Type Here to Get Search Results !

03. NASAB DAN KELAHIRAN RASULULLAH ﷺ

  

NASAB NABI MUHAMMAD ﷺ 

Nabi ﷺ  adalah manusia termulia yang memiliki nasab yang mulia. Nasab beliau adalah sebagai berikut:

مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ المُطَّلِبِ بْنِ هَاشِمِ بْنِ عَبْدِ مَنَافِ بْنِ قُصَيِّ بْنِ كِلَابِ بْنِ مُرَّةَ بْنِ كَعبِ بْنِ لؤَيِّ بْنِ غالِبِ بْنِ فِهْرِ بْنِ مَالِكِ بْنِ النَّضْرِ بْنِ كِنَانَةَ بْنِ خُزَيْمَةَ بْنِ مُدْرِكَةَ بْنِ إِلْيَاسَ بْنِ مُضَرَ بْنِ نِزَارِ بْنِ مَعَدِّ بْنِ عَدْنَانَ

Muhammad bin ‘Abdillāh bin ‘Abdil Muththalib bin Hāsyim bin ‘Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ghālib bin Fihr bin Nadhar bin Kinānah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyās bin Mudhar bin Nizār bin Ma’ad bin Adnān. (Shahih Al-Bukhari 5/45)

Pada bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa Qushay bin Kilab adalah kakek dari Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam yang mengumpulkan orang-orang Quraisy yang tercerai berai untuk merebut kekuasaan Ka’bah yang sebelumnya dikuasai oleh Bani Khuzā’ah.

Para ulama telah ijmak (sepakat) tentang nasab Nabi hingga Adnān. Adapun dari Adnān sampai ke Ismā’īl ‘alayhissalām maka terdapat khilaf di kalangan para ulama. Selain itu tidak ada hadits shahīh yang menjelaskan tentang hal ini.

Ada yang berpendapat bahwa dari Adnān sampai Ismā’īl ‘alayhissalām ada 40 bapak atau kakek.
Ada yang mengatakan bahwa jumlah kakek Adnān sampai Ismā’īl ‘alayhissalām adalah 7 atau 9 atau 10.
Pada intinya tidak ada kesepakatan di antara para ulama mengenai nasab beliau dari Adnān sampai Ismā’īl ‘alayhissalām. Adapun dari Ismā’īl ‘alayhissalām bin Ibrāhīm ‘alayhissalām sampai ke Ādam ‘alayhissalām lebih tidak pasti lagi. Sedangkan yang dipastikan oleh para ulama yaitu dari Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam sampa Adnān.

Di dalam hadits Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam beliau bersabda :

إِنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ اصْطَفَى كِنَانَةَ مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيلَ وَاصْطَفَى قُرَيْشًا مِنْ كِنَانَةَ، وَاصْطَفَى بَنِي هَاشِمٍ مِنْ قُرَيْشٍ، وَاصْطَفَانِي مِنْ بَنِي هَاشِم

“Sesungguhnya Allāh Subhānahu wa Ta’āla telah memilih Bani Kinānah dari anak-anak Ismā’īl ‘alayhissalām dan dari keturunan Kinānah Allāh memilih suku Quraisy dan Allāh memilih dari suku Quraisy Bani Hāsyim dan Allāh memilih aku dari Bani Hāsyim.” (HR Muslim no 2276)

Hadits di atas menunjukkan betapa mulianya nasab Rasūlullāh ﷺ dimana beliau terlahir dari jalur nasab yang kesemuanya merupakan manusia terpilih.

Diantara kakek-kakek Nabi yang terkenal selain Qushay bin Kilab adalah ‘Abdul Muththalib. Dia semakin terkenal kedudukannya di kalangan orang-orang Arab karena dia bertemu langsung dengan Abrahah ketika meminta kembali 200 ekor untanya. Dan semakin terpandang ketika dia menemukan sumur zamzam.

Sumur zamzam muncul di zaman Nabi Ismā’īl ‘alayhissalām (sebagaimana telah dijelaskan di bab yang telah lalu). Kemudian sumur zamzam itu sempat menghilang selama beberapa abad sebagaimana dijelaskan oleh para ulama, disebabkan oleh kemaksiatan yang mereka lakukan di Mekkah. Sehingga lama kelamaan, sumur zamzam kehilangan air dan dilupakan dimana posisinya.

Tatkala Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam akan dilahirkan, maka Allāh Subhānahu wa Ta’āla ingin mengembalikan zamzam tersebut yang tadinya surut dan tertutup agar keluar lagi airnya. Dan orang yang menemukan air zamzam tersebut adalah kakek Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam sendiri yaitu ‘Abdul Muththalib. Keterangan ini diriwayatkan oleh Ibnu Ishāq dalam sirahnya dengan tashrih bissamā’ (penegasan mendengarnya), dan beliau (Ibnu Ishaq) adalah seorang yang shadūq. Menurut penilaian para ulama jarh wa ta’dil, apabila Ibnu Ishāq mengatakan “haddatsanii” (telah menyampaikan kepadaku) atau “sami’tu” (aku telah mendengar) maka sanadnya menjadi hasan. Adapun jika dia mengatakan “‘an” (dari) maka sanadnya lemah karena dia seorang mudallis. Di dalam riwayat ini, beliau menyampaikan secara tashrih bit tahdīts, dengan mengatakan “haddatsanii Yazīd bin Abī Habīb Al-Mishriy” hingga menyebutkan sanadnya kepada ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu. Riwayat ini berasal dari kisah ‘Ali bin Abi Thālib yang mana beliau adalah putra dari Abū Thālib, sedangkan Abū Thālib adalah putra ‘Abdul Muththalib. Sehingga ‘Ali bin Abi Thālib menceritakan tentang kisah kakeknya. Riwayat ini bukanlah hadits tapi sekedar cerita tentang kisah kakeknya yaitu ‘Abdul Muththalib. Karena ‘Ali bin Abi Thālib sepupunya Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam.

Berikut ini kisahnya sebagaimana disebutkan dalam Sirah Ibnu Ishāq, ‘Abdul Muththalib bercerita:

“Suatu hari aku tidur di Hijr Ismā’il (dekat Ka’bah), kemudian ada yang mengatakan kepadaku ‘Gali-lah thayyibah.’ Aku bertanya: ‘Apa itu thayyibah?’ namun dia malah pergi. Keesokan harinya aku kembali tidur di tempat tersebut. Kemudian suara itu datang kembali dan mengatakan ‘Galilah barrah’, maka aku berkata ‘Apa itu barrah?’. Dia pun pergi tidak menjelaskan. Besoknya aku tidur lagi, lalu datang lagi suara itu, dan berkata ‘galilah al-madhnunah’, maka aku berkata,” Apa itu al-madhnuunah?”, lalu ia pun pergi. Keesokan harinya aku kembali tidur di tempat tidurku, kemudian ia kembali berkata ‘Galilah zamzam’, maka aku bertanya ‘Apa itu zamzam?’ Lalu ia berkata, “Zamzam adalah air yang tidak akan surut, dengan air tersebut kau akan memberi minum para jama’ah haji.” Kemudian disebutkan posisinya, yaitu di tempat sarang semut.

Di dalam riwayat lain disebutkan bahwa ada burung gagak yang mematuk-matuk disitu. Dijelaskan namanya dan dijelaskan pula posisinya untuk digali. Karena mimpi yang ketiga lebih jelas maka keesokan harinya ‘Abdul Muththalib berangkat dengan membawa cangkulnya. Saat itu ‘Abdul Muththalib baru memiliki satu orang anak laki-laki yang bernama Al-Hārits. Mulailah ‘Abdul Muththalib menggali sumur tersebut, hingga mulai tampak tanda-tanda adanya sumur. Ketika kaum Quraisy mengetahui bahwa ‘Abdul Muththalib menemukan sumur, mereka mendatangi ‘Abdul Muththalib dan berkata: “Wahai ‘Abdul Muththalib, sumur tersebut adalah sumur kakek kita, Ismā’īl ‘alayhissalām. Kami juga punya hak terhadap sumur tersebut. Maka jadikanlah kami termasuk pemilik sumur tersebut. ‘Abdul Muththalib berkata: “Aku tidak mau, ini milikku. Sumur ini telah dikhususkan menjadi milikku, akan tetapi aku akan berbagi dengan kalian.” Mereka pun berkata: “Adillah terhadap kita, kalau tidak, kami tidak akan membiarkanmu menguasai sumur ini sampai kita berhakim kepada seseorang.” Maka ‘Abdul Muththalib dengan adilnya berkata: “Pilihlah siapa saja yang kita akan berhukum kepadanya.” Mereka berkata : “Ada seorang Perempuan dukun tetapi tempatnya jauh di negeri Syam sana.” Maka ‘Abdul Muththalib pun menyetujuinya. Berangkatlah ‘Abdul Muththalib bersama beberapa saudara dari Bani ‘Abdi Manaf, dengan sejumlah orang Quraisy lainnya, mereka berjalan bersama dalam dua grup rombongan. Grup pertama ‘Abdul Muththalib dengan Bani ‘Abdi Manaf dan grup kedua dari qabilah-qabilah lain yang menuntut untuk diberikan zamzam.

Saat mereka melewati padang pasir, tiba-tiba persediaan air milik ‘Abdul Muththalib habis, sementara perjalanan masih sangat jauh. Selama dalam perjalanan tersebut mereka tidak menemukan sumber mata air. Hal ini menyebabkan rombongan ‘Abdul Muththalib kehausan, sementara rombongan yang satu masih memiliki persediaan air yang mencukupi. Akhinya ‘Abdul Muththalib dan rombongannya meminta air ke rombongan satunya, tetapi mereka menolak untuk memberi air. Di saat masing-masing dari kelompok ‘Abdul Muththalib merasa akan mati, muncullah ide dalam benak ‘Abdul Muththalib. “Kita masing-masing akan menggali kuburan kita, daripada kita semua tergeletak tanpa ada yang menguburkan. Siapa yang mati terlebih dahulu kita akan kubur lalu kita tutup, begitupun yang mati berikutnya sampai terakhir hanya bersisa satu yang akan mati tanpa dikuburkan.” Akhirnya mereka mulai menggali kuburan masing-masing dan perbuatan ini disaksikan oleh rombongan satunya dan tanpa memperdulikannya.

Namun, setelah lubang-lubang kuburan tersebut tergali, ‘Abdul Muththalib lantas berubah pikiran dan mengatakan: “Perbuatan ini hanyalah sikap pasrah, kita harus berusaha.” Akhirnya mereka meninggalkan kuburan yang telah mereka gali. Mulailah ‘Abdul Muththalib naik ke atas untanya lalu tiba-tiba dari kaki untanya keluar mata air. Setelah itu ‘Abdul Muththalib mengambil air dan meminumnya kemudian memanggil grup sebelah yang tidak mau memberikan air kepada’ Abdul Muththalib dan akhirnya mereka pun datang dan ikut minum. Akhirnya grup sebelah sadar bahwasanya air zamzam itu adalah hak ‘Abdul Muththalib, buktinya adalah di tengah-tengah padang pasir Allāh keluarkan air khusus untuk ‘Abdul Muththalib. Akhirnya mereka tidak jadi pergi ke dukun yang berada di daerah Syam, tetapi mereka kembali ke Mekkah dan menyatakan bahwasanya air zamzam tersebut adalah milik ‘Abdul Muththalib.

Demikianlah kisah kakek Nabi, ‘Abdul Muththalib. Telah diterangkan sebelumnya bahwa Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam dipilih oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla dengan nasab yang sangat tinggi. Sebagaimana dikisahkan dalam Shahīh Bukhari, ketika Abū Sufyan masih dalam keadaan kafir, dia pernah bertemu dengan Kaisar Romawi Hieraklius. Hieraklus bertanya tentang Nabi Muhammad shallallāhu ‘alayhi wa sallam dan Abū Sufyan menjawabnya dengan jujur walaupun ia kafir. Diantara pertanyaan Hieraklius yang ditanyakan kepada Abū Sufyan adalah tentang nasab Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam. Hieraklius bertanya,

كَيْفَ نَسَبُهُ فِيكُمْ؟

“Bagaimana nasab Nabi tersebut?”

Maka kata Abū Sufyan:

هُوَ فِينَا ذُو نَسَبٍ

“Sesungguhnya Muhammad itu di kalangan kami adalah orang yang nasabnya tinggi.”

Setelah itu Hieraklius berkata:

فَكَذَلِكَ الرُّسُلُ تُبْعَثُ فِي نَسَبِ قَوْمِهَا

 “Demikianlah para Rasul, mereka diutus oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla dengan nasab yang tinggi diantara kaumnya.” (HR Al-Bukhari no 7)

Inilah hikmah yang disebutkan oleh para ulama kenapa Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam dipilih dari kalangan nasab yang tinggi dan terbaik, sehingga tidak ada orang-orang Arab yang akan mencela nasab Nabi. Karena mereka sadar bahwa nasab mereka lebih rendah dari Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam. Bagaimana tidak? Kakek Nabi yaitu ‘Abdul Muththalib adalah pemilik zamzam dan pemimpin orang-orang Quraisy. Seandainya Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam diutus dari nasab yang rendah dari rakyat jelata yang tidak punya kedudukan, maka orang-orang akan menuduh bahwa Muhammad mengaku dirinya sebagai Nabi hanya untuk mencari kekuasaan dan penghormatan.

Sedangkan Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam tidak perlu mencari penghormatan, karena beliau sudah menjadi orang yang dihormati. Bahkan ketika berdakwah menyampaikan Islam, beliau malah direndahkan. Sehingga, tatkala Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam diutus dari golongan berstrata tinggi, maka hal ini akan menutup pintu tuduhan bahwa Nabi memiliki tendensi tertentu. Oleh karena itu, Allāh menjadikan Nabi Muhammad (dan juga para nabi yang lain) bernasab tinggi, salah satu hikmahnya adalah apabila orang-orang bernaung di bawah Nabi, mereka tidak akan merasa rendah karena Nabi mereka memilik nasab yang tinggi.
___

Read more: https://firanda.com/

KELAHIRAN NABI MUHAMMAD ﷺ 

Nabi ﷺ yang mulia dilahirkan dari pernikahan ayah beliau ‘Abdullāh bin ‘Abdil Muththalib dengan Aminah bintu Wahhāb. Disebutkan di dalam sejarah bahwasanya:

‘Abdul Muththalib bernadzar bahwa, “Apabila saya punya anak, 10 diantaranya laki-laki maka saya akan sembelih salah satunya.” Pada zaman jahiliyyah, bersumpah merupakan salah satu bentuk bersyukur kepada Allāh. Kenapa Abdul Mutthalib sampai berani bernadzar demikian? Karena pada saat menggali sumur zamzam, ‘Abdul Muththalib baru memiliki seorang anak yaitu Al-Hārits. Sehingga ketika dia diusik oleh orang-orang Arab yang lain dia tidak bisa melawan, sebab anak laki-lakinya hanya satu. Karena itu dia berangan-angan mempunyai 10 anak laki-laki.

Akhirnya Allāh mengabulkan sumpahnya[1], sehingga dia harus menjalankan nadzarnya. Akhirnya dia mengundi untuk menentukan siapa anaknya yang akan disembelih, maka keluarlah nama ‘Abdullāh, padahal dia sangat sayang kepada ‘Abdullāh. Saat itu Abdul Muthalib mengatakan: “Ya Allāh, dia atau 10 ekor unta?” Kemudian dilemparkanlah nama anaknya dan unta. Maka yang keluar nama ‘Abdullāh. Maka dia berkata lagi: “Ya Allāh, anakku atau 10 ekor unta?” Dilemparkan lagi nama anaknya tersebut dan unta, ternyata keluar lagi nama ‘Abdullāh. Sampai lemparan yang ke-10 barulah keluar nama unta. Dari situlah akhirnya dia tidak jadi menyembelih anaknya yaitu ‘Abdullāh dan menggantinya dengan 100 ekor unta. Dari sinilah para ulama menjelaskan bahwa apabila seseorang membunuh orang lain kemudian dia diwajibkan membayar diyat (denda/tebusan pembunuhan), maka dia harus membayar dengan menyembelih 100 ekor unta.

Allāh Subhānahu wa Ta’āla menjaga ‘Abdullāh, karena ‘Abdullāh adalah bapaknya Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam.

Adapun ibunda Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam, bernama Āminah bintu Wahb bin ‘Abdi Manaf bin Zuhrah bin Kilab. Nasabnya bertemu dengan nasab ayah Nabi pada Kilab.

Ada riwayat-riwayat dusta tentang ‘Abdullāh, diantaranya disebutkan bahwa tatkala ‘Abdullāh sudah menikahi Āminah ternyata dia memiliki istri yang lain. Ada yang mengatakan ‘Abdullāh memiliki pacar wanita pezina atau wanita yang ditawarkan kepadanya untuk digauli. Pada bab lalu telah dijelaskan, suatu pernikahan yang dinamakan dengan istibdha, yaitu seorang lelaki memiliki istri yang tatkala istrinya haidh, ditunggu sampai bersih lalu diberikan kepada laki-laki yang dianggap nasabnya baik agar dia memiliki keturunan yang bagus, setelah itu dikembalikan kepada suaminya dan ditunggu sampai istrinya hamil kemudian digauli oleh suaminya sendiri.

Ada juga riwayat yang lemah dan palsu yang menyebutkan bahwa ‘Abdullāh ketika mendatangi wanita ini (istrinya yang lain atau wanita pezina atau istri orang lain yang minta digauli), wanita ini melihat ada cahaya di wajah ‘Abdullāh, namun ‘Abdullāh tidak sempat menggauli wanita tersebut dan malah pergi menggauli Āminah istrinya. Setelah menggauli Āminah maka ‘Abdullāh kembali ke wanita tadi, ternyata cahayanya sudah hilang dan wanita itu pun menolaknya.

Ini adalah contoh kisah-kisah dengan riwayat yang lemah dan tidak bisa dijadikan sebagai dalil (Lihat As-Sirah An-Nabawiyah As-Shahihah 1/94-95).

Sebagian orang terlalu ghuluw (berlebih-lebihan) dalam masalah ini, ingin menjelaskan bahwasanya Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam itu bercahaya, dimana cahaya tersebut berasal dari ayahnya. Kemudian tatkala ayahnya berhubungan dengan ibunya maka cahaya tersebut menetap di Nabi. Maka ini adalah kisah yang ghuluw dan tidak benar. Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam memang bercahaya tetapi bukan cahaya sebagaimana sinar yang keluar dari tubuhnya. Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman tentang Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam:

 يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيرًا (45) وَدَاعِيًا إِلَى اللَّهِ بِإِذْنِهِ وَسِرَاجًا مُّنِيرًا

“Wahai Nabi, Kami mengutus engkau sebagai pemberi saksi, sebagai pemberi kabar gembira dan sebagai pemberi peringatan (45) Dan menyeru kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla dan sebagai lampu yang bercahaya (46) [Al-Ahzāb 45-46]

Benar bahwa Nabi sifatnya bercahaya (memberi cahaya), tapi maksud Allāh bukan seperti cahaya lampu yang sebenarnya, tetapi ajaran Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam adalah yang penuh dengan cahaya.

Oleh karena itu, sebagian orang berlebih-lebihan terhadap Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam. Mereka mengatakan bahwa Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam tidak mempunyai bayangan, karena tubuh beliau bercahaya sehingga ketika terkena sinar matahari, sinar matahari tersebut terpantulkan kalah dengan cahaya Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam. Namun kisah semacam ini tidaklah benar. Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bercahaya biasa, yaitu wajah beliau indah, luar biasa tampan, beliau putih dan indah dipandang, namun bukan bermakna ada sinar yang keluar dari tubuh beliau.

Perhatikanlah persaksian bunda ‘Āisyah radhiyallāhu Ta’āla ‘anhā dalam Shahīh Bukhari dan Shahīh Muslim di bawah ini

عَنْ عَائِشَةَ رضي الله عنها قَالَتْ : كُنْتُ أَنَامُ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم -وَرِجْلايَ فِي قِبْلَتِهِ- فَإِذَا سَجَدَ غَمَزَنِي , فَقَبَضْتُ رِجْلَيَّ ، وإِذَا قَامَ بَسَطْتُهُمَا ، وَالْبُيُوتُ يَوْمَئِذٍ لَيْسَ فِيهَا مَصَابِيحُ

‘Āisyah berkata: “Saya tidur di depan Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam, tatkala beliau akan sujud maka beliau memegang kakiku (agar kaki ‘Aisyah dilipat supaya ada tempat untuk sujud Nabi, karena rumah Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam kecil –pen), tatkala itu rumah-rumah tidak ada lampunya. (HR Al-Bukhari no 382 dan Muslim no 512)

Seandainya rumah ‘Āisyah ada lampunya maka ‘Āisyah akan menarik kaki Nabi sebelum beliau sujud, namun ‘Āisyah menarik kakinya menunggu disentuh oleh Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam. Kalau seandainya tubuh Nabi bercahaya seperti lampu, ‘Āisyah tidak perlu menunggu disentuh terlebih dahulu agar menarik kakinya. Oleh karena itu, yang bercahaya adalah ajaran beliau dan bukan tubuhnya yang bercahaya.

Dalam hadits yang lain, ‘Āisyah terjaga di malam hari kemudian dia mencari suaminya. Tiba-tiba ‘Āisyah memegang kaki Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam dan Nabi pada saat itu dalam keadaan sujud.

‘Āisyah berkata :

فَقَدْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً مِنَ الْفِرَاشِ فَالْتَمَسْتُهُ فَوَقَعَتْ يَدِي عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ وَهُمَا مَنْصُوبَتَانِ

“Aku kehilangan Rasulullah pada suatu malam dari tempat tidur, maka akupun mencari beliau. Lalu tanganku menyentuh kedua telapak kaki beliau, sementara beliau sedang sujud, dan kedua telapak kaki beliau dalam kondisi tegak berdiri.” (HR Muslim  no 486)

Kalau seandainya Nabi bercahaya maka tidak perlu mencari-cari Nabi karena dengan sendirinya akan nampak. Namun jika yang dimaksud cahaya disini bahwa Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam putih adalah tampan maka ini benar. Tetapi kalau keluar lampu atau sinar dari beliau, maka ini tidak benar.

Oleh karena itu, orang-orang musyrikin zaman dahulu mengejek Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam, mereka mengatakan:

وَقَالُوا مَالِ هَذَا الرَّسُولِ يَأْكُلُ الطَّعَامَ وَيَمْشِي فِي الْأَسْوَاقِ لَوْلَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مَلَكٌ فَيَكُونَ مَعَهُ نَذِيراً

“Dan mereka berkata, ‘Mengapa Rasūl (Muhammad) ini memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar? Mengapa malaikat tidak diturunkan kepadanya (agar malaikat itu) memberi peringatan bersama dia’.” (QS Al-Furqān : 7)

Jadi, orang-orang musyrikin zaman dahulu berangan-angan kalau Rasūl itu dari kalangan malaikat. Sekiranya dari tubuh Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam keluar cahaya maka semua akan beriman, karena ini adalah mu’jizat. Realitanya adalah dari tubuh Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam tidaklah keluar cahaya seperti yang dikatakan sebagian orang. Dan para Rasul seluruhnya pun demikian.

وَمَا أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ مِنَ الْمُرْسَلِينَ إِلَّا إِنَّهُمْ لَيَأْكُلُونَ الطَّعَامَ وَيَمْشُونَ فِي الْأَسْوَاقِ ۗ

“Dan Kami tidak mengutus para Rasūl sebelummu (Muhammad) kecuali mereka memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar (sebagaimana manusia yang lain).” (QS Al-Furqān : 20)

Oleh karena itu, Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam tatkala melempar jumrah saat musim haji, para shāhabat menaungi Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam dengan baju karena Nabi kepanasan.

Ummu Hushoin radhiyallahu ‘anhaa berkata :

حَجَجْتُ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَجَّةَ الْوَدَاعِ، فَرَأَيْتُهُ حِينَ رَمَى جَمْرَةَ الْعَقَبَةِ، وَانْصَرَفَ وَهُوَ عَلَى رَاحِلَتِهِ وَمَعَهُ بِلَالٌ وَأُسَامَةُ أَحَدُهُمَا يَقُودُ بِهِ رَاحِلَتَهُ، وَالْآخَرُ رَافِعٌ ثَوْبَهُ عَلَى رَأْسِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَ الشَّمْسِ

“Aku berhaji wadaa’ bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Akupun melihat beliau tatkala beliau melempar Jamrotul ‘Aqobah beliau berlalu sambil menaiki tunggangannya. Bersama beliau ada Bilal dan Usamah, salah satunya menggiring tunggangan beliau, dan yang lainnya mengangkat bajunya di atas kepala Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam karena terik matahari.” (HR Muslim no 1298)

Seandainya tubuh Nabi bercahaya dan cahayanya memantulkan kembali cahaya matahari tersebut maka Nabi tidak akan kepanasan, karena cahaya matahari kalah dengan cahaya Beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam.

Cerita-cerita ini merupakan kisah yang lemah. Selain itu cerita-cerita ini merupakan bentuk celaan terhadap ‘Abdullāh, bapak Nabi, seakan-akan bapaknya Nabi memiliki istri simpanan atau bergaul dengan pezina atau menerima wanita yang menuntut istibdha’ (ingin mencari bibit unggul). Kisah-kisah seperti ini tidak bisa dijadikan dalil.

‘Abdullāh kemudian menikah dengan Āminah bintu Wahb dan istrinya akhirnya mengandung Nabi. Disebutkan bahwasanya bapak Nabi yaitu ‘Abdullāh ketika sedang berdagang ke negeri Syam, beliau mampir ke kota Madinah kemudian sakit dan meninggal dunia lalu dikuburkan di Madinah. Ketika itu Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam masih dalam keadaan janin. Diantara hikmah Allāh Subhānahu wa Ta’āla, adalah Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam dilahirkan dalam keadaan yatim sebagaimana Allāh Subhānahu wa Ta’āla sebutkan dalam Al-Qurān:

أَلَمْ يَجِدك يَتِيمًا فَآوَى

“Bukankah Allāh Subhānahu wa Ta’āla mendapati engkau dalam keadaan yatim maka Allāh menaungimu.” (QS Adh-Dhuhā : 6)

Keyatiman yang sempurna adalah seseorang yang lahir dalam keadaan ayahnya sudah tidak ada. Ada pula orang yang status yatimnya menyusul, dia lahir di saat ayah dan ibunya masih hidup namun seiring berjalannya waktu ayahnya kemudian meninggal. Namun yatimnya Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam adalah yatim yang sempurna dimana Muhammad dilahirkan pada saaat ayahnya sudah tidak ada.

Ibnu Katsir rahimahullah berkata :

وَهَذَا أَبْلَغُ الْيُتْمِ، وَأَعْلَى مَرَاتِبِهِ

“Ini adalah keyatiman yang paling puncak dan tingkatan yang tertinggi” (Al-Bidayah wa an-Nihaayah 3/383)

Kemudian tidak lama setelah itu ibunya juga meninggal dunia di saat beliau masih kecil.

Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam dilahirkan setelah ayahnya meninggal dunia. Para ulama menyebutkan hikmahnya yaitu:

⑴ Ada yang mengatakan bahwasanya agar tidak terjadi tuduhan yang mengatakan bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam diajari oleh ayahnya, sementara kita tahu bahwa ayahnya berada dalam praktek kesyirikan, sebagaimana adat jahiliyyah, sehingga bisa jadi ada yang menuduh dengan berkata, “Apa yang dibawa Muhammad adalah dari adat jahiliyyah.” Namun Allāh ingin Dia yang langsung mengurus Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam, sehingga tidak perlu kepengurusan ayahnya.

⑵ Ada yang mengatakan agar Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam tidak punya hutang budi kepada ayahnya.

⑶ Ada yang mengatakan bahwa untuk memberi pelajaran kepada anak yatim bahwasanya keyatiman bukanlah halangan untuk mencapai keberhasilan.

Apabila kita perhatikan bahwa Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam dirawat oleh ibunya dalam waktu yang cukup lama dan dirawat dengan sangat baik maka ini membuktikan bahwa peran ibu sangatlah penting. Apabila kita menengok sejarah para Nabi, kebanyakan mereka juga dirawat oleh ibu-ibu mereka, diantaranya:

Nabi Mūsa, di dalam Al-Qurān disebutkan bahwa ibunyalah yang mengurusnya.
Nabi ‘Īsa, yang diurus oleh ibunya Maryam.
Nabi Isma’il dirawat oleh Ibunya Haajar dan jauh dari ayahnya Ibrahim ‘alaihis salam
Karena itulah, peran ibu dalam mendidik anak amat sangat penting. Suatu hal yang penting pula, bahwa apabila seseorang hendak menikah agar mencari istri yang shālihah. Karena keberhasilan anak sangat tergantung kepada keberhasilan seorang ibu. Banyak ulama yang lahir dari tarbiyah/didikan ibu-ibu mereka.

_____
[1] Abdul Muthholib dianugerahi 10 putra dan 6 putri.

10 putra tersebut adalah : 1. Al-Haarits (putra tertua) dan ibunya adalah Shofiyyah binti Jundub, 2. Az-Zubair dan ibunya adalah Fathimah binti ‘Amr Al-Makhzumiyah, 3.’Abdul ‘Uzza (yang dikenal dengan Abu Lahab) dan ibunya adalah Aminah binti Haajr, 4. Al-Muqowwam dan ibunya adalah Haalah, 5. Dhiror dan ibunya adalah Natlah, 6. Abu Tholib dan ibunya adalah Fathimah binti ‘Amr Al-Makhzumiyah, 7. Hajl dan ibunya adalah Haalah binti Wuhaib, 8. Abdullah (ayah Nabi) dan ibunya adalah Fathimah binti ‘Amr Al-Makhzumiyah (yang menunjukan bahwa Abdullah saudara kandung seayah seibu dengan Az-Zubair dan Abu Tholib), 9. Hamzah dan ibunya adalah Haalah binti Wuhaib, 10. Al-‘Abbas dan ibunya adalah Natlah

Adapun 6 putri tersebut adalah :  1. Shofiyyah, 2. Ummu Hakim (yang dikenal dengan Al-Baidhoo’), 3. ‘Atikah, 4. Umaimah, 5. Arwa, dan 6. Barroh

(lihat Al-Lu’lu’ al-Maknuun fi shirat An-Nabiy al-Makmuun 1/62-63)
___

Read more: https://firanda.com/

CATATAN DI SEPUTAR KELAHIRAN NABI MUHAMMAD ﷺ 

Sirah Nabi Terdapat banyak riwayat yang menceritakan tentang kondisi lahirnya Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam, namun sebagiannya adalah riwayat-riwayat yang lemah. Diantaranya :

Riwayat yang menceritakan bahwasanya beliau dilahirkan dalam kondisi tangannya seperti duduk bersandar dan matanya melihat ke atas langit, kondisi yang tidak wajar seperti bayi biasanya. Riwayat seperti ini lemah, tidak bisa dijadikan sandaran.

Riwayat yang menceritakan bahwasanya ketika beliau dilahirkan kemudian diletakkan di atas batu maka tiba-tiba batu itu pecah agar Nabi tetap melihat ke atas.
Riwayat yang menceritakan bahwasanya ibunya tatkala melahirkannya tiba-tiba jimat-jimat yang dipakainya yang terbuat dari besi menjadi terpotong-potong.
Riwayat yang menceritakan bahwasanya ibunya melihat dalam mimpinya ada yang menyuruhnya agar menamai anaknya dengan Muhammad.
Riwayat yang menceritakan bahwasanya tatkala Nabi dilahirkan maka bergetarlah istana raja Persia.
Riwayat yang menceritakan bahwasanya tatkala Nabi dilahirkan api yang disembah oleh kaum Majusi padam
Riwayat yang menceritakan bahwasanya Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam dilahirkan dalam keadaan sudah tersunat. Riwayat ini berasal hadits yang lemah, dan tidak bisa dijadikan dalil. Ada pula riwayat lain bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam lahir kemudian pada hari ke-7 kakeknya menyunat beliau. Riwayat ini pun juga lemah, hanya saja sanadnya lebih baik daripada riwayat tentang Nabi lahir dalam kondisi sudah tersunat. (Lihat As-Sirah An-Nabawiyah As-Shahihah 1/100). Dan hal inilah yang lebih sesuai dengan kebiasaan orang Arab dimana tradisi mereka adalah menyunat anak-anak mereka ketika masih kecil. Lagi pula seandainya Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam dilahirkan dalam keadaan sudah disunat niscaya akan menimbulkan kegemparan di tengah orang-orang Quraisy, tentu saja akan semakin memudahkan mereka untuk beriman kepada Nabi sejak lahir. Hal ini menunjukkan bahwa beliau lahir seperti biasa, tidak dalam kondisi sudah disunat. Begitupun yang menamai Nabi dengan Muhammad adalah kakeknya sebagaimana datang dalam sebagian riwayat.

Ada riwayat yang shahih yang berkaitan dengan kelahiran Nabi, yaitu sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

دَعْوَةِ أَبِي إِبْرَاهِيمَ وَبِشَارَةِ عِيسَى قَوْمَهُ، وَرُؤْيَا أُمِّي الَّتِي رَأَتْ كَأَنَّهُ خَرَجَ مِنْهَا نُورٌ أَضَاءَتْ لَهُ قُصُورُ الشَّامِ

“Aku adalah doanya kakekku Ibrahim, kebar gembira yang dikabarkan oleh Nabi Isa kepada kaumnya, dan mimpi ibuku yang ia lihat, seakan-akan keluar darinya cahaya yang menyinari istana-istana negeri Syam” (HR Ahmad no 17163 dan Al-Bazzaar no 4199 dari sahabat Al-‘Irbaad bin Sariyah as-Sulami)

Dalam riwayat yang lain ;

رَأَتْ أُمِّي كَأَنَّهُ خَرَجَ مِنْهَا نُوْرٌ أَضَاءَتْ مِنْهُ قُصُوْرَ الشَّام

“Ibuku melihat seakan-akan keluar darinya cahaya yang menyinari istana-istana negeri Syam” (HR Ibnu Sa’ad dalam At-Thabaqat al-Kubro 1/102 dari sahabat Abu Umamah Al-Bahili dan dishahihkan oleh Al-Albani)

Dalam riwayat yang lain :

دَعْوَةُ أَبِي إِبْرَاهِيمَ، وَبُشْرَى عِيسَى وَرَأَتْ أُمِّي حِيْنَ وَضَعَتْنِي سَطَعَ مِنْهَا نُوْرٌ أَضَاءَتْ لَهُ قُصُوْرُ بُصْرَى

“(awal perkaraku) adalah doa ayahku (kakekku) Ibrahim ‘alaihis salam dan kabar gembira (yang disampaikan oleh Isa ‘alaihis salam), dan ibuku tatkala melahirkan aku dia melihat cahaya keluar darinya yang menerangi istana-istana Bashroh” (HR Ibnu Sa’ad dalam At-Thabaqat al-Kubro 1/102)

Maksud dari hadits ini adalah yang pertama kali memberi isyarat akan munculnya Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam adalah kakeknya yaitu Ibrahim ‘alaihis salam di dalam doanya agar Allah mengutus seorang nabi bagi kaum Arab (sebagaimana Allah sebutkan dalam surat Al-Baqarah : 129). Selain itu Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam juga dikenalkan bahkan disebut namanya “Ahmad” oleh nabi penutup bani Israil yaitu Nabi ‘Isa ‘alaihis salam (sebagaimana Allah sebutkan dalam surat Ash-Shaff : 6). Demikian juga ibunya yang tatkala sedang mengandungnya ia melihat cahaya keluar darinya yang menyinari istana-istana negeri Syam. Lalu ibunya pun menceritakakan dan menyebut-nyebut tentang Nabi di masyarakat Arab. (Lihat penjelasan Ibnu Katsir dalam tafsir beliau 1/445)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata :

وَتَخْصِيصُ الشَّامِ بِظُهُورِ نُورِهِ إِشَارَةٌ إِلَى اسْتِقْرَارِ دِينِهِ وَثُبُوتِهِ بِبِلَادِ الشَّامِ، وَلِهَذَا تَكُونُ الشَّامُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ مَعْقِلًا لِلْإِسْلَامِ وَأَهْلِهِ، وَبِهَا يَنْزِلُ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ

“Adapun pengkhususan dengan nampaknya cahaya beliau di negeri Syam adalah sebagai isyarat akan tetap dan kokohnya agama beliau di negeri Syam. Oleh karena itu, negeri Syam di akhir zaman merupakan tempat bercokolnya Islam dan penganutnya. Dan di negeri Syamlah akan turun Isa bin Maryam” (Tafsir Ibnu Katsir 1/445)

Hari lahir Nabi

Tidak ada perselisihan di kalangan para ulama bahwa Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam dilahirkan pada hari Senin. Dalam hadits yang shahih riwayat Muslim, Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam berpuasa setiap hari Senin, kemudian beliau ditanya tentang alasan beliau berpuasa pada hari Senin, beliau berkata:

ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيهِ، وَيَوْمٌ بُعِثْتُ أَوْ أُنْزِلَ عَلَيَّ فِيهِ

“Karena hari Senin adalah hari dimana aku dilahirkan dan hari dimana aku diutus atau wahyu turun kepadaku” (HR Muslim no 1162)

Selain bentuk syukur Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam karena hari Senin adalah hari yang mulia dimana beliau dilahirkan dan hari beliau diturunkan wahyu, pada hari tersebut malaikat juga mengangkat amalan. Dalam hadits yang lain tatkala beliau ditanya tentang sebab beliau berpuasa pada hari senin dan kamis maka beliau berkata :

ذَانِكَ يَوْمَانِ تُعْرَضُ فِيهِمَا الْأَعْمَالُ عَلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ، وَأُحِبُّ أَنْ يُعْرَضَ (وفي رواية : يرفع) عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ

“Kedua hari tersebut adalah hari dimana amalan-amalan dipaparkan kepada Rabbul ‘alamin. Dan aku suka amalanku dipaparkan (dalam riwayat : diangkat) sementara aku dalam kondisi berpuasa” (HR At-Tirmidzi no 747, An-Nasai no 2357, dan Ahmad no 21753)

Sehingga ada beberapa sebab mengapa Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam berpuasa pada hari Senin, diantaranya:

Para malaikat mengangkat amalan di hari tersebut
Hari dimana Nabi Muhammad shallallāhu ‘alayhi wa sallam dilahirkan
Hari diturunkannya wahyu kepada Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam.

Tanggal Nabi dilahirkan?

Ada 2 pendapat di kalangan para ulama pada bulan apa Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam dilahirkan:

⑴ Sebagian berpendapat bahwa beliau dilahirkan pada bulan Ramādhan.

Disebutkan dalam sebuah hadits bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam diutus pada bulan Ramadhān, tatkala itu beliau berusia 40 tahun. JIka dihitung mundur 40 tahun ke belakang maka semestinya beliau juga lahir persis pada bulan Ramadhān, agar ketika beliau diutus usia beliau tepat 40 tahun. Ini pendapat sebagian ulama, namun pendapat ini lemah. (lihat al-Bidayah wa an-Nihaayah 3/376)

⑵ Jumhur ulama berpendapat bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam lahir pada bulan Rabī’ul Awwal, dan inilah pendapat yang kuat.

Mereka yang berpendapat bahwa Nabi lahir di bulan Rabi’ul Awal pun berselisih dengan perselisihan yang kuat tentang kapan tanggal lahirnya Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam? Khilaf seputar hal ini disebutkan oleh Ibnu Hisyam, dan juga oleh para ulama besar madzhab Syafi’iyah, seperti An-Nawāwi, Ibnu Katsir, dan Adz-Dzahabi, sebagaimana berikut ini.

Ada yang mengatakan beliau lahir pada tanggal 2 Rabī’ul Awwal
Ada yang mengatakan beliau lahir pada tanggal 8 Rabī’ul Awwal. Dan ini pendapat seorang tabi’in Muhammad bin Jubair bin Muth’im.

Ada yang mengatakan beliau lahir pada tanggal 10 Rabī’ul Awwal
Ada yang mengatakan beliau lahir pada tanggal 12 Rabī’ul Awwal. Dan ini adalah pendapat jumhur ulama
Ada yang mengatakan beliau lahir pada tanggal 17 Rabī’ul Awwal (Lihat Al-Bidayah wa an-Nihayah 3/374-375)
Intinya tidak ada dalil yang kuat/shahīh yang menyebutkan kapan Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam dilahirkan. Seluruh riwayat-riwayat tersebut tidak ada yang shahīh, demikian pula pendapat-pendapat ulama pun tidak ada yang shahīh. Namun, para ulama nyaris bersepakat bahwa Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam lahir pada bulan Rabī’ul Awwal.

Karena itu, orang yang memastikan bahwa Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam lahir pada tanggal 12 Rabī’ul Awwal adalah sikap yang tidak tepat, karena terdapat khilaf di kalangan para ulama dimana diantara pendapat tersebut tidak ada yang bisa dipastikan. Berbeda dengan wafatnya Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam, beliau wafat pada hari Senin tanggal 12 Rabī’ul Awwal.

Dari sini tidak ada kelaziman seperti yang disangka oleh sebagian orang bahwasanya kita harus merayakan hari kelahiran Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam. Hal ini dikarenakan tanggal lahir Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam pun diperselisihkan oleh para ulama. Terlebih lagi para shāhabatpun dahulu tidak merayakan hari kelahiran Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam.

Apabila kita memerhatikan orang-orang yang merayakan hari kelahiran Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam, akan dijumpai tiga model, sebagaimana yang disebutkan oleh para ulama:

⑴ Bersyukur dengan lahirnya Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam sesuai dengan sunnah. Yaitu dengan puasa setiap hari Senin setiap pekan.

Tatkala Nabi ditanya kenapa Beliau berpuasa pada hari Senin, maka beliau menjawab: “Itu hari dimana aku dilahirkan.” Oleh karena itu, diantara rasa gembira dan syukurnya Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam adalah beliau berpuasa pada hari Senin, karena beliau dilahirkan pada hari Senin. Kitapun sepatutnya demikian, jika kita ingin bergembira dengan lahirnya Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam, caranya bukan dengan perayaan tahunan, tetapi setiap pekan kita bergembira dan bersyukur dengan cara berpuasa.

⑵ Mengadakan acara maulid dengan membaca sejarah Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam kemudian beramal shālih pada hari tersebut (yaitu pada setiap tanggal 12 Rabi’ul Awwal setiap tahunnya), misalnya dengan membagikan makan kepada faqir miskin. Jika cara bermaulid adalah seperti cara ini maka banyak ulama syafi’iyah mutaakhirin yang membolehkannya, seperti Abu Syamah (wafat 665 H), Al-‘Iraqi, Al-Hafiz Ibnu Hajar, As-Sakhawi, As-Suyuthy, dan Al-Qasthalani rahimahumullah.

Sebagian ulama menyatakan bahwa acara maulid adalah acara bid’ah yang mungkar seperti pendapat Al-Fakihani (wafat 734 H), Ibnul Haaj (wafat 737 H), Asy-Syathibi (wafat 790 H), Ibnu Taimiyyah, dan Asy-Syaukani rahimahumullah. Hal ini karena acara maulid adalah perkara yang baru yang tidak pernah dikerjakan oleh Nabi, para sahabat, dan para tabi’in, bahkan tidak pernah dikerjakan oleh para imam Madzhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Ahmad). Selain itu amalan ini adalah bentuk bertasyabbuh dengan kaum Nashrani yang merayakan hari kelahiran Nabi Isa, hari kabangkitan Nabi Isa, dan hari pengangkatan Nabi Isa.

Dan yang sering tersebar di Indonesia adalah bentuk yang ke ⑶ yang banyak diingkari oleh ulama termasuk ulama Syāfi’īyyah yaitu:

⑶ Mengadakan acara maulid dengan berhura-hura (berlebih-lebihan) sampai bercampur di dalamnya kemungkaran-kemungkaran.

Oleh karena itu pendiri NU, Kyai Hāsyim Asy’āriy, beliau menulis buku tentang peringatan-peringatan yang penting akan kemungkaran yang terjadi pada acara maulid. Diantaranya beliau menyebutkan adanya music. Padahal seluruh ulama 4 madzhab mengharamkan musik, apalagi ulama Syāfi’īyyah. Bahkan fitnah sekarang adalah dakwahpun dengan musik. Sampai-sampai Imām Syāfi’ī dalam kitabnya Al-‘Umm menyatakan: “Kalau ada orang yang alat musiknya dicuri maka pencuri tadi tidak perlu dipotong tangannya karena hukum dia mencuri alat musik sama dengan mencuri bir dan mencuri babi (sama-sama perkara haram).”

Kemudian dalam kitab Al-‘Umm juga Imām Syāfi’ī mengatakan: “Barangsiapa merusak alat musik maka dia tidak perlu mengganti.”

Sampai-sampai Ibnu Hajar Al-Haitami dalam kitabnya Az-Zawājir ‘an Iqtirāfil Kabāir memasukkan memainkan alat musik termasuk dosa-dosa besar. Karena perbuatan tersebut melalaikan dan syaithan ingin agar kita terlalaikan.

Bagaimana umat bisa tegak sementara mereka terlalaikan dan sibuk dengan musik dan lupa membaca Al-Qurān serta hadits-hadits Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam.

Demikianlah kemungkaran yang terjadi di sebagian acara maulid Nabi yang diingkari ulama. Diantaranya, acara maulid tersebut dilakukan dengan ikhtilat antara laki-laki dan perempuan, tabdzir (berlebih-lebihan), adapula yang membuat patung dan pawai. Apakah dengan hal-hal ini bisa menambah kecintaan kepada Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam? Belum lagi ketika waktu shalat tiba, shalat berjama’ah tidak ditegakkan.

Jika seseorang ingin mencintai Nabi melalui maulid maka lakukanlah maulid dengan tata cara Nabi dan ini jelas berpahala caranya, yaitu dengan berpuasa pada hari senin di setiap pekannya.

Kelahiran Nabi ini membawa perubahan pada alam semesta. Allāh Subhānahu wa Ta’āla mengutus Nabi-Nya pada kondisi dan zaman yang sangat rusak, seperti perzinahan yang merebak, meminum khamr, kesyirikan yang tersebar, kerusakan baik di sisi agama maupun moral. Maka inilah waktu yang tepat bagi Allāh Subhānahu wa Ta’āla untuk mengutus Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam sebagaimana diriwayatkan di dalam Shahih Muslim:

 اللَّهَ نَظَرَ إِلَى أَهْلِ الْأَرْضِ فَمَقَتَهُمْ عَرَبَهُمْ وَعَجَمَهُمْ إِلَّا بَقَايَا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ

“Allāh Subhānahu wa Ta’āla melihat kepada penduduk dunia dan Allāh murka kepada mereka, orang Arab maupun orang ‘Ajm kecuali sebagian dari sisa-sisa Ahli Kitab.”
___
Read more: 
https://firanda.com/