Adam ‘alaihissalam dan Hawwa. Ada yang mengatakan bahwa turunnya di India, yang lain mengatakan di Jeddah, dan yang lain mengatakan di padang ‘Arafah. Akan tetapi semua pendapat ini tidak memiliki dalil. Terdapat khurafat yang timbul tatkala sebagian orang meyakini bahwa mereka berdua turunnya di padang Arafah, kemudian saling mencari dan bertemu di Jabal Rahmah. Sehingga sebagian orang menjadikan Jabal Rahmah sebagai gunung cinta, yang mungkin mereka menjadikan tempat tersebut sebagai tempat akad nikah atau untuk menaruh foto-foto. Maka ini semua adalah khurafat dan tidak benar. Karena tidak ada kepastian dimana letak turunnya Nabi Adam ‘alaihissalam dan Hawwa secara rinci([48]). Yang kita ketahui adalah mereka turun ke bumi, dan mereka hidup serta beranak pinak di atas muka bumi. Hingga akhirnya Nabi Adam ‘alaihissalam meninggal dunia.

Adapun usia Adam álaihis salam ketika meninggal adalah 960 tahun. Rasulullahﷺ bersabda,

لَمَّا خَلَقَ اللَّهُ آدَمَ مَسَحَ ظَهْرَهُ، فَسَقَطَ مِنْ ظَهْرِهِ كُلُّ نَسَمَةٍ هُوَ خَالِقُهَا مِنْ ذُرِّيَّتِهِ إِلَى يَوْمِ القِيَامَةِ، وَجَعَلَ بَيْنَ عَيْنَيْ كُلِّ إِنْسَانٍ مِنْهُمْ وَبِيصًا مِنْ نُورٍ، ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى آدَمَ فَقَالَ: أَيْ رَبِّ، مَنْ هَؤُلَاءِ؟ قَالَ: هَؤُلَاءِ ذُرِّيَّتُكَ، فَرَأَى رَجُلًا مِنْهُمْ فَأَعْجَبَهُ وَبِيصُ مَا بَيْنَ عَيْنَيْهِ، فَقَالَ: أَيْ رَبِّ مَنْ هَذَا؟ فَقَالَ: هَذَا رَجُلٌ مِنْ آخِرِ الأُمَمِ مِنْ ذُرِّيَّتِكَ يُقَالُ لَهُ دَاوُدُ فَقَالَ: رَبِّ كَمْ جَعَلْتَ عُمْرَهُ؟ قَالَ: سِتِّينَ سَنَةً، قَالَ: أَيْ رَبِّ، زِدْهُ مِنْ عُمْرِي أَرْبَعِينَ سَنَةً، فَلَمَّا قُضِيَ عُمْرُ آدَمَ جَاءَهُ مَلَكُ المَوْتِ، فَقَالَ: أَوَلَمْ يَبْقَ مِنْ عُمْرِي أَرْبَعُونَ سَنَةً؟ قَالَ: أَوَلَمْ تُعْطِهَا ابْنَكَ دَاوُدَ قَالَ: فَجَحَدَ آدَمُ فَجَحَدَتْ ذُرِّيَّتُهُ، وَنُسِّيَ آدَمُ فَنُسِّيَتْ ذُرِّيَّتُهُ، وَخَطِئَ آدَمُ فَخَطِئَتْ ذُرِّيَّتُهُ

“Saat Allah menciptakan Adam, Ia mengusap punggungnya lalu dari punggungnya berjatuhan setiap jiwa yang diciptakan Allah dari keturunan Adam hingga hari kiamat dan Ia menjadikan kilatan cahaya diantara kedua mata setiap orang dari mereka, kemudian mereka dihadapkan kepada Adam, ia bertanya: ‘Wahai Rabb, siapa mereka?’ Allah menjawab: ‘Mereka keturunanmu’. Adam melihat seseorang dari mereka dan kilatan cahaya diantara kedua matanya membuatnya kagum, Adam bertanya: ‘Wahai Rabb siapa dia?’ Allah menjawab: ‘Ia orang akhir zaman dari keturunanmu bernama Daud’. Adam bertanya: ‘Wahai Rabb, berapa lama Engkau menciptakan umurnya?’ Allah menjawab: ‘Enam puluh tahun’. Adam bertanya: ‘Wahai Rabb, tambahilah empat puluh tahun dari umurku’. Saat usia Adam ditentukan, Malaikat maut mendatanginya lalu berkata: ‘Bukankah usiaku masih tersisa empat puluh tahun’. Malaikat maut berkata: ‘Bukankah kau telah memberikannya kepada anakmu, Daud’. Adam membantah lalu keturunannya juga membantah. Adam dibuat lupa dan keturunannya juga dibuat lupa. Adam salah dan keturunannya juga salah.” ([49])

Beliau wafat pada hari jumát. Nabi shallallahu álaihi wasallam bersabda:

خَيْرُ يَوْمٍ طَلَعَتْ فِيهِ الشَّمْسُ يَوْمُ الْجُمُعَةِ، فِيهِ خُلِقَ آدَمُ،  وَفِيْهِ قُبِضَ..

“Hari terbaik matahari terbit padanya adalah hari jumát, pada hari itu Adam diciptakan, dan pada hari itu Adam diwafatkan, pada hari itu Adam dimasukan surga, dan pada hari itu Adam diwafatkan” ([50])

Datang dalam sebagian riwayat bahwa para Malaikat yang menyiapkan janazah Adam, Malaikat yang memandikan Beliau, yang mengkafankan Beliau dan menguburkannya. Malaikat yang menggali kubur, lalu membuat lahadnya lalu memasukannya dalam lahad, setelah itu Malaikat keluar dari kubur lalu mengamburkan tanah di kuburannya. Setelah itu para Malaikat berkata:

يَا بَنِي آدَمَ هَذِهِ سُنَّتُكُمْ

“Wahai anak-anak Adam inilah sunnah kalian (dalam menguburkan mayat)” ([51])

Sungguh mulia Nabi Adam álaihis salam sehingga jasadnya diurusi oleh para Malaikat. Adapun lokasi kuburan beliau maka tidak ada dalil yang shahih yang menunjukan dimana lokasi tersebut.

Faidah-Faidah

Terdapat beberapa faedah yang lain dari kisah Nabi Adam ‘alaihissalam :

Pertama: Iblis senantiasa akan menghiasi maksiat. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

قَالَ رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِي الْأَرْضِ وَلَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ

“Iblis berkata: “Wahai Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya”.” (QS. Al-Hijr: 39)

Jadi, di antara tugas Iblis adalah menghiasi maksiat. Sampai sebagian ulama dalam buku tafsir menyebutkan bahwa Iblis akan menghiasi maksiat tersebut sampai orang tersebut gelisah ketika tidak melakukannya. Sehingga banyak orang kecanduan maksiat. Wal-’iyadzubillah. Nabi Adam ‘alaihissalam adalah salah satu orang yang terkena penghiasan tersebut. Karena, di dalam surga terdapat begitu banyak pohon yang dihalalkan untuk Nabi Adam dan hanya satu yang Allah haramkan. Akan tetapi, Iblis hanya berusaha untuk menghiasi sesuatu yang Allah haramkan agar Nabi Adam ‘alaihissalam mendekatinya. Demikian pula di dunia ini, banyak hal-hal yang Allah halalkan, akan tetapi syaitan menghiasi kita pada sesuatu yang haram. Salah satu contoh penghiasan Iblis terhadap maksiat adalah Iblis membuat laki-laki seakan-akan melihat istri orang lain lebih cantik dari pada istrinya. Padahal mungkin istrinya lebih cantik. Inilah kerjaan Iblis yang senantiasa menghiasi kemaksiatan agar orang-orang melakukannya.

Kedua: Di antara tujuan Iblis adalah agar orang-orang auratnya terbuka. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

يَا بَنِي آدَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ كَمَا أَخْرَجَ أَبَوَيْكُمْ مِنَ الْجَنَّةِ يَنْزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْآتِهِمَا

“Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya auratnya.” (QS. Al-A’raf: 27)

Dari ayat ini Allah mengingatkan jangan sampai kita tergoda dengan fitnah Iblis, sebagaimana nenek moyang kita telah berhasil terfitnah olehnya. Karena Iblis telah berhasil menjadikan Nabi Adam ‘alaihissalam dan Hawwa terbuka auratnya. Oleh karenanya, sebagian ulama menyebutkan bahwa salah satu tujuan Iblis adalah membuka aurat seseorang. Maka, saat ini syaitan menghiasi para wanita yang terbuka auratnya dengan sebutan wanita modern. Sedangkan orang yang tertutup auratnya adalah orang yang ketinggalan zaman. Sampai akan ada zaman dimana orang akan malu untuk memakai jilbab, karena dihiasi oleh syaitan bahwa itu adalah perbuatan primitif dan tidak modern. Padahal, kita sepakat bahwa zaman primitif adalah dimana tidak ada orang yang memakai pakaian. Akan tetapi, semua dihiasi Iblis dengan menjadikan orang-orang menganggap pakaian tertutup itu primitif dan pakaian terbuka adalah modern.

Ketiga: Para ulama mengatakan bahwa pokok-pokok dosa ada tiga yaitu الْكِبْرُ sombong, الْحَسَدُ hasad, dan الْحِرْص semangat mencari keduniaan. Ibnul Qoyyim berkata

أصُول الْخَطَايَا كلهَا ثَلَاثَة الْكبر وَهُوَ الَّذِي أصار إِبْلِيس إِلَى مَا أصاره والحرص وَهُوَ الَّذِي أخرج آدم من الْجنَّة والحسد وَهُوَ الَّذِي جرأ أحدا بني آدم على أَخِيه فَمن وقِي شَرّ هَذِه الثَّلَاثَة فقد وقى الشَّرّ فالكفر من الْكبر والمعاصي من الْحِرْص وَالْبَغي وَالظُّلم من الْحَسَد

“Pokok-pokok (landasan) seluruh dosa ada tiga, (1) sombong yang menyebabkan Iblis (tadinya taát lalu) menjadi Iblis, (2) semangat (meraih keduniaan), inilah yang mengeluarkan Adam dari surga, dan (3) hasad, inilah yang menjadikan salah seorang anak Adam membunuh saudaranya. Barangsiapa yang dilindungi dari keburukan 3 perkara ini maka ia telah selamat dari seluruh keburukan. Kekafiran timbul dari kesombongan, kemaksiatan muncul dari semangat (keduniaan), dan kedzaliman muncul dari hasad” ([52])

Ibnu Taimiyyah berkata

وَالْكبر والحسد هما داءان أهلكا الْأَوَّلين والآخرين وهما أعظم الذُّنُوب الَّتِي بهَا عصى الله أَولا فَإِن إِبْلِيس استكبر وحسد آدم

“Kesombongan dan hasad adalah dua penyakit yang membinasakan orang-orang terdahulu dan belakangan. Keduanya adalah dosa terbesar yang Allah dimaksiati pertama kali. Karena Iblis sombong dan hasad kepada Adam” ([53])

Keempat: Sujud yang Allah perintahkan kepada para Malaikat dan Iblis untuk sujud kepada Adab sujud tahiyyat (penghormatan) dan bukanlah sujud peribadatan. Artinya Allah menyuruh Malaikat dan Iblis sujud kepada Adab untuk menghormatinya bukan untuk beribadah kepadanya.

Sujud ada dua model, sujud tahiyyat (penghormatan) dan sujud ibadah (peribadatan). Sujud peribadatan tidak pernah Allah perintahkan kepada makhluk untuk melakukannya karena Allah tidak pernah memerintahkan untuk beribadah kepada selain Allah. Adapun sujud tahiyyat maka hal ini pernah disyari’atkan kepada umat-umat terdahulu. Allah berfirman tentang kisah Nabi Yusuf ‘alaihis salam ketika ia bercerita kepada ayahnya (Nabi Ya’qub ‘alaihis salam) tentang mimpinya

إِذْ قَالَ يُوسُفُ لِأَبِيهِ يَا أَبَتِ إِنِّي رَأَيْتُ أَحَدَ عَشَرَ كَوْكَبًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ رَأَيْتُهُمْ لِي سَاجِدِينَ

(Ingatlah), ketika Yusuf berkata kepada ayahnya: “Wahai ayahku, sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku” (QS Yusuf : 4)

Akhirnya mimpi tersebut menjadi kenyataan. Allah berfirman :

وَرَفَعَ أَبَوَيْهِ عَلَى الْعَرْشِ وَخَرُّوا لَهُ سُجَّدًا وَقَالَ يَا أَبَتِ هَذَا تَأْوِيلُ رُؤْيَايَ مِنْ قَبْلُ قَدْ جَعَلَهَا رَبِّي حَقًّا

Dan ia menaikkan kedua ibu-bapanya ke atas singgasana. Dan mereka (semuanya) merebahkan diri seraya sujud kepada Yusuf. Dan berkata Yusuf: “Wahai ayahku inilah ta´bir mimpiku yang dahulu itu; sesungguhnya Tuhanku telah menjadikannya suatu kenyataan. (QS Yusuf : 100)

Sebagai gambaran kita sujud di Masjid untuk menghormati masjid, namun bukan berarti kita beribadah kepada masjid, akan tetapi kita beribadah kepada Allah. Artinya Iblis disuruh sujud kepada Adam sebagai bentuk penghormatan kepada Adam akan tetapi sebagai bentuk menjalankan perintah Allah. Jadi sujudnya Malaikat kepada Adam adalah bentuk penghormatan kepada Adam dan bentuk beribadah kepada yang memerintahkan yaitu Allah.

Namun syariát ini (sujud tahiyyah) telah Mansukh (dihapuskan) dalam syariát Nabi Muhammad shallallahu álaihi wasallam. Karenanya ketika Muádz bin Jabal pergi ke negeri Syam beliau melihat orang-orang pada sujud kepada pendeta-pendeta mereka, maka beliau memandang bahwa Nabi shallallahu álaihi wasallam lebih utama untuk disujudi. Maka iapun mengutarakan hal tersebut kepada Nabi, maka Nabi shallallahu álaihi wasallam berkata :

لَوْ كُنْتُ آمُرُ أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ، لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا

“Kalau aku memerintahkan seseorang untuk sujud kepada yang lainnya (selain Allah) tentu sungguh aku akan memerintahkan wanita sujud kepada suaminya” (HR Ahmad 19403 dengan sanad yang hasan)

Karenanya sujud yang tersisa disyariát kita hanyalah sujud ibadah dan hanya boleh ditujukan kepada Allah.

Dari sini telah menyimpang sebagian orang yang menyatakan bahwa Iblis bertauhid karena tidak mau sujud kepada Adam([54]).

Kelima: Perbandingan antara kisah Adam di al-Qurán dengan kisah Adam versi Injil.

Selanjutnya, kita akan membahas kisah Nabi Adam ‘alaihissalam versi Injil. Agar kita semakin tahu betapa indahnya Islam setelah kita membandingkan antara kisah Adam di al-Qurán dengan kisah Adam di Perjanjian Lama. Berikut kisah Adam di Perjanjian Lama, kitab Kejadian 3, mulai dari ayat pertama dan seterusnya.

“Adapun ular ialah yang paling cerdik dari segala binatang di darat yang dijadikan oleh Tuhan Allah. Ular itu berkata kepada perempuan itu: “tentulah Allah berfirman: Semua pohon dalam taman ini jangan kamu makan buahnya bukan?” (Kej. 3.1).

Di dalam Injil, Iblis disebut sebagai ular. Kemudian, yang digoda adalah Hawwa. Sedangkan di dalam Alquran yang digoda oleh Iblis adalah Adam ‘alaihissalam. Ini sebagai pengantar untuk menjelaskan bahwa Hawwa adalah sumber permasalahan, karena nanti Hawwa lah yang akan menggelincirkan Adam dalam kesalahan.

“Lalu sahut perempuan itu kepada ular itu: “Buah pohon-pohonan dalam tanaman ini boleh kami makan, tetapi tentang buah pohon yang ada di tengah-tengah taman, Allah berfirman: Jangan kamu makan ataupun raba buah itu, nanti kamu mati.” (Kej. 3.2-3).

Pada ayat ini, Hawwa mengabarkan bahwa dilarangnya memakan buah pohon tersebut adalah bisa menyebabkan kematian sebagaimana yang dikabarkan oleh Allah.

Akan tetapi pada ayat selanjutnya menunjukan setelah Adam dan Hawwa makan buah tersebut ternyata mereka tidak mati. Jika demikian berarti ketika Allah melarang mereka makan buah, ternyata Allah hanya berbohong dan sekedar menakut-nakuti saja.

“Tetapi ular itu berkata kepada perempuan itu: “Sekali-kali kamu tidak akan mati, tetapi Allah mengetahui, bahwa pada waktu kamu memakannya matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti Allah, tahu tentang yang baik dan jahat.” (Kej. 3.4-5)

Ayat ini menjelaskan bahwa Iblis seakan-akan berkata kepada Hawwa, “Jangan percaya kepada Allah, Allah telah membohongimu, karena kalau kamu memakannya maka kau tidak akan mati, akan tetapi akan engkau akan upgrade dan menjadi berilmu seperti Allah, tahu yang baik dan jahat”.

Kalau cara menggoda Iblis seperti ini tentu seharusnya Hawwa tidak percaya. Bagaimana Hawwa percaya kepada Iblis bahwa Allah berbohong?. Bandingkan dengan cara menggoda Iblis versi al-Qurán yang menunjukan pandainya Iblis dalam menggoda. Adapun pada versi Injil maka nampak sekali Iblis bodoh dalam menggoda, dan lebih bodoh lagi Hawwa yang percaya.

Perempuan itu melihat, bahwa buah pohon itu baik untuk dimakan dan sedap kelihatannya, lagipula pohon itu menarik hati karena memberi pengertian. Lalu ia mengambil dari buahnya dan dimakannya dan diberikannya juga kepada suaminya yang bersama-sama dengan dia, dan suaminya pun memakannya. Maka terbukalah mata mereka berdua dan mereka tahu, bahwa mereka telanjang; lalu mereka menyemat daun pohon ara dan membuat cawat. Ketika mereka mendengar langkah Tuhan Allah, yang berjalan-jalan dalam taman itu pada waktu hari sejuk, bersembunyilah manusia dan istrinya itu terhadap Tuhan Allah di antara pohon-pohonan dalam taman.” (Kej. 3.6-8).

Lihatlah, bahwa di dalam Injil memang memastikan bahwa sumber malapetaka adalah Hawwa. Bahkan ayat Injil ini menunjukan bahwa Hawwa telah menipu Adam, dimana dia memberi buah kepada Adam tanpa memberitahukan bahwa itu adalah buah dari pohon yang terlarang.

Seharusnya Adam tidak berdosa dan tidak dihukum, karena ia memakan buah tersebut tanpa sepengetahuannya. Harusnya yang dihukum hanyalah Hawwa, dan harusnya hanya Hawwa yang diturunkan di bumi.

Adapun dalam versi al-Qur’an maka Iblis langsung menggoda keduanya (Adam dan Hawwa) dan keduanya langsung sama-sama makan. Allah berfiman :

فَوَسْوَسَ لَهُمَا الشَّيْطَانُ لِيُبْدِيَ لَهُمَا مَا وُورِيَ عَنْهُمَا مِنْ سَوْآتِهِمَا وَقَالَ مَا نَهَاكُمَا رَبُّكُمَا عَنْ هَذِهِ الشَّجَرَةِ إِلَّا أَنْ تَكُونَا مَلَكَيْنِ أَوْ تَكُونَا مِنَ الْخَالِدِينَ، وَقَاسَمَهُمَا إِنِّي لَكُمَا لَمِنَ النَّاصِحِينَ، فَدَلَّاهُمَا بِغُرُورٍ فَلَمَّا ذَاقَا الشَّجَرَةَ بَدَتْ لَهُمَا سَوْآتُهُمَا وَطَفِقَا يَخْصِفَانِ عَلَيْهِمَا مِنْ وَرَقِ الْجَنَّةِ

Maka syaitan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka yaitu auratnya dan syaitan berkata: “Tuhan kamu tidak melarangmu dan mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi Malaikat atau tidak menjadi orang-orang yang kekal (dalam surga)”

Dan dia (syaitan) bersumpah kepada keduanya. “Sesungguhnya saya adalah termasuk orang yang memberi nasehat kepada kamu berdua”. Maka syaitan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. Tatkala keduanya telah merasai buah pohon itu, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga. (QS Al-A’raf : 20-22)

Bahkan jika dikatakan Adam yang pertama digoda lantas Hawwa hanya mengikuti Adam maka hal itu bisa saja. Allah mengisyaratkan hal ini dalam firmanNya :

فَوَسْوَسَ إِلَيْهِ الشَّيْطَانُ قَالَ يَا آدَمُ هَلْ أَدُلُّكَ عَلَى شَجَرَةِ الْخُلْدِ وَمُلْكٍ لَا يَبْلَى

Kemudian syaitan membisikkan pikiran jahat kepada Adam, dengan berkata: “Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepada kamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan binasa? (QS Thaha : 120)

Bahkan dalam versi al-Qurán Allah menisbahkan maksiat kepada Adam setelah menyebutkan keduanya telah memakan buah dari pohon tersebut.

فَأَكَلَا مِنْهَا فَبَدَتْ لَهُمَا سَوْآتُهُمَا وَطَفِقَا يَخْصِفَانِ عَلَيْهِمَا مِنْ وَرَقِ الْجَنَّةِ وَعَصَى آدَمُ رَبَّهُ فَغَوَى

“Maka keduanya memakan dari buah pohon itu, lalu nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun (yang ada di) surga, dan durhakalah Adam kepada Tuhan dan sesatlah Ia” (QS Thaha : 121)

Seakan-akan Iblis mengetahui bahwa cukup jika Adam tergoda maka Hawwa akan mengikuti, karena biasanya wanita mengekor kepada lelaki([55]).

Yang aneh juga dalam versi Injil disebutkan “Ketika mereka mendengar langkah Tuhan Allah, yang berjalan-jalan dalam taman itu pada waktu hari sejuk”

Dalam versi Injil ternyata surga tidak senantiasa sejuk. Karenanya disebutkan Allah dtang pada waktu hari sejuk, berarti ada waktu dimana surga lagi tidak sejuk. Berbeda dengan surga nya Adam dalam versi al-Qurán yang selalu sejuk. Allah berfirman kepada Adam tentang nikmat surga:

إِنَّ لَكَ أَلَّا تَجُوعَ فِيهَا وَلَا تَعْرَى. وَأَنَّكَ لَا تَظْمَأُ فِيهَا وَلَا تَضْحَى

“Sesungguhnya (ada jaminan) untukmu (disurga), (yaitu) engkau tidak akan kelaparan di dalamnya dan tidak akan telanjang. Dan sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga dan tidak (pula) akan ditimpa panas matahari di dalamnya.” (QS. Taha: 118-119)

Demikian juga Allah berjalan-jalan di surga sehingga terdengar langkah kakinya?

Selanjutnya:

 “Tetapi Tuhan Allah memanggil manusia itu dan berfirman kepadanya: “Di manakah engkau?” ia menjawab: “Ketika aku mendengar, bahwa engkau ada dalam taman ini, aku menjadi takut, karena aku telanjang; sebab itu aku bersembunyi.” Firman-Nya: “Siapakah yang memberitahukan kepadamu, bahwa engkau telanjang? Apakah engkau makan dari buah pohon, yang kularang engkau makan itu?” (Kej. 3.9-11).

Aneh…Tuhan bertanya, “Dimanakah engkau wahai Adam?”. Sungguh penghinaan kepada Tuhan, bagaimana Tuhan tidak tahu dimana keberadaan Adam?, apakah Tuhan Jahil?.

Bahkan dilanjutkan dengan pertanyaan Tuhan selanjutnya yang menunjukan kekagetan Tuhan, “Siapa yang memberitahukan kepadamu bahwa engkau telanjang?”.

Lihatlah Tuhan masih tidak tahu bahwa Adam sudah telanjang.

Lalu dilanjutkan pertanyaan Tuhan selanjutnya, “Apakah engkau makan dari buah pohon, yang kularang engkau makan itu?”, ternyata Tuhan juga tidak tahu sebab kanapa Adam telanjang, Tuhan tidak tahu bahwa Adam telah memakan buah tersebut ?!!. Sungguh kebodohan dan ketidahtahuan yang bertumpuk-tumpuk pada Tuhan ?!.

Bandingkan dengan versi al-Qurán, Allah langsung tahu bahwa Nabi Adam memakan buah dari pohon tersebut, Allah langsung menegur, dan Adam langsung memohon ampun. Apalagi dalam Islam ada yang namanya beriman kepada Taqdir Allah, yaitu semua yang akan terjadi telah Allah taqdirkan yaitu telah Allah ketahui dan telah Allah catat. Jadi tentu Allah maha tahu segala yang terjadi dan akan terjadi.

Bahkan Injil juga menyebutkan ketika Adam dan Hawwa bersalah maka merekapun segera bersembunyi (sebagaimana pada ayat sebelumnya), seakan-akan mereka tahu bahwa mereka bisa sembunyi dari Allah. Ini semakin menunjukan bahwa memang Tuhan tidak tahu dan jahil, tidak tahu tempat persembunyian mereka, dan ketidaktahuan Tuhan juga diketahui oleh Adam dan Hawwa.

Selanjutnya :

“Manusia itu menjawab: “Perempuan yang kau tempatkan di sisiku, dialah yang memberi dari buah pohon itu kepadaku, maka kumakan.” (Kej. 3.12).

Tentu wajar jika Adam lalu mengkambing hitamkan Hawwa, karena sebagaimana telah lalu, memang Hawwa yang telah membohongi Adam, ia memberikan buah kepada Adam tanpa menjelaskan bahwa buah tersebut dari pohon yang terlarang.

Sedangkan versi al-Qurán maka mereka makan bersama-sama dan tidak ada yang saling menyalahkan. Dan setelah mereka ketahuan telah memakan buah dari pohon tersebut, mereka berdua langsung bertaubat kepada Allah (sebagaimana telah lalu penjelasannya).

“Kemudian berfirmanlah Tuhan Allah kepada perempuan itu: “Apa yang telah kau perbuat ini?” Jawab perempuan itu: “Ular itu yang memperdayakan aku, maka kumakan. Lalu berfirmanlah Tuhan Allah kepada ular itu: “Karena engkau berbuat demikian, terkutuklah engkau antara segala ternak dan di antara segala binatang hutan; dengan perutmulah engkau akan menjalar dan debu tanahlah akan kau makan seumur hidupmu. Aku akan mengadakan permusuhan antara engkau dan perempuan ini, antara keturunanmu dan keturunannya; keturunannya akan meremukkan kepalamu, dan engkau akan merekmukkan tumitnya.” (Kej. 3.12-16)

Di sini disebutkan bahwa ular akhirnya dikutuk sehingga berjalan dengan perutnya. Maka, kesimpulannya ular sebelum dikutuk dalam posisi berdiri tegak.

“FirmanNya kepada perempuan itu: “Susah payahmu waktu mengandung akan kubuat sangat banyak; dengan kesakitan engkau akan melahirkan anakmu; namun engkau akan birahi kepada suamimu dan ia akan berkuasa atasmu.”

Ini merupakan khurafat mereka yang menganggap bahwa susahnya wanita mengandung dan melahirkan itu karena dosa Hawwa. Seharusnya Hawwa dijadikan mudah dalam melahirkan, akan tetapi karena dosa memakan buah dari pohon yang dilarang, akhirnya Hawwa diberikan hukuman. Demikian juga wanita bisa merasakan birahi karena kesalahan Hawwa ??. Kita katakan ini adalah hukuman yang baik dari Tuhan, bayangkan jika yang hanya bisa birahi hanyalah lelaki??!

“Lalu Firmannya kepada manusia itu: “Karena engkau mendengarkan perkataan istrimu dan memakan dari buah pohon, yang telah kuperintahkan kepadamu: Jangan makan dari padanya, maka terkutuklah tanah karena engkau; dengan berusaha payah engkau akan mencari rezekimu dari tanah seumur hidupmu.” (kej. 3.17-18)

Pada ayat ini terdapat kemiripan dengan ayat yang ada di dalam Alquran, yaitu Nabi Adam akan bersusah payah hidup di dunia.

Inilah indahnya Islam jika kita membandingkan antara agama mereka (Nasrani) dalam menceritakan kisah Nabi Adam ‘alaihissalam. Dari kisah Nabi Adam yang disebutkan dalam Injil, timbul khurafat di antara mereka yang diciptakan oleh Paulus. Di dalam versi orang-orang Nasrani, Paulus adalah seorang Rasul yang tuhannya adalah Yesus([56]). Paulus membuat banyak khurafat setelah diangkatnya menjadi Rasul.

Khurafat yang muncul adalah dia menyebutkan bahwa setiap manusia memiliki dosa keturunan. Dosa keturunan ini berasal dari dosa Nabi Adam ‘alaihissalam yang diturunkan kepada anak keturunannya. Sehingga, setiap anak keturunan Adam yang lahir telah memiliki dosa tersebut. Kemudian, dosa keturunan ini tidak bisa ditebus dengan manusia, karena manusia dalam keyakinan mereka telah memiliki dosa. Sehingga menurut mereka, yang dapat menghapus dosa keturunan tersebut adalah orang yang benar-benar suci dan tidak memiliki dosa sama sekali, namun seluruh manusia tidak ada yang terlahir dalam kondisi suci, semuanya sudah membawa dosa turunan nabi Adam. Yang suci hanyalah  Tuhan. Lalu mereka mengatakan bahwa karena tidak mungkin Tuhan digunakan untuk menebus dosa tersebut secara lagnsung begitu saja, akhirnya, menurut mereka Tuhan terpaksa menjelma menjadi manusia ke dalam perut Maryam. Dari situlah kemudian Nabi Isa lahir dan dianggap sebagai tuhan, kemudian di salib sebagai penebus dosa.

Adapun bantahan terhadap khurafat mereka ini.

Pertama adalah umat Islam meyakini bahwa seseorang tidak menanggung dosa orang lain. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

أَلَّا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى

“(yaitu) Bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.” (QS. An-Najm: 38) ([57])

Kita telah sebutkan bahwa Nabi Adam ‘alaihissalam telah bertaubat kepada Allah, dan Allah menerima taubatnya. Maka telah terhapus dosanya, sehingga tidak ada lagi dosa turunan. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

فَتَلَقَّى آدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ

“Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 37)

Bagi umat Islam, hendaknya meyakini bahwa setiap manusia yang lahir itu bersih dari dosa. Sebagaimana perkataan Nabi ﷺ,

مَنْ حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ، وَلَمْ يَفْسُقْ، رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ

“Barang siapa yang melaksanakan ibadah haji karena Allah dengan tidak melakukan rafats dan tidak berbuat fasik, maka ia kembali seperti bayi yang baru dilahirkan (tanpa memiliki dosa) dari kandungan ibunya.” ([58])

Kedua: Jika memang benar ada filosofi dosa turunan, kenapa selama ini tidak pernah disampaikan oleh para Nabi sebelumnya. Tidak seorangpun dari mereka yang mengisyaratkan tentang dosa turunan ini. Lantas kenapa juga baru ditebus di zaman Nabi ‘Isa ‘alaihis salam?.

Ketiga: Kita bertanya kepada mereka, ‘Kalau memang Yesus menjadi penebus dosa, maka dosa apakah yang dihapuskan?’. Terdapat dua kemungkinan dalam hal ini, yaitu semua dosa telah dihapuskan atau hanya dosa keturunannya saja. Kalau dosa yang diampuni adalah seluruhnya baik yang telah lalu dan akan datang, maka orang-orang akan dengan bebas bermaksiat. Karena semua dosa telah diampuni. Dan hal ini tidak mungkin benar, karena melazimkan orang-orang untuk berbuat maksiat. Adapun kalau dosa yang ditebus adalah hanya seluruh dosa sebelum penyaliban (dosa yang lalu), maka orang setelah Nabi Isa ‘alaihissalam tidak mendapatkan manfaat dari penyaliban tersebut.

Akan tetapi, menurut filosofi mereka bahwa yang dihapuskan hanyalah dosa keturunan saja. Kalau mereka mengatakan demikian. Maka, kita menjawab berarti keturunan Nabi Adam ‘alaihissalam memiliki dua jenis dosa. Dosa sendiri dan dosa warisan. Kalau kita membandingkan antara kedua jenis dosa ini terhadap masing-masing keturunan Nabi Adam ‘alaihissalam, maka lebih banyak dosa sendiri. Karena yang menjadi dosa keturunan Nabi Adam ‘alaihissalam, hanyalah dosa memakan buah. Sedangkan dosa anak keturunan Nabi Adam ‘alaihissalam yang lain sangatlah banyak. Ada yang membunuh, berzina, mencuri dan lain-lain. Maka, apakah faedah diutusnya Nabi Isa ‘alaihissalam kalau hanya untuk mengampuni satu dosa tersebut? Sedangkan masih banyak dosa-dosa yang lain? Maka, untuk apa Tuhan bersusah-susah menjadi manusia, lalu dibunuh hanya untuk mengampuni satu dosa tersebut? ([59])

Keempat  Kalau Yesus menjadi penebus dosa turunan tersebut, maka tentu orang yang tidak beriman kepada Nabi Isa ‘alaihissalam sebagai tuhan juga telah diampuni dosa turunannya. Maka, kita katakan bahwa orang-orang yang tidak beriman kepada Nabi Isa pun akan selamat, karena ikut terampuni dosa keturunannya dengan teori ini.

Kelima: Hal yang lain, yang bisa kita bantah adalah mereka mengatakan bahwa penebus dosa tersebut harus orang yang suci. Dan Yesus dianggap sebagai orang suci. Akan tetapi, bukankah Yesus lahir dari rahim Maryam?.

Tentunya mereka sepakat bahwa Maryam tidaklah suci karena ia dilahirkan dari manusia (ayah dan ibunya) sehingga otomatis Maryam juga terlahir dengan memikul dosa turunan dari Adam. Jika Yesus pernah di rahim Maryam selama 9 bulan lantas mengapa mereka mengatakan bahwa Yesus berasal dari yang suci?.Kaum Nasrani menjawab dengan mengatakan bahwa Maryam telah dibersihkan. Kita pun kembali membantah mereka dengan mengatakan, kalau Maryam telah dibersihkan dengan mudahnya, untuk apa tuhan bersusah-susah menjelma menjadi manusia dan masuk ke dalam perut Maryam, kemudian disusui dan dibesarkan? Seharusnya, tatkala Maryam telah dibersihkan (disucikan), maka telah selesai pula dosa warisan tersebut. ([60]). Kalau mereka berkata hanya Maryam yang disucikan, maka ini menunjukan bahwa pensucian bisa terjadi tanpa harus ada penumbalan anak Tuhan.

Keenam: Kalau Allah menjelma menjadi manusia (Yesus), maka terdapat banyak kelaziman. Yang pertama, adalah Allah harus mengecil dan turun level menjadi manusia. Maka kalau Allah berada dalam perut Maryam, siapakah yang mengurus alam semesta ketika itu? Kemudian, ketika Allah menjadi manusia, melazimkan bahwa Allah telah mati, karena mereka meyakini bahwa telah membunuh Nabi Isa ‘alaihissalam yang mereka anggap sebagai tuhan. Kalau mereka mengatakan bahwa Allah tidak mati ketika Nabi Isa dibunuh, maka seharusnya berbeda antara Allah dan Nabi Isa ‘alaihissalam. Kemudian, ketika Allah menjelma menjadi manusia, melazimkan bahwa harusnya Nabi Isa tatkala itu menyerahkan diri untuk disalib. Tetapi dalam kenyataannya di dalam Injil (kitab mereka) disebutkan bahwa Yesus kabur ketika dikejar. Kalau memang Yesus hadir untuk disalib, maka mengapa dia harus lari ketakutan dan bersembunyi? Bahkan, di dalam Injil disebutkan bahwa sebelum Yesus disalib, dia memohon pertolongan dengan mengatakan “Ya Bapa selamatkan aku!”. Ini menunjukkan bahwa dia tidak ingin disalib. Karena kalau benar Yesus datang untuk menebus dosa warisan, maka seharusnya dia menyerahkan diri karena telah lama menanti waktu tersebut. ([61])

Inilah bantahan-bantahan terhadap khurafat-khurafat mereka terhadap Nabi Isa ‘alaihissalam dan dosa turunan dari Nabi Adam ‘alaihissalam. Sehingga kita menyebut agama mereka sebagai agama khurafat.

____

Footnote:

([1]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 1/274

([2]) H.R. Muslim 4/2294 no. 2996

([3]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 10/23

([4]) Ada empat model penciptaan manusia

Pertama: Diciptakan tanpa ayah dan ibu, dialah Nabi Adam ‘alaihis salam

Kedua: Diciptakan tanpa ayah, dialah Nabi Isa ‘alaihis salam

Ketiga: Diciptakan tanpa ayah dan ibu tapi dari tulang rusuk manusia yang lain, dialah Hawwa

Keempat: Diciptakan dengan melalui ayah dan ibu, yaitu seluruh manusia yang lain.

([5]) HR Ibnu Saád di At-Thobaqoot 1/34 dan dishahihkan oleh Al-Albani di Silsilah al-Ahaadiits as-Shahiihah no 1580

([6]) Atsar riwayat Abu Asy-Syaikh al-Ashbahaani di al-Ádzomah 5/1547, Al-Baihaqi di al-Asmaa’ wa as-Shifaat 2/258 no 817, dan at-Taimi di al-Hujjah fi Bayaan al-Mahajjah 1/410 no 213. Sanad dari atsar ini adalah sanad yang shahih sebagaimana dinyatakan oleh pentahqiq kitab al-Ádzomah dan pentahqiq kitab al-Asmaa wa as-Shifaat.

([7]) Ibnu Ábbas berkata tentang firman Allah طِينٍ لَازِبٍ : yaitu مُلْتَصِقٍ “Lengket” (Tafsir At-Thobari 19/512)

([8]) Tafsir At-Thobari 14/61, lihat Al-Masail Al-‘Aqadiyah Al-Muta’alliqah bi Adam 1/108

([9]) Makna صَلْصَالٍ adalah tanah yang kering namun belum diolah dan dibolongin serta belum dibakar. Namun karena saking keringnya jika diketuk akan mengeluarkan suara seperti suara صَلْصَلَةً, yaitu seperti suara tembikar yang diketuk.  (lihat Tafsir at-Thobari 22/191)

([10]) Lihat penjelasan Asy-Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Abdillah ketika mentahqiq kitab Al-Mathoolib al-Áaaliyah bi Zawaaid al-Masaaniid ats-Tsamaaniyah 14/229-235 hadits no 3447)

([11]) Lihat: Al-Masail Al-‘Aqadiyah Al-Muta’alliqah bi Adam 1/205

([12])  Lihat Ruuhul Maáani, Al-Alusi 1/235

([13]) H.R. Bukhari 4/133 no. 3331

([14]) Lihat: Fathul Bari Li Ibnu Hajar 6/368

([15]) H.R. Bukhari 2/120 no. 1462

([16]) H.R. Bukhari 2/37 no. 1052

([17]) Lihat: Al-Masail Al-‘Aqadiyah Al-Muta’alliqah bi Adam 1/106 atau Adhwa’ul Bayan Li Asy-Syinqiti 7/417

([18]) HR Ahmad no 8736 dengan sanad yang shahih

([19]) H.R. Muslim 2/644 no. 934

([20]) H.R. Muslim 6/154 no. 4905

([21]) H.R. Abu Daud 4/425 no. 4897

([22]) Lihat: Subulus-salam 2/691

([23]) H.R. Ahmad 38/474 no. 23489

([24]) Al-Masail Al-‘Aqadiyah Al-Muta’alliqah bi Adam 1/208-304

([25]) H.R. Bukhari 4/132 no. 3326

([26]) H.R. Muslim 1/146 no. 162

([27]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 4/386

([28]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 23/303 dan lihat: Majmu’ Al-Fatawa Li Ibnu Taimiyah4/365

([29]) Lihat: Al-Ibanah ‘An Ushul Ad-Diyanah 1/133 dan Maqalat Al-Islamiyyin 1/290

([30]) H.R. Muslim 4/2043 no. 2652

([31]) H.R. Bukhari 4/135 no. 3340

([32]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 1/294

([33]) Lihat: Majmu’ Al-Fatawa Li Ibnu Taimiyyah 4/346

([34]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 1/297

([35]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 15/229

([36]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 23/304

([37]) Saíd bin Jubair berkata مَا أَسَرَّ إِبْلِيسُ فِي نَفْسِهِ “Apa yang disembunyikan oleh Iblis dalam hatinya” (Tafsir At-Thobari 1/532)

([38]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 1/296

([39]) Dalam ayat ini Allah tidak menyebutkan Nabi Adam ‘alaihissalam dan Hawwa akan sengsara, akan tetapi Allah menyandarkannya kesengsaraan itu hanya kepada Nabi Adam ‘alaihissalam. Hal ini karena yang wajib mencari nafkah adalah laki-laki, Adam-lah yang bersusah payah mencari nafkah untuk Hawwa. Ini menunjukan suamilah yang bertanggung jawab untuk mencari nafkah. ( Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 11/253)

([40]) Adapun bagaimana cara Iblis menggoda Adam, apakah Iblis hanya di pintu surga, ataukah Iblis masuk ke dalam ular sehingga masuk ke surga, ataukah Iblis diizinkan oleh Allah untuk masuk ke surga untuk menggoda, ataukah hanya suara Iblis yang sampai, atau melalui bisikan hati, maka itu semuanya tidak ada dalilnya, dan tidak pernah dijelaskan oleh Allah dan RasulNya.

([41]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 16/326

([42]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 16/326

([43]) Lihat: Ighatsatul Lahfan Li Ibnul Qayyim 1/112

([44]) Ighatsatul Lahfan Li Ibnul Qayyim 1/113

([45]) Lihat: Ash-Shawwa’iq Al-Mursalah Li Ibnul Qayyim 1/375

([46]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 1/238

([47]) HR Muslim no 854

([48]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 3/399 dan Tafsir Al-Manar Li Muhammad Rasyid Ridha 1/232

([49]) H.R. Tirmidzi. 5/267 no. 3076

([50]) HR Ahmad no 9207 dengan sanad yang shahih

([51]) HR Ahmad no 21240, namun sanadnya dinilai dhoíf oleh para pentahqiq Musnad al-Imam Ahmad.

([52]) Al-Fawaid hal 58, lihat juga Majmuu’ al-Fataawa, Ibnu Taimiyyah 10/126

([53]) Jaami’ ar-Rosaail 1/233

([54]) Sebagaimana yang dikatakan oleh al-Hallaaj, ia berkata :

وَمَا كَانَ فِي أَهْلِ السَّمَاءِ مُوَحِّدٌ مِثْلُ إِبْلِيْسَ

“Tidak ada dari penghuni langit yang bertauhid seperti Iblis” (kitab at-Thowasiin hal 190 pada  طاسين الأزل والالتباس)

Ia mengatakan bahwa Iblis berkata :

إِنْ عَذَّبَنِي بِنَارِهِ أَبَدَ الآبَادِ مَا سَجَدْتُ لِأَحَدٍ وَلاَ أَذِلُّ لِشَخْصٍ وَلاَ جَسَدٍ

“Meskipun Allah mengádzabku dengan nerakaNya selama-lamanya aku tidak akan sujud kepdada seorangpun dan aku tidak akan merendah kepada manusia dan kepada jasad manapun” (hal 192)

Setelah itu al-Hallaaj berkata :

فَصَاحِبِي وَأُسْتَاذِي إِبْلِيْسُ وَفِرْعَوْنُ، وَإِبْلِيْسُ هُدِّدَ بِالنَّارِ وَمَا رَجَعَ

“Maka sahabatku dan guruku adalah Iblis dan Firáun. Iblis diancam dengan neraka (jika tidak sujud kepada Adam) akan tetapi ia tidak bergeming (tetep tidak masu sujud kepada Adam)” (Kitab At-Thawasiin hal 192)

Demikian juga al-Ghozali, beliau berkata :

فَمَنْ عَرَفَ اللهَ تَعَالَى عَرَفَ أَنَّهُ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ وَلاَ يُبَالِي وَيَحْكُمُ مَا يُرِيْدُ وَلاَ يَخَافُ، قَرَّبَ الْمَلاَئِكَةَ مِنْ غَيْرِ وَسِيْلَةٍ سَابِقَةٍ وَأَبْعَدَ إِبْلِيْسَ مِنْ غَيْرِ جَرِيْمَةٍ سَالِفَةٍ

“Barang siapa yang mengenal Allah maka ia mengetahui bahwasanya Allah melakukan apa yang Allah kehendaki dan Dia tidak perduli. Ia memberi keputusan apa yang Dia kehendaki dan Dia tidak takut. Allah mendekatkan Malaikat kepadaNya tanpa ada wasilah (amal shalih) sebelumnya, dan Allah menjauhkan Iblis tanpa ada dosa sebelumnya” (Ihyaa Úluum ad-Diin 4/168)

Al-Ghozali mengakui Iblis tidak bersalah, yaitu Allah yang bebas melakukan apa yang Allah kehendaki meskipun menjauhkan Iblis dari rahmatNya padahal Iblis tidak bersalah. Kelazimannya berarti Allah yang salah.

([55]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 16/322

Adapun sabda Nabi shallallahu álaihi wasallam :

وَلَوْلاَ حَوَّاءُ لَمْ تَخُنَّ أُنْثَى زَوْجَهَا

“Kalau bukan karena Hawwa tentu wanita tidak akan mengkhianati suaminya” (HR Al-Bukhari no 3330).

Maka tidak datang dalam al-Qurán maupun hadits yang menunjukan bahwa maksud dari pengkhianatan tersebut adalah Hawwa yang menggoda Adam untuk memakan buah -sebagaimana yang diyakini oleh Ahlul Kitab-. Akan tetapi bisa saja maksudnya :

Pertama: Karena perangai Hawwa yang tercipta dari tulang rusuk yang bengkok maka menyebabkan wanita memiliki potensi untuk berkhianat, dan perangai ini terwariskan kepada putri-putri Adam.

Kedua: Yang dimaksud dengan berkhianat di sini maksudnya Hawwa membiarkan Adam untuk memakan buah tersebut dan tidak menasihatinya. Sikap mendiamkan ini adalah bentuk khianat dan tidak menasihati. Al-Waziir ibn Hubairoh (wafat 560 H) berkata :

إن خيانتها لزوجها، أنها لما رأت آدم قد عزم على الأكل من الشجرة تركت نصحه في النهي له؛ لأن ذلك كان ترك النصح له خيانة

“Sesungguhnya pengkhianatan Hawwa kepada suaminya (Adam) adalah ketika ia melihat Adam sudah bertekad untuk memakan dari pohon tersebut Hawwa membiarkannya dan tidak menasihatinya dan tidak melarangnya. Oleh karenanya bentuk tidak menasihati Adam adalah bentuk berkhianat kepadanya” (Al-Ifshooh án maáani as-Shihaah 7/230).

Ini juga pendapat Ibnul Jauzi (wafat 597 H) beliau berkata:

وَأما خِيَانَة حَوَّاء زَوجهَا فَإِنَّهَا كَانَت فِي ترك النَّصِيحَة فِي أَمر الشَّجَرَة لَا فِي غير ذَلِك

“Dan adapun pengkhianatan Hawwa kepada suaminya adalah ia tidak menasihati Adam dalam urusan pohon tersebut, bukan pada perkara yang lainnya” (Kasyf al-Musykil min Hadiits As-Shahihain 3/504)

([56]) Akan datang penjelasan yang lebih luas tentang Paulus di dalam kisah Nabi Isa álaihis salam.

([57]) Lihat: Al-Masail Al-‘Aqadiyah Al-Muta’alliqah bi Adam 1/481

[26/12 17.44] Ummu Habibah Sofanah: ([58]) H.R. Bukhari 2/133 no. 1521

([59]) Lihat: Al-Masail Al-‘Aqadiyah Al-Muta’alliqah bi Adam 1/480

([60]) Lihat: Al-Masail Al-‘Aqadiyah Al-Muta’alliqah bi Adam 1/479

([61]) Lihat: Al-Masail Al-‘Aqadiyah Al-Muta’alliqah bi Adam 1/479