Type Here to Get Search Results !

73. PERANG HUNAIN


PERANG HUNAIN 

Setelah kota Mekah takluk di tangan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , ternyata masih ada sejumlah kabilah Arab yang belum menyerah, seperti Bani Tsaqîf, Hawazin, dan sejumlah kabilah lainnya. Semua kabilah tadi akhirnya bersatu untuk melawan kaum Muslimin, sembari mengerahkan anak-anak, kaum wanita, dan harta benda mereka. 

Begitu mendengar gerakan mereka, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam langsung mengutus Abdullah bin Abi Hadrad al- Aslami untuk klarifikasi berita tersebut.[1] Setelah nyata kebenaran berita dan maksud mereka maka Rasûlullâh bersiap-siap untuk perang. 

Tak lama berselang, ada seorang penunggang kuda menghampiri Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, “Aku habis melewati bukit ini dan itu, dan tiba-tiba kudapati Bani Hawazin mengerahkan seluruh personel mereka termasuk anak-anak, kaum wanita, dan ternak mereka, lalu berkumpul di Hunain,”[2]  Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersenyum mendengar berita tersebut, dan menimpali, “Itulah ghanimah kaum Muslimin besok, insya Allâh Azza wa Jalla.”[3] 

Dalam peperangan ini, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sempat meminjam 100 buah baju besi beserta perlengkapannya dari Shafwan bin Umayyah yang kala itu belum masuk Islam. Usai peperangan, ternyata ada sebagian baju besi yang hilang, maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menawarkan kepada Shafwan untuk membayar gantinya, namun Shafwan menolak dan akhirnya ia masuk Islam.[4] Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga meminjam 30 ekor unta dan 30 buah baju besi dari Ya’la bin Umayyah.[5] 

Sebelum meninggalkan Mekah, beliau mengangkat ‘Attab bin Usaid al-Umawi yang kala itu baru berumur 20 tahun sebagai pemimpin kota Mekah.[6] Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bergerak bersama pasukan yang berjumlah 12 ribu personel. Sepuluh ribu orang di antaranya adalah pasukan yang menyertai beliau dalam penaklukan kota Mekah, sedangkan dua ribu sisanya berasal dari warga Mekah yang baru masuk Islam.[7] 

Pada sore hari tanggal 10 Syawwal tahun 8 H, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta pasukannya tiba di lembah Hunain. Selama di perjalanan, mereka sempat melihat sebatang pohon bidara besar yang terkenal dengan nama Dzatu Anwâth. Kaum musyrikin konon sengaja mencari berkah di pohon tersebut dengan menggantungkan senjata-senjata mereka pada rantingnya. Bahkan ada yang menyembelih korban dan bersemedi di sekitarnya. Ketika sebagian dari pasukan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang baru masuk Islam menyaksikan pohon bidara berikutnya, mereka berteriak-teriak, “Wahai Rasûlullâh, buatkan untuk kami Dzatu Anwâth seperti milik mereka!” Mendengar permintaan jahili seperti itu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sontak bertasbih dan berseru, “Ucapan kalian –demi Allâh Azza wa Jalla – sangat mirip dengan ucapan Bani Israil kepada Musa, ‘Buatkan sesembahan untuk kami seperti sesembahan mereka,’  kalian pasti akan mengikuti ajaran orang-orang sebelum kalian.”[8] 

Melihat jumlah pasukan kaum Muslimin yang banyak saat itu, ada seseorang yang berkomentar, “Kita tidak akan kalah hari ini karena kekurangan pasukan”.[9] Memang, 12 ribu personel merupakan jumlah yang spektakuler dan belum pernah ada dalam perang-perang sebelumnya. Fenomena ini bahkan diabadikan oleh al-Qur`an dalam ayat berikut : 

لَقَدْ نَصَرَكُمُ اللَّهُ فِي مَوَاطِنَ كَثِيرَةٍ ۙ وَيَوْمَ حُنَيْنٍ ۙ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنْكُمْ شَيْئًا وَضَاقَتْ عَلَيْكُمُ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ ثُمَّ وَلَّيْتُمْ مُدْبِرِينَ 

"Allâh telah menolong kalian dalam banyak kesempatan. Dan ingatlah ketika perang Hunain, saat kalian merasa takjub dengan banyaknya jumlah kalian. Akan tetapi itu tidak berguna sedikitpun bagi kalian, sehingga bumi terasa sempit bagi kalian dan kalian lari tunggang-langgang." [at-Taubah/9:25]. 

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sadar dengan kenyataan tersebut, maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam segera bermunajat kepada Allâh Azza wa Jalla selepas shalat Shubuh dengan bibir berdoa: 

اللَّهُمَّ بِكَ أُحَاوِلُ، وَبِكَ أُصَاوِلُ، وَبِكَ أُقَاتِلُ 

"Ya Allâh Azza wa Jalla , dengan (kekuatan)-Mu aku berjuang, dengan (kekuasaan)-Mu aku melawan, dan dengan (pertolongan)-Mu aku berperang.,"

Sahabat Suhaib ar-Rûmi Radhiyallahu anhu yang menyaksikan “fenomena langka” tersebut berkata, “Wahai Rasûlullâh, baru saja kami melihatmu melakukan sesuatu yang belum pernah kau lakukan sebelumnya. Apakah gerangan yang kau baca?” Jawab Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang artinya, “Sesungguhnya ada seorang nabi dari umat sebelum kalian yang merasa kagum dengan banyaknya jumlah umatnya. Nabi tadi sempat berkata, ‘Tidak ada seorang pun yang dapat melawan mereka,’ maka Allâh mewahyukan kepadanya, ‘Bahwasanya kebaikan umatmu terletak pada salah satu dari tiga hal, yaitu (1) ketika Kami menguasakan mereka kepada musuh dari selain mereka, lalu musuh tersebut membantai mereka, (2) atau Kami jadikan mereka kelaparan, (3) atau Kami utus kematian kepada mereka.’ Setelah mendapat wahyu tersebut, sang nabi bermusyawarah dengan kaumnya, lalu kata mereka, ‘Kalau menghadapi musuh, maka kita tidak punya kekuatan. Sedangkan menghadapi kelaparan kita pun tak cukup sabar. Jadi, biarlah kita mati saja.’ Akhirnya Allâh mengirim kematian yang menewaskan 70 ribu orang dari mereka dalam tiga hari. Itulah sebabnya mengapa aku mengucapkan doa tersebut hari ini,” lanjut Rasûlullâh .[10] 

Diriwayatkan, pasukan musuh yang dipimpin oleh Malik bin ‘Auf jumlahnya dua kali lipat atau lebih dari jumlah pasukan Islam. Ia juga melakukan serangkaian persiapan baik mental maupun material guna menaikkan semangat tempur pasukannya. Salah satunya ialah dengan berpidato dan mengatakan: “Muhammad belum pernah menghadapi pertempuran yang sesungguhnya sebelum kali ini. Selama ini ia hanya menghadapi orang-orang yang tak berpengalaman sehingga menang melawan mereka”. 

Trik kedua, ia mengerahkan kaum wanita dan anak-anak plus harta yang dimiliki kaumnya, lalu menempatkan itu semua di bagian belakang pasukan. Tujuannya, agar mereka mendorong para lelaki untuk berperang mati-matian melawan musuhnya. 

Trik ketiga, ia memerintahkan agar semua pedang dihunus dan sarungnya dipatahkan. Ini merupakan kebiasaan orang Arab sebelum perang, yang menandakan bahwa mereka akan bertahan sampai titik darah penghabisan dalam melawan musuh, sampai mereka menang atau mati. 

Trik keempat, ia melakukan perang urat syaraf terhadap kaum Muslimin untuk menjatuhkan nyali mereka. Yaitu dengan menempatkan puluhan ribu ekor unta di bagian belakang pasukan, lalu memerintahkan kaum wanita untuk menaikinya sehingga dari kejauhan menunjukkan fenomena lautan manusia yang siap bertempur.[11] 

Trik kelima, ia mempelajari seluk-beluk medan perang dengan sangat baik, dan lebih dahulu mencapai lokasi sebelum kedatangan kaum muslimin. Lalu menyebar pasukan di berbagai sudut, celah, dan jalan masuk ke lokasi, memerintahkan mereka untuk menghujani kaum Muslimin dengan panah begitu mereka tiba di lokasi. Ia juga memerintahkan agar serangan dilakukan secara serempak.[12] 

Menjelang terbit fajar, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memompa semangat perang kaum Muslimin dan membagi-bagikan panji-panji serta komando. Kaum Muslimin pun mulai bergerak menuruni lembah, tapi tiba-tiba mereka dikejutkan oleh hujan panah kaum musyrikin dari kanan-kiri lembah. Mereka kaget dengan serangan serempak pihak musuh, hingga pasukan kaum Muslimin lari tercerai-berai meninggalkan lembah. Namun Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyisihkan dirinya bersama sejumlah kaum Muhajirin dan Anshar ke arah kanan sambil berseru, “Wahai pasukan, kemarilah. Aku Rasûlullâh ! Aku Muhammad bin Abdillah!” 

Menurut riwayat yang paling shahih, saat itu yang bersama Nabi n sekitar 80 orang. Di antara yang tetap bersama beliau adalah: Abu Bakar, Umar, Ali bin Abi Thalib, Abbas bin Abdil-Muththalib dan al- Fadhl puteranya, Abu Sufyan ibnul-Harits dan Ja’far puteranya, Rabi’ah ibnul-Harits, Usamah bin Zaid, dan Aiman bin ‘Ubaid.[13] 

Ketika itulah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperlihatkan keberaniannya dengan segera memacu bighal-nya ke depan seraya berseru, “Aku Adalah Nabi yang tidak berdusta, akulah putera Abdul-Muththalib!” Lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh ‘Abbas bin Abdil-Muththalib yang bersuara lantang agar memanggil para sahabat yang berbaiat di bawah pohon (ahli Hudaibiyah). ‘Abbas pun berseru sekuat tenaga: (أين أصحاب السمرة !؟) “Dimanakah mereka yang berbaiat di bawah pohon Samurah?” 

Mendengar seruan itu, mereka seakan tergerak seperti induk sapi yang mendengar teriakan anaknya. Mereka sontak menjawab: “Yaa Labbaika… yaa labbaika!” 

“Lawanlah orang-orang kafir itu!” seru ‘Abbas. 

Demikian pula dengan kaum Anshar yang juga dipanggil agar kembali: “Yaa aa’syaral-Anshaar!”, wahai sekalian kaum Anshar. 

Lalu ‘Abbas mengkhususkan panggilan tersebut kepada Bani Harits ibnul-Khazraj dari suku Anshar. Sedangkan Rasûlullâh tetap duduk tegap di atas bighal-nya. Sambil menyaksikan mereka berperang, beliau berkata (هذا حِين حَمِيَ الوَطِيسُ !), “Inilah saatnya peperangan memanas!”[14] 

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas memungut beberapa butir kerikil, lalu melemparkannya ke arah orang-orang kafir sembari berkata, “Kalahlah kalian, demi Rabb-nya Muhammad”. 

Tak lama setelah beliau melemparkan kerikil-kerikil tadi, nampaklah satu persatu dari pasukan musuh mulai kecapaian dan kalah[15]
_______ 
Footnote 
[1] Diriwayatkan oleh Ibnu Ishâq dengan sanad hasan, sebagaimana dinukil oleh adz-Dzahabi dalam Maghâzi-nya, hlm. 571-572.

[2] Hunain adalah nama sebuah lembah yang berjarak 26 Km di sebelah timur Mekah. Saat ini lokasi tersebut dikenal dengan nama (الشَّرَائِع). 

[3] HR Abu Dawud, no. 2503 dan dishahihkan oleh al-Albani. 

[4] Lihat Marwiyyat Ghazwati Hunain, 2/610-611. 

[5] HR Ahmad, no. 17950 dengan sanad shahih. [6] HR ath-Thayâlisi dengan sanad hasan, sebagaimana dalam al-Ishâbah, 2/451. 

[7] Diriwayatkan oleh Ibnu Ishâq dengan secara mu’allaq (terputus dari awal sanadnya), sebagaimana dalam Sirah Ibnu Hisyam, 4/118. [8] HR Tirmidzi dan yang lainnya dengan sanad shahih. Lihat Marwiyyat Ghazwati Hunain, 1/130-132. 

[9] Akan tetapi riwayat ini sanadnya dha’if walaupun cukup terkenal dalam sejarah. Bahkan dalam Sirah Ibnu Hisyam ada sebuah riwayat yang mengatakan bahwa yang mengucapkan kata-kata tadi adalah Rasulullah sendiri. Ini jelas riwayat batil yang kontradiksi dengan apa yang kita kenal dari pribadi Rasulullah yang demikian kuat tawakkalnya kepada Allah. Lihat Marwiyyat Ghazwati Hunain 1/113-114 dan 136-137. 

[10] Hadits shahih riwayat ad-Darimi, dan lain-lain, dalam Sunan-nya. Lihat Marwiyat Ghazwati Hunain, 1/137-139. 

[11] Lihat as-Siirah an-Nabawiyyah, oleh Dr. Ali Shallabi, hlm. 490-491. 

[12] Diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq dengan sanad hasan. Lihat Sirah Ibnu Hisyam, 4/121. 

[13] Lihat Marwiyyat Ghazwati Hunain, 1/175-180. [14] HR Muslim, no. 1400. 

[15] Mushannaf Abdurrazzaq, no. 3801.


Dalam bagian sebelumnya, telah dikisahkan tatkala perang memanas, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil segenggam tanah lalu melemparkannya ke wajah kaum musyrikin sembari berseru: 

شَاهَتِ الوُجُوْهُ 

(wajah-wajah yang buruk), maka tidak tersisa seorang pun dari mereka saat itu melainkan kedua matanya kemasukan tanah. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:  

انْهَزِمُوْا وَرَبِّ مُحَمَّدٍ 

(kalahlah kalian, demi Rabb-nya Muhammad), maka mereka pun lari mulai berlarian hingga terpukul mundur.[1] 

Salah seorang pasukan Hawazin sempat mengisahkan, bahwa ketika mereka hendak mencapai Rasûlullâh, tiba-tiba ada sejumlah pria berwajah tampan mencegah menghalangi mereka sembari berseru: “Wajah-wajah yang buruk, mundurlah kalian!” Sehingga mereka pun kalah setelah mendengar ucapan tersebut.[2] 

Terkait dengan kejadian-kejadian terakhir ini, Allâh menurunkan firman-Nya yang berbunyi: 

ثُمَّ أَنْزَلَ اللَّهُ سَكِينَتَهُ عَلَىٰ رَسُولِهِ وَعَلَى الْمُؤْمِنِينَ وَأَنْزَلَ جُنُودًا لَمْ تَرَوْهَا وَعَذَّبَ الَّذِينَ كَفَرُوا ۚ وَذَٰلِكَ جَزَاءُ الْكَافِرِينَ 

"Kemudian Allâh menurunkan ketenangan-Nya kepada Rasul-Nya dan orang-orang beriman. Allâh juga menurunkan bala tentara yang tidak kalian lihat, dan menyiksa orang-orang kafir. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir." [At-Taubah/9:26] 

Setelah itu, ada sejumlah pasukan musuh yang lari ke daerah Authas, yaitu sebuah lembah di perkampungan Bani Hawazin. Maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus pasukan di bawah komando Abu Amir al-Asy’ari Radhiyallahu anhu untuk memerangi mereka. Hingga Abu Amir Radhiyallahu anhu menemui syahid dan komando diambil alih oleh Abu Musa al-Asy’ari Radhiyallahu anhu . Dan melalui komando perang ini Allâh mengalahkan mereka. 

Abu Amir Radhiyallahu anhu sempat berpesan kepada Abu Musa Radhiyallahu anhu agar menyampaikan salamnya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , agar Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memintakan ampun untuknya. Abu Musa Radhiyallahu anhu lantas menyampaikan pesan tersebut kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan kebaikan bagi Abu Amir.[3] 

Ada lagi sejumlah pasukan musuh yang melarikan diri ke sebuah perkebunan korma, namun mereka dikejar oleh pasukan berkuda kaum Muslimin. Sedangkan Bani Tsaqif yang dipimpin oleh Mâlik bin ‘Auf melarikan diri ke Tha’if dan bertahan di dalam benteng mereka di sana. Dari Bani Tsaqif sendiri ada sekitar 70 orang yang tewas.[4] 

Al-Bazzar meriwayatkan, ketika kaum musyrikin terpukul mundur, Duraid ibnush-Shimmah bersama 600 orang pasukannya lari berlindung ke sebuah benteng kecil. Mereka lantas melihat satu batalyon kaum Muslimin, maka Duraid berkata, “Biarkan aku melihatnya,” dan setelah melihatnya, Duraid berkata, “Ini adalah Bani Quzha’ah, kalian tidak perlu takut”. Lalu lewat batalyon berikutnya, dan Duraid berkata, “Ini adalah Bani Sulaim,” kemudian mereka melihat ada seorang penunggang kuda yang datang sendirian dengan mengenakan surban hitam. Duraid pun berkata, “Ini adalah Zubair bin Awwam, dan ia akan melawan kalian dan mengeluarkan kalian dari tempat kalian”. 

Zubair Radhiyallahu anhu lantas menoleh ke arah mereka sembari berseru, “Ada apa mereka berkumpul di situ?” Zubair Radhiyallahu anhu lantas menghampiri mereka dan ia dikejar oleh sejumlah pasukan. Zubair Radhiyallahu anhu kemudian berhasil menewaskan 300 orang dari mereka termasuk Duraid ibnush-Shimmah.[5] 

Selain Zubair bin Awwam Radhiyallahu anhu , jagoan kaum Muslimin lainnya pada hari itu adalah Abu Thalhah al-Anshari Radhiyallahu anhu yang berhasil menewaskan 20 orang musyrikin dan merampas harta mereka seluruhnya. Karena memang pada saat itu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghalalkan setiap Muslim yang membunuh musuhnya untuk mengambil semua harta musuhnya secara langsung. 

Demikian pula Abu Amir al-Asy’ari Radhiyallahu anhu yang sebelum syahid juga berhasil membunuh sembilan bersaudara dari kaum musyrikin. Sedangkan Abu Musa, berhasil membunuh dua bersaudara dari Bani Jusyam bin Mu’awiyah.[6] 

GHANIMAH PERANG HUNAIN 

Ghanimah yang diperoleh kaum muslimin dalam perang ini sangat banyak. Selain mendapatkan berbagai persenjataan dan harta benda, mereka juga mendapatkan tawanan perang berupa anak-anak dan kaum wanita. Jumlah tentara kaum musyrikin yang terjun konon mencapai 20 – 30 ribu personel. Mereka semuanya lari tunggang langgang meninggalkan harta benda dan wanita mereka. Konon jumlah wanita dan anak-anak yang jatuh menjadi tawanan kaum muslimin mencapai 6.000 orang.[7] 

Sedangkan harta bendanya terdiri dari 4.000 uqiyah perak, 24 ribu ekor unta, dan lebih dari 40 ribu ekor kambing.[8] Rasûlullâh lantas memerintahkan agar semua ghanimah tadi ditahan di Ji’ranah hingga beliau kembali dari pengepungan kota Tha’if. 

Salah satu yang jatuh dalam tawanan, adalah Syaima’ binti al-Harits as-Sa’diyyah, saudari sepersusuan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Begitu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenalinya, beliau langsung memuliakannya dan mengembalikannya kepada keluarganya, sebagaimana yang ia inginkan.[9] Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga sempat didatangi oleh Halimah as-Sa’diyah yang pernah menyusuinya, maka beliau memberikan penghormatan kepadanya dengan membentangkan selendang (rida`) beliau dan mendudukkannya di atasnya.[10] 

PENGEPUNGAN BENTENG THA’IF 

Sebagaimana telah disebutkan Bani Tsaqif yang dipimpin oleh Mâlik bin ‘Auf sempat melarikan diri dan bertahan dalam benteng mereka di Tha’if. Rasulullah pun mengerahkan para sahabatnya untuk mengepung dan menaklukkan mereka. Pengepungan berlangsung selama 18 hari.[11]  Selama pengepungan tadi, untuk pertama kalinya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggunakan persenjataan yang lebih canggih, seperti berikut: 

Mak-hul meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggunakan manjaniq saat melawan Bani Tha’if.[12]  Manjaniq merupakan senjata berat yang ampuh untuk menghadapi lawan. Batunya dapat menghancurkan dinding, dan bola apinya dapat membakar rumah dan kamp-kamp pasukan. Senjata jenis ini memerlukan sejumlah pasukan dalam pengoperasiannya. 

Dabbabah 

Senjata berat lain yang dipergunakan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pertama kalinya ialah dabbabah. Bentuknya seperti rumah kecil yang terbuat dari kayu dan berfungsi sebagai perisai terhadap panah-panah musuh. Alat ini dipergunakan saat pasukan pengepung hendak merobohkan dinding benteng. Karena bila mereka masuk ke dalamnya, atapnya akan melindungi mereka dari panah-panah musuh. 

Ranjau Duri 

Senjata baru berikutnya ialah ranjau duri yang berfungsi sebagai alat pertahanan permanen. Ranjau ini adalah ranting tanaman sa’dan yang berduri mencuat ke tiga arah. Bila disebar di permukaan tanah, ada sebagian duri yang mencuat ke atas sehingga dapat menghalagi laju pasukan berkuda yang melewatinya. Ibnu Sa’ad menyebutkan, dalam perang Tha’if, “kaum Muslimin menciptakan ranjau tadi dari ranting-ranting” lalu menyebarkannya di sekeliling benteng musuh.[13] 

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga sempat memerintahkan agar kaum Muslimin memotong dan membakar kebun anggur musuh, setelah ada salah seorang pasukan kaum Muslimin terbunuh akibat tembakan panah musuh. Setelah terjadi penebangan besar-besaran terhadap tanaman anggur mereka, pihak musuh memelas kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar menyisakannya demi Allah k dan demi hubungan rahim antara mereka dengan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab, “Aku akan menyisakannya demi Allâh dan demi hubungan rahim”. 

Beliau lantas menyuruh seorang penyeru agar mengumumkan bahwa setiap budak yang keluar dari benteng dan menghadap kami, maka ia menjadi orang merdeka.[14] Usai seruan tersebut, keluarlah sekian belas orang budak dari benteng tersebut dan mendatangi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Salah satunya adalah Abu Bakrah Radhiyallahu anhu . Hal ini menciutkan nyali warga Tha’if, namun Allâh k belum juga menakdirkan kemenangan atas Rasul-Nya.[15] 

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian meminta pendapat kepada Naufal bin Mu’awiyah ad-Diliy tentang langkah selanjutnya. Naufal menjawab, “Mereka ibarat musang yang bersembunyi di balik batu. Jika engkau menunggunya, maka engkau dapat menangkapnya. Namun jika engkau tinggalkan, ia takkan mengganggumu”. 

Mendengar jawaban Naufal, maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu agar mengumumkan bahwa beliau hendak berangkat pulang. 
Mendengar pengumuman tersebut, kaum muslimin heboh yang mengatakan, “Apa kita akan pulang sebelum Tha’if kita taklukkan?” 

Mendengar jawaban tersebut, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menimpali, “Kalau begitu, majulah serang mereka!”  Maka mereka pun maju menyerang dan banyak di antara mereka yang terluka. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengumumkan kembali bahwa beliau akan pulang, dan kaum Muslimin gembira mendengarnya. Mereka tak memprotes lagi keputusan tersebut dan segera menyiapkan pelana masing-masing. Melihat sikap mereka tersebut Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa. Lantas memerintahkan mereka agar berseru: 

لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَهَزَمَ الأَحْزَابَ وَحْدَهُ 

"Tiada ilah selain Allâh semata. Dialah yang menepati janji-Nya, menolong hamba-Nya, dan mengalahkan pasukan Ahzab sedirian." 

Ketika pasukan mulai bergerak, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh mereka agar berseru: 

آيِبُونَ تَائِبُونَ لِرَبِّنَا حَامِدُونَ 

"Kami kembali, bertaubat, dan senantiasa memuji Rabb kami."[16] 

Lalu ada seseorang yang mengusulkan kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,”Wahai Rasûlullâh, doakan agar Bani Tsaqif celaka!” tetapi Rasûlullâh menyambutnya dengan berdoa: “Ya Allâh, berilah hidayah kepada Bani Tsaqif, dan datangkan mereka kepadaku”.[17] 

Dari berbagai peristiwa di atas, dapat diambil beberapa faidah sebagai berikut: 

  1. Pengagungan Rasûlullâh yang luar biasa terhadap permintaan yang mengatasnamakan Allâh dan hubungan rahim. 
  2. Boleh membumihanguskan cadangan logistik musuh untuk memaksa mereka agar menyerah. 
  3. Jihad merupakan sarana dan bukan tujuan akhir. Oleh karenanya, ketika musuh yang bertahan dalam bentengnya dianggap tidak lagi membahayakan Islam dan kaum muslimin, maka Rasulullah meninggalkan mereka. 
  4. Sifat pengasih Rasûlullâh yang luar biasa, karena beliau tidak mendoakan kecelakaan atas Bani Tsaqif, namun justru mendoakan agar mereka mendapat hidayah. D
  5. Dianjurkan melancarkan perang urat syaraf terhadap musuh, seperti dengan menjanjikan hadiah tertentu bagi musuh yang menyerah dan keluar dari bentengnya. Demikian pula dengan membakar sumber logistik mereka dalam keadaan terpaksa. 
  6. Pemakaian dabbabah, manjaniq, dan ranjau duri pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan bahwa dalam perang sekalipun, seorang komandan tidak semestinya melakukan serangan tanpa memperhitungkan untung rugi. Hendaklah ia berusaha meminimalkan jatuhnya korban jiwa, baik dengan menggunakan senjata-senjata yang lebih canggih, atau dengan siasat perang yang tepat. 
_______ 
Footnote 

[1] HR Muslim, no 1775 dan 1777. 

[2] Diriwayatkan secara mu’allaq oleh Ibnu Ishaq. Lihat Sirah Ibnu Hisyam, 4/124. 

[3] HR Bukhâri (no 4323) dan Muslim (no 2498). 

[4] HR Baihaqi dalam Dala-ilun-Nubuwwah, 5/142. 

[5] Lihat Fathul-Bâri (8/42) dan Ibnu Hajar menghasankan sanadnya. 

[6] Disebutkan oleh Ibnu Hisyam dalam Sirah-nya (4/145) dengan sanad terputus. 

[7] Diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq secara mu’allaq. Lihat Sirah Ibn Hisyam, 4/183. 

[8] Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad secara mu’allaq. Lihat Thabaqat, 2/152. 

[9] Diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq dengan sanad terputus. Lihat Sirah Ibn Hisyam, 4/144. 

[10] HR Abu Dawud (no 5144-5145), al-Hakim (3/618) dan al-Hakim menshahîhkannya. 

[11] Ibnu Sa’ad dalam Thabaqat-nya, 2/158. 

[12] HR Tirmidzi (no 2912) dan Ibnu Sa’ad dalam Thabaqat-nya (2/158). 

[13] Ibnu Sa’ad dalam Thabaqat-nya, 2/158.

[14] Idem. 

[15] Idem. 

[16] Idem, 2/159. 

[17] HR Tirmidzi dan Ahmad dan Ibnu Sa’ad dari tiga jalur yang kesemuanya dha’if. Lihat Marwiyyat Ghazwati Hunain, 1/342-343.