Setahun setelah perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat menunaikan umrah, di bulan Dzul Qa’dah sambil menggiring 70 ekor binatang kurban.
Sesampainya di Ya`juj beliau mulai masuk Makkah dengan senjata pengembara, dan mengutus Ja’far bin Abi Thalib untuk melamar Maimunah bin Al-Harits Al-‘Amiriyah, yang menyerahkan urusannya kepada Al-‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib. Kemudian ‘Abbas menikahkannya dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Setelah tiba di Makkah, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan kepada para sahabat agar membuka bahu-bahu mereka dan bersegera ketika thawaf. Ini dimaksudkan agar kaum musyrikin melihat ketabahan dan kekuatan kaum muslimin. Al-Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas :
قَدِمَ رَسُولُ اللهِ , وَأَصْحَابُهُ وَقَدْ وَهَنَتْهُمْ حُمَّى يَثْرِبَ، قَالَ: فَقَالَ الْمُشْرِكُونَ: إِنَّهُ يَقْدُمُ عَلَيْكُمْ قَوْمٌ قَدْ وَهَنَتْهُمْ الْحُمَّى. قَالَ: فَأَطْلَعَ اللهُ النَّبِيَّ , عَلَى ذَلِكَ فَأَمَرَ أَصْحَابَهُ أَنْ يَرْمُلُوا، وَقَعَدَ الْمُشْرِكُونَ نَاحِيَةَ الْحَجَرِ يَنْظُرُونَ إِلَيْهِمْ فَرَمَلُوا وَمَشَوْا مَا بَيْنَ الرُّكْنَيْنِ. قَالَ: فَقَالَ الْمُشْرِكُونَ: هَؤُلاَءِ الَّذِينَ تَزْعُمُونَ أَنَّ الْحُمَّى وَهَنَتْهُمْ هَؤُلاَءِ أَقْوَى مِنْ كَذَا وَكَذَا
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya tiba dalam keadaan panas Yatsrib (Madinah) telah melemahkan mereka. Dia berkata: “Orang-orang musyrikin mengatakan: “Sesungguhnya akan datang kepada kalian satu kaum yang telah dibuat lemah oleh panas.” Dia berkata: “Maka Allah tampakkan kepada Nabi n pembicaraan mereka. Lalu beliau perintahkan kepada para sahabatnya agar melakukan ramal (jalan cepat), sementara kaum musyrikin duduk di sudut Hajar Aswad sambil memandang kepada kaum muslimin. Maka kaum muslimin pun melakukan ramal dan berjalan biasa di antara dua rukun tersebut. Dia berkata: “Orang-orang musyrikin itu berkata: ‘Mereka ini yang kalian sangka bahwa panas telah membuat mereka lemah, (ternyata) mereka ini lebih kuat dari ini dan ini’.”
Penduduk Makkah, tua muda, besar kecil, pria dan wanita berdiri memandang Rasulullah n dan para sahabatnya yang sedang thawaf di Ka’bah. Sementara itu, ‘Abdullah bin Rawahah berjalan di depan Rasulullah n bersenandung:
Berilah dia jalan, wahai anak-anak kafir
Ar-Rahman telah menurunkan dalam wahyu (yang diturunkan-Nya)
Pada lembaran-lembaran yang dibacakan kepada Rasul-Nya
Wahai Rabbku, sungguh aku beriman dengan ucapannya
Sungguh aku melihat al-haq dalam menerimanya
Hari ini kami pukul kamu atas takwilnya
Dengan pukulan yang menghilangkan al-ham (???) dari ucapannya
(pukulan yang) membuat lupa kekasih dari kekasihnya
Sementara itu, beberapa tokoh musyrikin menghilang, tidak suka melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, di samping menyimpan dendam dan kejengkelan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menetap di Makkah selama tiga hari sesuai perjanjian yang telah disepakati.
Pagi-pagi, di hari keempat, datanglah Suhail bin ‘Amr, Huwaithib bin ‘Abdul ‘Uzza, sementara Rasulullah n sedang bermajlis dengan beberapa orang Anshar, bersama Sa’d bin ‘Ubadah. Kemudian Huwaithib berteriak mengingatkan beliau agar keluar dari kota Makkah saat itu juga. Sa’d bin ‘Ubadah tidak dapat menahan diri balas membentak: “Kau dusta, tidak ada lagi ibumu. Ini bukan tanahmu dan bukan pula tanah bapak moyangmu. Demi Allah, kami tidak akan keluar.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil Huwaithib dan Suhail agar ikut serta dalam acara walimahan beliau itu. Tapi mereka tetap bersikeras agar beliau keluar dari Makkah saat itu juga sesuai dengan kesepakatan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Abu Rafi’ menyerukan agar berangkat. Beliaupun berangkat kemudian singgah di lembah Sarif dan membangun mahligai bersama Maimunah di sana.
Perbedaan Pendapat Para Ulama
Di antara para ulama ada yang berpendapat bahwa Rasulullah n menikahi Maimunah dalam keadaan beliau sedang ihram, dan masuk kepadanya dalam keadaan sudah halal. Demikian diriwayatkan oleh Al-Bukhari (7/392) dan Muslim (no. 1410). Adapun yang berpendapat seperti ini adalah Ibnu ‘Abbas.
Ibnul Qayyim rahimahumullah menjelaskan bahwa pernyataan tersebut termasuk hal-hal yang disanggah dari beberapa pendapat beliau. Sa’id bin Al-Musayyab sendiri mengatakan: “Ibnu ‘Abbas keliru (dalam hal ini) meskipun Maimunah adalah bibi beliau (saudara perempuan ibunya, Ummul Fadhl radhiyallahu anha). Padahal tidaklah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Maimunah radhiyallahu anha melainkan sesudah beliau dalam keadaan halal. Demikian ditegaskan oleh Al-Bukhari.”[1]
Maimunah radhiyallahu anha sendiri dalam riwayat Muslim (no. 1411) menyatakan: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi saya dalam keadaan kami berdua sudah halal (tidak ihram) di Sarif.”[2]
Sahih pula diriwayatkan dari Abu Rafi’ bahwa dia menyatakan: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Maimunah dalam keadaan beliau halal (tidak berihram), dan membangun mahligai bersamanya dalam keadaan halal. Sedangkan saya ketika itu adalah utusan di antara keduanya.”[3]
Ibnul Qayyim telah menyebutkan beberapa pendapat tersebut. Yang paling kuat adalah apa yang disebutkan sendiri oleh Maimunah sebagai pelaku dari peristiwa tersebut. Jelas dia lebih mengetahui keadaan dirinya. Wallahu Aa’lam.
Mereka juga berselisih, tentang penamaan umrah ini. Apakah dia dinamakan ‘Umratul Qadha` karena umrah ini adalah qadha (ganti) dari umrah yang sebelumnya mereka terhalang mengerjakannya (dalam peristiwa Hudaibiyah)? Ataukah dinamakan demikian karena berasal dari al–muqaadhaah (kesepakatan)?
Al-Imam Malik, Asy-Syafi’i dan jumhur berpendapat yang kedua, karena beliau melakukan kesepakatan dengan Quraisy pada peristiwa Hudaibiyah. Sehingga yang dimaksud dengan qadha di sini adalah fashl (???) yang jatuh terhadapnya suatu ketetapan hukum, bukan sebagai ganti (qadha) dari umrah yang beliau dihalangi darinya. Sebab, umrah yang terhalang itu tidak rusak sehingga harus diganti. Wallahu a’lam.
Meninggalkan Makkah
Ketika hendak keluar dari kota Makkah, puteri Hamzah bin ‘Abdul Muththalib mengejar beliau. Lalu dia diambil oleh ‘Ali bin Abi Thalib dan berkata kepada Fathimah: “Ambillah anak pamanmu ini.” Fathimahpun segera menggendongnya.
Sesudah itu, ‘Ali, Ja’far dan Zaid berselisih tentang siapa yang berhak mengurus anak perempuan tersebut. ‘Ali berkata: “Saya lebih berhak karena dia anak perempuan pamanku.” Ja’far berkata: “Dia puteri pamanku, khalah (saudara perempuan ibu)nya adalah isteriku.”
Zaid mengatakan: “Dia puteri saudaraku.” Melihat ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memutuskan bahwa anak perempuan tersebut diasuh oleh khalah-nya. Beliau bersabda:
الْخَالَةُ بِمَنْزِلَةِ الأُمِّ
“Khalah itu sama kedudukannya dengan ibu.”
Beliau berkata kepada ‘Ali:
أَنْتَ مِنِّي وَأَنَا مِنْكَ
“Engkau bagian dariku dan aku bagian darimu.”
Sedangkan kepada Ja’far beliau katakan:
أَشْبَهْتَ خَلْقِي وَخُلُقِي
“Engkau menyerupaiku dalam akhlak dan perawakan/penampilan.”
Dan kepada Zaid, beliau berkata:
أَنْتَ أَخُونَا وَمَوْلاَنَا
“Engkau adalah saudara dan maula kami.”[4]
Dari kejadian ini, ulama menyimpulkan bahwa khalah (saudara perempuan ibu) harus didahulukan dalam pengasuhan dari semua kerabat sesudah kedua ibu bapak. Ibnu Katsir rahimahumullah dalam Sirah-nya menceritakan bahwa (peristiwa) umrah inilah yang dipaparkan oleh Allah Subhanahuwata’ala dalam Kitab-Nya yang mulia, dalam firman-Nya:
لَّقَدْ صَدَقَ اللَّهُ رَسُولَهُ الرُّؤْيَا بِالْحَقِّ ۖ لَتَدْخُلُنَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ إِن شَاءَ اللَّهُ آمِنِينَ مُحَلِّقِينَ رُءُوسَكُمْ وَمُقَصِّرِينَ لَا تَخَافُونَ ۖ فَعَلِمَ مَا لَمْ تَعْلَمُوا فَجَعَلَ مِن دُونِ ذَٰلِكَ فَتْحًا قَرِيبًا
“Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya (yaitu) bahwa sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya Allah dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut. Maka Allah mengetahui apa yang tiada kamu ketahui dan Dia memberikan sebelum itu kemenangan yang dekat.” (Al-Fath: 27)
_____
Footnote:
[1] Pernyataan Sa’id bin Al-Musayyab ini menurut pentahqiq Zadul Ma’ad terdapat pada Abu Dawud (1845) dan Al-Baihaqi.
[2] HR. Abu Dawud (1843), Ibnu Majah (1964) dan Ahmad (6/333, 335).
[3] HR. Ahmad (6/393), At-Tirmidzi (841) dan katanya: “Ini hadits hasan. Kami tidak tahu ada seorangpun yang menyebutkan sanadnya selain Hammad bin Zaid, dari Mathar Al-Warraq. Sedangkan Mathar tidak dapat dijadikan hujjah haditsnya.”
[4] HR. Al Bukhari (7/385, 390) dan Abu Dawud (no. 2278).
Sumber: https://salafy.or.id/