Type Here to Get Search Results !

04. MASA KECIL NABI BERSAMA HALIMATUSSA'DIYAH

Dalam bab ini, akan dibahas beberapa peristiwa:

⑴ Dibelahnya dada Nabi ﷺ.

⑵ Wafatnya ibu Nabi ﷺ.

⑶ Bagaimana Nabi ﷺ dirawat oleh kakeknya ‘Abdul Muththalib kemudian oleh pamannya Abū Thālib.

⑷ Bagaimana Nabi ﷺ menggembalakan kambing.

Dibelahnya dada Nabi Muhammad ﷺ

Diantara mu’jizat yang dialami Nabi ﷺ yaitu dibelahnya dada Nabi ﷺ. Para ulama menyebutkan bahwa proses pembelahan dada Nabi ﷺ terjadi 2 kali;

⑴ Tatkala beliau dirawat oleh Halīmah As-Sa’diyyah.

⑵ Tatkala beliau akan melakukan Isrā Mi’raj.

Kejadian pembelahan pertama, diceritakan dalam hadits shahīh yang terdapat dalam banyak riwayat, diantaranya adalah:

Dari shāhabat Anas bin Mālik radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu, beliau berkata:

انَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَاهُ جِبْرِيلُ وَهُوَ يَلْعَبُ مَعَ الْغِلْمَانِ , فَأَخَذَهُ فَصَرَعَهُ فَشَقَّ قَلْبَهُ فَاسْتَخْرَجَ مِنْهُ عَلَقَةً , قَالَ : هَذَا حَظُّ الشَّيْطَانِ مِنْكَ , ثُمَّ غَسَلَهُ فِي طَسْتٍ مِنْ ذَهَبٍ بِمَاءِ زَمْزَمَ , ثُمَّ لأَمَهُ ثُمَّ أَعَادَهُ فِي مَكَانِهِ , وَجَاءَ الْغِلْمَانُ يَسْعَوْنَ إِلَى أُمِّهِ ـ يَعْنِي ظِئْرَهُ ـ فَقَالُوا : إِنَّ مُحَمَّدًا قَدْ قُتِلَ , فَاسْتَقْبَلَتْ وَهُوَ مُنْتَقِعُ اللَّوْنِ , قَالَ أَنَسٌ : قَدْ كُنْتُ أَرَى أَثَرَ الْمَخِيطِ فِي صَدْرِهِ

Bahwasanya Rasūlullāh ﷺ pernah didatangi Malaikat Jibrīl saat beliau sedang bermain dengan anak-anak lain. Lalu Jibrīl menggenggam beliau dan menjatuhkannya lalu membelah dadanya kemudian mengambil jantung dan mengeluarkan segumpal darah darinya, lantas Jibrīl berkata: “Ini adalah bagian syaithan darimu.” Kemudian jantung beliau dicuci oleh Jibrīl di sebuah tempayan yang terbuat dari emas dengan dibilas air zamzam, lalu dijahit kembali oleh Jibrīl setelah jantung itu dikembalikan ke tempatnya semula. Teman-teman beliau (ketakutan dan) lari ke ibu persusuan beliau dan melaporkan: “Sesungguhnya Muhammad telah dibunuh.” Kemudian ibu persusuan Nabi segera menuju ke Nabi dan Nabi saat itu dalam keadaan pucat. Kata Anas: “Saya melihat bekas jahitan di dada Rasūlullāh ﷺ.” (HR. Imam Muslim)

Dan juga dalam riwayat lain yang lebih terperinci.

Rasūlullāh ﷺ berkata:

كَانَتْ حَاضِنَتِي مِنْ بَنِي بَكْرِ بْنِ سَعْدٍ ، فَانْطَلَقْتُ أَنَا وَابْنٌ لَهَا فِي بَهْمٍ لَنَا ، وَلَمْ نَأْخُذْ مَعَنَا زَادًا ، فَقُلْتُ لِأَخِي : يَا أَخِي ، اذْهَبْ فَائْتِنَا بِزَادٍ مِنْ عِنْدِ أُمِّنَا ، فَذَهَبَ أَخِي وَمَكَثْتُ عِنْدَ الْبَهْمِ ، فَأَقْبَلَ إِلَيَّ طَيْرَانِ أَبْيَضَانِ كَأَنَّهُمَا نِسْرَانِ ، فَقَالَ أَحَدُهُمَا لِصَاحِبِهِ : أَهُوَ هُوَ ؟ فَقَالَ الْآخَرُ : نَعَمْ ، قَالَ : فَأَقْبَلَا يَبْتَدِرَانِي ، فَأَخَذَانِي ، فَبَطَحَانِي لِلْقَفَا ، فَشَقَّا بَطْنِي ، فَاسْتَخْرَجَا قَلْبِي ، فَشَقَّاهُ ، فَأَخْرَجَا مِنْهُ عَلَقَتَيْنِ سَوْدَاوَيْنِ ، فَقَالَ أَحَدُهُمَا لِصَاحِبِهِ : ائْتِنِي بِمَاءِ ثَلْجٍ ، فَغَسَلَا بِهِ جَوْفِي ، ثُمَّ قَالَ : ائْتِنِي بِمَاءِ بَرَدٍ ، فَغَسَلَا بِهِ جَوْفِي ، ثُمَّ قَالَ : ائْتِنِي بِالسَّكِينَةِ ، فَدَرَّهَا فِي قَلْبِي ، ثُمَّ أَظُنُّهُ قَالَ أَحَدُهُمَا لِصَاحِبِهِ : حُصَّهُ ، فَحَاصَّهُ ، وَخَتَمَ عَلَيْهِ بِخَاتَمِ النُّبُوَّةِ ، فَقَالَ أَحَدُهُمَا لِصَاحِبِهِ : اجْعَلْهُ فِي كِفَّةٍ ، وَاجْعَلْ أَلْفًا مِنْ أُمَّتِهِ فِي كِفَّةٍ ، فَإِذَا أَنَا أَنْظُرُ إِلَى الْأَلْفِ فَوْقِي أُشْفِقُ أَنْ يَخِرَّ عَلَيَّ بَعْضُهُمْ ، فَقَالَ أَحَدُهُمَا لِصَاحِبِهِ : لَوْ أَنَّ أُمَّتَهُ وُزِنَتْ بِهِ ، لَمَالَ بِهِمْ ، ثُمَّ انْطَلَقَا وَتَرَكَانِي ، وَفَرَقْتُ فَرَقًا شَدِيدًا ، ثُمَّ انْطَلَقْتُ إِلَى أُمِّي ، فَأَخْبَرْتُهَا بِالَّذِي لَقِيتُ ، فَأَشْفَقَتْ أَنْ يَكُونَ قَدِ الْتُبِسَ بِي ، فَقَالَتْ : أُعِيذُكَ بِاللَّهِ ، فَرَحَّلَتْ بَعِيرًا لَهَا ، فَحَمَلَتْنِي عَلَى الرَّحْلِ وَرَكِبَتْ خَلْفِي ، حَتَّى بَلَغْنَا إِلَى أُمِّي ، فَقَالَتْ : قَدْ أَدَّيْتُ أَمَانَتِي وَذِمَّتِي ، وَحَدَّثَتْهَا بِالْحَدِيثِ الَّذِي لَقِيتُ ، فَلَمْ يَرُعْهَا ذَلِكَ ، وَقَالَتْ : إِنِّي رَأَيْتُ خَرَجَ مِنِّي نُورٌ أَضَاءَ لَهُ قُصُورُ الشَّامِ

“Saat itu yang mengasuhku adalah seorang wanita dari Bani Sa’ad bin Bakr. Kemudian aku bersama seorang anaknya pergi menuju tempat pengembalaan kambing kecil kami, namun kami tidak membawa bekal. Aku pun berkata, ‘Wahai saudaraku, pergi dan ambillah bekal (makanan) dari ibu kita’ Maka saudaraku itu pergi dan aku tetap berada di sisi domba gembalaan kami. Tiba-tiba datanglah dua ekor burung berwarna putih yang sepertinya kedua burung itu adalah burung nasar. Salah satu dari burung itu berkata kepada temannya, ‘Apakah dia, orang (yang kita cari)?’ temannya menjawab, ‘Ia.’ Lalu keduanya pun bergegas menujuku lalu memegangku dan menelungkupkanku di atas leherku. Kemudian keduanya pun membelah dadaku dan mengeluarkan hatiku. Mereka mengeluarkan dua gumpalan darah hitam darinya. Setelah itu, salah seorang dari keduanya berkata kepada temannya, ‘Ambilkan air salju.’ Lalu mereka mencuci isi perutku dengan air dan salju. Kemudian salah satu dari mereka berkata lagi, ‘Ambilkanlah air yang dingin.’ Dan mereka pun mencuci hatiku dengan air dingin itu. Salah satunya berkata lagi, ‘Ambilkanlah as-Sakinah (ketenangan dan kedamaian).’ Keduanya pun menebarkannya di dalam jantungku. Setelah itu, salah satu dari keduanya berkata, ‘Jahitlah (tutuplah).’ Ia pun menutupnya kembali dan memberikannya tanda kenabian.’ Maka ia pun menjahitnya kembali. ‘Dan tandailah.’ Maka ia pun memberinya tanda dengan tanda kenabian. Lalu salah satu dari keduanya berkata kepada temannya, ‘Letakkanlah ia pada satu timbangan, kemudian letakkanlah seribu dari umatnya pada timbangan yang lain.’ Maka aku pun melihat seribu dari ummatku itu berada di atasku, aku kawatir bila sebagian dari mereka terjatuh menimpaku. Salah satunya berkata lagi, ‘Sekiranya umatnya itu ditimbang dengannya niscaya ia akan lebih berat daripada mereka.’ Setelah itu, mereka berdua pergi meninggalkanku. Akupun merasa sangat ketakutan. Aku kembali pulang menemui ibuku dan mengabarkan kejadian itu padanya, hingga ia khawatir jika aku telah terganggu. Kemudian ibuku berkata, ‘Aku meminta kepada Allah untuk melindungimu.’ Kemudian ia meletakan pelana di atas unta miliknya, lalu ia meletakkanku di atas pelana unta tersebut, sementara ia duduk di belakangku, hingga kami sampai pada ibu kandungku. Ibu asuhku lalu berkata (kepada ibu kandungku), ‘Aku telah menunaikan amanahku, dan tanggunganku.’ Kemudian ia menceritakan tentang kejadian yang menimpaku, namun kejadian itu tidaklah mengejutkan ibuku. Ibuku berkata, ‘Sesungguhnya, aku telah melihat cahaya yang keluar dariku yang menerangi istana-istana di negeri Syam.’ (HR Al-Hakim no 4230 dan dishaihihkan oleh Al-Hakim dan disepakati oleh Adz-Dzahabi)

Diantara para ulama ada yang berpendapat bahwa inilah sebab mengapa Halīmah As-Sa’diyyah akhirnya mengembalikan Nabi ﷺ ke ibu kandungnya. Awalnya ibu kandungnya beberapa kali meminta agar Nabi dikembalikan, tetapi karena Halīmah berat hati melepaskan Muhammad kecil, beliau senang jika ada Muhammad di kampungnya karena mendatangkan keberkahan. Akan tetapi, setelah terjadi peristiwa yang menakutkan ini, membuat Halīmah khawatir sehingga dia terpaksa merelakan ibunya mengambil Muhammad saat berusia 4 tahun. Kemudian Muhammad ﷺ diasuh oleh ibunya sampai berusia 6 tahun.

Pembelahan dada Nabi Muhammad ﷺ adalah salah satu mu’jizat Nabi ﷺ. Para ulama menyebutkan banyak hikmah dari pembelahan dada ini, yaitu:

⑴ Nabi ﷺ sejak kecil sudah ma’shum (terjaga dari perbuatan dosa). Oleh karena itu, beliau tumbuh tidak seperti anak-anak kecil yang lain.

Ibnu Hajar berkata :

وَكَانَ هَذَا فِي زَمَنِ الطُّفُولِيَّةِ فَنَشَأَ عَلَى أَكْمَلِ الْأَحْوَالِ مِنَ الْعِصْمَةِ مِنَ الشَّيْطَانِ

“Pembelahan dada ini terjadi tatkala Nabi masih kecil, sehingga beliau tumbuh dalam kondisi yang paling sempurna dengan terjaganya beliau dari syaitan” (Fathul Bari 7/205)

Saat beranjak dewasa (remaja), beliau tidak pernah melakukan kemaksiatan atau kelalaian, berhura-hura seperti yang dilakukan para pemuda lain di kota Mekkah. Hal ini karena hati beliau sudah disucikan oleh Allāh. Bagian yang mungkin untuk diganggu oleh syaithan telah diambil oleh malaikat. Bahkan disebutkan dalam suatu hadits, Rasūlullāh ﷺ mengatakan:

مَا هَمَمْتُ بِمَا كَانَ أَهْلُ الْجَاهِلِيَّةِ يَهُمُّونَ بِهِ إِلَّا مَرَّتَيْنِ مِنَ الدَّهْرِ كِلَاهُمَا يَعْصِمُنِي اللَّهُ تَعَالَى مِنْهُمَا. قُلْتُ لَيْلَةً لِفَتًى كَانَ مَعِي مِنْ قُرَيْشٍ فِي أَعْلَى مَكَّةَ فِي أغنامٍ لِأَهْلِهَا تَرْعَى: أَبْصِرْ لِي غَنَمِي حَتَّى أَسْمُرَ هَذِهِ اللَّيْلَةَ بِمَكَّةَ كَمَا تَسْمُرُ الْفِتْيَانُ قَالَ: نَعَمْ فَخَرَجْتُ فَلَمَّا جِئْتُ أَدْنَى دَارٍ مِنْ دُورِ مَكَّةَ سَمِعْتُ غَنَاءً وَصَوْتَ دُفُوفٍ وَزَمْرٍ فَقُلْتُ: مَا هَذَا؟ قَالُوا: فُلَانٌ تَزَوَّجَ فُلَانَةَ لِرَجُلٍ مِنْ قُرَيْشٍ تَزَوَّجَ امْرَأَةً فَلَهَوْتُ بِذَلِكِ الْغِنَاءِ وَالصَّوْتِ حَتَّى غَلَبَتْنِي عَيْنِي فَنِمْتُ فَمَا أَيْقَظَنِي إِلَّا مَسُّ الشَّمْسِ فَرَجَعْتُ فَسَمِعْتُ مِثْلَ ذَلِكَ فَقِيلَ لِي مِثْلَ مَا قِيلَ لِي فَلَهَوْتُ بِمَا سَمِعْتُ وَغَلَبَتْنِي عَيْنِي فَمَا أَيْقَظَنِي إِلَّا مَسُّ الشَّمْسِ ثُمَّ رَجَعْتُ إِلَى صَاحِبِي فَقَالَ: مَا فَعَلْتَ؟ فَقُلْتُ: مَا فَعَلْتُ شَيْئًا ” قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «فَوَاللَّهِ مَا هَمَمْتُ بَعْدَهَا أَبَدًا بِسُوءٍ مِمَّا يَعْمَلُ أَهْلُ الْجَاهِلِيَّةِ حَتَّى أَكْرَمَنِي اللَّهُ تَعَالَى بِنُبُوَّتِهِ

“Tidak pernah terbetik dalam hatiku untuk mengikuti acara-acara kaum jahiliyah kecuali hanya dua kali, dan itupun Allah menjagaku pada dua kemungkinan tersebut. Suatu malam aku bersama seorang pemuda Quraisy yang berada di pinggiran kota Mekah sedang menggembalakan kambing keluarganya. Aku berkata kepadanya, “Tolong jaga kambingku, aku ingin begadang malam ini di Mekah sebagaimana para pemuda lainnya begadang.” Ia berkata, “Baik”. Akupun pergi, dan tatkala aku tiba di rumah pertama dari rumah-rumah penduduk Mekah, aku mendengar nyanyian dan suara rebana serta seruling, aku berkata, “Acara apa ini?”. Mereka berkata kepadaku, “Si fulan telah menikah dengan si fulanah putrinya si Fulan dari Quraisy”. Akupun terlena dengan nyanyian tersebut dan suara (alat musik) tersebut hingga akhirnya aku tertidur (dalam riwayat yang lain : Maka Allah pun menutup kedua telingaku). Dan tidak ada yang membangunkanku kecuali terik sinar matahari. Lalu aku kembali (pada malam yang lain-pen) kemudian aku kembali mendengar seperti yang pernah aku dengar, dan dikatakan kepadaku seperti pada malam yang lalu, akupun terlena dengan apa yang aku dengar, hingga akhirnya aku tertidur. Dan tidak ada yang membangunkanku kecuali terik sinar matahari. Lalu aku kembali kepada sahabatku (penggembala kambing). Sahabatku bertanya, “Apa yang telah kau lakukan?”. Aku berkata, “Aku tidak melakukan apapun”. Maka demi Allah aku tidak pernah lagi berkeinginan untuk melakukan keburukan apapun yang dilakukan oleh kaum jahiliyah hingga Allah memberi kemuliaan kenabian kepadaku.” (HR Al-Baihaqi dalam Dalail An-Nubuwwah 1/413, Al-Hakim no 7619, dan Ibnu Ishaq dalam sirohnya. Hadits ini diperselisihkan akan keshahihannya, Al-Hakim menshahihkannya dan disepakati oleh Adz-Dzahabi. Akan tetapi hadits ini dinyatakan lemah oleh Al-Albani)

Perhatikan bahwasanya beliau dibuat tertidur (tidak sadar) oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla sehingga tidak jadi mengikuti acara-acara kemaksiatan tersebut. Ini merupakan bentuk penjagaan Allah kepada beliau bahkan sebelum menjadi Nabi.

Karena itu, sebelum menjadi Nabi beliau dikenal oleh orang-orang Quraisy dengan “Al-Amīn” (orang yang terpercaya) yang akhlaknya paling mulia.

Sejumlah orang Nasrani berusaha mengingkari kejadian pembelahan dada Nabi ﷺ. Mereka membawakan 2 hujjah:

⑴ Kejadian ini tidak sesuai dengan tabiat manusia.

⑵ Kejadian ini tidak masuk akal (di luar sunnatullāh, karena apabila jantung dikeluarkan seharusnya menyebabkan kematian).

Tetapi hujjah mereka ini rapuh dan bisa dijawab dengan perkataan bahwasanya justru inilah mu’jizat, yaitu kejadian-kejadian luar biasa yang dimiliki oleh para Nabi. Arti mu’jizat adalah sesuatu yang keluar dari kebiasaan walaupun di luar nalar dan logika, karena Allāhlah yang mengatur sunnatullāh maka Allāh pula yang bisa merubah sunnah tersebut.

Contohnya, Nabi Ibrāhīm ‘alayhissalām memiliki mu’jizat, yaitu beliau dibakar namun malah merasa sejuk. Padahal api secara sunnatullāh bersifat membakar, namun karena Allāh yang menciptakan api tersebut sehingga apabila Dia memerintahkan agar api dingin, maka apa tersebut akan dingin.

قُلْنَا يَا نَارُ كُونِي بَرْدًا وَسَلَامًا عَلَىٰ إِبْرَاهِيمَ

“Kami (Allah) berfirman, ‘Wahai api jadilah engkau dingin dan penyelamat bagi Nabi Ibrāhīm.” (QS Al-Anbiyā : 69)

Diantaranya Nabi ‘Isa ‘alayhissalām waktu kecil (bayi) sudah bisa berbicara. Hal ini jelas keluar dari sunnatullāh dan di luar nalar manusia. Selain itu, Nabi ‘Isa ‘alayhissalām juga bisa menghidupkan orang mati, menyembuhkan orang buta, sakit kusta, dll. Dan ini semua keluar dari kewajaran.

Jika mereka tidak percaya dengan pembelahan jantung Nabi ﷺ, maka seharusnya mereka juga tidak boleh percaya akan mu’jizat Nabi ‘Isa yang bisa berbicara di waktu kecil dan bisa menyembuhkan penyakit serta mu’jizat-mu’jizat lainnya.

Di zaman modern seperti ini, jantung bisa diangkat dari tubuh manusia tanpa menyebabkan kematian, seperti kasus kelainan jantung pada anak yang tidak memiliki katup jantung, dengan berbagai proses ilmiah maka katup jantungnya bisa dipasang. Adapula orang yang jantungnya rusak kemudian ditransplantasi dengan jantung yang berasal dari orang lain.

Terkadang, apa yang datang dari Al-Qurān maupun Sunnah tidak mampu dijangkau oleh akal. Namun disinilah peran keimanan. Belum lagi tentang hal-hal ghāib lainnya, seperti malaikat, surga, neraka dan hal ghaib lainnya. Jika kita hanya berbekal akal saja, niscaya kita tidak akan mampu menjangkaunya karena akal kita terbatas.

Pada zaman sekarang, dengan ilmu modern jantung itu bisa dikeluarkan dari tubuh manusia. Sehingga apa yang terjadi pada Nabi ﷺ di masa kecilnya adalah kejadian yang sangat mudah bagi Allāh Subhānahu wa Ta’āla untuk lakukan.

إِذَا أَرَادَ شَيْئًا أَنْ يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ

“Jika Allāh berkendak, maka Allāh akan berkata ‘Jadi’ maka jadilah.” (QS Yāsin : 82)

Dan diantara bukti bahwa jantung Nabi menjadi bersih dan tidak ada gangguan syaithan padanya nampak pada akhlak Nabi ﷺ. Apabila kita mempelajari akhlak Nabi, kita akan dapati bahwa akhlak Nabi seluruhnya adalah mu’jizat,

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ‏

“Tidaklah Kami utus engkau kecuali rahmat bagi alam semesta.” (QS Al-Anbiyā : 107)

Betapa menakjubkan dan mempesonanya akhlak Nabi sampai-sampai Anas bin Mālik Radhiyallâhu anhu pernah mengisahkan :

خَدَمْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَشْرَ سِنِينَ ، فَوَاللَّهِ مَا قَالَ لِي : أُفٍّ قَطُّ ، وَلَمْ يَقُلْ لِشَيْءٍ فَعَلْتُهُ : لِمَ فَعَلْتَ كَذَا ، وَلا لِشَيْءٍ لَمْ أَفْعَلْهُ أَلا فَعَلْتَ كَذَا

“Saya bekerja sebagai pelayan Nabi ﷺ selama 10 tahun. Demi Allah! Tidak pernah sedikitpun beliau menghardikku dengan perkataan “ha”, dan beliau tidak pernah mengkritisi pekerjaanku, “kenapa kamu berbuat ini dan itu, kenapa ini belum kamu kerjakan…” (HR Muslim no 2309)

Adakah di dunia ini seorang majikan yang tidak pernah protes atau tidak mengatur pembantunya selama 10 tahun?

Kisah yang lain juga berdasarkan hadits dari Anas bin Mālik radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu. Beliau berkata :

كُنْتُ أَمْشِي مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهِ بُرْدٌ نَجْرَانِيٌّ غَلِيظُ الْحَاشِيَةِ فَأَدْرَكَهُ أَعْرَابِيٌّ فَجَذَبَهُ جَذْبَةً شَدِيدَةً حَتَّى نَظَرْتُ إِلَى صَفْحَةِ عَاتِقِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ أَثَّرَتْ بِهِ حَاشِيَةُ الرِّدَاءِ مِنْ شِدَّةِ جَذْبَتِهِ ثُمَّ قَالَ مُرْ لِي مِنْ مَالِ اللَّهِ الَّذِي عِنْدَكَ فَالْتَفَتَ إِلَيْهِ فَضَحِكَ ثُمَّ أَمَرَ لَهُ بِعَطَاءٍ

“Aku berjalan bersama Nabi ﷺ dan beliau memakai selendang dari Najron yang kasar bagian pinggirannya. Tiba-tiba beliau disusul oleh seorang Arab Badui, lalu arab badui tersebut menarik selendang beliau dengan tarikan yang keras. Sampai aku melihat di leher beliau ada bekas pinggiran selendang akibat tarikan yang keras tersebut. Arab badui itu berkata: “Hai Muhammad, perintahkanlah (anak buahmu) untuk memberikan kepadaku harta Allāh yang ada padamu.” Nabi lalu melihat orang arab badui itu lalu Nabi tersenyum kemudian memerintahkan untuk memberikan pemberian kepada orang arab badui itu.” (HR Al-Bukhari no 3149 dan Muslim no 1057).

Perhatikanlah, orang arab badui ini meminta harta kepada Nabi dengan cara yang tidak beradab yaitu memberhentikan beliau dengan cara yang kasar dan memanggilnya dengan “Muhammad” bukan Rasūlullāh serta meminta harta beliau dengan ucapan yang kasar. Namun dalam kondisi demikian, hal yang sangat menakjubkan adalah Nabi sama sekali tidak marah, bahkan tersenyum dan mengatakan: “Berikan lah kepada orang ini.” Saat itu juga beliau langsung tersenyum menanggapi perlakuan Arab badui tersebut kepada beliau, siapa yang bisa seperti ini? Andai saja hal ini terjadi kepada kita, misalnya mobil kita terserempet, maka kita akan marah seketika dan membutuhkan waktu yang tidak singkat agar bisa tersenyum kembali.

Anas bin Malik juga berkata :

مَا سُئِلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْإِسْلَامِ شَيْئًا إِلَّا أَعْطَاهُ، قَالَ: فَجَاءَهُ رَجُلٌ فَأَعْطَاهُ غَنَمًا بَيْنَ جَبَلَيْنِ، فَرَجَعَ إِلَى قَوْمِهِ، فَقَالَ: يَا قَوْمِ أَسْلِمُوا، فَإِنَّ مُحَمَّدًا يُعْطِي عَطَاءً لَا يَخْشَى الْفَاقَةَ

“Tidaklah Rasulullah dimintai sesuatu karena Islam kecuali Rasulullah akan memberikannya. Maka datanglah seseorang kepada beliau, kemudian beliau memberikan kepada orang tersebut kambing sepenuh lembah diantara dua gunung (yaitu kambing yang banyak-pen). Orang tersebut kembali ke kaumnya lalu berkata, “Wahai kaumku masuklah kalian ke dalam Islam, sesungguhnya Muhammad itu memberi pemberian seperti seseorang yang tidak takut miskin.” (HR Muslim no 2312)

Begitu mudahnya beliau bersedekah. Sampai-sampai ada seseorang yang minta kambing kepada Rasūlullāh ﷺ sehingga beliau memberikan kepadanya kambing sepenuh lembah diantara 2 gunung. Ini adalah sebuah ibarat orang Arab, maksudnya kambingnya banyak sekali. Rasūlullāh ﷺ memberikan banyak kambing kepadanya yang membuat orang tersebut masuk Islam. Kemudian dia pulang ke kampungnya dan menyeru kaumnya, apabila ingin mendapatkan kambing yang banyak maka hendaklah meminta kepada Muhammad dengan cara masuk Islam.

Dan memang benar, Rasūlullāh ﷺ tidak pernah takut ditimpa kemiskinan karena jantungnya sudah dicuci oleh Allāh. Ini bukti bahwa tidak ada yang bisa berakhlak seperti akhlaknya Rasūlullāh ﷺ. Oleh karena itu, kejadian mencuci jantung adalah kejadian nyata yang pernah terjadi. Di samping didukung oleh hadits-hadits shahīh berikut atsar dan buktinya.

Perhatikan pula saat Nabi diberi amanah oleh orang-orang kafir untuk dititipkan barang-barang berharga dimana saat itu beliau belum diutus sebagai Nabi. Beliau dikenal sebagai “Al-Amīn” (orang yang sangat terpercaya). Kemudian setelah beliau diutus menjadi Nabi, mulailah mereka merubah julukan Al-Amīn dengan Al-Kadzdzāb (pendusta), penyihir, dukun, orang gila, penyair, dan gelaran-gelaran buruk lainnya. Namun anehnya, meskipun pada siang harinya mereka menjuluki Nabi dengan sebutan yang buruk, tetapi mereka tetap saja menitipkan barang-barangnya kepada Nabi. Seakan-akan hati kecil mereka mengatakan bahwasanya Muhammad tidak mungkin bohong.

Hal yang menakjubkan lagi adalah saat Nabi ﷺ hijrah menuju Madinah. Nabi tidaklah mengambil barang-barang titipan tersebut untuk dimanfaatkannya, bahkan beliau menugaskan ‘Ali bin Abi Thālib selama 3 hari untuk mengembalikan barang-barang titipan tersebut karena beliau mau dibunuh oleh orang-orang kafir. Padahal beliau mempunyai kesempatan untuk mengambil semua barang tersebut, akan tetapi Nabi ﷺ tidak melakukannya. Ini membuktikan bahwa akhlak Nabi adalah mu’jizat dan tidak mungkin akhlak Nabi bisa seperti ini kecuali apabila beliau memang utusan Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Diantara pelajaran penting lain yang bisa kita petik dari kisah pembelahan dada Nabi ﷺ, yaitu segala perkara yang datang dari Al-Qurān maupun Sunnah Nabi ﷺ yang terkadang zhahirnya tidak sesuai dengan akal kita, maka kita wajib menundukkan akal kita karena akal kita yang sangat rendah. Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman :

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ ۖ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِّنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا

“Mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah ruh adalah urusan Rabbku, kalian tidak diberi ilmu kecuali sangat-sangat sedikit.” (QS Al-Isrā : 85)

Dengan teknologi dan alat secanggih apapun, manusia tidak akan mampu mengetahui hakikat ruh, padahal ruh itu eksis dan berada di dalam tubuh. Apabila kita datangkan 100 pakar untuk meneliti tentang ruh, mulai dari saat sakaratul maut sampai keluar ruhnya, niscaya akan melahirkan 100 pendapat pula. Karena tidak ada satupun dari manusia yang memiliki ilmunya, dan kesemuanya hanyalah asumsi, dugaan, perkiraan, dan semisalnya. Ini hanyalah satu contoh yaitu tentang ruh yang mana kita yakini ruh tersebut ada di dalam jasad kita. Apalagi kita berbicara tentang hal ghāib lainnya seperti hakikat jin, malaikat, surga, neraka, dll. Dari sini seharusnya kita menyadari bahwasanya akal manusia mempunyai batasan. Barangsiapa yang ingin menembus batasan-batasan akal dengan akalnya maka sejatinya dia adalah orang yang tidak berakal.

Bersambung insya Allah…

Read more: https://firanda.com

Setelah kelahiran Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam, beliau disusui selama beberapa hari oleh ibunya (ada yang berpendapat selama 3 hari atau 7 hari atau 9 hari), kemudian Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam disusui selama beberapa hari oleh Tsuwaibah (budaknya Abū Lahab, paman Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam). Abū Lahab merasa gembira atas kelahiran Muhammad, keponakannya. Karena itu dia memerintahkan budaknya untuk menyusui Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam.

Sebelumnya, Tsuwaibah pernah menyusui Hamzah[1] bin Abdil Muthholib (paman Nabi). Selain Nabi dan Hamzah, Tsuwaibah juga menyusui Abu Salamah bin ‘Abdil Asad Al-Makhzuumi. Oleh karena itu, Nabi, Hamzah, dan Abu Salamah adalah saudara sepersusuan karena sama-sama disusui oleh Tsuwaibah

Ibnu Abbas berkata :

قِيلَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَلاَ تَتَزَوَّجُ ابْنَةَ حَمْزَةَ؟ قَالَ: «إِنَّهَا ابْنَةُ أَخِي مِنَ الرَّضَاعَةِ»

Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam ditanya, “Kenapa engkau tidak menikah dengan putrinya Hamzah?” Maka Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam mengatakan: “Dia adalah putri dari saudaraku sepersusuan.” (HR Al-Bukhari no 5100 dan Muslim no 1447)

Ummu Habībah (istri Nabi) berkata:

فَإِنَّا نُحَدَّثُ أَنَّكَ تُرِيدُ أَنْ تَنْكِحَ بِنْتَ أَبِي سَلَمَةَ؟ قَالَ: «بِنْتَ أُمِّ سَلَمَةَ»، قُلْتُ: نَعَمْ، فَقَالَ: «لَوْ أَنَّهَا لَمْ تَكُنْ رَبِيبَتِي فِي حَجْرِي مَا حَلَّتْ لِي، إِنَّهَا لاَبْنَةُ أَخِي مِنَ الرَّضَاعَةِ، أَرْضَعَتْنِي وَأَبَا سَلَمَةَ ثُوَيْبَةُ، فَلاَ تَعْرِضْنَ عَلَيَّ بَنَاتِكُنَّ وَلاَ أَخَوَاتِكُنَّ»

“Kami mendengar berita bahwa engkau akan menikah dengan putrinya Abū Salamah.” Kata Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam: “Abū Salamah?” Kata Ummu Habībah: “Ya” Kata Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam: “Kalaulah putri Abu Salamah bukanlah rabibah-ku (anak perempuan bawaan istriku Ummu Salamah –pen) maka tetap saja tidak halal bagiku (untuk dinikahi) karena ia adalah putri saudara sepersusuanku (yaitu Abu Salamah), aku dan Abu Salamah disusui oleh Tsuwaibah. Maka janganlah kalian menawarkan kepadaku putri-putri kalian dan jangan pula saudari-saudari kalian!” (HR Al-Bukhari no 5101 dan Muslim no 1449)

Sehingga putri Abu Salamah adalah mahram Nabi (tidak halal untuk dinikahi oleh Nabi) karena dua sebab, pertama karena ia adalah putri Abu Salamah saudara sepersusuan Nabi, kedua karena putri Abu Salamah adalah rabibah Nabi yaitu putri bawaan Istri Nabi Ummu Salamah.

Setelah Nabi disusui oleh ibunya dan Tsuwaibah, Nabi kemudian disusui oleh seorang perempuan lain yang berasal dari Thāif. Ibu susuannya tersebut bernama Halīmah As-Sa’diyah, seorang wanita yang datang dari Thāif, dan konon kampung beliau masih ada sampai sekarang[2].

Sudah menjadi tradisi orang-orang terdahulu ketika mereka punya anak, mereka akan menitipkan anak mereka untuk tumbuh di perkampungan, bukan di daerah kota (pada saat itu Mekkah adalah kota).

Dahulu, orang-orang kampung biasa datang ke kota untuk mencari nafkah dengan cara mencari anak-anak kecil dari kota yang bisa dipelihara oleh mereka. Pada suatu tahun di musim kemarau, berangkatlah para wanita Thāif, diantaranya adalah Halīmah As-Sa’diyyah. Halimah tiba di Mekkah dengan mengendarai keledai betina. Dan para wanita tersebut berangkat dengan ditemani suami-suami mereka. Saat itu Muhammad kecil ditawarkan kepada mereka, namun semua wanita tersebut menolak tidak ada yang mau menyusui Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam. Hal ini karena mereka tahu bahwa Muhammad itu yatim (tidak punya bapak), sehingga mereka khawatir tidak akan mendapatkan upah. Karena kaum wanita ini menjual jasa untuk menyusui anak demi mencari upah.

Pada awalnya Halīmah As-Sa’diyyah juga tidak mau menerima Muhammad kecil ﷺ. Namun semua wanita-wanita tersebut mendapatkan anak-anak yang akan disusuinya kecuali Halīmah As-Sa’diyyah. Akhirnya dia pun berdiskusi dengan suaminya untuk mengambil Muhammad, dan dengan berat hati diapun membawa Muhammad untuk disusuinya, di samping itu dia juga membawa anak kandungnya.

Halīmah berkata: “Sebelumnya anak saya tidak bisa menyusu kepada saya, karena musim kering”, sehingga air susu untuk anaknya saja tidak cukup. Namun ajaibnya, ketika dia menggendong Muhammad air susunya tiba-tiba berlimpah dan mampu menyusui anaknya sekaligus Muhammad. Selain itu, yang tadinya dia datang mengendarai keledai betina yang lemah, namun ketika dalam perjalanan pulangnya, keledai itu menjadi kuat. Kemudian sesampainya di rumahnya di Thāif dia mendapati ternyata kambing-kambingnya menjadi gemuk dan susunya berlimpah.

Inilah keberkahan yang dirasakan oleh Halīmah As-Sa’diyyah ketika menyusui Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam. Karena itu diapun mencintai Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam dan merawat Beliau dengan sebaik-baiknya. Sampai disebutkan beberapa kali bahwa ibunya Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam ingin mengambil Muhammad kecil tetapi ditolak oleh Halīmah. Sampai akhirnya pada suatu hari, ibunya memaksa dan akhirnya Muhammad dilepaskan oleh Halimah setelah beberapa tahun disusuinya. Kemudian Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam dibawa kembali ke Mekkah dan hidup di bawah naungan ibunya.

Sungguh benar firman Allah

وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui (QS Al-Baqarah : 216)

Allah juga berfirman :

فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا

Karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak (An-Nisaa : 19)

Perhatikanlah keadaan Halimah As-Sa’diyah, dia mengalami hal-hal yang ia tidak sukai, keledainya yang berjalan lambat, terlebih lagi ia hanya mendapatkan anak kecil yang ditolak oleh para wanita yang lain. Ia pun hanya menerima Nabi karena terpaksa. Akan tetapi ternyata hal tersebut mendatangkan banyak sekali kebaikan dan keberkahan bagi dirinya, anaknya, keledainya, dan kambing-kambing peliharaannya.

Sungguh betapa banyak perkara yang kita bersungguh-sungguh dan berusaha untuk meraihnya tetapi pada akhirnya kita tidak berhasil dan perkara tersebut malah terjauhkan dari kita. Bisa jadi perkara tersebut buruk bagi kita, hanya saja kita tidak mengetahuinya. Sebaliknya betapa banyak perkara yang kita berusaha menghindar darinya dan kita tidak menginginkannya namun Allah memberikannya untuk kita karena Allah tahu perkara tersebut baik untuk kita.

Ada beberapa faidah yang disebutkan oleh para ulama tentang masalah Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam yang disusui di perkampungan Bani Sa’ad di Thaif:

⑴ Pentingnya anak- anak di masa kecil untuk hidup di daerah yang segar. Hal ini merupakan kebiasaan orang-orang Arab, mereka meletakkan anak-anak mereka di tempat-tempat yang segar sehingga tubuh mereka tumbuh dengan sehat. Hal ini juga merupakan kebiasaan para ulama dahulu ketika mereka masih kecil, mereka dititipkan di kampung-kampung Arab sehingga mereka bisa menjaga bahasa Arab mereka. Adapun di kota, bahasanya telah mengalami percampur, karena banyaknya orang dari luar Arab yang datang ke kota. Bahasa Arab yang kuat ini sangat penting untuk memahami Al-Qurān dan Sunnah Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam.

Oleh karena itu, sungguh merupakan musibah yang menimpa orang-orang Indonesia ketika tulisan bahasa Arab jawa (pegon) dihilangkan. Dahulu orang-orang tua kita masih menulis dengan tulisan Arab, bahasa Indonesia tetapi tulisannya Arab. Kebiasaan semacam ini akan berpengaruh, orang yang lihai dalam menulis Arab cintanya akan tumbuh terhadap bahasa Arab, sehingga hal ini akan sangat membantu dan memudahkan dalam memahami bahasa Arab.

Umar bin Al-Khatthab pernah mengirim surat yang ringkas kepada Abu Musa Al-Asy’ari, beliau berkata :

أَمَّا بَعْدُ، فَتَفَقَّهُوا فِي السُّنَّةِ, وَتَفَقَّهُوا فِي الْعَرَبِيَّةِ, وَأَعْرِبُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ عَرَبِيٌّ , وَتَمَعْدَدُوا فَإِنَّكُمْ مَعْدِيُوْنَ

“Kemudian daripada itu, hendaknya kalian belajar memahami sunnah, belajarlah memahami bahasa Arab, i’roblah al-Qur’an karena al-Qur’an itu berbahasa Arab, dan hiduplah dengan kehidupan kasar (jangan biasakan hidup bersenang-senang –pent) karena kalian adalah dari kabilah Ma’ad (kabilah yang dikenal dengan hidup keras –pent)” (Al-Mushannaf li Ibni Abi Syaibah no. 30534)

Di Arab saudi, sebagian orang ingin agar bahasa yang tersebar adalah bahasa ‘Ammiyyah (bahasa pasaran, bahasa yang tidak memakai kaidah), bahkan sebagian mereka membuat sya’ir-sya’ir dengan bahasa arab yang tidak baku sesuai kaidah. Ini adalah hal yang sangat berbahaya karena jika yang tersebar adalah bahasa Arab pasaran maka akan terlupakanlah kaidah-kaidah bahasa Arab, sehingga akan semakin menyulitkan masyarakat untuk memahami al-Qur’an dan as-Sunnah dengan baik. Oleh karena itu, mempelajari bahasa Arab merupakan bagian dari agama. Bahkan sebagian ulama mengatakan bahwa belajar bahasa Arab wajib hukumnya bagi yang mampu, karena tidak akan mungkin memahami Al-Qurān dan Sunnah dengan baik kecuali dengan memahami bahasa Arab.

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :

فَإِنَّ نَفْسَ اللُّغَةِ الْعَرَبِيَّةِ مِنَ الدِّيْنِ، وَمَعْرِفَتُهَا فَرْضٌ وَاجِبٌ، فَإِنَّ فَهْمَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ فَرْضٌ، وَلاَ يُفْهَمُ إِلاَّ بِفَهْمِ اللُّغَةِ الْعَرَبِيَّةِ، وَمَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ

“Sesungguhnya bahasa Arab itu sendiri adalah bagian dari agama, dan mengenal (memahami) bahasa Arab hukumnya adalah wajib, sedangkan memahami al-Qur’an dan as-Sunnah adalah wajib dan ia tidak bisa dipahami kecuali dengan memahami bahasa Arab. Sesuatu yang wajib yang tidak bisa dikerjakan kecuali dengan perkara tersebut maka perkara tersebut juga hukumnya wajib” (Iqtdha’ Shirathil Mustaqim li Mukhalafati Ashabil Jahim 1/527)

Asy-Syaathibi berkata :

أَنَّهُ عَرَبِيٌّ وَبِلِسَانِ الْعَرَبِ، لاَ أَنَّهُ أَعْجَمِيٌّ وَلاَ بِلِسَانِ الْعَجَمِ، فَمَنْ أَرَادَ تَفَهُّمَهُ، فَمِنْ جِهَةِ لِسَانِ الْعَرَبِ يُفْهَمُ، وَلاَ سَبِيْلَ إِلَى تَطَلُّبِ فَهْمِهِ مِنْ غَيْرِ هَذِهِ الْجِهَةِ

“Al-Qur’an itu Arab dan dengan lisan (bahasa) Arab. Al-Qur’an bukan non Arab dan juga bukan dengan bahasa non Arab. Siapa yang hendak memahami al-Qur’an maka melalui bahasa Arablah al-Qur’an itu dipahami, serta tidak ada jalan lain untuk bisa memahami al-Qur’an kecuali dengan jalan ini” (Al-Muwafaqat 2/102)

Beliau juga berkata :

الشَّرِيْعَةُ عَرَبِيَّةُ، وَإِذَا كَانَتْ عَرَبِيَّةً؛ فَلاَ يَفْهَمُهَا حَقَّ الْفَهْمِ إِلاَّ مَنْ فَهِمَ اللُّغَةَ الْعَرَبِيَّةَ حَقَّ الْفَهْمِ

“Syari’at itu bersifat Arab. Jika syari’at bersifat Arab maka tidak akan ada yang bisa memahaminya dengan pemahaman yang sesungguhnya kecuali orang yang memahami bahasa Arab dengan pemahaman yang sesungguhnya” (Al-Muwafaqat 5/53)

Suatu hal yang sangat menyedihkan, betapa banyak orang yang semangat mengajarkan bahasa Inggris, bahasa Jepang, atau bahasa asing lainnya kepada anaknya, sementara mereka enggan mengajarkan bahasa Arab kepada anaknya. Bahkan semangat untuk belajar bahasa Arab tidak ada sama sekali, sampai-sampai sering kita dapati di sebagian kota dibuka kursus bahasa Arab secara gratis namun hanya sedikit yang semangat untuk mendaftar. Sedangkan bahasa Inggris atau bahasa Jepang atau bahasa asing lainnya, meskipun dengan pembayaran yang mahal mereka tetap mau datang. Lantas bagaimana umat ini akan berjaya? Sementara bahasa Al-Qurān dan Sunnah tidak dipahami.

(2)  Tumbuhnya anak-anak di perkampungan dengan kehidupan yang tidak manja akan menjadikan anak-anak tersebut tumbuh sehat dengan tubuh yang kuat, karena mereka terbiasa dengan udara segar khas kampung dan mereka terdidik dengan kehidupan yang keras. Oleh karena itu, Umar bin al-Khatthab berkata :

اخْشَوْشِنُوا وَاخْشَوْشِبُوا وَاخْلَوْلِقُوا وَتَمَعْدَدُوا كَإِنَّكُمْ مُعَدٌّ وَإِيَّاكُمْ وَالتَّنَعُّمَ

“Biasakanlah diri kalian dengan kehidupan yang keras, biasakanlah untuk kokoh, biasakanlah memakai pakaian yang lama, biasakanlah hidup dengan kehidupan yang kasar karena kalian adalah dari kabilah Ma’ad, dan jauhilah oleh kalian kehidupan bersenang-senang.” (Syarh Musykil al-Aatsaar 5/339)

(3) Tumbuhnya anak-anak di perkampungan akan menyebabkan mereka tumbuh dengan normal baik secara fisik maupun pikiran. Berbeda dengan anak-anak yang tinggal di perkotaan, ditambah dengan bangunan-bangunan yang megah dan lingkungan yang sempit. Hal ini akan menjadikan anak-anak itu hidup dalam tekanan, terlebih lagi jika sejak kecilnya langsung dihadapkan dengan permainan game atau komputer, maka sifat kekanak-kanakan mereka akan memudar dan mereka tidak tumbuh sebagaimana sewajarnya anak-anak. Kita saksikan di zaman sekarang ini mulai muncul anak-anak perkotaan yang terkena penyakit autis, hal tersebut bisa jadi diakibatkan oleh perkembangan mereka yang tidak wajar karena tidak di dukung oleh lingkungan yang wajar. Wallahu a’lam.

[1] Hamzah bin Abdil Muttholib meskipun beliau adalah paman Nabi akan tetapi umurnya sebaya dengan Nabi. Hamzah dilahirkan dua tahun (ada yang berpendapat empat tahun) sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Karenanya Nabi sangat sayang kepada pamannya Hamzah karena ada tiga hal yang mendukung, Hamzah adalah paman Nabi sekaligus saudara sepersusuan, selain itu jarak umur diantara mereka yang dekat. Sehingga tatkala Hamzah meninggal dunia dalam perang Uhud maka Nabi sangat bersedih.

[2] Letak kampung Halimah adalah di dekat wadi (lembah) Nakhlah, antara miqat Qarn al-Manazil dan Hunain. Adapun Mesjid di Thaif yang dikenal dengan Mesjid Halimah As-‘Sa’diyah, lokasi mesjid tersebut tidaklah persis dengan lokasi dimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dipelihara dan disusui oleh Halimah (Lihat Tashiih Ad-Du’a karya Bakr Abu Zaid hal 104-105)
_____

Jakarta, 03-03-1439 H / 21-11-2017 M
Abu Abdil Muhsin Firanda Andirja
www.firanda.com

Read more: https://firanda.com/
WAFATNYA IBUNDA NABI ﷺ

Telah berlalu sebelumya penjelasan bahwa ketika Rasūlullāh ﷺ berusia 4 tahun, ibu asuh Nabi ﷺ (Halimah) mengantar beliau kembali ke pangkuan ibu kandungnya, dan ini terjadi setelah proses pembelahan dada Nabi. Para ulama menjelaskan bahwa diantara sebab Halimah bersedia mengembalikan Muhammad ﷺ adalah kejadian pembelahan dada tersebut menyebabkan Halīmah khawatir jika suatu saat Nabi akan diserang lagi sedangkan Nabi adalah amanahnya untuk dia jaga. Akhirnya dia mengembalikan Nabi ﷺ kepada ibundanya. Setelah itu, Nabi Muhammad dirawat oleh ibunya sendiri dari umur 4 tahun sampai 6 tahun. Saat berumur 6 tahun, beliau dibawa ke Madinah oleh ibunya untuk menziarahi makam ayahanda beliau, karena ayah Nabi meninggal di Madinah. Selain itu banyak akhwāl (saudara laki-laki ibu) Abdul Muttholib (kakek Nabi) dari Bani Najjaar[1] yang tinggal di Madinah. Adapun ‘ammamnya (saudara laki-laki bapak) banyak di Mekkah.

Disebutkan oleh para ahli sejarah, setelah menjenguk kuburan ayah Nabi ﷺ, mereka berjalan pulang. Ketika sampai di suatu tempat bernama Abwā yang terletak sekitar 235 km dari Mekkah, Aminah, ibunda Nabi ﷺ meninggal dunia.

Sungguh, ini adalah cobaan luar biasa yang dialami oleh Nabi ﷺ yang saat itu masih anak-anak. Nabi telah mencapai puncak keyatiman (meninggal dalam keadaan ayahnya tidak ada) kemudian dirawat oleh ibundanya hanya 2 tahun, lalu ibunda beliau pun meninggal saat pulang dari safar di suatu tempat yang jauh dari Mekkah dan Madinah. Jika beliau meninggal di Mekkah maka akan ada paman-pamannya dari sisi ayahnya dan kalau di Madinah akan ada paman-pamannya dari sisi kakeknya. Namun ibundanya meninggal di tengah-tengah antara Mekkah dan Madinah (Abwā) sehingga tidak ada orang yang beliau bisa menyampaikan keluh kesahnya. Nabi ﷺ melihat langsung bagaimana ibundanya menghadapi kematian.

Para ulama menyebutkan bahwa semakin orang itu bertaqwa maka cobaan yang akan dia hadapi akan semakin berat. Apabila kita mempelajari tentang cobaan-cobaan yang dialami oleh Nabi ﷺ maka sangatlah luar biasa. Beliau lahir dalam keadaan yatim, umur 6 tahun melihat ibunya meninggal, sendirian tidak ada siapa-siapa di sisi beliau, di tempat yang asing. Begitu besar kesedihan yang dirasakan oleh Nabi ﷺ. Oleh karena itu ujian Nabi ﷺ sangat luar biasa. Sebagaimana dalam hadits:

الْأَنْبِيَاءُ، ثُمَّ الصَّالِحُوْنَ، ثُمَّ الْأَمْثَلُ فَالْأَمْثَلُ، يُبْتَلَى الْعَبْدُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ

“Orang yang paling berat ujiannya adalah para Nabi kemudian orang-orang shālih kemudian selanjutnya dan selanjutnya. Seorang hamba diuji berdasarkan agamanya” (HR Ibnu Majah no 4023 dan At-Tirmidzi no 2398)[2]

Nabi ﷺ telah menjadi yatim piatu semenjak masih anak-anak. Karena itulah beliau sangat sayang kepada anak-anak yatim, sampai-sampai beliau ﷺ mengatakan:

أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيمِ كَهَاتَيْنِ فِي الْجَنَّةِ

“Aku bersama orang yang menanggung anak yatim seperti 2 jari ini disurga.” (HR Al-Bukhari no 5304)

Nabi ﷺ mengatakan demikian bukan hanya sekedar berdasarkan teori tetapi beliau telah merasakan sendiri susahnya menjadi anak yatim.

Dikisahkan bahwasanya ada seorang shahābat Nabi ﷺ datang menemui beliau, dia mengatakan: “Yā Rasūlullāh, hatiku seakan-akan keras.” Maka Rasūlullāh ﷺ berkata:

إِنْ أَرَدْتَ أَنْ يَلِينَ قَلْبُكَ، فَأَطْعِمِ الْمِسْكِينَ، وَامْسَحْ رَأْسَ الْيَتِيمِ

“Kalau engkau ingin hatimu lunak (yaitu mudah terenyuh/menangis tatkala mendengar ayat-ayat Allāh, khusyū’ tatkala shalat) maka berilah makan kepada fakir miskin dan usaplah kepala anak yatim.” (HR Ahmad no 5756 dan dihasankan oleh Al-Albani dalam As-Shahihah no 854)

Hal ini karena Nabi mengetahui kerinduan anak yatim tatkala diusap kepalanya. Bagaimana seorang anak ketika didatangi oleh orangtuanya, dia rindu untuk diusap kepalanya. Oleh karena itu, apabila seseorang ingin hatinya bersih dan mudah mendapatkan nashihat maka perhatikanlah orang miskin, berilah makan untuk mereka, datangi dan santuni anak yatim serta usaplah kepala mereka. Kita bisa mengirim uang atau santunan untuk anak yatim, tetapi alangkah lebih indah lagi jika kita bisa bertemu langsung dengan anak yatim kemudian mengusap kepalanya dan turut merasakan kesedihan yang dirasakan anak yatim tersebut.

Nabi ﷺ benar-benar mengetahui kesedihan yang dialami oleh anak yatim, sehingga ketika beliau berbicara tentang rahmat (kasih sayang), maka hal ini benar-benar keluar dari lubuk hati beliau yang paling dalam. Beliau benar-benar mengerti bukan sekedar teori, tetapi beliau pernah merasakan langsung sebagai anak yatim dan juga sebagai orang miskin.

Di bawah asuhan sang Kakek

Setelah ibunda Nabi ﷺ meninggal dunia, Rasūlullāh ﷺ kemudian diasuh oleh kakeknya, ‘Abdul Muththalib, dia sangat mencintai cucunya tersebut. Disebutkan oleh para ahli sejarah bahwa ‘Abdul Muththalib sering duduk-duduk di bawah naungan Ka’bah. Dia memiliki semacam tempat duduk dari permadani, jika anak-anaknya datang (yaitu paman-paman Nabi), mereka hanya duduk di sekitar permadani tersebut, tidak ada yang berani duduk di permadani ‘Abdul Muththalib disebabkan haybah (kharismatik) yang dimiliki olehnya sehingga orang-orang segan terhadapnya. Adapun Nabi ﷺ kecil, yang masih berusia 6 tahun jika beliau datang ke Ka’bah maka beliau duduk di permadani kakeknya. Suatu hari beliau ﷺ pernah duduk di atas permadani sehingga dengan serta merta paman-paman beliau melarangnya. Namun Nabi ﷺ tetap duduk dan dibiarkan saja oleh ‘Abdul Muththalib, bahkan kakeknya menggendongnya dan duduk disampingnya, karena Abdul Muththalib sangat mencintainya. Mungkin saja diantara penyebabnya adalah karena bapak Nabi (‘Abdullāh) juga diantara anaknya yang sangat dicintainya, demikian pula cucunya, terlebih Nabi ﷺ  hidup dalam keadaan yatim piatu. Suatu ketika saat paman-paman Nabi ﷺ melarang Muhammad duduk di atas permadani, maka ‘Abdul Muththalib membelanya dan mengatakan: “Biarkan cucuku, sesungguhnya dia memiliki suatu kehebatan.”[3]

Di bawah Asuhan Sang Paman

Tak berselang lama, ‘Abdul Muththalib juga meninggal dunia. Disebutkan bahwasanya dia wafat dalam usia sekitar 82 tahun (80 tahun lebih). Sebelum wafat, ‘Abdul Muththalib mewasiatkan kepada Abū Thālib (paman Nabi) agar dia yang mengasuh Muhammad kecil. Alasan beliau memilih Abū Thālib karena Abū Thālib dan ‘Abdullāh saudara kandung seibu dan sebapak. ‘Abdul Muththalib menikah dengan beberapa wanita, diantara anaknya yang lahir dari ibu yang sama adalah Abū Thālib dan ‘Abdullāh[4], sedangkan paman Nabi yang lain lahir dari ibu yang berbeda dengan mereka berdua.

Akhirnya pengasuhan kepada Nabi Muhammad ﷺ pun berpindah kepada paman beliau, Abū Thālib. Disebutkan bahwa Abū Thālib sangat mencintai dan memperhatikan Nabi ﷺ seperti anak beliau sendiri. Dia sering tidur di samping Nabi ﷺ dan jika pergi dia selalu mengajak Nabi ﷺ. Ketika Abū Thālib berdagang ke negeri Syam, Nabi Muhammad ﷺ diajak. Namun sayangnya Abū Thālib adalah orang yang miskin. Oleh karena itu, Nabi ﷺ ikut bekerja untuk membantu pamannya diantaranya dengan menggembala kambing.

Nabi ﷺ Biasa Menggembala Kambing

Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda

مَا بَعَثَ اللَّهُ نَبِيًّا إِلَّا رَعَى الْغَنَمَ فَقَالَ أَصْحَابُهُ وَأَنْتَ فَقَالَ نَعَمْ كُنْتُ أَرْعَاهَا عَلَى قَرَارِيطَ لِأَهْلِ مَكَّةَ

“Tidak ada seorang Nabi pun yang diutus kecuali menggembalakan kambing.” Kata para shahābat: “Engkau juga menggembalakan kambing, wahai Rasūlullāh?” Berkata Rasūlullāh ﷺ: “Ya, saya dulu menggembalakan kambing-kambingnya orang Mekkah agar dapat upah dari mereka.” (HR Al-Bukhari no 2262)

Nabi ﷺ sendiri tidak memiliki kambing. Kambing yang beliau gembalakan adalah milik orang lain, beliau hanya bertugas merawatnya supaya dapat upah, kemudian upah itu digunakan untuk membantu pamannya. Abu Thalib adalah orang yang terpandang tapi miskin secara ekonomi. Dan telah lewat pembahasannya bahwasa Nabi sewaktu masih kecil juga menggembalakan kambing di kampung Bani Sa’ad tatakala beliau tinggal bersama ibu susuannya, Halimah As-Sa’diyah.

Dalam hadits yang lain, dari Jābir bin ‘Abdillāh radhiyallāhu Ta’āla ‘anhumā, Jabir mengisahkan :

كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَجْنِي الْكَبَاثَ وَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ عَلَيْكُمْ بِالْأَسْوَدِ مِنْهُ فَإِنَّهُ أَطْيَبُهُ قَالُوا أَكُنْتَ تَرْعَى الْغَنَمَ قَالَ وَهَلْ مِنْ نَبِيٍّ إِلَّا وَقَدْ رَعَاهَا

Suatu hari kami bersama Nabi ﷺ dan kami sedang mengambil kayu siwak. Lalu Rasūlullāh ﷺ berkata: “Carilah yang kayunya/batangnya hitam, karena itu siwak yang terbaik” Maka para shahābat heran, “Wahai Rasūlullāh, apakah engkau pernah menggembalakan kambing?” Rasūlullāh ﷺ berkata: “Bukankah setiap Nabi pernah menggembalakan kambing?” (HR. Al-Bukhari no 3406 dan Muslim no 2050)

Menurut para ulama, ini adalah salah satu dalil bahwasanya seluruh Nabi menggembalakan kambing. Bahkan sekalipun Nabi yang kaya raya pun juga ditakdirkan oleh Allāh untuk menggembalakan kambing. Contohnya Nabi Mūsa ‘alayhissalām, beliau dibesarkan di istana Fir’aun, namun tetap ditakdirkan oleh Allāh untuk menggembalakan kambing. Dalam al-Qur’an dikisahkan bahwa Nabi Mūsa pernah membunuh salah seorang penduduk Mesir yang menyebabkan beliau dikejar-kejar dan melarikan diri ke negeri Madyan. Di sana beliau bertemu dengan salah seorang penduduk Madyan, lalu dinikahkah dengan putrinya dengan mahar menggembalakan kambing selama 8 atau 10 tahun.

Menurut para ulama, hikmah para Nabi (terutama sebelum menjadi Nabi) ditakdirkan oleh Allāh untuk menggembalakan kambing, diantaranya yaitu:

⑴ Untuk mengajarkan tawādhu’. Karena pekerjaan sebagai seorang penggembala tidak ada yang pantas disombongkan darinya. Bahkan Nabi menceritakan bahwa dia pernah menjadi penggembala kambing setelah ia menjadi Nabi. Ibnu Hajar berkata :

وَفِي ذِكْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِذَلِكَ بَعْدَ أَنْ عُلِمَ كَوْنُهُ أَكْرَمَ الْخَلْقِ عَلَى اللَّهِ مَا كَانَ عَلَيْهِ مِنْ عَظِيمِ التَّوَاضُعِ لِرَبِّهِ وَالتَّصْرِيحِ بِمِنَّتِهِ عَلَيْهِ وَعَلَى إِخْوَانِهِ مِنَ الْأَنْبِيَاءِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menceritakan tentang dirinya bahwa beliau adalah penggembala kambing setelah diketahui (oleh para sahabat-pen) jika dirinya adalah makhluk termulia di sisi Allah, menunjukan akan besarnya tawadhu’ beliau terhadap Rabbnya, dan dengan tegasnya beliau menyebutkan karunia Allah (yaitu menjadikannya sebagai penggembala kambing -pen) terhadapnya dan terhadap saudara-saudaranya dari para Nabi” (Fathul Baari 4/441)

⑵ Menunjukan perhatian terhadap hewan yang lemah yaitu kambing, tidak seperti unta, kuda, atau yang semisal.

⑶ Jenis kambing ada bermacam-macam, ada yang jinak dan ada yang liar. Mengetahui hal ini adalah penting sebagai bekal menghadapi berbagai tipe manusia, ada yang angkuh, rendah diri, kaya, miskin, dll.

Kambing tidak seperti bebek yang pada umumnya mudah untuk dikendalikan, jika satu digiring maka yang lain akan mengikutinya. Berkebalikan dengan yang terjadi pada kambing.

⑷ Menumbuhkan sikap mandiri dan tidak bergantung kepada orang lain. Nabi ﷺ sejak kecil sudah mandiri dan tidak bergantung kepada orang lain.

(5) Bahkan selain mandiri, Nabi juga bekerja untuk membantu orang lain (yaitu pamannya). Karenanya saat didatangi malaikat Jibrīl, Nabi ﷺ begitu tampak ketakutan. Beliau datang kepada Khadījah dan berkata: “Saya khawatir sesuatu menimpa diriku.” Kata Khadījah: “Sekali-kali tidak, demi Allāh, gembiralah wahai suamiku, engkau orang yang suka bersilaturahim, senantiasa jujur, menjamu tamu, membantu orang, bahkan engkau mencari uang untuk engkau berikan kepada orang yang tidak mampu, membantu orang yang terkena musibah.”

Oleh karena itu, hendaknya kita membiasakan diri agar tidak bergantung kepada orang lain. Diantara puncak kebahagiaan adalah seseorang itu tidak bergantung kepada makhluk apapun. Kita mengambil sebab, tapi jangan bergantung kepada sebab tersebut. Kapanpun seseorang menggantungkan hatinya kepada manusia dan berharap kepada manusia, maka suatu saat dia akan kecewa dan kebahagiaannya akan hilang. Berbeda jika seseorang senantiasa menggantungkan hatinya kepada Allāh maka dia akan senantiasa bahagia.

Ibnu Hajar rahimahullah berkata :

قَالَ الْعُلَمَاءُ الْحِكْمَةُ فِي إِلْهَامِ الْأَنْبِيَاءِ مِنْ رَعْيِ الْغَنَمِ قَبْلَ النُّبُوَّةِ أَنْ يَحْصُلَ لَهُمُ التَّمَرُّنُ بِرَعْيِهَا عَلَى مَا يُكَلَّفُونَهُ مِنَ الْقِيَامِ بِأَمْرِ أُمَّتِهِمْ وَلِأَنَّ فِي مُخَالَطَتِهَا مَا يُحَصِّلُ لَهُمُ الْحِلْمَ وَالشَّفَقَةَ لِأَنَّهُمْ إِذَا صَبَرُوا عَلَى رَعْيِهَا وَجَمْعِهَا بَعْدَ تَفَرُّقِهَا فِي الْمَرْعَى وَنَقْلِهَا مِنْ مَسْرَحٍ إِلَى مَسْرَحٍ وَدَفْعِ عَدُوِّهَا مِنْ سَبُعٍ وَغَيْرِهِ كَالسَّارِقِ وَعَلِمُوا اخْتِلَافَ طِبَاعَهَا وَشِدَّةَ تَفَرُّقِهَا مَعَ ضَعْفِهَا وَاحْتِيَاجِهَا إِلَى الْمُعَاهَدَةِ أَلِفُوا مِنْ ذَلِكَ الصَّبْرَ عَلَى الْأُمَّةِ وَعَرَفُوا اخْتِلَافَ طِبَاعَهَا وَتَفَاوُتَ عُقُولِهَا فَجَبَرُوا كَسْرَهَا وَرَفَقُوا بِضَعِيفِهَا وَأَحْسَنُوا التَّعَاهُدَ لَهَا فَيَكُونُ تَحَمُّلُهُمْ لِمَشَقَّةِ ذَلِكَ أَسْهَلَ مِمَّا لَوْ كُلِّفُوا الْقِيَامَ بِذَلِكَ مِنْ أَوَّلِ وَهْلَةٍ لِمَا يَحْصُلُ لَهُمْ مِنَ التَّدْرِيجِ عَلَى ذَلِكَ بِرَعْيِ الْغَنَمِ وَخُصَّتِ الْغَنَمُ بِذَلِكَ لِكَوْنِهَا أَضْعَفَ مِنْ غَيْرِهَا وَلِأَنَّ تَفَرُّقَهَا أَكْثَرُ مِنْ تَفَرُّقِ الْإِبِلِ وَالْبَقَرِ لِإِمْكَانِ ضَبْطِ الْإِبِلِ وَالْبَقَرِ بِالرَّبْطِ دُونَهَا فِي الْعَادَةِ الْمَأْلُوفَةِ وَمَعَ أَكْثَرِيَّةِ تَفَرُّقِهَا فَهِيَ أَسْرَعُ انْقِيَادًا مِنْ غَيْرِهَا

“Para ulama berkata bahwasanya hikmah dari diilhamkannya para Nabi untuk menggembalakan kambing sebelum diangkat menjadi Nabi yaitu agar mereka terlatih dalam menggembalakan kambing sehingga mampu menjalankan segala yang dibebankan kepada mereka dalam menjalankan urusan umat mereka. Dan juga dengan bercampur/bergaul dengan kambing akan menimbulkan kesabaran dan kasih saying. Dan jika mereka bersabar dalam menggembalakan kambing, mengumpulkan kambing-kambing setelah terpencarnya di daerah penggembalaan serta memindahkannya dari satu kawasan gembala ke kawasan yang lain, melindungi mereka dari musuhnya seperti hewan buas dan pencuri dan yang lainnya, kemudian mengetahui akan bervariasinya akhlak kambing-kambing dan begitu cepatnya kambing-kambing terpencar-pencar padahal begitu lemahnya, serta kebutuhan kambing-kambing tersebut terus diperhatikan, maka para Nabi akan terbiasa dengan kesabaran tersebut agar kelak bisa bersabar atas umat mereka. Mereka akan mengetahui betapa bervariasinya perangai umat dan bertingkat-tingkatnya akal mereka, mereka akan mudah menambal kekurangan umat, mereka akan bersikap lemah lembut kepada yang lemah diantara umatnya, dan mereka akan lebih baik dalam memperhatikan umatnya. Sehingga jadilah tugas para Nabi untuk mengurusi umatnya menjadi lebih ringan dibanding jika para Nnabi langsung dibebani untuk mengurusi umat tanpa tahapan sebelumnya yakni dengan menggembalakan kambing. Dan dikhususkan kambing, karena kambing lebih lemah dari pada yang lainnya (dari pada sapi dan onta-pen) serta berpencarnya kambing lebih sering daripada bepencarnya onta dan sapi, karena onta dan sapi mungkin untuk diikat tidak seperti kambing yang pada umumnya dilepas. Namun meskipun kambing sering berpencar, mereka lebih mudah patuh dibandingkan onta dan sapi.” (Fathul Baari 4/441)

Ibnu Hajar juga berkata :

قَالُوا وَالْحِكْمَةُ فِي رِعَايَةِ الْأَنْبِيَاءِ صَلَوَاتُ اللَّهِ وَسَلَامُهُ عَلَيْهِمْ لَهَا لِيَأْخُذُوا أَنْفُسَهُمْ بِالتَّوَاضُعِ وَتَصْفَى قُلُوبُهُمْ بِالْخَلْوَةِ وَيَتَرَقَّوْا مِنْ سِيَاسَتِهَا بِالنَّصِيحَةِ إِلَى سِيَاسَةِ أُمَمِهِمْ بِالْهِدَايَةِ وَالشَّفَقَةِ

“Para ulama berkata bahwasanya hikmah para Nabi menggembalakan kambing yaitu agar mereka bersikap tawadhu’ dan agar hati mereka menjadi bersih dengan cara berkhalwat (bersendirian) dan agar kemampuannya semakin meningkat dengan bersiasat/mengatur kambing-kambing dengan yang terbaik untuk kelak diterapkan kepada umat-umat mereka dalam mengatur mereka, dalam memberi petunjuk kepada mereka, dan mengasihi mereka” (Fathul Baari 14/6)

Ibnu Baththal rahimahullah berkata :

معنى قوله عليه السلام: (ما بعث الله نبيا إلا رعى الغنم) – والله أعلم – أن ذلك توطئة وتقدمةً فى تعريفه سياسة العباد، واعتبارًا بأحوال رعاة الغنم، وما يجب على راعيها من اختيار الكلأ لها، وإيرادها أفضل مواردها، واختيار المسرح والمراح لها، وجبر كسيرها، والرفق بضعيفها، ومعرفة أعيانها وحسن تعهدها، فإذا وقف على هذه الأمور كانت مثالاً لرعاية العباد، وهذه حكمة بالغة

“Makna sabda Nabi “Tidaklah Allah mengutus seorang nabi-pun kecuali pernah menggembalakan kambing” –Wallahu a’lam– adalah ini sebagai pembukaan dan muqaddimah untuk mengenali cara mengatur para hamba. Dan untuk mengambil pelajaran dari kondisi para penggembala kambing, apa yang wajib bagi penggembala kambing dengan memilihkan rumput yang baik bagi kambing, menggiring kambing ke kawasan yang terbaik, memilih daerah gembalaan yang terbaik dan tempat istirahat yang terbaik, mengobati kambing yang sakit, lembut terhadap kambing yang lemah, mengenali pribadi setiap kambing, serta memberi perhatian yang baik terhadap mereka. Maka jika seorang nabi melakukan hal-hal tersebut, jadilah ia seorang teladan dalam mengurusi umat. Dan ini merupakan hikmah yang tinggi” (Syarah Shahih Al-Bukhari 6/386)

Nabi juga bersabda :

وَالفَخْرُ وَالخُيَلاَءُ فِي أَهْلِ الخَيْلِ وَالإِبِلِ، وَالفَدَّادِينَ أَهْلِ الوَبَرِ، وَالسَّكِينَةُ فِي أَهْلِ الغَنَمِ

“Bangga diri dan kesombongan ada pada pemilik kuda dan onta, yaitu orang-orang yang bersuara keras yang tinggal di gurun. Adapun ketenangan ada pada pemilik kambing” (HR Al-Bukhari 3301 dan Muslim no 52)

At-Thibiy rahimahullah berkata :

تَخْصِيصُ الْخُيَلَاءِ بِأَصْحَابِ الْإِبِلِ، وَالْوَقَارُ بِأَهْلِ الْغَنَمِ يَدُلُّ عَلَى أَنَّ مُخَالَطَةَ الْحَيَوَانِ تُؤَثِّرُ فِي النَّفْسِ وَتُعَدِّي إِلَيْهَا هَيْئَاتٍ وَأَخْلَاقًا تُنَاسِبُ طِبَاعَهَا وَتُلَائِمُ أَحْوَالَهَا،

“Dikhususkannya kesombongan untuk para penggembala onta dan dikhususkannya ketenangan bagi para penggembala kambing, menunjukkan bahwa kedekataan/pergaulan dengan hewan akan mempengaruhi jiwa dan menularkan kepada jiwa kondisi dan perangai yang sesuai dengan tabi’at dan kondisi jiwa tersebut.”(Syarh Misykat Al-Mashabih 12/3957)

Al-Qari mengomentari perkataan di atas :

قُلْتُ: وَلِهَذَا قِيلَ الصُّحْبَةُ تُؤَثِّرُ فِي النَّفْسِ، وَلَعَلَّ هَذَا أَيْضًا وَجْهُ الْحِكْمَةِ فِي أَنَّ كُلَّ نَبِيٍّ رَعَى الْغَنَمَ

“Karenanya dikatakan bahwasanya persahabatan itu akan memberi pengaruh terhadap jiwa. Dan mungkin saja ini juga salah satu hikmah mengapa semua Nabi menggembalakan kambing” (Mirqat al-Mafaatiih 9/4037)

Kisah pertemuan Nabi ﷺ dengan pendeta Buhairā.

Ini kisah yang sangat penting karena sering dijadikan dalil oleh orang-orang Nashara untuk menjatuhkan Nabi ﷺ. Abū Thālib paman Nabi ﷺ sangat mencintai Nabi seakan-akan anaknya sendiri. Sampai-sampai kemana dia pergi Nabi pasti diajak, bahkan dalam perjalanan yang sangat jauh yang mana ketika itu beliau masih berumur belasan tahun. Pada suatu perjalanan ke negeri Syam untuk berdagang, Nabi ﷺ bertemu dengan seorang pendeta bernama Buhairā. Telah kita ketahui bersama bahwa saat itu negeri Syam dikuasai oleh orang-orang Romawi yang beragama Nasrani. Di sanalah para pendeta biasa berkumpul.

Dalam sebuah riwayat dari Abū Mūsa Al-‘Asy’ariy radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu, dia berkata: Abū Thālib pergi ke negeri Syam membawa Nabi ﷺ beserta sejumlah orang yang sudah tua dari kalangan Quraisy untuk berdagang. Saat mereka sampai di tempat yang dekat dengan Buhairā, mereka berhenti untuk beristirahat dan unta-unta mereka diikatkan. Tak lama kemudian, Buhaira sang pendeta keluar menemui mereka, padahal sebelumnya para pendeta tidak pernah keluar menemui meskipun mereka sering lewat di tempat tersebut. Hal ini disebabkan karena adanya Nabi ﷺ dalam rombongan tersebut. Saat rombongan Abu Thalib sedang sibuk membereskan unta, sang rahib-pun masuk di sela-sela mereka, lalu sang rahib bertemu dengan Nabi dan memegang tangan Beliau ﷺ sembari berkata: “Inilah pemimpin seluruh alam semesta, ini adalah  Rasul Allāh pemimpin seluruh alam semesta. Allāh mengutus dia sebagai rahmat semesta alam.” Orang-orang Quraisy kemudian berkata kepada sang rahib: “Bagaimana engkau tahu hal demikian, mengapa engkau mengatakan anak kecil ini akan menjadi pemimpin alam semesta?” Maka sang rahib berkata: “Tatkala kalian pergi menuju ke sini, tidak ada satu pohon dan batu pun kecuali sujud kepadanya. Dan saya mengetahui bahwa dia seorang Nabi karena adanya tanda kenabian di bawah pundaknya, semacam tahi lalat besar dan padanya ada rambut.” Kemudian sang rahib pulang dan membuat makanan untuk mereka. Mereka melihat sebuah bayangan di bawah pohon yang bisa dijadikan tempat bernaung. Kemudian Nabi ingin istirahat di bawah bayangan tersebut, tapi orang-orang Quraisy sudah mendahului duduk di tempat tersebut sehingga Nabi duduk di sisi yang lain. Tiba-tiba bayangan pohon berpindah kepada Nabi dan menanunginya. Pendeta rahib Buhairā berkata: “Jangan engkau bawa Muhammad ke Romawi, berhati-hatilah karena apabila mereka mengetahuinya mereka akan membunuhnya. Karena mereka mengetahui akan keluar seorang Nabi baru.” Tak lama kemudian tibalah 7 orang pasukan Romawi. Mereka ditemui oleh sang pendeta dan bertanya: “Apa yang membuat kalian ke sini?” Mereka menjawab: “Kami mendengar bahwasanya akan ada seorang Nabi yang muncul di bulan ini dan dia akan melewati jalan ini, karena itulah kami bermaksud mencari Nabi tersebut. Setiap sudut jalan telah diutus orang untuk mencari Nabi tersebut.” Pendeta Buhaira berkata kepada pasukan: “Jika Allāh mengendaki sesuatu, adakah orang yang dapat menolaknnya? Maka berbaiatlah kepada Nabi tersebut jika ia telah muncul.”

Di akhir hadits dikatakan oleh Abū Mūsa Al-‘Asy’ariy, Sang pendeta terus mengingatkan agar tidak membawa Muhammad ke negeri Romawi. Hal ini menyebabkan Abū Thālib memulangkan Nabi ﷺ bersama dengan  Abū Bakr dan Bilāl, dikirim pulang ke Mekkah. (HR At-Tirmidzi no 3948)

Para ulama berbeda pendapat akan keshahīhan hadits di atas, karena di dalam sanadnya ada perawi yang bernama ‘Abdurrahman bin Ghazwān. Para ulama menilainya bahwasanya dia memiliki riwayat yang munkar.

Hadits ini dikatakan At-Tirmidzi dalam Sunannya sebagai hadits yang hasan gharīb dan kami tidak tahu dari jalur ini. Hadits ini juga dinilai shahih oleh Al-Hakim, Ibnu Hajar ( al-Ishobah 1/476), Ibnu Katsir (Al-Fushul fi siroh Ar-Rasul), Al-Albani (Difa’ ‘an al-Hadits an-Nabawi wa As-Siroh 62-72).

Akan tetapi Imam Adz-Dzahabi (ulama besar Asy-Syāfi’ī, ahli hadits dan jarh wa ta’dil) membantah al-Hakim dan mengatakan bahwa hadits tersebut adalah hadits yang palsu, dengan membawakan banyak dalil yang menunjukkan kepalsuan hadits ini. Beliau membantah mengapa pada akhir hadits disebutkan bahwasanya Abū Thālib mengirim Nabi pulang ke Mekkah dengan ditemani oleh Abū Bakr dan Bilāl. Padahal pada saat itu Bilāl belum lahir sedangkan Abū Bakr 2,5 tahun lebih muda dari Nabi. Ini adalah lafal yang tidak benar dan diingkari oleh para ulama. Lalu bagaimana bayangan pohon tersebut bisa berpindah. Padahal jika bayangan berpindah itu artinya matahari juga harus berpindah. Demikian juga Abū Thālib mati dalam keadaan kafir. Seandainya hadits ini benar lalu mengapa Rasūlullāh ﷺ tidak pernah berkata kepada pamannya “Wahai paman, ingatkah kejadian saat aku berumur 12 tahun? Ingatkah perkataan pendeta Buhairā?”

Oleh karena itu, kisah ini diperselisihkan oleh para ulama. Sebagian menshahīhkan dan sebagian ulama mendha’īfkan. Diantaranya yang mendha’īfkan yaitu Adz-Adz-Dzahabi rahimahullāh Ta’āla.

Al-Hafiz Ibnu Hajar (demikian juga Syaikh Al-Albani) mengatakan dari sisi sanad dia shahīh kecuali lafazh yang terakhir. Namun anehnya, hadits yang diperselisihkan ini dijadikan dalil oleh orang-orang Nasrani dengan mengatakan bahwa Muhammad itu tidak mendapat wahyu dari Allāh, akan tetapi diajari oleh pendeta Buhairā saat mereka bertemu.

Berkenaan dengan asumsi mereka, hal ini bisa dibantah dengan beberapa alasan:

⑴ Kisah sanad hadits ini diperselisihkan, sehingga orang-orang Nashrani tidak pantas berdalil dengan kisah ini.

⑵ Jika memang benar mereka (kaum Nasrani) meyakini bahwa Nabi Muhammad ﷺ mengambil ilmu dari Buhairā, lantas mengapa mereka tidak mau beriman kepada beliau? Bukankah ajarannya dibawa oleh pendeta Nashrani?!

⑶ Pertemuan Nabi Muhammad ﷺ dengan pendeta Buhairā hanya sebentar (sekedar makan siang) dan Nabi Muhammad berbahasa Arab sedangkan pendeta Buhairā berbahasa lain. Bagaimana mungkin dalam waktu sesingkat itu Buhaira mampu mengajari Al-Qurān yang berisi lebih dari 6000 ayat.

Menurut sebagian mereka, pendeta Buhairā senantiasa mengirimkan surat kepada Nabi Muhammad ﷺ. Maka kita bantah dengan mengatakan bahwa ayat Al-Qurān turun berdasarkan kejadian-kejadian, artinya sang pendeta harus aktif segera mengirim suratnya karena ayat Al-Qurān langsung turun segera saat itu juga. Misalnya ketika perang Uhud, turun sebuah ayat, padahal komunikasi di zaman itu masih serba lama, paling cepat dengan kurir berkuda. Perhatikan pula bahwasanya isi Al-Qurān sendiri banyak bertentangan dengan isi Injil yang telah dirubah.

Bersambung Insya Allah…

FOOTNOTE:

[1] Karena ayah Abdul Muttholib yaitu Hasyim bin Abdi Manaf menikah dengan Salma bin ‘Amr An-Najjaariyah Al-Khazrajiyah, kemudian lahirlah Abdul Muttholib. Karenanya bani Najjar dari suku Khazraj di Madinah adalah akhwaal (saudara laki-laki ibu) dari Abdul Muttholib

[2] Al-Imam Al-Bukhari –dalam shahihnya- membuat suatu bab yang diberi judul:

بَاب أَشَدُّ النَّاسِ بَلَاءً الْأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الْأَمْثَلُ فَالْأَمْثَلُ

(Bab : Orang yang paling berat ujiannya adalah para nabi lalu yang paling shalih dan yang paling shalih), lalu beliau membawakan sebuah hadits dimana Nabi bersabda :

إِنِّي أُوعَكُ كَمَا يُوعَكُ رَجُلَانِ مِنْكُمْ

“Aku sakit sebagaimana dua orang yang sakit diantara kalian.” (HR Al-Bukhari no 5648)

[3] Lihat Dalail An-Nubuwwah karya al-Baihaqi 1/404 dan Siroh Ibnu Hiysam 1/168

[4] Ibu mereka berdua adalah Fathimah binti ‘Amr bin ‘Aidz

Read more: https://firanda.com/