Telah dijelaskan sebelumnya, terdapat dua macam pasukan perang Rasūlullāh ﷺ yaitu ‘sariyyah’ dan ‘ghazwah’. Sariyyah adalah pasukan yang dikirim oleh Rasūlullāh ﷺ berperang namun Rasūlullāh ﷺ tidak ikut berperang. Ghazwah adalah pasukan perang yang dikirim oleh Rasūlullāh ﷺ dan Rasūlullāh ﷺ ikut berperang di dalamnya.
Nabi tidak selalu ikut serta dalam peperangan, karena hal ini tentu akan memberatkan kaum muslimin. Beliau bersabda :
وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ فِي يَدِهِ، لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ مَا قَعَدْتُ خَلْفَ سَرِيَّةٍ تَغْزُو فِي سَبِيلِ اللهِ، وَلَكِنْ لَا أَجِدُ سَعَةً فَأَحْمِلَهُمْ، وَلَا يَجِدُونَ سَعَةً فَيَتَّبِعُونِي، وَلَا تَطِيبُ أَنْفُسُهُمْ أَنْ يَقْعُدُوا بَعْدِي
“Demi Yang jiwaku Muhammad berada di tanganNya, kalau bukan memberatkan kaum mukminin maka aku tidak akan hanya duduk tidak ikut serta sariyyah (pasukan) yang berperang di jalan Allah, akan tetapi aku tidak mendapati kelapangan (yaitu tunggangan untuk berjihad) untuk memerintahkan mereka (semuanya) untuk berjihad (sehingga mereka harus berjihad dengan berjalan kaki), dan mereka tidak mendapati kelapangan untuk bisa mengikutiku, dan jiwa mereka tidak tenang kalau aku berperang sementara mereka duduk tidak ikut perang” (HR Muslim no 1876, lihat juga syarahnya di Dzakhiirotul Uqba fi Syarh al-Mujtabaa 26/183).
Maksudnya, yaitu jika Nabi selalu ikut pasukan berperang maka para sahabat tentu semuanya mau ikut Nabi berperang, dan mereka merasa tidak enak jika Nabi berperang sementara mereka hanya duduk tidak ikut perang. Jika mereka semuanya mau ikut berperang maka Nabi pun tidak tega dengan mereka, karera tunggangan untuk mengangkut mereka berperang tidaklah cukup, sehingga sebagian mereka harus berjalan kaki, dan ini adalah sesuatu yang sangat berat. Kemudian seandainya mereka seluruhnya bisa mendapatkan tunggangan, maka merekapun tidak mampu seluruhnya untuk selalu berperang karena mereka harus mencari nafkah untuk keluarga mereka. Karena itulah Nabi tidak selalu ikut dalam peperangan.
Pada peristiwa ghazwah Mu’tah, Rasūlullāh ﷺ mengirim pasukan ke Mu’tah namun beliau sendiri tidak turut dalam peperangan tersebut, dan tentunya secara istilah maka seharusnya dinamakan dengan Sariyyah Mut’ah dan bukan Ghozwah Mu’tah. Akan tetapi para ulama tetap menyebutnya dengan ‘ghazwah’ dikarenakan Rasūlullāh ﷺ mengirimkan sejumlah 3000 pasukan kaum muslimin dan terjadi perperangan yang sangat dahsyat. Pada peperangan sebelumnya Rasūlullāh ﷺ tidak pernah mengirimkan lebih dari 3000 pasukan.
Dalam peperangan ini juga para pembesar-pembesar sahabat tidak ikut serta, seperti Abu Bakar, Umar, Utsman bin ‘Affaan, Ali bin Abi Tholib, dan Abu ‘Ubaidah bin Al-Jarrooh radhiallahu ‘anhum. Namun yang ikut serta adalah selain para pembesar, diantaranya seperti Ibnu Umar, Anas bin Malik, Abu Huroiroh, Abu Qotadah, Kholid bin Al-Waliid, ‘Auf bin Malik, Jabir bin Abdillah, Tsaabit bin Aqrom, Abu Musa al-Asy’ari, Waqid bin Abdillah at-Tamimi, ‘Aqiil bin Abi Tholib, Abdullah bin Samuroh (lihat Usdul Ghoobah 4/331 dan al-Ishoobah 3/55 pada biografi ‘Uyainah bin ‘Aisyah al-Murri, sebagaimana dinukil dari kitab Ghozwah Mu’tah wa as-Sarooyaa wa al-Bu’uuts An-Nabawiyah Asy-Symaaliyah hal 267)
Ghazwah Mu’tah adalah peperangan dahsyat yang terjadi didaerah Mu’tah pada tahun 8 H. Mu’tah terletak sejauh 1100 Km disebelah utara kota Madinah. Pada masa sekarang, Mu’tah terletak di daerah timur Yordania. Sebagian ahli sejarah menyatakan bahwa Mu’tah terletak sekitar 2 marhalah (yaitu sekitar 80 km) dari baitul maqdis (Masjid al-Aqsho). Ahli sejarah mengatakan ghazwah Mu’tah terjadi jumadal Ula tahun 8 Hijriyah1, dan menurut sebagian pakar yaitu bertepatan dengan bulan agustus, yaitu tatkala musim panas. Ketika itu pasukan kaum muslimin yang berjumlah 3000 pasukan berperang melawan pasukan musuh yang berjumlah 200.000 pasukan. Para sahabat berjalan sejauh 1.100 Km di musim panas untuk berperang melawan musuh yang jumlah dan kekuatannya tidak mereka duga sebelumnya.
Al-Waqidi2 menyebutkan tentang sebab terjadinya perang Mu’tah, yaitu bahwasanya Rasūlullāh ﷺ mengirimkan seorang sahabat yang bernama Al-Haarits bin ‘Umair Al-Azdi untuk mengirimkan surat beliau kepada ‘Azhim Bashra (pemimpin kota Bashra). Rasūlullāh ﷺ ingin mendakwahi ‘Azhim Bashra agar masuk islam melalui surat tersebut. Di tengah perjalanan, Al-Harits bin Umair Al-Azdi dihadang oleh Syurahbiil bin ‘Amr al-Ghassaani yang berasal dari kabilah Ghassaan. Syurohbiil adalah salah seorang amiir (gubernur) yang ditugaskan oleh Heroclius untuk memimpin salah satu daerah di Syaam (yaitu kota Balqoo’). Al-Haarits bin ‘Umair Al-Azdi kemudian diikat dan dibunuh oleh Syurahbiil. Rasūlullāh ﷺ pun marah dengan perbuatan Syurahbiil yang membunuh utusan beliau, dimana seharusnya utusan negara tidak boleh dibunuh berdasarkan kesepakatan antar negara3.
Rasūlullāh ﷺ kemudian menyiapkan pasukan untuk menyerang kabilah Ghasan di sebelah utara kota Madinah dan kabilah-kabilah lainnya seperti kabilah Lakhm. Kabilah-kabilah tersebut beragama nashrani dan loyal kepada Heroclius, raja Romawi. Lokasi kabilah-kabilah tersebut berada di dekat Syam, tempatnya orang-orang Romawi. Oleh karena itu, kabilah-kabilah tersebut pada hakekatnya adalah anak buah dari Heraclius. Rasūlullāh ﷺ mengirimkan 3.000 pasukan kaum muslimin, tidak seperti biasanya dikarenakan beliau khawatir kabilah-kabilah tersebut akan meminta bantuan kepada Romawi, sebuah negara kuat dengan jumlah pasukan jutaan orang.
Pasukan ghazwah Mu’tah memiliki keistimewan-keistimewaan, diantaranya adalah ini pertama kalinya Rasūlullāh ﷺ mengirim 3.000 pasukan untuk berperang. Dan ini adalah jumlah pasukan terbesar yang pernah dikirim oleh Nabi. Dan ini juga pertama kalinya Rasūlullāh ﷺ berstrategi dengan menunjuk 3 orang pimpinan perang sekaligus, karena sangat diduga bahwa kaum muslimin akan menghadapi jumlah pasukan yang sangat banyak, dan kemungkinan besar terjadi gugurnya para panglima perang.
Ibnu Umar berkata :
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: أَمَّرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي غَزْوَةِ مُؤْتَةَ زَيْدَ بْنَ حَارِثَةَ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنْ قُتِلَ زَيْدٌ فَجَعْفَرٌ، وَإِنْ قُتِلَ جَعْفَرٌ فَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ»
“Dalam perang Mu’tah Rasulullah ﷺ menunjuk Zaid bin Haritsah sebagai panglima/pemimpin perang, beliau berkata, “Jika Zaid terbunuh maka Ja’far (bin Abi Tholib) yang menjadi panglimanya, dan jika Ja’far terbunuh maka Abdullah bin Rowaahah yang menjadi panglima”. (HR Al-Bukhari no 4261)
Dalam hadits yang lain Abu Qotadah al-Anshoori radhiallahu ‘anhu berkata :
بَعَثَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَيْشَ الْأُمَرَاءِ فَقَالَ: ” عَلَيْكُمْ زَيْدُ بْنُ حَارِثَةَ، فَإِنْ أُصِيبَ زَيْدٌ، فَجَعْفَرُ بْنُ أَبِي طَالِبٍ، فَإِنْ أُصِيبَ جَعْفَرٌ، فعَبْدُ اللهِ بْنُ رَوَاحَةَ الْأَنْصَارِيُّ “. فَوَثَبَ جَعْفَرٌ فَقَالَ: بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي يَا رَسُولَ اللهِ مَا كُنْتُ أَرْهَبُ أَنْ تَسْتَعْمِلَ عَلَيَّ زَيْدًا. قَالَ: ” امْضِهْ؛ فَإِنَّكَ لَا تَدْرِي أَيُّ ذَلِكَ خَيْرٌ
“Rasulullahﷺ mengirim pasukan al-Umaroo’ (yaitu pasukan yang telah ditetapkan tiga panglimanya), maka beliau berkata, “Hendaknya kalian dibawah komando Zaid bin Haaritsah, dan jika Zaid meninggal maka Ja’far bin Abi Tholib yang menjadi penglima, dan jika Zaid meninggal maka Abdullah bin Rawaahah al-Anshooriy yang menjadi panglima” Maka Ja’far pun datang dengan segera dan berkata, “Wahai Rasulullah yang aku khawatirkan adalah Anda menjadikan Zaid menjadi pemimpinku”. Nabi berkata, “Lanjutkanlah, sesungguhnya engkau tidak tahu mana yang terbaik” (HR Ahmad no 22551 dan 22566 dan dishahihkan oleh para pentahqiq al-Musnad)
Pada peperangan sebelum-sebelumnya Rasūlullāh ﷺ hanya menunjuk 1 orang pimpinan perang.
Zaid bin Haritsah Radhiyallahuta’ala ‘anhu adalah seorang yang berpengalaman dalam memimpin peperangan. Dia pernah memimpin 5 sariyyah berturut-turut. Salah satu sariyyah yang dipimpin oleh Zaid bin Haritsah adalah serangan ke arah utara kota Madinah sehingga Zaid bin Haritsah memiliki pengetahuan mengenai daerah-daerah sebelah utara kota Madinah. Zaid bin Haritsah adalah seseorang yang sangat dicintai oleh Rasūlullāh ﷺ.
Bahkan Aisyah pernah berkata :
مَا بَعَثَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَيْدَ بْنَ حَارِثَةَ فِي جَيْشٍ قَطُّ إِلَّا أَمَّرَهُ عَلَيْهِمْ وَلَوْ بَقِيَ بَعْدَهُ اسْتَخْلَفَهُ
“Tidaklah Rasulullahﷺ mengutus Zaid bin Haritsah dalam suatu pasukan perang kecuali Nabi mengangkatnya sebagai panglima pasukan tersebut. Seandainya Zaid masih hidup setelah Nabi maka Nabi akan mengangkatnya sebagai kholifah” (HR Ahmad no 25898 dengan sanad yang hasan)
Zaid bin Haaritsah bin Syurohbiil al-Kalbi adalah budak yang dibeli oleh Hakim bin Hizam untuk diberikan kepada ‘ammah (tantenya) yaitu Khadijah Radhiyallahuta’ala ‘anha -istri Nabi-. Lalu Nabi meminta kepada Khodijah untuk menghadiahkan Zaid kepada beliau. Para sahabat mengetahui Zaid bin Haritsah adalah seorang budak namun Rasūlullāh ﷺ mengangkat derajatnya. Rasūlullāh ﷺ pernah mengangkat Zaid bin Haritsah menjadi anak angkat beliau sehingga Zaid dikenal dengan sebutan Zaid bin Muhammad. Allah kemudian menghapuskan hukum anak angkat di dalam Islam dan menegur Rasūlullāh ﷺ sehingga Zaid tidak lagi menjadi anak angkat beliau. Tatkala ayah Zaid dan pamannya datang ke Mekah dan mengetahui keberadaan Zaid maka mereka berdua meminta kepada Nabi untuk membayar Nabi sebagai tebusan untuk menebus Zaid. Maka menyerahkan kepada Zaid untuk memilih, apakah kembali kepada orang tuanya atau tetap bersama Nabi. Maka Zaidpun tetap untuk bersabda Nabi. (Lihat Fathul Baari 7/87). Zaid adalah seorang yang sangat mulia, dan cukuplah kemuliaan beliau dimana Allah menyebut namanya dalam al-Qur’an yang akan terus dibaca hingga hari kiamat.
وَإِذْ تَقُولُ لِلَّذِي أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَنْعَمْتَ عَلَيْهِ أَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوْجَكَ وَاتَّقِ اللَّهَ وَتُخْفِي فِي نَفْسِكَ مَا اللَّهُ مُبْدِيهِ وَتَخْشَى النَّاسَ وَاللَّهُ أَحَقُّ أَنْ تَخْشَاهُ فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لَا يَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَائِهِمْ إِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَرًا وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ مَفْعُولًا
Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: “Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah”, sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi (Qs. Al-Ahzaab : 37)
Hal ini perlu kita tekankan karena ini menunjukan bahwa Nabi tetap menjadikan Zaid bin Haritsah yang bukan Ahlul bait menjadi penglima padahal dalam pasukan tersebut ada soerang Ahlul Bait yang sangat mulia yaitu Ja’far bin Abi Tholib. Apalagi sebagian perawi syi’ah berusaha untuk menjatuhkan kemuliaan Zaid bin Haritsah.
Dan sepertinya ada sebagian sahabat yang mencela kepemimpinan Zaid bin Haritsah. Dan Nabi menjelaskan bahwa Zaid adalah orang yang dicintai oleh beliau. Ibnu Umar berkata :
بَعَثَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، بَعْثًا، وَأَمَّرَ عَلَيْهِمْ أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ فَطَعَنَ بَعْضُ النَّاسِ فِي إِمَارَتِهِ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَنْ تَطْعُنُوا فِي إِمَارَتِهِ، فَقَدْ كُنْتُمْ تَطْعُنُونَ فِي إِمَارَةِ أَبِيهِ مِنْ قَبْلُ، وَايْمُ اللَّهِ إِنْ كَانَ لَخَلِيقًا لِلْإِمَارَةِ، وَإِنْ كَانَ لَمِنْ أَحَبِّ النَّاسِ إِلَيَّ، وَإِنَّ هَذَا لَمِنْ أَحَبِّ النَّاسِ إِلَيَّ بَعْدَهُ»
Nabiﷺ mengirim pasukan perang, dan Nabi mengangkat Usamah bin Zaid (bin Haritsah) sebagai panglimanya. Maka sebagian orang mencela kepemimpinan Usamah, maka Nabiﷺ bersabda, “Kalian mencela kepemimpinan Usamah, dan sebelumnya kalian telah mencela kepemimpinan ayahnya (Zaid bin Haritsah, yaitu tatkala perang Mu’tah). Demi Allah sesungguhnya ia sangat layak untuk menjadi pemimpin, dan sesungguhnya ia (Zaid) termasuk orang yang sangat aku cintai. Dan sesungguhnya ini (yaitu Usamah bin Zaid) termasuk orang yang sangat saya cintai” (HR Al-Bukhari no 3730, lihat penjelasan Ibnu Hajar di Fathul Baari 7/87)
Dan tatkala Ja’far bin Abi Tholib menjadi anak buah Zaid bin Haritsah maka bukan berarti Ja’far tidak mulia, karena kemuliaan Ja’far telah masyhur dalam dalil-dalil. Diantaranya sabda Nabi kepada beliau :
أَشْبَهْتَ خَلْقِي وَخُلُقِي
“Engkau menyerupaiku dari sisi tubuh dan akhlak (perangai)” (HR Al-Bukhari no 2699).
Yang ini tentu menunjukan begitu mulianya akhlak Ja’far bin Abi Tholib.
Ja’far adalah termasuk orang-orang yang pertama kali masuk Islam, bahkan beliau adalah salah seorang yang melakukan dua hijroh (ke Habasyah dan ke Madinah), bahkan tatakala di Habasyah beliaulah perwakilan kaum muslimin untuk berbicara dengan Raja Najasyi untuk menjelaskan tentang Islam kepada beliau (lihat Musnad Ahmad no 1740) -yang akhirnya Najasyi pun masuk Islam di kemudian hari-. Tatkala Ja’far pulang dari Habasyah dan menuju ke kota Madinah setelah Nabi menaklukan kota Khoibar maka Nabipun begitu gembira hingga mencium kening beliau dan memeluk beliau lalu Nabi berkata :
مَا أَدْرِي بِأَيِّهِمَا أَنَا أَسَرُّ، بِفَتْحِ خَيْبَرَ، أَوْ بِقُدُومِ جَعْفَرٍ
“Aku tidak tahu mana yang lebih aku bergembira, apakah dengan tertaklukannya kota Khoibar ataukah dengan kedatangan Ja’far” (HR At-Thabrani di al-Mu’jam al-Kabiir no 1470, lihat Fathul Baari 11/52, namun haditsnya mursal)
Diantara keistimewan ghazwah Mu’tah berikutnya, adalah ikut sertanya Khalid bin Walid Radhiyallahuta’ala ‘anhu dalam peperangan. Khalid bin Walid masuk islam pada bulan Shafar tahun ke-8 H. Ia masuk islam di bulan yang sama dengan tokoh-tokoh kaum musyrikin yaitu ‘Amru bin Ash Radhiyallahuta’ala ‘anhu dan Utsman bin Thalhah Radhiyallahuta’ ala ‘anhu dari Bani Daar yang memegang kunci Ka’bah. Ketiga orang ini adalah orang-orang hebat dari suku Quraisy, sehingga Rasūlullāh ﷺ mengatakan, “Inilah kota mekkah telah melemparkan kepada kita orang-orang hebat kota Mekah.”
Khalid Ibnu Walid adalah anak seorang pembesar kota Mekkah yang bernama Al Walid bin Mughirah. Kemampuan bertempur Khalid bin Walid Radhiyallahuta’ala ‘anhu telah diketahui oleh lawan dan kawan. Ia beberapa kali memimpin pasukan berkuda untuk menghadang Rasūlullāh ﷺ. Ia adalah panglima perang yang ahli dalam strategi perang dan menjadi penyebab kekalahan kaum muslimin ketika perang Uhud. Ketika kaum musyrikin sudah mengalami kekalahan dalam perang Uhud, Khalid bin Walid dan pasukannya kembali menyerang kaum muslimin dari atas bukit jabal Rahmah. Hal ini membuat kaum muslimin diserang dari dua arah dan banyak pasukan kaum muslimin yang meninggal pada saat perang Uhud tersebut. Allāh Subhānahu wa Ta’āla kemudian menggerakkan hati Khalid bin Walid untuk memeluk Islam. Ketika Ghazwah Mu’tah, Khalid bin Walid baru masuk Islam kurang lebih selama 3 bulan lamanya. Oleh karena itu Rasūlullāh ﷺ tidak mengangkatnya menjadi pemimpin perang. Rasūlullāh ﷺ menghargai perasaan para sahabat yang telah banyak berjuang untuk Islam dan juga memiliki banyak pengalaman dalam berperang. Dan ini menunjukan sikap bijak Nabi, padahal Nabi tahu bahwasanya Kholid adalah seorang panglima yang sangat piawai dalam memimpin perang, dan hal ini juga diketahui oleh para sahabat. Akan tetapi tentu kurang layak jika seseorang yang baru masuk Islam, apalagi masih muda, kemudian dijadikan panglima dalam peperangan. Karenanya Nabi hanya menunjuk 3 orang panglima, dan yang keempat tidak Nabi tunjuk, seakan-akan Nabi berfirasat bahwa panglima ke 4 akan ditunjuk dan diserahkan kepada Kholid bin al-Walid secara aklamasi oleh para sahabat.
Ghazwah Mu’tah adalah peperangan yang sangat berbahaya karena jumlah musuh yang sangat banyak. Selain itu, jarak yang harus ditempuh sangat jauh dengan kondisi cuaca sangat panas dan juga adanya kekhawatiran bahwa pasukan Romawi akan membantu kabilah-kabilah tersebut.
‘Urwah bin Az-Zubair menuturkan bahwa tatkala pasukan akan berangkat tiba-tiba Abdullah bin Rowaahah menangis. Maka dikatakan kepada beliau, “Apakah yang membuatmu menangis wahai Ibnu Rawaahah?”. Maka beliau berkata :
أما واللهِ ما بي حبُّ الدنيا وصبابةٌ، ولكني سمعتُ رسولَ الله صلى الله عليه وسلم يقرأُ آيةً من كتابِ الله يذكرُ فيها النارَ: {وَإِنْ مِنْكُمْ إِلاَّ وَارِدُهَا كَانَ عَلَى رَبِّكَ حَتْمًا مَقْضِيًّا } ، فلستُ أدري كيف بالصَّدَرِ بعدَ الوُرودِ؟! فقال لهم المسلمون: صَحِبَكم الله ودفع عنكم، فردّكم إلينا صالحين،
“Ketahuilah, demi Allah, saya menangis bukan karena saya cinta kepada dunia dan bukan lantaran akan berpisah dengan kalian, akan tetapi saya menangis lantaran mendengar Rasūlullāh ﷺ membaca sebuah ayat dari kitabullah yang menyebutkan tentang neraka :
“Dan tidak ada seorangpun dari padamu, melainkan mendatangi neraka itu. Hal itu bagi Tuhanmu adalah suatu kemestian yang sudah ditetapkan” (Qs. Maryam : 71)
Dan aku tidak mengetahui bagaimana aku bisa selamat setelah melewati neraka?”
Lalu kaum muslimin berkata kepada beliau, “Semoga Allah menemani kalian, membela kalian, sehingga mengembalikan kalian kepada kami dalam kondisi baik”
Maka Abdullah bin Rawaah berkata :
لَكِنَّنِي أَسْأَلُ الرَّحْمَنَ مَغْفِرَةً … وَضَرْبَةً ذَاتَ فَرْغٍ تَقْذِفُ الزَّبَدَا
أَوْ طَعْنَةً بِيَدَيْ حرَّانَ مُجْهِزَةً … بِحَرْبَةٍ تَنْفُذُ الأَحْشَاءَ وَالكَبِدَا
حَتَّى يَقُولُوا إِذَا مَرُّوا عَلَى جَدَثِي … أَرْشَدَهُ اللهُ مِنْ غَازٍ وَقَدْ رَشُدَا
“AKAN TETAPI AKU MEMOHON KEPADA ALLAH MAGHFIROH (AMPUNAN)….DAN SEBUAH TIKAMAN KERAS YANG MENGENAIKU SEHINGGA MEMUNCRATKAN BUSA DARAHKU…
ATAU TIKAMAN DIHADAPAN SEORANG YANG SANGAT HAUS UNTUK MEMBUNUH YANG MEMBUNUH DENGAN CEPAT ….YANG MENIKAMKU DENGAN TOMBAKNYA SEHINGGA MENEMBUS USUSKU DAN HATIKU…
SEHINGGA TAKALA MEREKA MELEWATI KUBURANKU, MEREKA AKAN BERKATA….ALLAH TELAH MEMBERI PETUNJUK KEPADANYA SANG PEJUANG, DAN SUNGGUH IA TELAH MENDAPAT PETUNJUK…”
(Kisah ini dituturkan oleh Urwah bin Az-Zubair sebagaimana diriwayatkan oleh At-Thobroni dalam al-Mu’jam al-Kabiir 14/377 no 15011, dan para perawi sanadnya -sebagaimana dinyatakan oleh Al-Haitsami- semuanya tsiqoh hingga Urwah bin Az-Zubair (Lihat Majma’ Az-Zawaid 6/157-159). Namun sebagaimaan kita ketahui bahwa Urawah bin Az-Zubair tidaklah bertemu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sehingga riwayat kisah ini adalah mursal)
Abdullah bin Rawahah merenungi firman Allāh Subhānahu wa Ta’āla tersebut sehingga ia menangis. Ia bertanya-tanya apakah setelah melewati jahanam ia dapat keluar atau tidak. Para ulama menafsirkan yang dimaksud illa wariduha ‘mendatangi neraka itu’ maksudnya melewati shiroth (titian).
Meskipun Abdullah bin Rawahah sangat banyak jasanya terhadap Islam namun ia tidak pernah sombong dengan amalannya. Abdullah bin Rawahah ikut dalam Perjanjian ‘Aqobah. Ia juga datang ketika Rasūlullāh ﷺ di Mina. Setiap peperangan selalu diikuti olehnya. Perang Badar, Perang Uhud, Perang Ahzab, dan beberpa sariyyah diikuti oleh Abdullah bin Rawahah. Dia juga ikut dalam perjanjian Hudaibiyah dan ia termasuk orang-orang yang membaiat nabi di bawah pohon ridwan, yang mana beliau membaiat untuk membela islam sampai mati. Meskipun begitu banyak amalan yang dia lakukan, dia tidak pernah yakin untuk masuk surga.
FOOTNOTE:
1. Dan para ulama taarikh (seperti Ibnu Ishaaq, Musa bin ‘Uqbah, dan yang lainnya) sepakat akan tarikh (tanggal) tersebut, hanya saja Kholifah bin Khoyyat dalam taarikh-nya menyebutkan bahwa Perang Mu’tah terjadi pada tahun 7 Hijriyah (Lihat Fathul Baari 7/511)
2. Akan tetapi sebagaimana diketahui bahwasanya al-Waqidi disisi para kritisi hadits adalah seorang yang matruk (lemah) sehingga riwayat yang menjelaskan sebab terjadinya perang Mu’tah ini secara sanad adalah riwayat yang sangat lemah. Namun demikianlah para ulama tetap menukil sebab yang disebutkan oleh Al-Waqidi ini sebegai pelengkap cerita shirah Nabi selama tidak riwayat tersebut secara matannya tidak bermasalah. Karenanya sebab ini juga disebutkan oleh Al-Hafiz Ibnu Hajar (lihat Fathul Baari 7/511)
3. Abdullah bin Mas’ud berkata :
جَاءَ ابْنُ النَّوَّاحَةِ وَابْنُ أُثَالٍ رَسُولَا مُسَيْلِمَةَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ لَهُمَا: ” أَتَشْهَدَانِ أَنِّي رَسُولُ اللهِ؟ “، قَالَا: نَشْهَدُ أَنَّ مُسَيْلِمَةَ رَسُولُ اللهِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” آمنْتُ بِاللهِ وَرُسُلِهِ، لَوْ كُنْتُ قَاتِلًا رَسُولًا لَقَتَلْتُكُمَا ” قَالَ عَبْدُ اللهِ: ” قَالَ: فَمَضَتِ السُّنَّةُ أَنَّ الرُّسُلَ لَا تُقْتَلُ
Telah datang Ibnu An-Nawwaahah dan Ibnu Utsaal, yang mereka berdua adalah utusan/delegasi dari Musailimah yang diutus kepada Nabiﷺ. Maka Nabi berkata kepada mereka berdua, “Apakah kalian berdua bersaksi bahawasanya aku adalah utusan Allah?”. Mereka berdua berkata, “Kami bersaksi bahwa Musailimah adalah utusan Allah”. Maka Nabi berkata, “Aku beriman kepada Allah dan RasulNya, kalua aku adalah seorang yang membunuh delegasi maka aku akan akan membunuh kalian berdua, namun telah berlaku aturan bahwasanya para delegasi tidaklah dibunuh” (HR Ahmad no 3761, dan sanadnya dishahihkan oleh para pentahqiq al-Musnad)
Hadits ini ada syahidnya dari sahabat Nu’aim bin Mas’ud al-Asyja’i, beliau berkata:
سمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: حِينَ قَرَأَ كِتَابَ مُسَيْلِمَةَ الْكَذَّابِ، قَالَ لِلرَّسُولَيْنِ: فَمَا تَقُولَانِ أَنْتُمَا؟ قَالَا: نَقُولُ: كَمَا قَالَ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” وَاللهِ لَوْلَا أَنَّ الرُّسُلَ لَا تُقْتَلُ لَضَرَبْتُ أَعْنَاقَكُمَا
“Aku mendengar Rasulullah berkata -tatkala beliau membaca surat dari Musailimah al-Kadzdzaab-, yaitu Nabi berkata kepada dua delegasi Musailimah, “Apa yang kalian berdua katakana?”. Mereka berdua berkata, “Kami katakan sebagaimana yang dikatakan oleh Musailimah”. Maka Rasulullah berkata, “Kalau bukan para delegasi tidak boleh dibunuh, tentu aku akan memenggal leher kalian berdua” (HR Ahmad no 15989 dan Abu Dawud no 2761 dan dishahihkan oleh Al-Albani dan Al-Arnauuth)
Ketika pasukan para sahabat akan berangkat ke medan pertempuran, maka Rasulullah ﷺ menyampaikan kalimat perpisahan.
Anas bin Malik Radhiyallahu anhu berkata :
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ انْطَلِقُوا بِاسْمِ اللَّهِ وَبِاللَّهِ وَعَلَى مِلَّةِ رَسُولِ اللَّهِ وَلَا تَقْتُلُوا شَيْخًا فَانِيًا وَلَا طِفْلًا وَلَا صَغِيرًا وَلَا امْرَأَةً وَلَا تَغُلُّوا وَضُمُّوا غَنَائِمَكُمْ وَأَصْلِحُوا وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
Bahwa Rasūlullāh ﷺ berkata, “Pergilah dengan nama Allah, di atas agama Rasulullah, dan janganlah membunuh orang tua, anak kecil, dan wanita. Dan janganlah berkhianat (dalam pembagian ghanimah), dan kumpulkanlah rampasan perang kalian. Lakukanlah perbaikan dan berbuatlah kebaikan, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan.””
Didalam riwayat lain Rasūlullāh ﷺ mengatakan, “Dan janganlah kalian melakukan mutslah (mencincang-cincang mayat).” (HR Abu Dawud no 2613 dan dinilai oleh Al-Arnauuth : Hasan lighoirihi)
Buraidah berkata :
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَمَّرَ أَمِيرًا عَلَى جَيْشٍ، أَوْ سَرِيَّةٍ، أَوْصَاهُ فِي خَاصَّتِهِ بِتَقْوَى اللهِ، وَمَنْ مَعَهُ مِنَ الْمُسْلِمِينَ خَيْرًا، ثُمَّ قَالَ: «اغْزُوا بِاسْمِ اللهِ فِي سَبِيلِ اللهِ، قَاتِلُوا مَنْ كَفَرَ بِاللهِ، اغْزُوا وَلَا تَغُلُّوا، وَلَا تَغْدِرُوا، وَلَا تَمْثُلُوا، وَلَا تَقْتُلُوا وَلِيدًا
“Adalah Rasulullah ﷺ jika menunjuk seseorang sebagai panglima perang atau pasukan maka beliau mewashiatnya -secara khusus- untuk bertakwa kepada Allah dan untuk berbuat baik kepada kaum muslimin (pasukan) yang bersamanya. Kemudian beliau berkata, “Berperanglah dengan menyebut nama Allah di jalan Allah, perangilah orang-orang yang kafir kepada Allah, berperanglah dan janganlah berkhianat dalam urusan ghonimah (seperti mengambil ghonimah dikumpulkan dan dibagi-pen) dan jangan lah membatalakn perjanjian, serta jangan mencincang mayat, dan jangan membunuh anak-anak.” (HR Muslim no 2857)
Demikianlah Rasūlullāh ﷺ menetapkan aturan berperang dalam islam. Di dalam islam berperang bukanlah sekedar melampiaskan hawa nafsu dan melampiaskan kemarahan, namun berperang karena Allāh Subhānahu wa Ta’āla dan diatas agama Rasūlullāh ﷺ sehingga ada aturan-aturan yang ditetapkan. Setelah para sahabat siap untuk berangkat, Rasūlullāh ﷺ kemudian mewasiatkan kepada para sahabat agar menyeru kepada kabilah-kabilah tersebut agar masuk Islam. Jika mereka masuk Islam maka mereka tidak diperangi. Demikianlah dakwah Rasūlullāh ﷺ yang lebih senang jika mereka masuk islam daripada sekedar mendapatkan ghanimah.
Setelah itu para sahabat berangkat menempuh perjalanan sekitar 1.100 km menuju ke daerah Mu’tah. Ketika mereka sampai ke daerah yang bernama مَعَان )Ma’aan( di Yordania (yaitu sebelum Mu’tah) pada bulan Jumadil Ula tahun 8-H, maka mereka dikejutkan dengan khabar bahwa jumlah musuh sangatlah banyak.
Urwah bin Az-Zubair menyebutkan bahwa Heroclius telah berkemp di al-Balqoo’ dengan 100 ribu pasukan, dan demikian juga kabilah-kabilah Arab seperti Lakhom, Judzaam, Bilqoin, Bahroom, dan Baliyy telah berkumpul sejumlah 100 ribu juga. Sehingga berkumpulah 200 ribu pasukan Romawi. Urwah berkata :
فلَمَّا بَلَغَ ذَلِكَ الْمُسْلِمِينَ أَقَامُوا بِمَعَانَ لَيْلَتَيْنِ يَنْظُرُونَ فِي أَمْرِهِمْ، وَقَالُوا: نَكْتُبُ إِلَى رَسُولِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنُخْبِرُهُ بِعَدَدِ عَدُوِّنَا، فَإِمَّا أَنْ يُمِدَّنَا بِرِجَالٍ وَإِمَّا أَنْ يَأْمُرَنَا بِأَمْرِهِ فَنَمْضِي لَهُ، فَشَجَّعَ عَبْدُ اللهِ بْنُ رَوَاحَةَ النَّاسَ، وَقَالَ: يَا قَوْمُ وَاللهِ إِنَّ الَّذِي تَكْرَهُونَ لَلَّذِي خَرَجْتُمْ لَهُ تَطْلُبُونَ الشَّهَادَةَ، وَمَا نُقَاتِلُ النَّاسَ بِعَدَدٍ، وَلَا قُوَّةٍ، وَلَا كَثْرَةٍ، إِنَّمَا نُقَاتِلُهُمْ بِهَذَا الدِّينَ الَّذِي أَكْرَمَنَا اللهُ بِهِ، فَانْطَلِقُوا فَإِنَّمَا هِيَ إِحْدَى الْحُسْنَيَيْنِ، إِمَّا ظُهُورٌ، وَإِمَّا شَهَادَةٌ
“Tatkala khabar tentang pasukan yang begitu banyak sampai kepada para kaum muslimin (yaitu pasukan perang Mu’tah) maka merekapun tinggal di daerah Ma’aan selama dua malam, mereka mendiskusikan tentang keputusan apa yang mereka ambil. Mereka berkata, “Kita tulis surat kepada Rasulullah ﷺ, lalu kita kabarkan kepada beliau tentang jumlah musuh kita. Maka Nabi akan mengirimkan bantuan pasukan tambahan kepada kita atau beliau akan memerintahkan kita dengan suatu perintah maka kita jalankan perintah tersebut”. Maka Abdullah bin Rowaahah lalu memotivasi para pasukan, dan beliau berkata, “Wahai kaum sekalian, demi Allah sesungguhnya perkara yang kalian benci tersebut itulah yang kalian keluar mencarinya, kalian mencari mati syahid. Kita tidaklah berperang melawan musuh dengan mengandalkan jumlah, tidak juga kekuatan, dan jumlah yang banyak, akan tetapi kita memerangi mereka dengan agama ini yang Allah telah memuliakan kita dengannya. Maka majulah kalian, karena sesungguhnya kita akan meraih salah satu dari dua kebaikan, menang atau mati syahid” (HR At-Thobroni dalam al-Mu’jam al-Kabiir 14/377 no 15011, sebagaimana telah lalu penjelasan keabsahan sanadnya)1
Para sahabat bermusyawarah memikirkan tindakan apa yang harus mereka lakukan?. Jumlah mereka hanya 3.000 pasukan, berhadapan dengan 200.000 pasukan. Perbandingan antara para sahabat dengan pasukan orang-orang musyrik 1: 70, satu orang pasukan kaum muslimin harus berhadapan dengan 70 orang pasukan kaum musyrikin. Musuh yang mereka hadapi adalah tantara dari kerajaan Adidaya Romawi, yang kerajaan tersebut telah berdiri sejak ratusan tahun, sementara Negara Islam baru berdiri 8 tahun di kota Madinah.
Oleh karenanya terjadi perbedaan pendapat diantara sahabat saat mereka mengetahui jumlah musuh sangat banyak. Sebagian sahabat mengatakan kita utus seseorang untuk ke kota Madinah untuk menanyakan pendapat Rasūlullāh ﷺ. Namun pendapat ini sulit untuk dikerjakan karena untuk menempuh perjalanan 1100 km menuju kota madinah dengan kuda kurang lebih membutuhkan waktu 2 minggu, kemudian kembali lagi ke medan peperangan sehingga dibutuhkan waktu kurang lebih satu bulan, padahal musuh segera menyerang. Adapun Abdullah bin Rawahah Radhiyallahuta’ala ‘anhu, yang memang sejak awal ingin mati syahid maka beliau memotivasi para sahabat untuk terus maju bertempur, sehingga menjadikan para shabat semakin kokoh untuk bertempur.
Pasukan kaum kafir mencapai 200.000 orang karena didukung oleh Heraclius, raja Romawi yang telah dikirimi surat oleh Nabi ﷺ. Heraclius -yang berdasarkan iformasi yang ia peroleh dari Abu Sufyan- telah mengakui bahwasanya Muhammad adalah seorang nabi, bahkan ia telah berkata
فَإِنْ كَانَ مَا تَقُولُ حَقًّا فَسَيَمْلِكُ مَوْضِعَ قَدَمَيَّ هَاتَيْنِ، وَقَدْ كُنْتُ أَعْلَمُ أَنَّهُ خَارِجٌ، لَمْ أَكُنْ أَظُنُّ أَنَّهُ مِنْكُمْ، فَلَوْ أَنِّي أَعْلَمُ أَنِّي أَخْلُصُ إِلَيْهِ لَتَجَشَّمْتُ لِقَاءَهُ، وَلَوْ كُنْتُ عِنْدَهُ لَغَسَلْتُ عَنْ قَدَمِهِ
“Jika apa yang engkau (yaitu Abu Sufyan) kabarkan (tentang Muhammad) adalah benar, maka Ia akan menguasai tempat kedua kakiku ini (yaitu menguasai singgasanaku-pen). Sungguh aku telah tahu bahwa nabi telah muncul, akan tetapi aku tidak menduga bahwa nabi tersebut berasal dari kalian (orang Arab). Seandainya jika aku tahu aku bisa sampai kepadanya, maka aku akan bersusah payah untuk bertemu dengannya. Kalau aku berada di sisinya maka aku akan mencuci kakinya.” (HR Al-Bukhari no 7)
Heraclius meyakini bahwasanya Muhammad adalah seorang nabi terakhir yang selama ini mereka tunggu-tunggu. Meskipun demikian Heraclius tetap mengirimkan pasukan dalam jumlah yang sangat banyak untuk melawan pasukan nabi ﷺ. Heraclius mungkin berfikir, “Walaupun Muhammad seorang nabi namun siapa tahu ia kalah jika pasukan yang melawannya sangat banyak, mengingat banyak nabi yang telah berhasil dibunuh oleh orang-orang yahudi” Demikianlah Heraclius benar-benar lebih memilih jabatan, bahkan dia berani melawan Rasūlullāh ﷺ yang ia yakini sebagai nabi terakhir dengan mengirim pasukan dalam jumlah sangat banyak.
Para ulama membahas mengenai para sahabat yang memilih tidak mundur dari peperangan Mu’tah. Islam adalah agama yang juga memandang realita bukan agama khayalan, secara logika tidak mungkin 3.000 orang melawan 200.000 pasukan. Oleh karenanya Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman :
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى الْقِتَالِ ۚ إِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ ۚ وَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِائَةٌ يَغْلِبُوا أَلْفًا مِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَفْقَهُونَ
“Wahai Nabi (Muhammad)! Kobarkanlah semangat para mukmin untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) diantara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan seribu orang kafir, karena orang kafir itu adalah kaum yang tidak mengerti.” (Qs. Al-Anfaal : 65)
Allāh Subhānahu wa Ta’āla kemudian memberikan keringanan didalam ayat 66 pada surat yang sama, Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman,
الْآنَ خَفَّفَ اللَّهُ عَنْكُمْ وَعَلِمَ أَنَّ فِيكُمْ ضَعْفًا ۚ فَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِائَةٌ صَابِرَةٌ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ ۚ وَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ أَلْفٌ يَغْلِبُوا أَلْفَيْنِ بِإِذْنِ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ
“Sekarang Allah telah meringankan kamu karena Dia mengetahui bahwa ada kelemahan padamu. Maka jika antara kamu ada seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus (orang musuh); dan jika diantara kamu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka dapat mengalahkan dua ribu orang dengan seizin Allah. Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Qs. Al-Anfaal : 66)
Didalam surat Al-Anfal ayat 65 dijelaskan bahwasanya jika perbandingan pasukan kaum muslimin dengan pasukan kaum musyrikin adalah 1:10, maka kaum muslimin masih bisa memenangkan peperangan. Allāh Subhānahu wa Ta’āla kemudian menurunkan keringanan didalam surat Al-Anfal ayat 66 dengan perbandingan 1:2, artinya 1 orang pasukan kaum muslimin melawan 2 orang pasukan orang musyrikin. Peraturan Allāh Subhānahu wa Ta’āla pada zaman sahabat, jika 1 orang muslimin melawan 10 pasukan musyrikin maka kaum muslimin tidak diperbolehkan lari dari medan pertempuran. Allāh Subhānahu wa Ta’āla kemudian memberikan keringanan dengan ketentuan 1:2 sehingga ini menunjukan jika perbandingan pasukan menjadi 1:3 maka kaum muslimin diperbolehkan lari dari medan pertempuran. Hal ini tidak terjadi pada peperangan Mu’tah, padahal saat itu perbandingan pasukan kaum muslimin dengan kaum musyrikin 1:70 sehingga hal ini menjadi pembahasan oleh para ulama.
Sebagian ulama mengatakan, kemungkinan para sahabat tidak menduga jika jumlah pasukan musuh mencapai 200.000 orang karena mereka belum pernah melihat pasukan sebanyak itu. Kemungkinan para sahabat memperkirakan jumlah musuh 20 ribu hingga 30 ribu sehingga perbandingannya menjadi 1:10. Sebagian ulama mengatakan bahwasanya para sahabat tidak mungkin lagi untuk mundur karena mereka sudah dekat dengan musuh. Jika mereka mundur maka musuh akan mengejar mereka. Saat itu para sahabat tidak mungkin bertanya kepada Rasūlullāh ﷺ sehingga para sahabat kemudian berijtihad. Mereka berijtihad untuk maju melawan daripada mundur kemudian mati karena dikejar musuh. Mereka akan melawan semaksimal mungkin sehingga mengurangi kekalahan. Wallahu a’lam bi shawwab.
Terjadilah pertemuan antara para sahabat dengan pasukan kafir di suatu tempat yang bernama Mu’tah. Mu’tah adalah suatu tempat yang datar, tidak berbukit, padang tandus yang tidak subur. Orang-orang Romawi, meskipun mereka sering berperang namun mereka tidak biasa berperang di gurun dan padang pasir sebagaimana kaum muslimin. Oleh karenanya ini merupakan tempat yang menguntungkan kaum muslimin. Mereka berperang berhadap-hadapan, tidak ada tempat untuk bersembunyi. Tampak keberanian para sahabat Radhiyallahuta’ala ‘anhum karena mereka ingin mati syahid. Disisi lain orang-orang Nashara tidak mengetahui alasan mereka berperang. Mereka hanya menjalankan perintah raja mereka, Heraclius.
Bersambung insya Allah..
FOOTNOTE:
Urwah bin Az-Zubair berpendapat bahwa jumlah total pasukan Romawi adalah 200 ribu, dan pendapat ini ini diikuti oleh Ibnu Ishaaq, Ibnul Atsiir, At-Thobari, al-Baihaqi, Ibnu Abdilbarr, Ibnu Hazm, Ibnul Qoyyim, Ibnu Katsir, dan Adz-Dzahabi. Sementara sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa jumlahnya 150 ribu dan ada juga yang berpendapat 100 ribu. Bahkan ada yang berpendapat lebih dari 200 ribu, sementara di sisi lain ada yang berpendapat jumlah musuh sekitar 15 ribu hingga 20 ribu. Perselisihan ini mengingat bahwa Romawi belum pernah sebelumnya mengerahkan pasukan sejumlah 200 ribu orang dalam menghadapi pasukan Persia yang dikenal kuat. Apalagi hanya menghadapi pasukan kaum muslimin yang hanya berjumlah 3000 pasukan. Bahkan Heroclius tatkala mengembalikan kemuliaan kerajaan Romawi dengan mengalahkan Persia maka jumlah pasukan mereka hanya lebih dari 70 ribu. Romawi baru mengerahkan pasukan dengan yang sangat banyak di kemudian hari tatkala bertempur dengan pasukan kaum muslimin yang jumlahnya banyak. Karenanya riwayat-riwayat dari Az-Zuhri dan Musa bin ‘Uqbah tidak menyebutkan jumlah tertentu dari pasukan Romawi, hanya saja jumlahnya sangat banyak dan berlipat-lipat ganda dari jumlah kaum muslimin. Dan bisa jadi jumlah 200 ribu itu adalah ijtihad dari sebagian orang yang melihat perang tersebut karena begitu banyaknya jumlah pasukan musuh. Dan sebagaimana kita ketahui jika di zaman kita saja terkadang memperkirakan jumlah musuh dengan tepat terasa sulit apalagi di zaman tersebut. (lihat Ghozwah Mu’tah wa as-Sarooyaa wa al-Bu’uuts An-Nabawiyah Asy-Symaaliyah hal 279-282)
Sumber: Sumber kedua
Ketika pasukan para sahabat akan berangkat ke medan pertempuran, maka Rasulullah ﷺ menyampaikan kalimat perpisahan.
Anas bin Malik Radhiyallahu anhu berkata :
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ انْطَلِقُوا بِاسْمِ اللَّهِ وَبِاللَّهِ وَعَلَى مِلَّةِ رَسُولِ اللَّهِ وَلَا تَقْتُلُوا شَيْخًا فَانِيًا وَلَا طِفْلًا وَلَا صَغِيرًا وَلَا امْرَأَةً وَلَا تَغُلُّوا وَضُمُّوا غَنَائِمَكُمْ وَأَصْلِحُوا وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
Bahwa Rasūlullāh ﷺ berkata, “Pergilah dengan nama Allah, di atas agama Rasulullah, dan janganlah membunuh orang tua, anak kecil, dan wanita. Dan janganlah berkhianat (dalam pembagian ghanimah), dan kumpulkanlah rampasan perang kalian. Lakukanlah perbaikan dan berbuatlah kebaikan, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan.””
Didalam riwayat lain Rasūlullāh ﷺ mengatakan, “Dan janganlah kalian melakukan mutslah (mencincang-cincang mayat).” (HR Abu Dawud no 2613 dan dinilai oleh Al-Arnauuth : Hasan lighoirihi)
Buraidah berkata :
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَمَّرَ أَمِيرًا عَلَى جَيْشٍ، أَوْ سَرِيَّةٍ، أَوْصَاهُ فِي خَاصَّتِهِ بِتَقْوَى اللهِ، وَمَنْ مَعَهُ مِنَ الْمُسْلِمِينَ خَيْرًا، ثُمَّ قَالَ: «اغْزُوا بِاسْمِ اللهِ فِي سَبِيلِ اللهِ، قَاتِلُوا مَنْ كَفَرَ بِاللهِ، اغْزُوا وَلَا تَغُلُّوا، وَلَا تَغْدِرُوا، وَلَا تَمْثُلُوا، وَلَا تَقْتُلُوا وَلِيدًا
“Adalah Rasulullah ﷺ jika menunjuk seseorang sebagai panglima perang atau pasukan maka beliau mewasiatnya -secara khusus- untuk bertakwa kepada Allah dan untuk berbuat baik kepada kaum muslimin (pasukan) yang bersamanya. Kemudian beliau berkata, “Berperanglah dengan menyebut nama Allah di jalan Allah, perangilah orang-orang yang kafir kepada Allah, berperanglah dan janganlah berkhianat dalam urusan ghonimah (seperti mengambil ghonimah dikumpulkan dan dibagi-pen) dan jangan lah membatalakn perjanjian, serta jangan mencincang mayat, dan jangan membunuh anak-anak.” (HR Muslim no 2857)
Demikianlah Rasūlullāh ﷺ menetapkan aturan berperang dalam islam. Di dalam islam berperang bukanlah sekedar melampiaskan hawa nafsu dan melampiaskan kemarahan, namun berperang karena Allāh Subhānahu wa Ta’āla dan diatas agama Rasūlullāh ﷺ sehingga ada aturan-aturan yang ditetapkan. Setelah para sahabat siap untuk berangkat, Rasūlullāh ﷺ kemudian mewasiatkan kepada para sahabat agar menyeru kepada kabilah-kabilah tersebut agar masuk Islam. Jika mereka masuk Islam maka mereka tidak diperangi. Demikianlah dakwah Rasūlullāh ﷺ yang lebih senang jika mereka masuk islam daripada sekedar mendapatkan ghanimah.
Setelah itu para sahabat berangkat menempuh perjalanan sekitar 1.100 km menuju ke daerah Mu’tah. Ketika mereka sampai ke daerah yang bernama مَعَان )Ma’aan( di Yordania (yaitu sebelum Mu’tah) pada bulan Jumadil Ula tahun 8-H, maka mereka dikejutkan dengan khabar bahwa jumlah musuh sangatlah banyak.
Urwah bin Az-Zubair menyebutkan bahwa Heroclius telah berkemp di al-Balqoo’ dengan 100 ribu pasukan, dan demikian juga kabilah-kabilah Arab seperti Lakhom, Judzaam, Bilqoin, Bahroom, dan Baliyy telah berkumpul sejumlah 100 ribu juga. Sehingga berkumpulah 200 ribu pasukan Romawi. Urwah berkata :
فلَمَّا بَلَغَ ذَلِكَ الْمُسْلِمِينَ أَقَامُوا بِمَعَانَ لَيْلَتَيْنِ يَنْظُرُونَ فِي أَمْرِهِمْ، وَقَالُوا: نَكْتُبُ إِلَى رَسُولِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنُخْبِرُهُ بِعَدَدِ عَدُوِّنَا، فَإِمَّا أَنْ يُمِدَّنَا بِرِجَالٍ وَإِمَّا أَنْ يَأْمُرَنَا بِأَمْرِهِ فَنَمْضِي لَهُ، فَشَجَّعَ عَبْدُ اللهِ بْنُ رَوَاحَةَ النَّاسَ، وَقَالَ: يَا قَوْمُ وَاللهِ إِنَّ الَّذِي تَكْرَهُونَ لَلَّذِي خَرَجْتُمْ لَهُ تَطْلُبُونَ الشَّهَادَةَ، وَمَا نُقَاتِلُ النَّاسَ بِعَدَدٍ، وَلَا قُوَّةٍ، وَلَا كَثْرَةٍ، إِنَّمَا نُقَاتِلُهُمْ بِهَذَا الدِّينَ الَّذِي أَكْرَمَنَا اللهُ بِهِ، فَانْطَلِقُوا فَإِنَّمَا هِيَ إِحْدَى الْحُسْنَيَيْنِ، إِمَّا ظُهُورٌ، وَإِمَّا شَهَادَةٌ
“Tatkala khabar tentang pasukan yang begitu banyak sampai kepada para kaum muslimin (yaitu pasukan perang Mu’tah) maka merekapun tinggal di daerah Ma’aan selama dua malam, mereka mendiskusikan tentang keputusan apa yang mereka ambil. Mereka berkata, “Kita tulis surat kepada Rasulullahﷺ, lalu kita kabarkan kepada beliau tentang jumlah musuh kita. Maka Nabi akan mengirimkan bantuan pasukan tambahan kepada kita atau beliau akan memerintahkan kita dengan suatu perintah maka kita jalankan perintah tersebut”. Maka Abdullah bin Rowaahah lalu memotivasi para pasukan, dan beliau berkata, “Wahai kaum sekalian, demi Allah sesungguhnya perkara yang kalian benci tersebut itulah yang kalian keluar mencarinya, kalian mencari mati syahid. Kita tidaklah berperang melawan musuh dengan mengandalkan jumlah, tidak juga kekuatan, dan jumlah yang banyak, akan tetapi kita memerangi mereka dengan agama ini yang Allah telah memuliakan kita dengannya. Maka majulah kalian, karena sesungguhnya kita akan meraih salah satu dari dua kebaikan, menang atau mati syahid” (HR At-Thobroni dalam al-Mu’jam al-Kabiir 14/377 no 15011, sebagaimana telah lalu penjelasan keabsahan sanadnya) [1]
Para sahabat bermusyawarah memikirkan tindakan apa yang harus mereka lakukan?. Jumlah mereka hanya 3.000 pasukan, berhadapan dengan 200.000 pasukan. Perbandingan antara para sahabat dengan pasukan orang-orang musyrik 1: 70, satu orang pasukan kaum muslimin harus berhadapan dengan 70 orang pasukan kaum musyrikin. Musuh yang mereka hadapi adalah tantara dari kerajaan Adidaya Romawi, yang kerajaan tersebut telah berdiri sejak ratusan tahun, sementara Negara Islam baru berdiri 8 tahun di kota Madinah.
Oleh karenanya terjadi perbedaan pendapat diantara sahabat saat mereka mengetahui jumlah musuh sangat banyak. Sebagian sahabat mengatakan kita utus seseorang untuk ke kota Madinah untuk menanyakan pendapat Rasūlullāh ﷺ. Namun pendapat ini sulit untuk dikerjakan karena untuk menempuh perjalanan 1100 km menuju kota madinah dengan kuda kurang lebih membutuhkan waktu 2 minggu, kemudian kembali lagi ke medan peperangan sehingga dibutuhkan waktu kurang lebih satu bulan, padahal musuh segera menyerang. Adapun Abdullah bin Rawahah Radhiyallahuta’ala ‘anhu, yang memang sejak awal ingin mati syahid maka beliau memotivasi para sahabat untuk terus maju bertempur, sehingga menjadikan para shabat semakin kokoh untuk bertempur.
Pasukan kaum kafir mencapai 200.000 orang karena didukung oleh Heraclius, raja Romawi yang telah dikirimi surat oleh Nabi ﷺ. Heraclius -yang berdasarkan informasi yang ia peroleh dari Abu Sufyan- telah mengakui bahwasanya Muhammad adalah seorang nabi, bahkan ia telah berkata
فَإِنْ كَانَ مَا تَقُولُ حَقًّا فَسَيَمْلِكُ مَوْضِعَ قَدَمَيَّ هَاتَيْنِ، وَقَدْ كُنْتُ أَعْلَمُ أَنَّهُ خَارِجٌ، لَمْ أَكُنْ أَظُنُّ أَنَّهُ مِنْكُمْ، فَلَوْ أَنِّي أَعْلَمُ أَنِّي أَخْلُصُ إِلَيْهِ لَتَجَشَّمْتُ لِقَاءَهُ، وَلَوْ كُنْتُ عِنْدَهُ لَغَسَلْتُ عَنْ قَدَمِهِ
“Jika apa yang engkau (yaitu Abu Sufyan) kabarkan (tentang Muhammad) adalah benar, maka Ia akan menguasai tempat kedua kakiku ini (yaitu menguasai singgasanaku-pen). Sungguh aku telah tahu bahwa nabi telah muncul, akan tetapi aku tidak menduga bahwa nabi tersebut berasal dari kalian (orang Arab). Seandainya jika aku tahu aku bisa sampai kepadanya, maka aku akan bersusah payah untuk bertemu dengannya. Kalau aku berada di sisinya maka aku akan mencuci kakinya” (HR Al-Bukhari no 7)
Heraclius meyakini bahwasanya Muhammad adalah seorang nabi terakhir yang selama ini mereka tunggu-tunggu. Meskipun demikian Heraclius tetap mengirimkan pasukan dalam jumlah yang sangat banyak untuk melawan pasukan nabi ﷺ. Heraclius mungkin berfikir, “Walaupun Muhammad seorang nabi namun siapa tahu ia kalah jika pasukan yang melawannya sangat banyak, mengingat banyak nabi yang telah berhasil dibunuh oleh orang-orang yahudi” Demikianlah Heraclius benar-benar lebih memilih jabatan, bahkan dia berani melawan Rasūlullāh ﷺ yang ia yakini sebagai nabi terakhir dengan mengirim pasukan dalam jumlah sangat banyak.
Para ulama membahas mengenai para sahabat yang memilih tidak mundur dari peperangan Mu’tah. Islam adalah agama yang juga memandang realita bukan agama khayalan, secara logika tidak mungkin 3.000 orang melawan 200.000 pasukan. Oleh karenanya Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman :
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى الْقِتَالِ ۚ إِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ ۚ وَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِائَةٌ يَغْلِبُوا أَلْفًا مِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَفْقَهُونَ
“Wahai Nabi (Muhammad)! Kobarkanlah semangat para mukmin untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) diantara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan seribu orang kafir, karena orang kafir itu adalah kaum yang tidak mengerti.” (Qs. Al-Anfaal : 65)
Allāh Subhānahu wa Ta’āla kemudian memberikan keringanan didalam ayat 66 pada surat yang sama, Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman,
الْآنَ خَفَّفَ اللَّهُ عَنْكُمْ وَعَلِمَ أَنَّ فِيكُمْ ضَعْفًا ۚ فَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِائَةٌ صَابِرَةٌ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ ۚ وَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ أَلْفٌ يَغْلِبُوا أَلْفَيْنِ بِإِذْنِ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ
“Sekarang Allah telah meringankan kamu karena Dia mengetahui bahwa ada kelemahan padamu. Maka jika antara kamu ada seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus (orang musuh); dan jika diantara kamu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka dapat mengalahkan dua ribu orang dengan seizin Allah. Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Qs. Al-Anfaal : 66)
Didalam surat Al-Anfal ayat 65 dijelaskan bahwasanya jika perbandingan pasukan kaum muslimin dengan pasukan kaum musyrikin adalah 1:10, maka kaum muslimin masih bisa memenangkan peperangan. Allāh Subhānahu wa Ta’āla kemudian menurunkan keringanan didalam surat Al-Anfal ayat 66 dengan perbandingan 1:2, artinya 1 orang pasukan kaum muslimin melawan 2 orang pasukan orang musyrikin. Peraturan Allāh Subhānahu wa Ta’āla pada zaman sahabat, jika 1 orang muslimin melawan 10 pasukan musyrikin maka kaum muslimin tidak diperbolehkan lari dari medan pertempuran. Allāh Subhānahu wa Ta’āla kemudian memberikan keringanan dengan ketentuan 1:2 sehingga ini menunjukan jika perbandingan pasukan menjadi 1:3 maka kaum muslimin diperbolehkan lari dari medan pertempuran. Hal ini tidak terjadi pada peperangan Mu’tah, padahal saat itu perbandingan pasukan kaum muslimin dengan kaum musyrikin 1:70 sehingga hal ini menjadi pembahasan oleh para ulama.
Sebagian ulama mengatakan, kemungkinan para sahabat tidak menduga jika jumlah pasukan musuh mencapai 200.000 orang karena mereka belum pernah melihat pasukan sebanyak itu. Kemungkinan para sahabat memperkirakan jumlah musuh 20 ribu hingga 30 ribu sehingga perbandingannya menjadi 1:10. Sebagian ulama mengatakan bahwasanya para sahabat tidak mungkin lagi untuk mundur karena mereka sudah dekat dengan musuh. Jika mereka mundur maka musuh akan mengejar mereka. Saat itu para sahabat tidak mungkin bertanya kepada Rasūlullāh ﷺ sehingga para sahabat kemudian berijtihad. Mereka berijtihad untuk maju melawan daripada mundur kemudian mati karena dikejar musuh. Mereka akan melawan semaksimal mungkin sehingga mengurangi kekalahan. Wallahu a’lam bi shawwab.
Terjadilah pertemuan antara para sahabat dengan pasukan kafir di suatu tempat yang bernama Mu’tah. Mu’tah adalah suatu tempat yang datar, tidak berbukit, padang tandus yang tidak subur. Orang-orang Romawi, meskipun mereka sering berperang namun mereka tidak biasa berperang di gurun dan padang pasir sebagaimana kaum muslimin. Oleh karenanya ini merupakan tempat yang menguntungkan kaum muslimin. Mereka berperang berhadap-hadapan, tidak ada tempat untuk bersembunyi. Tampak keberanian para sahabat Radhiyallahuta’ala ‘anhum karena mereka ingin mati syahid. Disisi lain orang-orang Nashara tidak mengetahui alasan mereka berperang. Mereka hanya menjalankan perintah raja mereka, Heraclius.
Peperangan pun dimulai. Zaid bin Haritsah berperang memimpin pasukan kaum muslimin namun setelah ia berusaha dan berjuang, beliau Radhiyallahuta’ala ‘anhu pun meninggal dunia. Setelah Zaid bin Haritsah Radhiyallahuta’ala ‘anhu meninggal dunia maka bendera peperangan digantikan oleh Ja’far bin Abi Thalib Radhiyallahuta’ala ‘anhu.
Jafar bin Abi Thalib disebutkan tidak pernah mundur dari medan pertempuran. Ia berperang dengan sangat hebat, bahkan tatkala perang sudah semakin sengit maka iapun turun dari kudanya lalu iapun membunuh kudanya yang menunjukan ia akan bertahan perang dan tidak akan kabur dengan kudanya.
Seorang sahabat dari bani Murroh yang ikut perang Mu’tah berkata :
واللهِ لكأني أنظرُ إلى جعفرٍ حين اقْتَحَم عن فرسٍ له شقراءَ فعَقَرها، ثم قاتَلَ القومَ حتى قُتِلَ
“Demi Allah seakan-akan melihat ke Ja’far bin Abi Tholib ia turun dari kudanya yang berwarna pirang, maka iapun membunuh kudanya [2], lalu ia memerangi musuh hingga iapun meninggal” (HR Abu Dawud no 2573, pada sanadnya ada Muhammad bin Ishaaq, sehingga dihasankan oleh Ibnu Hajar di Fathul Baari 7/511, Al-Albani, dan Al-Arnauuth)
Ketika tangan kanannya putus dalam peperangan tersebut ia memegang bendera peperangan dengan tangan kirinya. Ketika tangan kiri beliau putus lagi [3] maka dia memegang bendera dengan kedua lengan atasnya [4]. Kemudian Jafar bin Abi Thalib Radhiyallahuta’ala ‘anhu ditikam sehingga meninggal dunia
Ibnu Umar berkata :
كُنْتُ فِيهِمْ فِي تِلْكَ الغَزْوَةِ، فَالْتَمَسْنَا جَعْفَرَ بْنَ أَبِي طَالِبٍ، فَوَجَدْنَاهُ فِي القَتْلَى، وَوَجَدْنَا مَا فِي جَسَدِهِ بِضْعًا وَتِسْعِينَ، مِنْ طَعْنَةٍ وَرَمْيَةٍ
Aku termasuk dalam pasukan perang tersebut (yaitu perang Mu’tah). Lalu kami mencari jasad Ja’far bin Abi Tholib maka kami mendapatinya di tengah-tengah mayat-mayat perang, dan kami mendapati pada jasadnya adalah 90 sekian bekas tombak dan panah” (HR Al-Bukhari no 4261)
Dalam riwayat yang lain :
“فَعَدَدْتُ بِهِ خَمْسِينَ، بَيْنَ طَعْنَةٍ وَضَرْبَةٍ، لَيْسَ مِنْهَا شَيْءٌ فِي دُبُرِهِ” يَعْنِي فِي ظَهْرِهِ
“Akupun menghitung ada 50 bekas tikaman tombak dan sayatan pedang, dan tidak ada satu bekas lukapun yang ada di belakang tubuhnya”. Yaitu semua lukanya berada di bagian depan tubuhnya. (HR Al-Bukhari no 4260)
Ibnu Hajar berkata :
بَيَانُ فَرْطِ شَجَاعَتِهِ وَإِقْدَامِهِ
“Hadits ini menunjukan keberanian dan sikap maju tempurnya yang luar biasa.” (Fathul Baari 7/512)
Hadits ini menunjukan bahwa meskipun terluka ia tetap saja maju ke depan untuk bertempur, dan sama sekali tidak mundur balik lari, sehingga semakin banyak bekas luka di tubuhnya.
الجَزَاءُ مِنْ جِنْسِ الْعَمَلِ
(Balasan sesuai dengan perbuatan), karenanya Allah mengganti kedua tangannya dengan dua sayap. Nabi bersabda :
أُرِيتُ جَعْفَرًا مَلَكًا يَطِيرُ بِجَنَاحَيْهِ فِي الْجَنَّةِ
“Aku diperlihatkan Ja’far bin Abi Tholib menjadi malaikat yang terbang dengan kedua sayapnya di surga” (HR Ibnu Hibbaan no 7047 dan dishahihkan oleh Al-Albani dan Al-Arnauuth)
As-Sya’bi berkata :
أَنَّ ابْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، كَانَ إِذَا سَلَّمَ عَلَى ابْنِ جَعْفَرٍ، قَالَ: «السَّلاَمُ عَلَيْكَ يَا ابْنَ ذِي الجَنَاحَيْنِ»
“Bahwasanya Ibnu Umar jika memberi salam kepada anaknya Ja’far maka ia berkata, “Assalaamu ‘alaikum wahai putra pemilik dua sayap” (HR Al-Bukhari no 3709)
Inilah yang menyebabkan Jafar bin Abi Thalib diberi gelar At-Thoyyaar, yaitu Ja’far yang terbang.
Setelah Ja’far bin Abi Thalib Radhiyallahuta’ala ‘anhu meninggal dunia maka digantikan oleh Abdullah bin Rawahah Radhiyallahuta’ala ‘anhu. Setelah Abdullah bin Rawahah al-anshori Radhiyallahuta’ala ‘anhu memegang tampuk kepemimpinan, maka ia pun mengkokohkan kedua kakinya dan bertempur dengan penuh ketabahan menghadapi musuh yang begitu banyak hingga pada akhirnya ia pun meninggal dunia.
Ibnu Ishaq meriwayatkan dengan sanad yang hasan dari salah seorang sahabat dari Bani Murroh yang ikut serta dalam perang Mu’tah ia berkata :
فَلَمَّا قُتِلَ جَعْفَرٌ أَخَذَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ الرَّايَةَ، ثُمَّ تَقَدَّمَ بِهَا، وَهُوَ عَلَى فَرَسِهِ، فَجَعَلَ يَسْتَنْزِلُ نَفْسَهُ، وَيَتَرَدَّدُ بَعْضَ التَّرَدُّدِ، ثُمَّ قَالَ:
“Tatkala Ja’far terbunuh maka Abdullah bin Rawaahah mengambil bendera, lalu ia pun maju dengan membawa bendera tersebut, maka iapun menundukan jiwanya, dan ia agak sedikit ragu [5], lalu ia berkata:
أَقْسَمْتُ يَا نَفْسُ لَتَنْزِلِنَّهْ … لَتَنْزِلِنَّ أَوْ لَتُكْرَهِنَّهْ
إنْ أَجْلَبَ النَّاسُ وَشَدُّوا الرّنّه … مَا لي أَرَاكِ تَكْرَهِينَ الْجَنَّهْ
قَدْ طَالَ مَا قَدْ كُنْتِ مُطْمَئِنَّهْ … هَلْ أَنْتِ إلَّا نُطْفَةٌ فِي شَنَّهْ
“AKU BERSUMPAH WAHAI JIWAKU, SUNGGUH ENGKAU AKAN TURUN (DALAM MEDAN PEPERANGAN)…..
ENGKAU AKAN TURUN ATAU ENGKAU SUNGGUH-SUNGGUH AKAN DIPAKSA UNTUK TURUN…
JIKA ORANG-ORANG TELAH BERTERIAK DAN MENYATU BERBAUR (DALAM PERTEMPURAN) DAN MEREKA MENGERASKAN SUARA MEREKA…. KENAPA AKU MELIHATMU -WAHAI JIWAKU- BENCI DENGAN SURGA…
TELAH SEKIAN LAMA ENGKAU TENANG ….BUKANKAH ENGKAU HANYALAH SETETES AIR YANG ADA PADA TEMPAT AIR YANG TELAH USANG [6]…
Ia juga berkata :
يَا نَفْسُ إلَّا تُقْتَلِي تَمُوتِي … هَذَا حِمَامُ الْمَوْتِ قَدْ صَلِيَتْ
وَمَا تَمَنَّيْتِ فَقَدْ أُعْطِيتِ … إنْ تَفْعَلِي فِعْلَهُمَا هُدِيتِ
“WAHAI JIWAKU, JIKA ENGKAU TIDAK TERBUNUH (DALAM MEDAN PERTEMPURAN) ENGKAUPUN AKAN MATI…
INILAH KEPUTUSAN KEMATIAN TELAH MENJELANG TIBA….
APA YANG KAU ANGAN-ANGANKAN TELAH DIKABULKAN [7]….
JIKA ENGKAU MELAKUKAN APA YANG TELAH DILAKUKAN OLEH MEREKA BERDUA8 MAKA ENGKAU TELAH MENDAPAT HIDAYAH”
Lalu iapun maju berperang hingga mati syahid (Siroh Ibnu Hisyaam 2/379)
Rasulullah ﷺ pernah berkata:
أَخَذَ الرَّايَةَ زَيْدٌ فَأُصِيبَ ثُمَّ أَخَذَهَا جَعْفَرٌ فَأُصِيبَ ثُمَّ أَخَذَهَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ فَأُصِيبَ وَإِنَّ عَيْنَيْهِ لَتَذْرِفَانِ ثُمَّ أَخَذَهَا خَالِدٌ مِنْ غَيْرِ إِمْرَةٍ فَفَتَحَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَمَا يَسُرُّنِي أَنَّهُمْ عِنْدَنَا أَوْ قَالَ مَا يَسُرُّهُمْ أَنَّهُمْ عِنْدَنَا
“Yang akan membawa bendera adalah Zaid lalu dia terbunuh, kemudian Ja’far menggantikannya lalu dia terbunuh, kemudian Abdullah bin Rawahah menggantikannya lalu dia terbunuh.” -Perawi mengatakan : Nabi berkata sampai kedua mata beliau bercucuran air mata-, kemudian Khalid mengambil bendera tersebut tanpa perintah, lalu Allah memenangkan umat Islam dibawah kepemimpinannya. Kemudian beliau bersabda: “Tidaklah menyenangkan aku jika mereka (masih hidup) di sisi kita”, atau beliau mengatakan, “Tidaklah menyenangkan mereka jika mereka (masih hidup) di sisi kita” (HR Al-Bukhari no 3063)
Ini menunjukan Nabi bersedih dengan wafatnya ketiga panglima perang ini, akan tetapi kondisi mereka mati syahid lebih baik daripada mereka tetap hidup dan tetap bersama Nabiﷺ.
Setelah Abdullah bin Rawahah Radhiyallahuta’ala ‘anhu meninggal dunia, bendera kepemimpinan dipegang oleh sahabat yang bernama Tsabit bin Arqam Al-Badri. Tsabit bin Arqam Al-Badri adalah salah seorang sahabat yang pernah ikut dalam perang Badar.
Dalam riwayat Ibnu Ishaaq :
“Lalu bendera diambil oleh Tsabit bin Aqrom -salah seorang saudara Bani al-‘Ajlaan-, lalu ia berkata,
ثمَّ أَخَذَ الرَّايَةَ ثَابِتُ بْنُ أَقْرَمَ أَخُو بَنِي الْعَجْلَانِ، فَقَالَ: يَا مَعْشَرَ الْمُسْلِمِينَ اصْطَلِحُوا عَلَى رَجُلٍ مِنْكُمْ، قَالُوا: أَنْتَ، قَالَ: مَا أَنَا بِفَاعِلِ. فَاصْطَلَحَ النَّاسُ عَلَى خَالِدِ بْنِ الْوَلِيدِ
“Wahai kaum muslimin sekalian, hendaknya kalian sepakat memilih salah seorang dari kalian !”. Mereka berkata, “Engkau saja”. Ia berkata, “Aku tidak akan menjadi pemimpin”. Lalu orang-orangpun bersepakat untuk menjadikan Kholid sebagai pempimpin” (Telah lalu dari periwayatan seorang sahabat dari Bani Murroh, dengan sanad yang hasan)
Dalam sebagian riwayat :
فَدَفَعَهَا إِلَى خَالِدِ بْنِ الْوَلِيدِ، فَقَالَ: لِمَ تَدْفَعُهَا إِلَيَّ؟ قَالَ: أَنْتَ أَعْلَمُ بِالْقِتَالِ مِنِّي
“Maka Tsabit pun menyerahkan bendera ke Kholid bin al-Waliid, maka Kholid berkata, “Kenapa engkau menyerahkan bendera kepadaku?”. Tsabit berkata, “Engkau lebih ahli dalam peperangan dari pada aku” (HR At-Thobroni dalam al-Mu’jam al-Washiith 1645)
Ketika perang Mu’tah berlangsung, Rasūlullāh ﷺ yang saat itu berada di Madinah menceritakan kepada para sahabat yang tidak ikut berperang kejadian yang terjadi dalam peperangan.
Anas bin Malik berkata :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، نَعَى زَيْدًا، وَجَعْفَرًا، وَابْنَ رَوَاحَةَ لِلنَّاسِ، قَبْلَ أَنْ يَأْتِيَهُمْ خَبَرُهُمْ، فَقَالَ «أَخَذَ الرَّايَةَ زَيْدٌ، فَأُصِيبَ، ثُمَّ أَخَذَ جَعْفَرٌ فَأُصِيبَ، ثُمَّ أَخَذَ ابْنُ رَوَاحَةَ فَأُصِيبَ، وَعَيْنَاهُ تَذْرِفَانِ حَتَّى أَخَذَ سَيْفٌ مِنْ سُيُوفِ اللَّهِ حَتَّى فَتَحَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ»
Nabiﷺ memberi kabar tentang wafatnya Zaid, Ja’far dan Abdullah bin Rawaahah kepada orang-orang sebelum khabar sampai kepada mereka. Nabi berkata, “Bendera dipegang oleh Zaid lalu ia meniggal, lalu diambil oleh Ja’far lalu ia meninggal, lalu diambil oleh Ibnu Rawaahah lalu ia meninggal -sementara kedua mata Nabi menangis- hingga diambil oleh sebuah pedang dari pedang-pedang Allah (yaitu Kholid) hingga Allah memenangkan mereka” (HR Al-Bukhari no 3757)
Di dalam riwayat lain, musnad Ahmad dengan sanad yang shahih Rasūlullāh ﷺ berkata kepada para sahabatnya
أَلَا أُخْبِرُكُمْ عَنْ جَيْشِكُمْ هَذَا الْغَازِي إِنَّهُمْ انْطَلَقُوا حَتَّى لَقُوا الْعَدُوَّ فَأُصِيبَ زَيْدٌ شَهِيدًا فَاسْتَغْفِرُوا لَهُ فَاسْتَغْفَرَ لَهُ النَّاسُ ثُمَّ أَخَذَ اللِّوَاءَ جَعْفَرُ بْنُ أَبِي طَالِبٍ فَشَدَّ عَلَى الْقَوْمِ حَتَّى قُتِلَ شَهِيدًا أَشْهَدُ لَهُ بِالشَّهَادَةِ فَاسْتَغْفِرُوا لَهُ ثُمَّ أَخَذَ اللِّوَاءَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ فَأَثْبَتَ قَدَمَيْهِ حَتَّى أُصِيبَ شَهِيدًا فَاسْتَغْفِرُوا لَهُ ثُمَّ أَخَذَ اللِّوَاءَ خَالِدُ بْنُ الْوَلِيدِ وَلَمْ يَكُنْ مِنْ الْأُمَرَاءِ هُوَ أَمَّرَ نَفْسَهُ فَرَفَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُصْبُعَيْهِ وَقَالَ اللَّهُمَّ هُوَ سَيْفٌ مِنْ سُيُوفِكَ فَانْصُرْهُ فَيَوْمَئِذٍ سُمِّيَ خَالِدٌ سَيْفَ اللَّهِ
“Maukah kuberitahukan kepada kalian tentang tentara kalian para pejuang ini, sesungguhnya mereka pergi hingga menemui musuh, lalu Zaid mati syahid, maka mintakan ampunan untuknya -orang-orang pun memintakan ampunan untuknya- kemudian bendera diambil Ja’far bin Abu Thalib kemudian memerangi musuh hingga mati syahid, aku bersaksi ia mendapatkan syahid, maka mintakan ampunan untuknya, kemudian bendera diambil ambil ‘Abdullah bin Rawahah, ia meneguhkan kaki hingga mati syahid, aku bersaksi ia mendapatkan syahid, maka mintakan ampunan untuknya, kemudian bendera diambil alih oleh Khalid bin Al Walid, ia bukan termasuk pemimpin yang ditunjuk, namun ia mengangkat dirinya sebagai pemimpin.”
Kemudian Rasulullah ﷺ mengangkat dua jari beliau dan bersabda: “Ya Allah! Dia adalah salah satu pedangMu, berilah ia kemenangan. (HR Ahmad no 22551 dan dinyatakan oleh para pentahqiqnya : Shahih lighoirihi)
Walaupun Ghazwah Mu’tah merupakan peperangan pertama bagi Khalid bin Walid bersama kaum muslimin, namun Rasūlullāh ﷺ langsung memberi gelar Saifulllah (pedang Allah) kepada Khalid bin Walid di hadapan para sahabat yang tidak ikut peperangan di kota Madinah. Rasūlullāh ﷺ mengatakan, ”Bendera peperangan dipegang oleh pedang dari pedang-pedang Allah.” Sejak saat itu Khalid dikenal dengan ”Saifullah”, pedang Allah. Hal ini menunjukkan betapa hebatnya Khalid ibnu Walid Radhiyallahuta’ala ‘anhu. Ketika para sahabat di Mu’tah memberikan amanah kepada Khalid bin al-Walid Radhiyallahuta’ala ‘anhu, maka Khalid ibnu Walid Radhiyallahuta’ala ‘anhu memegang tambuk kepemimpinan dengan sangat luar biasa. Beliau berperang dengan begitu hebat.
Dalam Shahih Al-Bukhori, Khalid bin al-Walid berkata,
لَقَدِ انْقَطَعَتْ فِي يَدِي يَوْمَ مُؤْتَةَ تِسْعَةُ أَسْيَافٍ فَمَا بَقِيَ فِي يَدِي إِلَّا صَفِيحَةٌ يَمَانِيَةٌ
“Telah patah sembilan pedang di tanganku tatkala perang Mu’tah, sehingga tidak tersisa di tanganku kecuali pedang yang lebar buatan Yaman” (HR Al-Bukhari no 4265)
Dalam riwayat yang lain :
لَقَدْ دُقَّ فِي يَدِي يَوْمَ مُؤْتَةَ تِسْعَةُ أَسْيَافٍ
“Telah terpotong-potong di tanganku sembilan pedang…” (HR Al-Bukhari no 4266)
Ini menunjukan kuatnya dan hebatnya Kholid dalam pertempuran. Sampai-sampai pedang-pedang beliau yang terpatah-patah. Sementara kita mungkin tangan kita patah sementara pedang tidak patah-patah.
Dan sungguh bisa dibayangkan berapa banyak musuh yang terbunuh ditangan Khalid bin al-Walid.
Para sahabat terus berperang hingga tiba waktu malam maka peperangan dihentikan. Kaum kafirin banyak yang tewas sementara jumlah kaum muslimin yang wafat hanya 12 orang. Ibnu Hisyam bahkan menyebutkan pasukan kaum muslimin yang wafat hanya kurang dari 10 orang. Hal ini menunjukan betapa dahsyatnya peperangan yang terjadi dan betapa luar biasanya para sahabat dalam peperangan.
Ketika peperangan dihentikan pada sore hari, Khalid bin Walid memikirkan cara agar bisa selamat sehingga ia menyusun strategi perang. Secara logika tidak mungkin pasukan yang sedikit (hanya 3000) bisa mengalahkan pasukan Romawi yang jauh lebih banyak. Karenanya Kholid memikirkan bahwasanya jalan keluar satu-satunya adalah bagaimana pasukan kaum muslimin bisa mundur dengan kerugian sekecil-kecilnya. Karenanya sikap mundur tersebut tidak boleh terkesan sebagai bentuk melarikan diri. Karena kalau terkesan melarikan diri maka tentu para pasukan Romawi akan terus mengejar. Akan tetapi bagaimana caranya agar pasukan kaum muslimin bisa mundur dengan selamat tanpa dikejar oleh pasukan Romawi, yaitu dengan mengesankan bahwa mundurnya mereka adalah salah satu dari bentuk strategi perang, atau seakan-akan kaum muslimin ingin menjebak pasukan Romawi ke medan pertempuran yang sulit.
Khalid bin Walid memerintahkan agar kuda-kuda kaum muslimin berlari-lari di medan pertempuran. Dikarenakan Mu’tah adalah daerah padang pasir maka ketika kuda-kuda berlarian, debu-debu pun berterbangan. Khalid bin Walid ingin memberikan kesan bahwasanya terdapat penambahan pasukan dari kota Madinah. Khalid bin Walid juga memindahkan posisi pasukan kaum muslimin. Pasukan yang sebelumnya berada di sebelah kanan dipindah posisinya menjadi disebelah kiri dan sebaliknya. Pasukan yang sebelumnya berada di depan dipindah posisinya menjadi dibelakang dan sebaliknya. Hal ini akan menimbulkan kesan adanya pasukan baru sehingga pasukan kaum musyrikin semakin meyakini adanya penambahan pasukan baru dari Madinah. Khalid bin Walid juga mengirimkan beberapa pasukan agak dibelakang kaum muslimin sehingga orang-orang Romawi akan menyangka terdapat pasukan baru yang akan datang dari Madinah.
Keesokan harinya ketika genderang perang dimulai, orang-orang Romawi dikagetkan dengan wajah-wajah baru dari pasukan kaum muslimin. Peperangan pun berlangsung dengan sengitnya maka Khalid bin Walid mulai mundur perlahan. Khalid bin al-Walid ingin memberi kesan kepada orang-orang musyrikin bahwasanya Khalid memancing kaum musyrikin kearah Shahra’ (daerah gurun). Orang-orang musyrikin tidak terbiasa berperang didaerah shahra’, mereka terbiasa berperang di hutan-hutan dan bukit-bukit hijau. Orang-orang musyrikin mengira Khalid Bin Walid memancing mereka ke arah Shahra’ tempat dimana pasukan musyrikin tidak memiliki pengalaman berperang, sehingga mereka tidak mau terpancing. Mereka berpikir, jika mereka terpancing masuk ke Shahra’ maka kaum muslimin akan semakin banyak jumlahnya sehingga ketika pasukan kaum muslimin bergerak mundur, pasukan kaum musrikin tidak bergerak maju. Mereka tidak mengejar pasukan kaum muslimin. Pasukan kaum muslimin pun kembali ke kota Madinah dengan selamat.
Pasukan Romawi tentu berpikir seribu kali untuk mengikuti/mengejar kaum muslimin, karena mereka telah merasakan bagaimana kuatnya pasukan kaum muslimin. JKholid yang sembilan pedang patah di tangannya, demikian juga Ja’far bin Abi Tholib yang sekujur tubuhnya penuh dengan luka namun tetap maju bertempur, ini semua menunjukan perlawanan kaum muslimin sangat dahsyat.
Sebagian ulama mengatakan perang Mu’tah merupakan kekalahan. Sebagian ulama mengatakan peperangan berakhir seimbang, tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang. Pendapat yang kuat Wallahu a’lam bishowwab adalah kemenangan bagi kaum muslimin. Diantara dalil yang menguatkan hal ini adalah jumlah pasukan yang meninggal dunia. Pasukan kaum muslimin yang meninggal dunia sebanyak 12 orang, ada yang mengatakan 10 orang sedangkan kaum musrikin banyak yang meninggal dunia. Selain itu orang-orang Nashara tidak berani mengejar pasukan kaum muslimin. Hal ini menunjukan kehebatan dan ketegaran kaum muslimin dalam berperang yang membuat takut hati pasukan orang-orang musyrikin. Ketika kaum muslim sampai di kota Madinah, tidak ada ejekan-ejekan dari kabilah-kabialh kaum musyrikin. Seandainya kaum musyrikin memenangkan peperangan maka mereka akan membacakan syair-syair ejekan untuk pasukan kaum muslimin namun, hal ini tidak terjadi. Bahkan setelah peperangan Mu’tah, banyak kabilah-kabilah arab yang masuk islam. Hal ini adalah bukti bahwasanya kaum muslimin memenangkan peperangan.
Rasūlullāh ﷺ juga menamakan hari itu sebagai kemenangan kaum muslimin. Didalam hadits sebagaimana telah disampaikan, Nabi berkata, “Kemudian bendera peperangan dipegang oleh pedang dari pedang Allah sampai akhirnya Allah memenangkan mereka.” Rasūlullāh ﷺ mengatakan حَتَّى فَتَحَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ “sampai Allah memenangkan mereka”, yang artinya perang Mu’tah dimenangkan oleh kaum muslimin. Rasūlullāh ﷺ tidak mengatakan “sampai mereka diselamatkan Allah”, karena berbeda dengan kisah nabi Musa yang dikejar oleh pasukan Fir’aun kemudian Allah selamatkan mereka.
Faidah penting :
Hadits-hadits menunjukan bahwa ketiga panglima (Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Tholid dan Abdullah bin Rawaahah) dipastikan masuk surga. Karena Nabi telah menyatakan mereka mati syahid, dan Nabi mempersaksikan syahadah (mati syahid) bagi mereka. Selain itu Nabi juga mengabarkan bahwa Ja’far bin Abi Tholib telah digantikan kedua tangannya dengan sayap di surga.
Akan tetapi tetap saja Nabi meminta para sahabat -yang masih hidup- untuk mendoakan mereka bertiga, mendoakan agar Allah mengampuni dosa-dosa mereka. Tentunya ini agar derajat mereka semakin tinggi di surga. Nabi berkata tentang Ja’far :
ثُمَّ أَخَذَ اللِّوَاءَ جَعْفَرُ بْنُ أَبِي طَالِبٍ فَشَدَّ عَلَى الْقَوْمِ حَتَّى قُتِلَ شَهِيدًا أَشْهَدُ لَهُ بِالشَّهَادَةِ فَاسْتَغْفِرُوا لَهُ
“Kemudian bendera diambil Ja’far bin Abu Thalib kemudian memerangi musuh hingga mati syahid, aku bersaksi ia mendapatkan syahid, maka mintakan ampunan untuknya”
Maka ini semua membantah keyakinan sebagian orang yang menyatakan bahwa orang yang mati syahid masih hidup dan kedudukannya sangat tinggi di sisi Allah, karenanya kita minta kepada mereka agar mendoakan kita di sisi Allah.
Memang benar bahwa orang yang mati syahid masih hidup sebagaimana firman Allah :
وَلَا تَقُولُوا لِمَنْ يُقْتَلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتٌ بَلْ أَحْيَاءٌ وَلَكِنْ لَا تَشْعُرُونَ
Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya. (QS Al-Baqoroh : 154)
Demikian juga firmanNya :
وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ
Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezeki. (QS Ali Imron : 169)
Memang mereka masih hidup akan tetapi dengan kehidupan khusus yaitu kehidupan alam barzakh di sisi Allah. Karenanya kata Allah وَلَكِنْ لَا تَشْعُرُونَ (tetapi kamu tidak menyadarinya). Karenanya bukan seperti kehidupan kita sekarang, dan tidak boleh diqiaskan seperti kehidupan kita sekarang. Jika syahid masih hidup seperti kehidupan sekarang, maka hartanya tidak boleh diwariskan dan istrinya tidak boleh dinikahi. Demikian juga tidak perlu secara khusus kita mendoakannya karena ia bisa berdoa sendiri, akan tetapi ternyata Nabi menyuruh sahabat untuk mendoakan para syhuhadaa’. Hal ini karena amalan mereka -diantaranya doa- telah terputus.
FOOTNOTE:
[1]. Urwah bin Az-Zubair berpendapat bahwa jumlah total pasukan Romawi adalah 200 ribu, dan pendapat ini ini diikuti oleh Ibnu Ishaaq, Ibnul Atsiir, At-Thobari, al-Baihaqi, Ibnu Abdilbarr, Ibnu Hazm, Ibnul Qoyyim, Ibnu Katsir, dan Adz-Dzahabi. Sementara sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa jumlahnya 150 ribu dan ada juga yang berpendapat 100 ribu. Bahkan ada yang berpendapat lebih dari 200 ribu, sementara di sisi lain ada yang berpendapat jumlah musuh sekitar 15 ribu hingga 20 ribu. Perselisihan ini mengingat bahwa Romawi belum pernah sebelumnya mengerahkan pasukan sejumlah 200 ribu orang dalam menghadapi pasukan Persia yang dikenal kuat. Apalagi hanya menghadapi pasukan kaum muslimin yang hanya berjumlah 3000 pasukan. Bahkan Heroclius tatkala mengembalikan kemuliaan kerajaan Romawi dengan mengalahkan Persia maka jumlah pasukan mereka hanya lebih dari 70 ribu. Romawi baru mengerahkan pasukan dengan yang sangat banyak di kemudian hari tatkala bertempur dengan pasukan kaum muslimin yang jumlahnya banyak. Karenanya riwayat-riwayat dari Az-Zuhri dan Musa bin ‘Uqbah tidak menyebutkan jumlah tertentu dari pasukan Romawi, hanya saja jumlahnya sangat banyak dan berlipat-lipat ganda dari jumlah kaum muslimin. Dan bisa jadi jumlah 200 ribu itu adalah ijtihad dari sebagian orang yang melihat perang tersebut karena begitu banyaknya jumlah pasukan musuh. Dan sebagaimana kita ketahui jika di zaman kita saja terkadang memperkirakan jumlah musuh dengan tepat terasa sulit apalagi di zaman tersebut. (lihat Ghozwah Mu’tah wa as-Sarooyaa wa al-Bu’uuts An-Nabawiyah Asy-Syamaaliyah hal 279-282)
[2]. Adapun sikap Ja’far yang membunuh kudanya sendiri sebagian ulama menyatakan hal ini diperbolehkan dalam peperangan agar terus bertahan dalam perang dan tidak melarikan diri, atau karena Ja’far menduga bahwa perang tidak berimbang dan ia akan mati syahid, dan kudanya ia bunuh daripada jatuh ke tangan musuh dan dijadikan sebagai alat perang untuk memerangi kaum muslimin.
[3]. Dari Ibnu ‘Abbaas radhiallahu ‘anhumaa beliau berkata :
بَيْنَمَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَالِسٌ وَأَسْمَاءُ بِنْتُ عُمَيْسٍ قَرِيبَةٌ مِنْهُ إِذْ رَدَّ السَّلَامَ ثُمَّ قَالَ: «يَا أَسْمَاءُ، هَذَا جَعْفَرُ بْنُ أَبِي طَالِبٍ مَعَ جِبْرِيلَ وَمِيكَائِيلَ وَإِسْرَافِيلَ سَلَّمُوا عَلَيْنَا فَرُدِّي عَلَيْهِمُ السَّلَامَ» … فَقَالَ: لَقِيتُ الْمُشْرِكِينَ فَأُصِبْتُ فِي جَسَدِي مِنْ مَقَادِيمِي ثَلَاثًا وَسَبْعِينَ بَيْنَ رَمْيَةٍ وَطَعْنَةٍ وَضَرْبَةٍ، ثُمَّ أَخَذْتُ اللِّوَاءَ بِيَدِي الْيُمْنَى فَقُطِعَتْ، ثُمَّ أَخَذْتُ بِيَدِي الْيُسْرَى فَقُطِعَتْ، فَعَوَّضَنِي اللَّهُ مِنْ يَدِي جَنَاحَيْنِ أَطِيرُ بِهِمَا مَعَ جِبْرِيلَ وَمِيكَائِيلَ أَنْزِلُ مِنَ الْجَنَّةِ حَيْثُ شِئْتُ، وَآكَلُ مِنْ ثِمَارِهَا مَا شِئْتُ… فَلِذَلِكَ سُمِّيَ الطَّيَّارُ فِي الْجَنَّةِ
“Tatkala Rasulullahﷺ sedang duduk dan Asmaa’ binti Umais (istri Ja’far bin Abi Tholib) dekat dengannya tiba-tiba Nabi menjawab salam, lalu Nabi berkata : “Wahai Asmaa’, ini Ja’far bin Abi Tholib bersama Jibril, Mikaail, dan Israfil memberi salam kepada kita, maka balaslah sama mereka !. …Maka Ja’far berkata : Aku bertemu dengan kaum musyrikin maka aku terluka di tubuhku karena sikapku yang terus maju sejumlah 73 luka, yaitu karena panah, tombak, dan pedang. Lalu aku memegang bendera dengan tangan kananku lalu terputuslah tangan tersebut. Lalu aku memegang bendera dengan tangan kiriku lalu terputuslah tangan tesrebut. Kemudian Allah mengganti kedua tanganku dengan dua sayap yang aku terbang dengannya bersama Jibril dan Mikail. Aku singgah ke surge ke mana yang aku sukai, aku makan dari buahnya yang aku sukai…karenanya Ja’far dinamakan dengan At-Thoyyar (yang terbang) di surga” (HR Al-Hakim no 4927 dan At-Thobroni di al-Mu’jam al-Awshoth 6936, dishahihkan oleh Al-Hakim dan didiamkan oleh Adz-Dzahabi. Adapun Ibnu Hajar maka beliau menghasankan hadits ini karena syawahid, lihat Fathul Baari 7/76)
[4]. Sebagaimana datang lafal pada riwayat Ibnu Hisyam beliau berkata :
وَحَدَّثَنِي مَنْ أَثِقُ بِهِ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ: أَنَّ جَعْفَرَ بْنَ أَبِي طَالِبٍ أَخَذَ اللِّوَاءَ بِيَمِينِهِ فَقَطِعَتْ، فَأَخَذَهُ بِشِمَالِهِ فَقُطِعَتْ، فَاحْتَضَنَهُ بِعَضُدَيْهِ حَتَّى قُتِلَ رَضِيَ اللَّهُ
“Dan telah menyampaikan kepadaku seseorang yang aku percayai dari kalangan ahli ilmu bahwasanya Ja’far bin Abi Tholib mengambil bendera dengan tangan kanannya lalu terputus, kemudian beliau mengambil bendera dengan tangan kirinya lalu terputus, lalu beliau memeluk bendera dengan kedua lengan atasnya hingga beliau meninggal” (Shiroh Ibnu Hisyaam 2/378)
[5]. Sanad riwayat ini diingkari oleh sebagian ulama kontemporer, karena dianggap bertentangan dengan kondisi para sahabat yang terkenal dengan keberanian mereka. Akan tetapi sesungguhnya munculnya “sedikit keraguan” pada diri Abdullah bin Rawaahah sama sekali tidaklah merendahkan kedudukan Abdullah bin Rowaah, karena hal ini adalah perkara yang sangat wajar, mengingat peperangan yang sangat tidak berimbang. Justru riwayat ini menunjukan kekokohan Abdullah bin Rawaahah melawan jiwanya dan ia berhasil menundukan jiwanya. Dan jelas Nabi telah menyatakan bahwa ia mati syahid. Dan tidaklah Nabi memilih beliau sebagai panglima perang kecuali setelah mengetahui keberanian dan kepahlawanan Abdullah bin Rawaahah. Wallahu a’lam.
Adapun riwayat Ibnu Ishaaq bahwa Nabi menyebutkan derajat Abdullah bin Rawaahah lebih rendah daripada kedudukan Zaid bin Haritsah dan Ja’far bin Abi Tholib dikarenakan keraguan tersebut maka sanadnya terputus (sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Katsir dalam Al-Bidaayah wa an-Nihaayah 6/423).
[6]. Ia memisalkan jiwa (nyawanya) yang ada pada badannya seperti setetes air yang ada di tempat air yang usang yang akan rusak, yang air tersebut sudah lama tenang dalam tempat tersebut akan tetapi tiba saatnya air tersebut akan keluar dari tempatnya karena tempatnya akan rusak.
[7]. Yaitu cita-cita beliau untuk mati syahid telah dikabulkan oleh Allah dihadapan mata beliau.
[8]. Yaitu yang telah dilakukan oleh Zaid bin Haritsah dan Ja’far bin Abi Tholib, yaitu berperang hingga mati syahid.
Sumber: https://firanda.com/