Type Here to Get Search Results !

68. FATKHU MEKAH

 
Tatkala bangsa Arab melihat pertempuran antara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaumnya (kabilah Quraisy), mereka berkata, “Biarkan Muhammad berperang melawan kaumnya sendiri, jika dia menang, maka benar bahwa dirinya seorang nabi dan sekaligus kebanggaan bagi kita bangsa Arab dari umat yang lain. Dan jika sebaliknya dia kalah, maka kita telah selamat dari kedustaannya.”

Di sisi lain, ada golongan yang menunggu untuk masuk Islam apabila semua umat manusia telah masuk Islam. Oleh karena itu, mereka menunggu fathu makkah (penaklukan Mekah). Sebab kebanyakan manusia taklid dan mengekor pada manusia yang lain tanpa menilai kebenaran yang hakiki dengan akalnya yang lurus dan dalil.

Sikap semacam ini tentunya baik, akan tetapi yang lebih baik adalah menilai kebenaran Islam dan memeluknya karena dalil yang menunjukkan kebenarannya dan tidak bergantung pada kebanyakan orang. Oleh karena itu, tidak sama derajat mereka yang masuk Islam pada awal dakwah dengan mereka yang masuk Islam pada akhir masa dakwah Rasulullah. Tidak sama antara yang berkorban dengan jiwa dan harta dalam Islam ketimbang lainnya. Tidak sama antara yang masuk Islam dan berjihad fi sabilillah sebelum fathu makkah dengan yang berjihad sesudahnya. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

لاَيَسْتَوِى مِنكُم مَّنْ أَنفَقَ مِن قَبْلِ الْفَتْحِ وَقَاتَلَ أُولاَئِكَ أَعْظَمُ دَرَجَةً مِنَ الَّذِينَ أَنفَقُوا مِن بَعْدُ وَقَاتَلُوا

“Tidak sama antara kalian yang berinfaq dan berperang sebelum fathu makkah atau hudaibiyah, mereka itu lebih tinggi derajatnya daripada mereka yang berinfaq dan berperang sesudahnya.” (QS. Al-Hadid: 10)

Amru bin Salimah berkata, “Kaum Arab menunda keislaman mereka karena menanti fathu makkah. Maka tatkala terjadi fathu makkah, setiap kabilah bersegera masuk Islam dan bapakku segera mendahului kaumku masuk Islam.” (Diriwayatkan Bukhari, 4302)

Para musuh yang memerangi kenabian menyangka akan mengalahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan mereka yang dikehendaki hidayah oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala menunggu kemenangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar dia masuk Islam.

Fathu makkah artinya pembebasan Mekah dari negeri kufur menjadi negeri Islam. Pada hari itu Allah Subhanahu wa Ta’ala menolong dan memenangkan tentara-Nya serta memberantas kekafiran (nasrullah wal fathu) sebagaimana dalam surat An-Nashr.

Dahulu sebagian sahabat mengeluhkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beratnya siksaan Quraisy terhadap mereka dan memohon keada beliau agar berdoa kepada Allah supaya menyegerakan kemenangan akan tetapi Rasulullah menjawab, “Sungguh agama ini akan jaya akan tetapi kalian terburu-buru”. Rasulullah mentarbiyah sahabatnya dengan pengorbanan dan kesabaran karena buahnya pasti tercapai sekalipun lama. Lihatlah buah dari perjuangan dan kesabaran mereka tercapai setelah 21 tahun dalam berdakwah dan jihad fi sabilillah.

SEBAB TERJADINYA FATKHU MEKAH

Telah kita ketahui bahwa dalam perjanjian damai di Hudaibiyah pada tahun ke-6 Hijriah terjadi kesepakatan antara Quraisy dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di antaranya: Gencatan senjata selama 10 tahun dan boleh bagi siapa saja yang hendak bersekutu dengan Nabi Muhammad atau Quraisy. Maka Bani Bakr bergabung dengan Quraisy sedangkan bani Khuza’ah bergabung dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kedua belah pihak berada di masa itu dalam keadaan aman dan damai tanpa perang. Akan tetapi, kaum kafir yang menghalalkan segala sesuatu tidak mungkin iltizam (komitmen) dan memelihara perdamaian. Setelah berlalu setahun lebih Bani Bakr bersekutu dengan Quraisy memerangi Bani Khuza’ah sekutu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atas dasar permusuhan masa lampau antara kedua kabilah tersebut. Mereka dibantu oleh Quraisy dengan harta, senjata, dan tentara karena dendam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan demikian, maka mereka telah melanggar perjanjian Hudaibiyah dan mengobarkan api peperangan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Bani Khuza’ah segera berangkat ke Madinah meminta pertolongan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau mengabulkan permohonan mereka.

Quraisy Menyesal

Tindakan Quraisy membantu sekutu mereka dalam memerangi sekutu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menujukkan bahwa mereka telah melanggar perdamaian Hudaibiyah dan mereka menyadari akan hal ini. Mereka menyesal dan takut kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan akibat yang akan timbul dari ulah mereka tersebut. Oleh karena itu, mereka segera mengirim Abu Sufyan radhiallahu ‘anhu (yang waktu itu masih kafir, red.) ke Madinah dengan tujuan untuk memperbarahui akad perdamaian damai.

Abu Sufyan radhiallahu ‘anhu berangkat menuju ke Madinah untuk memohan maaf kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memperbaiki perdamaian, tetapi sesampainya di Madinah, ia tidak bertemu langsung dengan Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena malu dan keberatan. Abu Sufyan radhiallahu ‘anhu menemui Abu Bakar radhiallahu ‘anhu agar beliau menjadi duta atau perantara dirinya dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu kepada Umar radhiallahu ‘anhu, lalu kepada Ali dan Fatimah radhiallahu ‘anhu, tetapi mereka semua menolak. Sikap para sahabat mulia ini menunjukkan bahwa tidak ada wala’ (loyalitas) dan syafaat buat orang-orang kafir.

Diriwayatkan bahwa Abu Sufyan radhiallahu ‘anhu tatkala sampai di Madinah, masuk ke rumah putrinya, Ummu Habibah radhiallahu ‘anhu Ummul Mukminin –istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam– dan tatkala hendak duduk di tikar, maka Ummu Habibah melipatnya. Tindakan tersebut yang membuat bapaknya heran seraya mengatakan, “Apakah kamu melipat tikar ini karena jelek tidak layak aku duduki ataukah kamu tidak mengizinkan aku karena kehormatan tikar ini?” Maka Ummu Habibah radhiallahu ‘anhu menjawab, “Ini tikar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ayah tidak pantas mendudukinya sedang ayah seorang musyrik.” Abu Sufyan mengatakan, “Wahai putriku, sekarang kamu menjadi anak yang durhaka setelah pisah dengan orang tuamu.” Kemudian dia keluar menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengajaknya bicara, tetapi beliau diam tidak menjawabnya sedikit pun. Maka Abu Sufyan kembali ke Mekah dalam keadaan sia-sia dan ini pertanda bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memaafkan karena mereka dalam pelanggaran ini.

Rasulullah Menyiapkan Pasukan

Tibalah saatnya untuk memerangi Quraisy dengan hak, dimana selama ini mereka memerangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabatnya tanpa alasan yang dapat dibenarkan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah para sahabatnya untuk bersiap perang, beliau merahasiakan tujuannya agar Quraisy tidak bersiap perang, hingga umat Islam kepung negeri mereka.”

Mereka bersiap hinggap terkumpul 10.000 tentara. Tidak ada yang tertinggal seorang pun dari Muhajirin dan Anshar serta kabilah-kabilah yang tinggal di dekat Madinah. Bilangan yang sangat banyak ini menunjukkan betapa besarnya kemenangan Islam selama masa perjanjian Hudaibiyah (yang disebut oleh Allah dalam Surat Al-Fath sebagai hari kemengan) yang baru berlangsung kurang dari dua tahun, betapa banyak yang masuk Islam dalam selang waktu gencatan senjata antara Quraisy dan kaum muslimin. Pada waktu Perang Ahzab tahun ke-5 pasukan sahabat hanya sebanyak 3.000 tentara dan yang ikut di Hudaibiyah pada tahun ke-6 hanya 1400 sahabat. Ini menunjukkan pengaruh positif dakwah Islam tatkala dibiarkan leluasa tanpa dihalangi atau diperangi.

Di tengah perjalanan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahukan tujuannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar menutup semua berita kepada kaum Quraisy sebab beliau menghendaki penduduk Mekah meneyrah dengan damai dan tidak menghendaki adanya peperangan terhadap kaumnya di Mekah.

Kisah Hathib bin Abi Balta’ah

Sebagaimana kita ketahui bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat merahasiakan peperangan ini dan berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar menutup semua berita kepada kaum Quraisy, sebab beliau menghendaki penduduk Mekah menyerah dengan damai dan tidak menghendaki adanya peperangan terhadap kaumnya di Mekah. Akan tetapi, Hathib bin Abi Balta’ah radhiallahu ‘anhu demi kemaslahatan diri dan keluarganya mengirim surat ke Mekah lewat seorang wanita memberitahukan kepada keluarganya dan penduduk Mekah tentang tujuan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Wahyu datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang perbuatan Hathib ini, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada Ali, Zubair, dan Miqdad radhiallahu ‘anhum untuk mengejar wanita tersebut sebelum tiba di Mekah. Seraya berkata, “Berangkatlah kalian hingga sampai di Raudhah Khah, di sana ada seorang wanita membawa surat.”

Tatkala mereka mendapati wanita itu di tempat tersebut, mereka meminta kepadanya untuk menyerahkan surat tetapi dia mengingkari bahwa dirinya tidak membawa surat, maka mereka mengatakan, “Keluarkan surat itu atau kami buka pakaianmu.” Lalu dia (wanita itu) mengeluarkannya dari jalinan rambutnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada Hathib radhiallahu ‘anhu, “Kenapa engkau melakukan ini, wahai Hathib?” Dia menjawab, “Saya tidak melakukannya karena murtad atau cinta kekafiran, tetapi saya hendak memiliki penolong dari Quraisy yang dapat menjaga kerabat saya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dia jujur.” Adapun Umar radhiallahu ‘anhu berkata, “Izinkan saya bunuh orang munafik ini, wahai Rasulullah.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Sesungguhnya dia ikut Perang Badar. Tahukah kamu, sesungguhnya Allah berkata, ‘Beramallah kalian hai ahli badar, sungguh Aku telah mengampuni dosa kalian’.” Lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ayat,

“Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian menjadikan musuh-Ku dan musuh kalian sebagai wali yang kalian cintai padahal mereka kafir.” (QS. Al-Mumtahanan: 1)

Maka Umar radhiallahu ‘anhu menangis menyesali perkataannya tersebut.

Mereka berangkat pada bulan Ramadhan tahun ke-8 dalam keadaan berpuasa hingga tiba di Kudaid lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuka dan menyuruh para sahabat untuk berbuka puasa.

Sebagaimana biasa, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala meninggalkan Madinah, maka beliau memilih khalifah di Madinah Abu Ruhmin Kulsum bin Hushain.

Pembesar Quraisy Masuk Islam

Sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pasukannya tiba di Mekah beberapa tokoh Quraisy bertemu beliau untuk masuk Islam yang semula mereka akan menuju ke Madinah di antaranya Abu Sufyan bin Haris sepupu beliau dan Abdullah bin Abi Umayyah radhiallahu ‘anhu –dahulu bersama Abu Jahal- menghalangi Abu Thalib mengatakan syahadat.

Juga paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Abbas radhiallahu ‘anhu, bersama keluarganya bertemu dengan beliau untuk hijrah ke Madinah. Abbas radhiallahu ‘anhu telah masuk Islam sebelum itu, tetapi beliau tetap tinggal di Mekah karena maslahat dakwah.

Ibnu Abdil Barr mengatakan, “Sesungguhnya Abbas radhiallahu ‘anhu telah masuk Islam sebelum Perang Khaibar pada tahun ke-6, tetapi beliau menyembunyikan Islamnya karena maslahat dakwah dan menjadi mata-mata bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap Quraisy di Mekah.”

Ibnu Hajar berkata, “Sesungguhnya Umar radhiallahu ‘anhu tidak memasukkan Abbas radhiallahu ‘anhu dalam anggota majlis syura karena beliau tidak hijrah sebelum fathu makkah padahal Umar radhiallahu ‘anhu mengetahui keutamaannya dan pernah bertawassul dengannya dalam istiqa.

Pelajaran dari Kisah

Sesungguhnya dalam kisah para sahabat terdapat ibrah (pelajaran) bagi orang-orang yang datang sesudah mereka. Di antara ibrah yang kita ambil dari kisah dia atas antara lain:

Abu Sufyan tidak memaksakan kehendaknya pada putrinya dengan melarangnya menikah dengan Rasulullah dan tidak menghukum anaknya ketika melipat tikar padahal dia pembesar Quraisy dan tokoh kufur.

Wala’ hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya sekalipun kerabat atau manusia murka.

Semua yang terjadi pada sahabat, meski tampaknya tidak baik, atas kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk menjelaskan hukum syariat berkaitan dengan peristiwa tesebut, seperti kisah Hathib radhiallahu ‘anhu.

Fathu makkah menyingkap tabir syubhat yang menghalangi manusia dari Islam, maka tidak ada kebaikan bagi yang tidak masuk Islam setelah fathu makkah hingga akhir zaman.

Seorang yang mulia terkadang melakukan pelanggaran namun tidak kafir karenanya, sebab kejelakannya tenggelam dalam lautan kebaikannya.

Lihat Sirah Nabawiyyah oleh Dr. Mahdi Rizqullah Ahmad: 535-54120 Ramadhan: Fathu (Pembebasan) Kota Mekah.

Read more: https://kisahmuslim.com/

Di antara poin Perjanjian Hudaibiyah adalah siapa yang ingin bergabung menjadi sekutu kaum muslimin, maka ia bisa bergabung. Siapa yang ingin menjadi sekutu Quraisy, maka ia juga dipersilahkan untuk bersama mereka. Kabilah Khuza’ah menjadi sekutu Rasulullah ﷺ. Sedangkan seteru mereka, bani Bakr bergabung dengan kafir Quraisy.

Sejak dulu, perang dan sengketa selalu terjadi antara dua kabilah ini. Perjanjian damai ini dimanfaatkan oleh bani Bakr untuk membalas dendam terhadap orang-orang Khuza’ah. Mereka pun melakukan penyerangan mendadak di malam hari. Mereka bunuh orang-orang Khuza’ah. Parahnya, pengingkaran poin perjanjian itu didukung oleh Quraisy. Mereka membantu sekutu mereka dengan menyiapkan senjata dan pasukan untuk memerangi sekutu Rasulullah ﷺ. Segera setelah pengkhianatan itu, Amr bin Salim al-Khuza’I berangkat menuju Madinah. Ia mengabarkan kepada Nabi ﷺ tentang pengkhianatan Quraisy dan sekutunya (al-Iktifa bima Tadhammanahu min Maghazi Rasulullah wa ats-Tsalatsati al-Khulafa oleh Sulaiman al-Kula’i: 2/177).

Orang-orang Quraisy segera bergerak melangkah. Mereka mengirim Au Sufyan ke Madinah untuk memperbarui perjanjian mereka dengan kaum muslimin. Namun apa yang mereka lakukan sudah tidak bermanfaat. Rasulullah ﷺ telah memerintahkan kaum muslimin untuk menyiapkan pasukan menuju Mekah.

Pada tanggal 20 Ramadhan 8 H, pasukan kaum muslimin berangkat dari Madinah menuju Mekah. Rasulullah ﷺ memimpin pasukan besar yang berjumlah 10.000 sahabat. Dan Abu Dzar al-Ghifari ditugasi menjadi pengganti beliau di Madinah. Sesampainya di daerah Juhfah, Rasulullah ﷺ berjumpa dengan pamannya, al-Abbas bin Abdul Muthalib, ia hijrah keluar Mekah sebagai seorang muslim. Kemudian al-Abbas mengendari bighal putih milik Rasulullah ﷺ. Ia mencari salah seorang Quraisy agar meminta jaminan keamanan kepada Rasulullah ﷺ sebelum beliau memasuki Mekah.

Di saat bersamaan Abu Sufyan pun sibuk mengendap-endap, mencari tahu perkembangan keadaan. Al-Abbas bertemu dengannya. Lalu ia mengajak Abu Sufyan menemui Rasulullah ﷺ untuk meminta jaminan keamanan. Keduanya pun berangkat menemui Rasulullah ﷺ.

Ketika keduanya berjumpa dengan Rasulullah ﷺ, beliau bersabda, “Celaka engkau Abu Sufyan, bukankah sudah tiba saatnya bagimu untuk mengetahui bahwa tiada ilah (sesembahan) yang berhak disembah selain Allah? Bukankah sudah tiba saatnya bagimu untuk mengetahui bahwa aku adalah utusan Allah?”

Al-Abbas menimpali, “Celaka engkau apabila tidak juga memeluk Islam”.

Kemudian Abu Sufyan mengikrakan syahadat yang jujur. Rasulullah ﷺ pun memuliakannya degan sabda beliau,

من دخل دار أبي سفيان فهو آمن

“Siapa yang masuk ke dalam rumah Abu Sufyan, maka dia aman.” (HR. Muslim, Kitabul Jihad, 1780).

Ketika pasukan kaum muslimin tengah bergerak memasuki Mekah, Rasulullah ﷺ memerintahkan al-Abbas agar membawa Abu Sufyan ke sisi Kota Mekah agar ia melihat tentara-tentara Allah. Kabilah-kabilah kaum muslimin lewat di hdapat Abu Sufyan dan al-Abbas memperkenalkan siapa mereka. Hingga Rasulullah ﷺ lewat bersama batalionnya. Bersama Muhajirin dan Anshar.

Abu Sufyan berkata, “Subhanallah! Tidak ada pasukan manapun yang bisa menang menghadapi mereka”. Kemudian ia bersegera menuju kaumnya, lalu berteriak, “Wahai orang-orang Quraisy, ini Muhammad. Ia telah datang kepada kalian dengan pasukan yang tidak akan sanggup kalian lawan”. Mendengar hal itu, orang-orang pun kocar-kacir. Mereka berlarian ke rumah-rumah mereka dan ke masjid (Uyunil Atsar fi Funun al-maghazi wa asy-Syamail wa as-siyar, 2/188).

Rasulullah ﷺ masuk Kota Mekah dengan penuh ketawadhuan, merendahkan dirinya kepoada Allah ﷻ yang telah memuliakan beliau dengan membebaskan Kota Mekah. Beliau telah membagi pasukannya ke dalam beberapa brigade, mengepung Kota Mekah dari segala sisi.

Kasih Sayang Rasulullah ﷺ Terhadap Musuh

Pasukan Islam memasuki Kota Mekah dan tidak ada kabilah Quraisy yang mampu menghadang mereka. Kemudian Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya masuk ke dalam Masjid al-Haram. Beliau pun mencium Hajar Aswad. Saat itu kondisi Ka’bah begitu mengenaskan, setidaknya ada 360 berhala di sekelilingnya. Beliau pun menghancurkan Tuhan-Tuhan selain Allah tersebut. Beliau membaca firman Allah ﷻ,

جَاءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوقًا

Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap”. Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap.” (Qs. Al-Isra’: 81)

جَاءَ الْحَقُّ وَمَا يُبْدِئُ الْبَاطِلُ وَمَا يُعِيدُ

“Kebenaran telah datang dan yang batil itu tidak akan memulai dan tidak (pula) akan mengulangi.” (Qs. Saba’: 49).

Berhala-berhala itu hancur lebur di hadapan beliau. Setelah itu, barulah beliau melaksanakan thawaf.

Kemudian Nabi ﷺ memanggil Utsman bin Thalhah dan menyerahkan kunci Ka’bah kepadanya. Beliau meminta Utsman agar membuka Ka’bah, lalu beliau memasukinya. Nabi ﷺ melihat gambar-gambar di dalamnya. Segera gambar tersebut beliau hapus. Kemudian melaksanakan shalat di dalam Ka’bah. Setelah itu Nabi ﷺ keluar menjumpai kerumunan orang-orang Quraisy yang menunggu putusan beliau.

Dengan memegangi pinggiran pintu Ka’bah, beliau bersabda:

“لا إِله إِلاَّ الله وحدَّه لا شريكَ له، لَهُ المُلْكُ وله الحمدُ وهو على كَلِّ شَيْءٍ قديرٌ، صَدَقَ وَعْدَه ونَصرَ عَبْدَه وهَزمَ الأحزابَ وحْدَه

“Wahai orang Quraisy, sesungguhnya Allah telah menghilangkan kesombongan jahiliyah dan pengagungan terhadap nenek moyang. Manusia dari Adam dan Adam dari tanah.”

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

“Wahai orang Quraisy, apa yang kalian bayangankan tentang apa yang akan aku lakukan terhadap kalian?”

Merekapun menjawab, “Saudara yang mulia, anak dari saudara yang mulia.”

Beliau bersabda, “Aku sampaikan kepada kalian sebagaimana perkataan Yusuf kepada saudaranya:

لاَ تَثْرِيبَ عَلَيْكُمُ الْيَوْمَ

‘Pada hari ini tidak ada cercaan atas kalian. Allah mengampuni kalian. Dia Maha penyayang.’ Pergilah kalian! Sesungguhnya kalian telah bebas!” (as-Sirah an-Nabawiyah oleh Ibnu Hisyam, 5/74).

Beliau maafkan banyak orang yang telah menyakiti beliau, kecuali 9 orang tokoh mereka. Nabi ﷺ memerintahkan agar kesembilan orang tersebut dihukum mati apabila ditemukan. Walaupun mereka berlindung di balik tirai Ka’bah.

Setelah itu beliau kembalikan kunci Ka’bah kepada Utsman bin Thalhah. Lalu beliau perintahkan Bilal naik ke atas Ka’bah untuk mengumandangkan adzan

Khutbah Fathu Mekah

Di hari kedua, Rasulullah ﷺ berkhutbah:

“Sesungguhnya kota ini, Allah telah memuliakannya pada hari penciptaan langit dan bumi. Ia adalah kota suci dengan dasar kemuliaan yang Allah tetapkan sampai hari Kiamat. Tidak halal bagi orang sebelumku (berperang di dalamnya), ataupun orang sesudahku, demikian juga atas diriku, kecuali hanya sementara waktu. Tidak boleh diburu hewan-hewannya. Tidak boleh dicabut durinya. Tidak boleh menebang pepohonanya. Dan tidak boleh diambil barang temuannya, kecuali bagi mereka yang hendak mengumumkannya.” (HR. al-Bukhari, Kitab al-Maghazi, 4059).

Kemudian laki-laki dan wanita-wanita Mekah membaiat Rasulullah ﷺ, berjanji menaati beliau. Beliau menetap di Mekah selama 19 hari. Mengajarkan Islam. Membimbing manusia dan menghancurkan berhala.

Oleh Nurfitri Hadi (@nfhadi07)

Read more: https://kisahmuslim.com/