Perang Dzatu ar-Riqa’ terjadi pada bulan Rabiul Awal tahun 7 H. Sesaat setelah Benteng khaibar ditaklukkan. Sebagian ahli sejarah menyatakan, perang ini terjadi pada tahun 4 H. Pendapat ini tidak tepat, ditinjau dari Abu Musa al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu yang turut serta dalam perang ini. Sedangkan Abu Musa sendiri tiba di Madinah pada tahun 7 H. Bersamaan dengan datangnya Ja’far bin Abu Thalib dari Habasyah. Jadi, Abu Musa datang ke Madinah setelah penaklukkan Khaibar.
Hal lainnya yang menunjukkan kalau Perang Dzatu ar-Riqaq terjadi pada tahun 7 H adalah perang ini berhadapan dengan orang-orang Ghatafan yang dulu ikut mengepung Kota Madinah di Perang Ahzab. Kemudian mereka ingin membantu dengan orang-orang Yahudi di Perang Khaibar. Sembari mematangkan rencana menyerang al-Madinah al-Munawwarah. Merespon hal itu, Rasulullah bertindak cepat. Beliau kirim pasukan menghadapi mereka di Khaibar.
Kekalahan di Khaibar tidak menyurutkan mereka. Orang-orang Ghatafan ini malah bertekad menyerang Madinah. Rasulullah keluar menyambut mereka dengan langsung memimpin sendiri pasukan kaum muslimin. Beliau tidak ingin hanya duduk menunggu. Membiarkan orang-orang ini menyangka bahwa umat Islam takut berhadapan langsung dengan Ghatafan. Beliau tidak biarkan moral pasukan Ghatafan terus berkibar. Menjemput mereka langsung di pemukiman mereka adalah cara Rasulullah menyampaikan pesan, siapa sebenarnya yang sedang mereka hadapi (Mubarakfury, Ar-Rahiq al-Makhtum Cet. Daul Wafa, Hal: 328).
Setelah mengetahui penyebab perang ini, kita dengan mudah bisa menyanggah orang-orang yang menuduh Rasulullah suka berperang dan menyebarkan Islam dengan pedang.
Perjalanan Berat
Menuju Ghatafan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi membawa pasukan yang terhitung sedikit. Jumlahnya sekitar 400 pasukan. Riwayat lain menyebutkan, 700 orang saja. Sebagai perbandingan, konflik senjata pertama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan musuh beliau di Perang Badar, beliau menghadapi hampir 1000 orang. Semakin hari, jumlah pasukan yang beliau hadapi relatif semakin besar. Pasukan yang berjumlah 400 sampai 700 orang itu, hanya membawa sedikit hewan tunggangan. Enam orang bergantian naik satu tunggangan.
Mengapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membawa sedikit pasukan? Apakah para sahabat tega membiarkan beliau dilindungi sedikit orang? Tidak. Kita harus mengetahui kondisi saat itu. Waktu itu, pasukan Islam berada di tempat-tempat berbeda. Ada pasukan yang menjaga dalam Kota Madinah. Ada yang di Khaibar. Ada yang di Wadi al-Qura. Ada yang di Fadak. Ada yang di Taima. Dan tempat-tempat lainnya. Karena Rasulullah tidak akan meninggalkan Madinah tanpa penjagaan. Kaum muslimin juga belum aman dari ancaman orang-orang Mekah. Sehingga butuh pos-pos strategis untuk menghadang mereka jika terjadi penyerangan. Di sisi lain, orang-orang Ghatafan berada di jalan-jalan yang dapat masuk Madinah. Kemungkinan mereka masuk dari jalur manapun selalu ada. Sehingga butuh penjagaan.
Rasulullah terus memimpin pasukan menempuh jarak perjalanan beberapa malam. Siang malam beliau dan para sahabatnya menerobos masuk ke pedalaman padang pasir. Puji syukur kepada Allah, yang memberikan beliau sahabat-sahabat yang setia. Berhari-hari berjalan kaki. Tertampar panas dan debu pasir. Berselimut malam yang dingin. Mereka tak mengeluh menemani utusan Allah yang mulia. Hingga akhirnya mereka tiba di perkampungan Ghatafan yang terletak di timur laut Kota Madinah. Imam al-Bukhari meriwayatkan kisah Abu Musa al-Asy’ari tentang perjalanan jauh dan beratnya perjalanan menuju Ghatafan.
خَرَجْنَا مَعَ النَّبِيِّ فِي غَزْوَةٍ، وَنَحْنُ سِتَّةُ نَفَرٍ، بَيْنَنَا بَعِيرٌ نَعْتَقِبُهُ، فَنَقِبَتْ أَقْدَامُنَا وَنَقِبَتْ قَدَمَايَ وَسَقَطَتْ أَظْفَارِي، وَكُنَّا نَلُفُّ عَلَى أَرْجُلِنَا الْخِرَقَ؛ فَسُمِّيَتْ غَزْوَةَ ذَاتِ الرِّقَاعِ لِمَا كُنَّا نَعْصِبُ مِنَ الْخِرَقِ عَلَى أَرْجُلِنَا
“Kami keluar bersama Nabi dalam suatu peperangan. Enam orang bergantian menaiki satu onta. Kaki-kaki kami terluka. Demikian juga dengan kakiku, hingga kuku-kukunya lepas. Kami balut kaki-kaki kami dengan kain. Karena itulah perang ini dinamai Perang Dzatur Riqa’. Dikarenakan apa yang kami lakukan, (yaitu) membalut kaki-kaki kami dengan kain.” (HR. al-Bukhari, Kitab al-Maghazi Bab Ghazwah Dzatu ar-Riqa’, 3899).
Dalam Fath al-Bari, Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Na’taqibuhu artinya bergantian satu per satu menaikinya. Mereka mengendarai onta sebentar lalu turun dan gantian denga yang lain. Hingga sampai tempat tujuan.” (Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari. Cet. Dar al-Ma’rifah 1379, 7/421).
Bayangkan! Sejauh-jauhnya kita berjalan kita hanya punya pengalaman kaki kita lecet karena sepatu. Kemudian kita pun berhenti dan tertatih. Para sahabat nabi menempuh suatu perjalanan hingga kuku-kuku kaki mereka lepas. Tapi mereka tidak mengeluh. Betapa capeknya badan. Betapa perihnya luka. Tapi jiwa mereka tak bosan. Semangat mereka tak mengendur menemani kekasih mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kalau Anda ingin tahu apa itu cinta? Lihatlah cinta para sahabat nabi kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga Allah meridhai mereka semua.
Tak Kenal Takut, Tak Kenal Lelah
Pada tahun 7 H, mobilisasi pasukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terasa lebih intens. Khususnya di tiga bulan terakhirnya. Dimulai dari berangkatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama para sahabatnya menuju Mekah untuk menunaikan umrah al-qadha. Kemudian terjadilah Perjanjian Hudaibiyah. Setelah itu beliau kembali ke Madinah.
Tiba di Madinah, kaum muslimin langsung berangkat ke Khaibar untuk menghadapi Yahudi. Terjadilah pertempuran sengit yang berlangsung hingga lebih dari sebulan. Selesai dari Khaibar beliau kembali mempersiapkan pasukan. Selang beberapa hari saja, beliau kembali berangkat dan menempuh perjalanan jauh menuju Ghatafan, kabilah Arab yang terjauh.
Saat benteng Khaibar diserang, Ja’far bin Abu Thalib baru tiba di Madinah dari Habasyah (Etiopia). Mengetahui keberangkatan Rasulullah menuju Khaibar, tanpa beristirahat ia langsung menyusul Nabi. Lelah letih tak lagi dirasa. Medan perang pun menjadi temu kangen dengan Rasulullah dan sahabat yang lain.
Demikian juga dengan Abu Musa al-Asy’ari. Ia datang ke Madinah dari Yaman pada hari Khaibar. Selang beberapa hari saja dari Perang Khaibar, ia berangkat ke perang yang berat. Yaitu Perang Dzatu ar-Riqa’. Generasi ini tidak menunda waktu dan tidak memilih bersantai untuk melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya. Mereka terus memacu diri mereka (gas pol) untuk beribadah kepada Allah.
Kejadian ini menyadarkan kita, betapa berat perjuangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya dalam memperjuangkan agama. Dalam satu tahun saja begitu banyak peristiwa berat terjadi. Bagaimana pula dengan sepanjang masa kerasulan? Tentu lebih berat lagi. Perjuangan mereka tentu memberikan pelajaran bahwa kebenaran itu perlu diperjuangkan. Dengan segenap apa yang ada. Rasulullah tidak menyebarkan agama ini dan melawan musuh-musuh agama dengan adu kesaktian.
Sesampainya beliau di perkampungan Ghatafan, tidak ada yang berani menghadapi pasukan kaum muslimin. Padahal jumlah mereka sedikit. Tenaga mereka telah terkuras karena jauh dan beratnya perjalanan. Luka-luka yang mereka alami melemahkan fisik. Sedangkan orang-orang Ghatafan berada di kampungnya sendiri. Daerahnya mereka kenal. Jumlah mereka banyak. Tenaga mereka bugar. Tapi mereka hanya bergeming di rumah masing-masing. Mereka yang sebelumnya bernafsu memerangi umat Islam, tiba-tiba kecut. Tak berani menghadapi kaum muslimin.
Dirasuki Ketakutan
Bagaimana bisa orang-orang Ghatafan lari dari peperangan? Padahal mereka unggul dari sisi jumlah dan perbekalan perang. Di atas kertas mereka menang.
Kaum muslimin yang terluka dan lelah tetap memiliki wibawa. Hati-hati mereka diteguhkan oleh Sang Pemilik hati. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيرَةَ شَهْرٍ
“Aku ditolong dengan rasa takut (yang dimasukkan ke hati musuh) dalam jarak tempuh satu bulan.” (HR. al-Bukhari dalam Kitab al-Jihad wa as-Siyar, 2815).
Hal ini disaksikan oleh kaum muslimin di Perang Badar, Ahzab, dan perang-perang menghadapi Yahudi. Mulai dari menghadapi Bani Qainuqa’ hingga di Khaibar. Dan di babak awal Perang Uhud. Ketika para sahabat menaati perintah Rasulullah.
سَنُلْقِي فِي قُلُوبِ الَّذِينَ كَفَرُوا الرُّعْبَ بِمَا أَشْرَكُوا بِاللهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَمَأْوَاهُمُ النَّارُ وَبِئْسَ مَثْوَى الظَّالِمِينَ}
“Akan Kami masukkan ke dalam hati orang-orang kafir rasa takut, disebabkan mereka mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah sendiri tidak menurunkan keterangan tentang itu. Tempat kembali mereka ialah neraka; dan itulah seburuk-buruk tempat tinggal orang-orang yang zalim.” [Quran Ali Imran: 151].
Dengan demikian, kita tidak perlu sampai melanggar perintah Allah untuk mendapatkan kemenangan. Untuk menang, harus maksiat dulu. Untuk mewujudkan takdir Allah agar terpilihnya pemimpin yang baik, harus berbaur dulu dengan kemaksiatan. Biar simpatisan dan pemilih banyak, kita tunda dulu beramar makruf nahi mungkar. Tentu ini tidak benar. Kewajiban kita adalah menaati Allah. Setelah kita menaati Allah, atas kehendak Allah lah menetapkan takdirny. Baik kita suka atau tidak.
Orang-orang musyrik ditimpa ketakutan karena melakukan kesyirikan dan kemaksiatan. Apakah kita akan berharap pertolongan Allah dan kemenangan datang dengan melakukan hal yang sama dengan orang-orang musyrik?
Rasulullah Ditawan
Dalam perjalanan pulang dari Ghatafan menuju Madinah, terjadi sebuah peristiwa garib (unik). Cerita tentang hal ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dari sahabat Jabir.
Dalam perjalanan pulang menuju Madinah, pasukan Islam istirahat terpisah. Mereka istirahat di teduhnya pepohonan yang ada di sana. Demikian pula Rasulullah, beliau pun ikut berteduh sambil menggantungkan pedangnya di pohon. Kemudian semuanya tidur. Tiba-tiba ada seseorang menghampiri Nabi dan mengambil pedang beliau. Ia todongkan pedang itu di leher beliau. Rasulullah terjaga.
Orang ini hendak membunuh nabi. Jika itu benar-benar terjadi, dijamin ia mendapat kemuliaan di tengah Ghatafan. Tapi Allah menjaga Rasul-Nya. Tak membiarkan hal itu terjadi. Sebagaimana firman-Nya:
وَاللهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ إِنَّ اللهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
“Allah menjaga kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” [Quran Al-Maidah: 67].
Si Badui musyrik ini berkata, “Kau takut denganku?” “Tidak,” jawab Nabi. Beliau tidak berkedip. Sama sekali tak tampak rasa takut sedikit pun. Laki-laki ini merasa takjub. Pedang di tangannya sementara Muhammad tak memiliki sesuatu pun untuk melindungi dirinya. Tapi ia tak tampak rasa takut padanya. “Siapa yang bakal menyelamatkanmu dariku?” gertak orang itu.
Nabi jawab dengan mantap, “Allah.”
Dalam suatu riwayat, laki-laki itu mengulang pertanyaannya sebanyak tiga kali. Dan Rasulullah tetap menjawab “Allah.” (HR. al-Bukhari dalam Kitab al-Jihad wa as-Sair, 2753).
Pedang di tangannya pun terjatuh. Dalam riwayat lain, ia menyarungkan pedang tersebut karena takjub melihat keberanian dan ketenangan Nabi (al-Bukhari dalam Kitab al-Maghazi, 3908). Sedangkan di riwayat Imam Ahmad dan Ibnu Ishaq rahimahumallah ketika pedang tersebut jatuh, Rasulullah mengambilnya. Setelah itu gantian beliau todongkan dan berkata, “Siapa yang bakal menyelamatkanmu dariku?” Keadaan berbalik.
Laki-laki ini tidak mampu mengatakan Allah. Tidak pula berharap kepada berhala-berhala yang ia sembah. Yang ia harapkan hanya pengampunan Nabi. Ia berkata, “Jadilah pemegang pedang yang baik.”
“Engkau mau bersyahadat laa ilaaha illallaah dan aku adalah utusan Allah?” sambung Nabi.
“Aku berjanji tidak akan memerangimu dan tidak akan berpihak pada kaum yang memerangimu,” jawab Si Badui menolak untuk memeluk Islam. Rasulullah membebaskannya dan tidak membalas perbuatannya. Ia pun pulang menemui keluarganya dalam keadaan selamat. Ia berkata, “Aku datang menemui kalian dari sisi manusia terbaik.” (HR. Ahmad 14971, 15227).
Ada beberapa pelajaran yang dapat dipetik dari peristiwa ini. Dari sini kita dapat mengetahui karakteristik bangsa Arab. Mengapa Allah memilih mereka menjadi penyebar Islam. Mereka masuk Islam bukan karena takut mati. Tapi mereka masuk Islam karena pilihan. Si Badui tidak menerima tawaran Islam walaupun sudah ditodong pedang. Kata kita sekarang, sudah ditodong pistol atau dikalungkan celurit, tetap dengan pendirian dan pilihannya. Karena itu, kampanye demokrasi Amerika di Timur Tengah selalu berbuah perang. Karena mereka tak mau tunduk dengan paksaan orang lain.
Kejadian ini juga mengajarkan kepada kita bahwa Islam tidak disebarkan dengan pedang. Nabi tidak memaksa dan membunuh orang tersebut karena menolak dakwahnya. Dan lihatlah bagaimana kerendahan hati Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seorang pemimpin, panglima, dan nabi. Artinya manusia mulia dan berkedudukan di dunia dan akhirat, ditodongkan pedang, tapi beliau tidak membalas orang yang mengancamnya ini dengan keburukan ketika keadaan berbalik. Tidak usah berbicara pejabat, kadang kita rakyat biasa saja tidak suka dipandangi orang dengan sinis. Kemudian membalas pandangan tadi dengan bentakan. Padahal baru dipandangi.
Di riwayat lain dijelaskan bahwa sejumlah besar anggota keluarganya memeluk Islam. Dan disebutkan namanya adalah Ghaurats bin al-Harits
Nikmatnya Jaga Malam
Kisah lain yang terjadi dalam perjalanan pulang dari Ghatafan adalah kisah tentang sahabat Ubbad bin Bisyr al-Anshari dan Ammar bin Yasir al-Muhajiri. Ketika malam tiba, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berhenti di suatu tempat untuk beristirahat. Beliau tugasi dua orang sahabat untuk berjaga di suatu tempat. Kedua orang itu adalah Ubbad dan Ammar.
Bisyr dan Ammar saling berbagi waktu. Masing-masing berjaga setengah malam. Saat Ubbad berjaga, ia ingin menjadikan waktu tersebut terasa singkat dengan menenggelamkan diri dalam shalat malam. Di tengah shalat, datang seorang musyrik Ghatafan. Lalu ia melempari Ubbad dengan panahnya. Panah itu mengenai Ubbad. Ia cabut panah itu, kemudian melanjutkan shalat. Panah kedua kembali menyasar tubuhnya (betis). Ia cabut dan tetap melanjutkan shalat. Hingga akhirnya panah ketiga, ia cabut. Kemudian rukuk, sujud, dan akhiri shalatnya. Artinya ia tidak batalkan shalatnya walaupun dalam keadaan demikian.
Setelah salam, ia bangunkan Ammar. Saat Ammar melihat darahnya yang menyucur dan melihat tiga anak panah itu, ia berkata kepada Ubbad, “Mengapa engkau tidak membangunkanku tatkala kau dilempari panah?” Ubbad menjawab, “Aku sedang menikmati surat yang aku baca. Aku tak senang kalau tidak menyelesaikannya.” (HR. Abu Dawud 198, Ahmad 14745, dihasankan oleh al-Albani dalam Shahih Abu Dawud No.182).
Dalam riwayat Ibnu Ishaq, Ubbad berkata, “Demi Allah, kalau aku tidak khawatir menyia-nyiakan amanah berjaga yang dipercayakan Rasulullah kepadaku, niscaya ia akan lebih dulu membunuhku sebelum aku yang melakukannya kepadanya.” (Ibnu Hisyam, Sirah Nabawiyah Cet. Darul Ma’rifah al-Qism ats-Tsani Hal 209). Maksud Ubbad, aku ingin melanjutkan bacaan. Tidak ingin rukuk, sujud, dan menyelesaikan shalat. Tapi hal itu akan membuatnya mendekat dan membunuhku. Sehingga aku termasuk lalai dari perintah Rasulullah untuk berjaga.
Kita hanya bisa berpikir, alangkah nikmatnya membaca Alquran bagi Ubbad. Dan alangkah nikmatnya bersepi-sepi dengan Allah dalam kesunyian shalat malam.
Setelah Ubbad menyelesaikan shalat dan membangunkan Ammar, si pemanah itu pun lari. Tanpa diketahui identitasnya. Namun yang jelas ia menjadi tahu, umat Islam itu pemberani dalam peperangan. Dan khusyuk dalam peribadatan. Perang Dzatu ar-Riqa’ memang aktivitas militer tanpa kontak senjata. Namun menimbulkan pengaruh luar biasa pada kabilah-kabilah Ghatafan.
Dampak Mobilisasi Militer Tahun 7 H
Pada tahun 7 H terjadi mobilisasi pasukan Islam secara intens. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam susul-menyusul mengirim enam pasukan. Beliau kirim pasukan menuju Qudaid, Turabah, Bani Murrah, Mayfa’ah, Yaman dan Jubar, dan daerah al-Ghabah (al-Mubarakfury, Rahiq al-Makhtum 329-330). daerah-daerah tersebut merupakan tempat kabilah-kabilah Ghatafan. Dari sini kita tahu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan perhatian serius terhadap Ghatafan di tahun 7 H.
Kebijakan yang dilakukan oleh Rasulullah memberikan kesan luar biasa. Kita benar-benar sadar bahwa beliau adalah seorang pemimpin yang sangat cakap dalam berbagai bidang. Beliau cepat dan tepat dalam memutuskan. Beliau mengambil sikap sempurna dalam menghadapi ancaman yang tersisa. Menghadapi Yahudi dan Ghatafan. Sebuah langkah yang matang dan penuh perhitungan tapi diputuskan dengan cepat. Kebijakan tahun ke-7 ini membuat umat Islam menjadi kekuatan terbesar di Jazirah Arab.
Sukses dalam kebijakan militer, tahun ke-7 juga merupakan pencapain yang luar biasa dalam bidang dakwah. Islam tersebar ke seluruh penjuru Jazirah dan sekitarnya. Umat Islam berdakwah terang-terangan. Hingga sampai kepada para raja dunia.
Jadi, tahun ke-7 adalah tahun jihad dan dakwah. Dimulai dari suksesnya pengaruh Perjanjian Hudaibiyah. Kemenangan atas Yahudi di Khaibar, Wadi al-Qura, Fadak, Taima, dan kekalahan psikologis Ghatafan. Semua musuh di Jazirah Arab tahu bahwa kekuatan umat Islam di atas kekuatan mereka. Orang-orang dari Habasyah, Kabilah al-Asy’ari, Kabilah Daus, dll. berdatangan ke Madinah. Orang-orang pun berbondong-bondong memeluk Islam.
Dengan demikian, Perang Dzatu ar-Riqa’ memberikan kemenagan besar pada umat Islam. Kemenangan psikologis, dakwah, dan pengaruh.
Oleh Nurfitri Hadi (@nfhadi07)
Read more: https://kisahmuslim.com/