Imam Ali bin Abi Thalib adalah khalifah rasyid yang keempat. Keutamaan dan keistimewaannya adalah sesuatu yang tidak diragukan lagi kecuali oleh orang-orang Khawarij (Ibnu Muljam dan komplotannya) yang lancang memerangi bahkan menumpahkan darahnya.
Berbeda dengan tiga khalifah sebelumnya, dimana sebagian orang terjebak dalam kesalahan dengan merendahkan kedudukan mereka, Ali bin Abi Thalib sebaliknya, orang-orang terjebak dalam kekeliruan, penyimpangan dan kesesatan bahkan kekufuran karena berlebih-lebihan dalam mengagungkannya. Sebagaimana Abdullah bin Saba dan orang-orang yang mengikutinya.
Suwaid bin Ghafalah datang menemui Ali radlhiallaahu ’anhu di masa kepemimpinannya. Lalu Suwaid berkata, “Aku melewati sekelompok orang menyebut-nyebut Abu Bakr dan Umar (dengan kejelekan). Mereka berpandangan bahwa engkau juga menyembunyikan perasaan seperti itu kepada mereka berdua. Di antara mereka adalah Abdullah bin Saba dan dialah orang pertama yang mengampanyekan hal tersebut’. Ali menjawab, “Aku berlindung kepada Allah menyembunyikan sesuatu terhadap mereka berdua kecuali kebaikan”. Kemudian beliau mengirim utusan kepada Abdullah bin Saba dan mengusirnya ke al-Madain. Ia juga berkata, “Jangan sampai engkau tinggal satu negeri bersamaku selamanya”. Kemudian ia berdiri menuju mimbar dan orang-orang pun berkumpul… …Ali berkata, “Ketahuilah, jangan pernah sampai kepadaku dari seorang pun yang mengutamakan aku dari mereka berdua melainkan aku akan mencambuknya sebagai hukuman untuk orang yang berbuat dusta.”
Ali bin Abi Thalib mengatakan, “Sesungguhnya mengikuti hawa nafsu menghalangi dapat seseorang dari kebenaran dan panjangan angan-angan dapat membuatnya lupa akhirat.”
Nasabnya
Ali bin Abi Thalib bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdu Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin an-Nadhar bin Kinanah. Rasulullah memberinya kun-yah Abu Turab. Ia adalah sepupu sekaligus menantu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ibunya bernama Fathimah binti Asad bin Hasyim bin Qushay bin Kilab. Ali memiliki beberapa orang saudara laki-laki yang lebih tua darinya, mereka adalah: Thalib, Aqil, dan Ja’far. Dan dua orang saudara perempuan; Ummu Hani’ dan Jumanah.
Ayahnya, Abu Thalib yang nama aslinya adalah Abdu Manaf. Abu Thalib adalah paman kandung Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sangat menyayangi Nabi, namun ia wafat dalam agama jahiliyah.
Sifat Fisiknya
Ali bin Abi Thalib adalah laki-laki berkulit sawo matang, bola mata beliau besar dan agak kemerah-merahan. Untuk ukuran orang Arab, beliau termasuk pendek, tidak tinggi dan berjanggut lebat. Dada dan kedua pundaknya putih. Rambut di dada dan pundaknya cukup lebat, berwajah tampan, memiliki gigi yang rapi, dan ringan langkahnya (ath-Thabaqat al-Kubra, 3: 25)
Keutamaan Ali bin Abi Thalib
– Termasuk Seseorang Yang Dijamin Surga
Dalam sebuah hadis, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Abu Bakar di surga, Umar di surga, Utsman di surga, Ali di surga, Thalhah di surga, az-Zubair di surga, Sa’ad (bin Abi Waqqash) di surga, Sa’id (bin Zaid) di surga, Abdurrahman bin Auf di surga, Abu Ubaidah bin al-Jarrah di surga.” (HR. at-Tirmidzi dan dishahihkan oleh Syaikh Albani).
– Rasulullah Mengumumkan di Khalayak Bahwa Allah dan Rasul-Nya Mencintai Ali
Saat Perang Khaibar, Rasulullah hendak memberikan bendera komando perang kepada seseorang. Diriwayatkan dari Sahl bin Sa’adi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Demi Allah, akan aku serahkan bendera ini esok hari kepada orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya dan dia dicintai Allah dan Rasul-Nya. Semoga Allah memberikan kemenangan melalui dirinya.” Maka semalam suntuk orang-orang (para sahabat) membicarakan tentang siapakah di antara mereka yang akan diberikan bendera tersebut. Keesokan harinya, para sahabat mendatangi Rasulullah, lalu beliau bersabda, “Dimanakah Ali bin Abi Thalib?” Dijawab, “Kedua matanya sedang sakit.” Rasulullah memerintahkan, “Panggil dan bawa dia kemari.” Dibawalah Ali ke hadapan Rasulullah, lalu beliau meludahi kedua matanya yang sakit seraya berdoa untuknya. Seketika Ali sembuh total seolah-olah tidak tertimpa sakit sebelumnya. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerahkan bendera kepadanya. Lalu Ali berkata, “Wahai Rasulullah, aku memerangi mereka sampai mereka menjadi seperti kita.” Rasululah bersabda, “Majulah dengan tenang, sampai engkau tiba di tempat mereka. Kemudian ajaklah mereka kepada Islam dan sampaikanlah hak-hak Allah yang wajib mereka tunaikan. Demi Allah, sekiranya Allah member petunjuk kepada seseorang melalui dirimu, sungguh lebih berharga bagimu daripada memiliki onta-onta merah.” (HR. Muslim no. 4205).
– Kedudukan Ali di Sisi Rasulullah
Ibrahim bin Saad bin Abi Waqqash meriwayatkan dari ayahnya, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda kepada Ali, “Apakah engkau tidak ridha kedudukanmu di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa.” (Muttafaq ‘alaihi).
Hadis ini Rasulullah sampaikan kepada Ali saat beliau tidak menyertakan Ali bin Abi Thalib dalam pasukan Perang Tabuk. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya agar menjadi wakil beliau di kota Madinah. Ali yang merasa tidak nyaman hanya tinggal bersama wanita, anak-anak, dan orang tua yang udzur tidak ikut perang dihibur Rasulullah dengan sabda beliau di atas.
Sa’d bin Abi Waqqash radlhiallahu ‘anhu membawakan hadits semisal dalam ash-Shahihain:
عن سعد بن أبي وقاص قال خلف رسول الله صلى الله عليه وسلم علي بن أبي طالب في غزوة تبوك فقال يا رسول الله تخلفني في النساء والصبيان فقال أما ترضى ان تكون مني بمنزلة هارون من موسى غير انه لا نبي بعدي
Dari Sa’ad bin Abi Waqqash ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberi tugas Ali bin Abi Thalib saat perang Tabuk (untuk menjaga para wanita dan anak-anak di rumah). Ali pun berkata, ‘Wahai Rasulullah, engkau hanya menugasiku untuk menjaga anak-anak dan wanita di rumah ?’ Maka beliau menjawab, ‘Tidakkah engkau rela mendapatkan kedudukan di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada nabi setelahku ?” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari no. 4416 dan Muslim no. 2404).
Hadis ini dipakai oleh orang-orang yang berlebihan dalam mengagungkan Ali bin Abi Thalib sebagai legitimasi bahwa Ali lebih mulia dari Abu Bakar dan Umar. Padahal hadis ini adalah pembelaan Rasulullah terhadap Ali yang dituduh oleh orang-orang munafik bahwa dia merasa berat untuk berangkat perang.
Ali berkata, “Wahai Rasulullah, orang-orang munafik mengatakan bahwa engkau menugaskan aku karena engkau memandang aku berat untuk berangkat jihad dan kemudian memberikan keringanan”. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Mereka telah berdusta! Kembalilah, aku menugaskanmu untuk mengurus keluargaku dan keluargamu. ‘Tidakkah engkau rela mendapatkan kedudukan di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada nabi setelahku?”. Maka Ali pun akhirnya kembali ke Madinah (Taariikhul-Islaam, 1: 232).
Ayah Dari Pemimpin Pemuda Surga
Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu adalah ayah dari dua orang cucu kesayangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yakni Hasan dan Husein. Kedua cucu beliau ini adalah pemimpin para pemuda di surga.
“Demi Dzat yang membelah biji-bijian dan melepaskan angin. Sesungguhnya Nabi telah berjanji kepadaku bahwa tidak ada yang mencintaiku kecuali ia seorang mukmin, dan tidak ada yang membenciku kecuali ia seorang munafik.” (HR. Muslim, no. 249)
Tentu saja, mencintai Ali bukan hanya klaim semata. Mencintainya adalah dengan mengikuti perintahnya, tidak melebih-lebihkannya dari yang semestinya, dan mencintai orang-orang yang ia cintai. Ali mengutamakan Abu Bakar dan Umar atas dirinya, demikian juga semestinya orang-orang yang mengaku mencintainya, mengikuti keyakinannya.
Imam Ali bin Abi Thalib adalah khalifah rasyid yang keempat. Keutamaan dan keistimewaannya adalah sesuatu yang tidak diragukan lagi kecuali oleh orang-orang Khawarij (Ibnu Muljam dan komplotannya) yang lancang memerangi bahkan menumpahkan darahnya.
Berbeda dengan tiga khalifah sebelumnya, dimana sebagian orang terjebak dalam kesalahan dengan merendahkan kedudukan mereka, Ali bin Abi Thalib sebaliknya, orang-orang terjebak dalam kekeliruan, penyimpangan dan kesesatan bahkan kekufuran karena berlebih-lebihan dalam mengagungkannya. Sebagaimana Abdullah bin Saba dan orang-orang yang mengikutinya.
Suwaid bin Ghafalah datang menemui Ali radlhiallaahu ’anhu di masa kepemimpinannya. Lalu Suwaid berkata, “Aku melewati sekelompok orang menyebut-nyebut Abu Bakr dan Umar (dengan kejelekan). Mereka berpandangan bahwa engkau juga menyembunyikan perasaan seperti itu kepada mereka berdua. Di antara mereka adalah Abdullah bin Saba dan dialah orang pertama yang mengampanyekan hal tersebut’. Ali menjawab, “Aku berlindung kepada Allah menyembunyikan sesuatu terhadap mereka berdua kecuali kebaikan”. Kemudian beliau mengirim utusan kepada Abdullah bin Saba dan mengusirnya ke al-Madain. Ia juga berkata, “Jangan sampai engkau tinggal satu negeri bersamaku selamanya”. Kemudian ia berdiri menuju mimbar dan orang-orang pun berkumpul… …Ali berkata, “Ketahuilah, jangan pernah sampai kepadaku dari seorang pun yang mengutamakan aku dari mereka berdua melainkan aku akan mencambuknya sebagai hukuman untuk orang yang berbuat dusta.”
Ali bin Abi Thalib mengatakan, “Sesungguhnya mengikuti hawa nafsu menghalangi dapat seseorang dari kebenaran dan panjangan angan-angan dapat membuatnya lupa akhirat.”
Nasabnya
Ali bin Abi Thalib bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdu Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin an-Nadhar bin Kinanah. Rasulullah memberinya kun-yah Abu Turab. Ia adalah sepupu sekaligus menantu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ibunya bernama Fathimah binti Asad bin Hasyim bin Qushay bin Kilab. Ali memiliki beberapa orang saudara laki-laki yang lebih tua darinya, mereka adalah: Thalib, Aqil, dan Ja’far. Dan dua orang saudara perempuan; Ummu Hani’ dan Jumanah.
Ayahnya, Abu Thalib yang nama aslinya adalah Abdu Manaf. Abu Thalib adalah paman kandung Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sangat menyayangi Nabi, namun ia wafat dalam agama jahiliyah.
Sifat Fisiknya
Ali bin Abi Thalib adalah laki-laki berkulit sawo matang, bola mata beliau besar dan agak kemerah-merahan. Untuk ukuran orang Arab, beliau termasuk pendek, tidak tinggi dan berjanggut lebat. Dada dan kedua pundaknya putih. Rambut di dada dan pundaknya cukup lebat, berwajah tampan, memiliki gigi yang rapi, dan ringan langkahnya (ath-Thabaqat al-Kubra, 3: 25)
Keutamaan Ali bin Abi Thalib
– Termasuk Seseorang Yang Dijamin Surga
Dalam sebuah hadis, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Abu Bakar di surga, Umar di surga, Utsman di surga, Ali di surga, Thalhah di surga, az-Zubair di surga, Sa’ad (bin Abi Waqqash) di surga, Sa’id (bin Zaid) di surga, Abdurrahman bin Auf di surga, Abu Ubaidah bin al-Jarrah di surga.” (HR. at-Tirmidzi dan dishahihkan oleh Syaikh Albani).
– Rasulullah Mengumumkan di Khalayak Bahwa Allah dan Rasul-Nya Mencintai Ali
Saat Perang Khaibar, Rasulullah hendak memberikan bendera komando perang kepada seseorang. Diriwayatkan dari Sahl bin Sa’adi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Demi Allah, akan aku serahkan bendera ini esok hari kepada orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya dan dia dicintai Allah dan Rasul-Nya. Semoga Allah memberikan kemenangan melalui dirinya.” Maka semalam suntuk orang-orang (para sahabat) membicarakan tentang siapakah di antara mereka yang akan diberikan bendera tersebut. Keesokan harinya, para sahabat mendatangi Rasulullah, lalu beliau bersabda, “Dimanakah Ali bin Abi Thalib?” Dijawab, “Kedua matanya sedang sakit.” Rasulullah memerintahkan, “Panggil dan bawa dia kemari.” Dibawalah Ali ke hadapan Rasulullah, lalu beliau meludahi kedua matanya yang sakit seraya berdoa untuknya. Seketika Ali sembuh total seolah-olah tidak tertimpa sakit sebelumnya. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerahkan bendera kepadanya. Lalu Ali berkata, “Wahai Rasulullah, aku memerangi mereka sampai mereka menjadi seperti kita.” Rasululah bersabda, “Majulah dengan tenang, sampai engkau tiba di tempat mereka. Kemudian ajaklah mereka kepada Islam dan sampaikanlah hak-hak Allah yang wajib mereka tunaikan. Demi Allah, sekiranya Allah member petunjuk kepada seseorang melalui dirimu, sungguh lebih berharga bagimu daripada memiliki onta-onta merah.” (HR. Muslim no. 4205).
– Kedudukan Ali di Sisi Rasulullah
Ibrahim bin Saad bin Abi Waqqash meriwayatkan dari ayahnya, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda kepada Ali, “Apakah engkau tidak ridha kedudukanmu di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa.” (Muttafaq ‘alaihi).
Hadis ini Rasulullah sampaikan kepada Ali saat beliau tidak menyertakan Ali bin Abi Thalib dalam pasukan Perang Tabuk. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya agar menjadi wakil beliau di kota Madinah. Ali yang merasa tidak nyaman hanya tinggal bersama wanita, anak-anak, dan orang tua yang udzur tidak ikut perang dihibur Rasulullah dengan sabda beliau di atas.
Sa’d bin Abi Waqqash radlhiallahu ‘anhu membawakan hadits semisal dalam ash-Shahihain:
عن سعد بن أبي وقاص قال خلف رسول الله صلى الله عليه وسلم علي بن أبي طالب في غزوة تبوك فقال يا رسول الله تخلفني في النساء والصبيان فقال أما ترضى ان تكون مني بمنزلة هارون من موسى غير انه لا نبي بعدي
Dari Sa’ad bin Abi Waqqash ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberi tugas Ali bin Abi Thalib saat perang Tabuk (untuk menjaga para wanita dan anak-anak di rumah). Ali pun berkata, ‘Wahai Rasulullah, engkau hanya menugasiku untuk menjaga anak-anak dan wanita di rumah ?’ Maka beliau menjawab, ‘Tidakkah engkau rela mendapatkan kedudukan di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada nabi setelahku ?” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari no. 4416 dan Muslim no. 2404).
Hadis ini dipakai oleh orang-orang yang berlebihan dalam mengagungkan Ali bin Abi Thalib sebagai legitimasi bahwa Ali lebih mulia dari Abu Bakar dan Umar. Padahal hadis ini adalah pembelaan Rasulullah terhadap Ali yang dituduh oleh orang-orang munafik bahwa dia merasa berat untuk berangkat perang.
Ali berkata, “Wahai Rasulullah, orang-orang munafik mengatakan bahwa engkau menugaskan aku karena engkau memandang aku berat untuk berangkat jihad dan kemudian memberikan keringanan”. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Mereka telah berdusta! Kembalilah, aku menugaskanmu untuk mengurus keluargaku dan keluargamu. ‘Tidakkah engkau rela mendapatkan kedudukan di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada nabi setelahku?”. Maka Ali pun akhirnya kembali ke Madinah (Taariikhul-Islaam, 1: 232).
Ayah Dari Pemimpin Pemuda Surga
Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu adalah ayah dari dua orang cucu kesayangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yakni Hasan dan Husein. Kedua cucu beliau ini adalah pemimpin para pemuda di surga.
“Demi Dzat yang membelah biji-bijian dan melepaskan angin. Sesungguhnya Nabi telah berjanji kepadaku bahwa tidak ada yang mencintaiku kecuali ia seorang mukmin, dan tidak ada yang membenciku kecuali ia seorang munafik.” (HR. Muslim, no. 249)
Tentu saja, mencintai Ali bukan hanya klaim semata. Mencintainya adalah dengan mengikuti perintahnya, tidak melebih-lebihkannya dari yang semestinya, dan mencintai orang-orang yang ia cintai. Ali mengutamakan Abu Bakar dan Umar atas dirinya, demikian juga semestinya orang-orang yang mengaku mencintainya, mengikuti keyakinannya.
Ali bin Abi Thalib Mengecam Syiah Yang Mengkhianatinya
Apa Itu Syiah?
Di dalam kamus Lisanul Arab, makna Syiah adalah seseorang yang menyepakati suatu hal. Atau orang-orang yang bersepakat dalam suatu permasalahan. Atau sekelompok orang yang memiliki suatu kesepakatan, mereka mengikuti pendapat seseorang di antara mereka (Lisanul Arab, Harfu asy-Syin: islamweb).
Setelah Amirul Mukminun Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu wafat, umat Islam berbeda pendapat dalam menyikapi para pembunuhnya. Ali berpendapat Muawiyah harus berbaiat kepadanya terlebih dahulu, baru urusan pembunuh Utsman bisa diselesaikan. Sedangkan Muawiyah sebagai keluarga Utsman, menuntut agar para pembunuh sepupunya itu segera diadili. Orang-orang yang sepakat dengan pendapat Ali, disebut Syiahnya Ali. Sedangkan orang-orang yang sepakat dengan Muawiyah disebut Syiahnya Muawiyah. Inilah makna asal dari Syiah. Seiring zaman, Syiah Ali terus berkembang. Bahkan sekarang pendapat mereka tentang Ali sangat ekstrim.
Ali dan Syiahnya
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu mengeluhkan pendukungnya, yaitu penduduk Kufah. Ia berkata, “Umat-umat terdahulu takut terhadap kezhaliman para pemimpinnya. Tapi aku, justru takut akan kezhaliman rakyatku. Aku mengajak kalian untuk berjihad, namun tak ada yang menyambut ajakanku. Aku berbicara pada kalian, tetapi kalian tak mendengarkan. Aku mengajak kalian kepada kebaikan secara rahasia dan terang-terangan, tapi kalian tak menurut. Aku menasihati kalian, tapi kalian tak menerima. Apakah kalian ada? Hakikatnya kalian tak ada. Apakah kalian hamba sahaya? Tapi seolah-olah kalian sebagai majikan.
Aku bacakan hukum pada kalian, namun kalian lari darinya. Aku nasihati kalian dengan nasihat yang bagus, namun kalian lari darinya. Aku ajak kalian berjihad menghadapi para pembelot, tapi belum sempat aku mengakhiri perkataanku, kalian sudah bubar kembali ke tempat kalian. Dan kalian manipulasi nasihat yang diberikan. Aku meluruskan kalian pada pagi hari. Sore harinya kalian kembali padaku dalam keadaan bengkok bak punggung ular. Yang memberi nasihat telah melemah, tapi yang dinasihati makin mengeras.
Wahai orang-orang yang hadir di sini tapi pikirannya entah di mana, yang berbeda-beda keinginannya, dan yang menjadi ujian bagi para pemimpinnya. Teman kalian tunduk kepada Allah. Sedangkan kalian mendruhakai-Nya. Aku sungguh sangat berharap -demi Allah- Muawiyah akan menukar kalian dariku, seperti menukar dinar dengan dirham, dimana dia mengambil dariku sepuluh orang di antara kalian dan memberiku seorang dari mereka.
Wahai penduduk Kufah, aku diuji melalui kalian dengan lima masalah: (1) kalian ini tuli tapi punya pendengaran, (2) bisu tapi bisa berbicara, (3) buta tapi punya penglihatan, (4) pengecut ketika menghadapi peperangan; dan (5) tidak ada teman yang dapat dipercaya ketika mendapat ujian. Celaka kalian! Kalian seperti kawanan unta kehilangan pengembalaannya, jika digiring dari satu sisi dia lari ke sisi yang lain (al-Khamis, Inilah Faktanya Hal: 247-248, mengutip dari Najhul Balaghah 1/187-189).
Tidak hanya sampai di situ, bahkan mereka juga menuduh Ali radhiallahu ‘anhu sebagai pembohong. Syarif ar-Radhi meriwayatkan dari Amirul Mukminin, Ali radhiallahu ‘anhu, ia berkata, “Amma ba’du.. Wahai penduduk Irak! Kalian itu seperti wanita hamil yang ketika kehamilannya telah sempurna ia keguguran, suaminya mati, menjanda dalam waktu yang lama, dan pusakanya diwarisi orang yang hubungan kekeluargaannya sangat jauh dengannya. Demi Allah, aku tidak mendatangi kalian dengan sukarela, tapi aku datang kepada kalian (tinggal di Irak) dengan terpaksa. Aku sudah mendengar bahwa kalian mengatakan bahwa Ali berbohong. Semoga Allah membinasakan kalian. Kepada siapa aku pernah berbohong?” (al-Khamis, Inilah Faktanya Hal: 249, mengutip dari Najhul Balaghah 1/118-119).
Ali radhiallahu ‘anhu juga mengatakan, “Semoga Allah memerangi kalian! Kalian mencemari hatiku dengan nanah, memenuhi dadaku dengan amarah, mencekokiku dengan kesedihan, seteguk demi seteguk, dan kalian merusak pikiranku dengan kedurhakaan dan pengkhianatan.” al-Khamis, Inilah Faktanya Hal: 249, mengutip dari Najhul Balaghah 1/187-189).
Penilaian Para Sahabat Terhadap Syiah Ali
Karena itu, wajar para sahabat khawatir kepada Husein bin Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhuma yang menyambut undangan penduduk Irak.
Pertama: Abdullah bin az-Zubair
Saat Husein bin Ali radhiallahu ‘anhuma hendak berangkat ke Irak, Abdullah bin az-Zubair radhiallahu ‘anhuma berkata padanya, “Engkau hendak pergi ke mana? Apakah engkau ingin pergi ke tempat kaum yang telah membunuh ayah dan saudaramu? Janganlah engkau pergi.” (al-Khamis, Inilah Faktanya Hal: 236, mengutip dari al-Bidayah wa an-Nihayah, 8/163).
Kedua: Abu Said al-Khudri
Ia berkata, “Wahai Abu Abdullah (kunyah Husein), aku ingin menasihatimu, dan aku benar-benar menyayangi kalian (ahlul bait). Aku sudah mendengar kabar bahwa sekelompok Syiahmu di Kufah telah menyuratimu dan mengajakmu untuk pergi ke tempat mereka. Padahal aku telah mendengar ayahmu berkata, ‘Demi Allah, aku telah bosan dan marah kepada mereka. Mereka pun telah marah dan bosan padaku. Mereka sama sekali tidak pernah menepati janji. Siapa saja yang mendapat dukungan mereka, maka dia telah mendapatkan anak panah yang tumpul. Demi Allah, mereka sama sekali tak mempunyai niat dan tekad untuk membela suatu urusan. Mereka juga sama sekali tidak mempunyai kesabaran dalam peperangan’.” (al-Khamis, Inilah Faktanya Hal: 236, mengutip dari al-Bidayah wa an-Nihayah, 8/163).
Pendapat Ulama Syiah
Pertama: Murtadha al-Muthahhari
Ia berkata, “Tidak diragukan lagi bahwa penduduk Kufah (Irak) adalah pendukung Ali dan yang membunuh Imam al-Husein adalah pendukungnya (Syiahnya) sendiri.” (al-Khamis, Inilah Faktanya Hal: 255, mengutip dari al-Malhamatul Husainiyah, 1/129).
Kedua: Kadzim al-Ihsa-i an-Najafi
Ia berkata, “Pasukan yang keluar untuk memerangi Imam al-Husein berjumlah tiga ratus ribu orang. Semuanya penduduk Kufah. Tidak ada orang Syam (Syiah nya Muawiyah), Hijaz, India, Pakistan, Sudan, Mesir, dan Afrika di antara mereka. Mereka semua adalah orang Kufah yang berkumpul dari berbagai daerah.” (al-Khamis, Inilah Faktanya Hal: 255, mengutip dari Asyura, Hal: 89).
Ketiga: Husein bin Ahmad al-Baraqi an-Najafi
Mengutip ucapan al-Qazwini: “Di antara perbuatan sangat keji yang dilakukan orang-orang kufah adalah mereka menusuh al-Hasan bin Ali dan membunuh al-Husein setelah mereka mengundangnya.” (al-Khamis, Inilah Faktanya Hal: 255, mengutip dari Tarikhul Kufah, Hal: 113).
Keempat: Muhsin al-Amin
Ia mengatakan, “Ada dua puluh ribu orang penduduk yang membaiat al-Husein dan mengkhianatinya, lalu memeranginya. Padahal, baiat itu masih mereka pegang. Hingga akhirnya mereka membunuhnya.” (al-Khamis, Inilah Faktanya Hal: 255, mengutip dari A’yanusy Syiah, 1/26).
Seorang ulama Syiah, ath-Thusi, memasukkan Ubaidullah bin Ziyad dalam sahabat-sahabat ali bin Abi Thalib. (al-Khamis, Inilah Faktanya Hal: 255, mengutip dari Rijal ath-Thusi, Hal: 54. Terbitan al-Matba’ah al-Haidariyyah, Najaf, 1961 M, dengna tahqiq Muhammad Shadiq Bahrul Ulum).
Ulama Syiah yang lain, An-Nazimi asy-Syahrudi, mengomentari Syamr bin Dzul Jausyan (orang yang memerintahkan pasukan untuk membunuh Husein): “Pada Perang Shiffin, ia berada di dalam barisan pasukan Amirul Mukmin Ali bin Abu Thalib.” (al-Khamis, Inilah Faktanya Hal: 255, mengutip dari Mustadrakat Ilm Rijalul Hadits karya al-Allamah an-Nazimi asy-Syahrudi, 6/220 bagian ke-6899, terbitan Mu-assasah an-Nasyr al-Islami, Qumm, 1425 H).
Sumber:
– al-Khamis, Utsman bin Muhammad. 2012. Huqbah min at-Tarikh, Terj. Inilah Faktanya. Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi’i.
Ali bin Abi Thalib Mengecam Syiah Yang Mengkhianatinya
Apa Itu Syiah?
Di dalam kamus Lisanul Arab, makna Syiah adalah seseorang yang menyepakati suatu hal. Atau orang-orang yang bersepakat dalam suatu permasalahan. Atau sekelompok orang yang memiliki suatu kesepakatan, mereka mengikuti pendapat seseorang di antara mereka (Lisanul Arab, Harfu asy-Syin: islamweb).
Setelah Amirul Mukminun Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu wafat, umat Islam berbeda pendapat dalam menyikapi para pembunuhnya. Ali berpendapat Muawiyah harus berbaiat kepadanya terlebih dahulu, baru urusan pembunuh Utsman bisa diselesaikan. Sedangkan Muawiyah sebagai keluarga Utsman, menuntut agar para pembunuh sepupunya itu segera diadili. Orang-orang yang sepakat dengan pendapat Ali, disebut Syiahnya Ali. Sedangkan orang-orang yang sepakat dengan Muawiyah disebut Syiahnya Muawiyah. Inilah makna asal dari Syiah. Seiring zaman, Syiah Ali terus berkembang. Bahkan sekarang pendapat mereka tentang Ali sangat ekstrim.
Ali dan Syiahnya
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu mengeluhkan pendukungnya, yaitu penduduk Kufah. Ia berkata, “Umat-umat terdahulu takut terhadap kezhaliman para pemimpinnya. Tapi aku, justru takut akan kezhaliman rakyatku. Aku mengajak kalian untuk berjihad, namun tak ada yang menyambut ajakanku. Aku berbicara pada kalian, tetapi kalian tak mendengarkan. Aku mengajak kalian kepada kebaikan secara rahasia dan terang-terangan, tapi kalian tak menurut. Aku menasihati kalian, tapi kalian tak menerima. Apakah kalian ada? Hakikatnya kalian tak ada. Apakah kalian hamba sahaya? Tapi seolah-olah kalian sebagai majikan.
Aku bacakan hukum pada kalian, namun kalian lari darinya. Aku nasihati kalian dengan nasihat yang bagus, namun kalian lari darinya. Aku ajak kalian berjihad menghadapi para pembelot, tapi belum sempat aku mengakhiri perkataanku, kalian sudah bubar kembali ke tempat kalian. Dan kalian manipulasi nasihat yang diberikan. Aku meluruskan kalian pada pagi hari. Sore harinya kalian kembali padaku dalam keadaan bengkok bak punggung ular. Yang memberi nasihat telah melemah, tapi yang dinasihati makin mengeras.
Wahai orang-orang yang hadir di sini tapi pikirannya entah di mana, yang berbeda-beda keinginannya, dan yang menjadi ujian bagi para pemimpinnya. Teman kalian tunduk kepada Allah. Sedangkan kalian mendruhakai-Nya. Aku sungguh sangat berharap -demi Allah- Muawiyah akan menukar kalian dariku, seperti menukar dinar dengan dirham, dimana dia mengambil dariku sepuluh orang di antara kalian dan memberiku seorang dari mereka.
Wahai penduduk Kufah, aku diuji melalui kalian dengan lima masalah: (1) kalian ini tuli tapi punya pendengaran, (2) bisu tapi bisa berbicara, (3) buta tapi punya penglihatan, (4) pengecut ketika menghadapi peperangan; dan (5) tidak ada teman yang dapat dipercaya ketika mendapat ujian. Celaka kalian! Kalian seperti kawanan unta kehilangan pengembalaannya, jika digiring dari satu sisi dia lari ke sisi yang lain (al-Khamis, Inilah Faktanya Hal: 247-248, mengutip dari Najhul Balaghah 1/187-189).
Tidak hanya sampai di situ, bahkan mereka juga menuduh Ali radhiallahu ‘anhu sebagai pembohong. Syarif ar-Radhi meriwayatkan dari Amirul Mukminin, Ali radhiallahu ‘anhu, ia berkata, “Amma ba’du.. Wahai penduduk Irak! Kalian itu seperti wanita hamil yang ketika kehamilannya telah sempurna ia keguguran, suaminya mati, menjanda dalam waktu yang lama, dan pusakanya diwarisi orang yang hubungan kekeluargaannya sangat jauh dengannya. Demi Allah, aku tidak mendatangi kalian dengan sukarela, tapi aku datang kepada kalian (tinggal di Irak) dengan terpaksa. Aku sudah mendengar bahwa kalian mengatakan bahwa Ali berbohong. Semoga Allah membinasakan kalian. Kepada siapa aku pernah berbohong?” (al-Khamis, Inilah Faktanya Hal: 249, mengutip dari Najhul Balaghah 1/118-119).
Ali radhiallahu ‘anhu juga mengatakan, “Semoga Allah memerangi kalian! Kalian mencemari hatiku dengan nanah, memenuhi dadaku dengan amarah, mencekokiku dengan kesedihan, seteguk demi seteguk, dan kalian merusak pikiranku dengan kedurhakaan dan pengkhianatan.” al-Khamis, Inilah Faktanya Hal: 249, mengutip dari Najhul Balaghah 1/187-189).
Penilaian Para Sahabat Terhadap Syiah Ali
Karena itu, wajar para sahabat khawatir kepada Husein bin Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhuma yang menyambut undangan penduduk Irak.
Pertama: Abdullah bin az-Zubair
Saat Husein bin Ali radhiallahu ‘anhuma hendak berangkat ke Irak, Abdullah bin az-Zubair radhiallahu ‘anhuma berkata padanya, “Engkau hendak pergi ke mana? Apakah engkau ingin pergi ke tempat kaum yang telah membunuh ayah dan saudaramu? Janganlah engkau pergi.” (al-Khamis, Inilah Faktanya Hal: 236, mengutip dari al-Bidayah wa an-Nihayah, 8/163).
Kedua: Abu Said al-Khudri
Ia berkata, “Wahai Abu Abdullah (kunyah Husein), aku ingin menasihatimu, dan aku benar-benar menyayangi kalian (ahlul bait). Aku sudah mendengar kabar bahwa sekelompok Syiahmu di Kufah telah menyuratimu dan mengajakmu untuk pergi ke tempat mereka. Padahal aku telah mendengar ayahmu berkata, ‘Demi Allah, aku telah bosan dan marah kepada mereka. Mereka pun telah marah dan bosan padaku. Mereka sama sekali tidak pernah menepati janji. Siapa saja yang mendapat dukungan mereka, maka dia telah mendapatkan anak panah yang tumpul. Demi Allah, mereka sama sekali tak mempunyai niat dan tekad untuk membela suatu urusan. Mereka juga sama sekali tidak mempunyai kesabaran dalam peperangan’.” (al-Khamis, Inilah Faktanya Hal: 236, mengutip dari al-Bidayah wa an-Nihayah, 8/163).
Pendapat Ulama Syiah
Pertama: Murtadha al-Muthahhari
Ia berkata, “Tidak diragukan lagi bahwa penduduk Kufah (Irak) adalah pendukung Ali dan yang membunuh Imam al-Husein adalah pendukungnya (Syiahnya) sendiri.” (al-Khamis, Inilah Faktanya Hal: 255, mengutip dari al-Malhamatul Husainiyah, 1/129).
Kedua: Kadzim al-Ihsa-i an-Najafi
Ia berkata, “Pasukan yang keluar untuk memerangi Imam al-Husein berjumlah tiga ratus ribu orang. Semuanya penduduk Kufah. Tidak ada orang Syam (Syiah nya Muawiyah), Hijaz, India, Pakistan, Sudan, Mesir, dan Afrika di antara mereka. Mereka semua adalah orang Kufah yang berkumpul dari berbagai daerah.” (al-Khamis, Inilah Faktanya Hal: 255, mengutip dari Asyura, Hal: 89).
Ketiga: Husein bin Ahmad al-Baraqi an-Najafi
Mengutip ucapan al-Qazwini: “Di antara perbuatan sangat keji yang dilakukan orang-orang kufah adalah mereka menusuh al-Hasan bin Ali dan membunuh al-Husein setelah mereka mengundangnya.” (al-Khamis, Inilah Faktanya Hal: 255, mengutip dari Tarikhul Kufah, Hal: 113).
Keempat: Muhsin al-Amin
Ia mengatakan, “Ada dua puluh ribu orang penduduk yang membaiat al-Husein dan mengkhianatinya, lalu memeranginya. Padahal, baiat itu masih mereka pegang. Hingga akhirnya mereka membunuhnya.” (al-Khamis, Inilah Faktanya Hal: 255, mengutip dari A’yanusy Syiah, 1/26).
Seorang ulama Syiah, ath-Thusi, memasukkan Ubaidullah bin Ziyad dalam sahabat-sahabat ali bin Abi Thalib. (al-Khamis, Inilah Faktanya Hal: 255, mengutip dari Rijal ath-Thusi, Hal: 54. Terbitan al-Matba’ah al-Haidariyyah, Najaf, 1961 M, dengna tahqiq Muhammad Shadiq Bahrul Ulum).
Ulama Syiah yang lain, An-Nazimi asy-Syahrudi, mengomentari Syamr bin Dzul Jausyan (orang yang memerintahkan pasukan untuk membunuh Husein): “Pada Perang Shiffin, ia berada di dalam barisan pasukan Amirul Mukmin Ali bin Abu Thalib.” (al-Khamis, Inilah Faktanya Hal: 255, mengutip dari Mustadrakat Ilm Rijalul Hadits karya al-Allamah an-Nazimi asy-Syahrudi, 6/220 bagian ke-6899, terbitan Mu-assasah an-Nasyr al-Islami, Qumm, 1425 H).
Sumber:
– al-Khamis, Utsman bin Muhammad. 2012. Huqbah min at-Tarikh, Terj. Inilah Faktanya. Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi’i.
17 Ramadhan: Peristiwa Pembunuhan Ali bin Abu Thalib
Langkah berani dan tegas Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib memerangi orang-orang Khawarij di Nahrawan menimbulkan dendam di kalangan para pemberontak ini. Sampai akhirnya muncullah peristiwa yang mengantarkan sepupu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini menyandang syahid di akhir hayat.
Ibnu Jarir dan sejarawan lainnya mengisahkan, ada tiga orang Khawarij berkumpul. Mereka adalah Abdurrahman bin Amr. Yang dikenal dengan Ibnu Muljam. Al-Barrak bin Abdullah. Dan Amr bin Bakr. Mereka bercerita, mengenang teman-teman mereka di Nahrawan. Salah seorang di antara mereka berkata, “Apa yang kita lakukan sepeninggal mereka? Mereka adalah sebaik-baik manusia. Yang paling banyak shalatnya. Mengajak manusia kepada Allah. Tidak takut cemoohan orang-orang yang mencela dalam menegakkan agama Allah. Bagaimana kalau kita tebus dengan mendatangi pemimpin-pemimpin yang sesat itu. Kemudian kita bunuh mereka. Sehingga kita membebaskan negara dari kejahatan mereka. Dan kita balaskan kematian teman-teman kita.”
Ibnu Muljam berkata, “Aku akan menghabisi Ali bin Abu Thalib.”
al-Barrak bin Abdullah menyambut, “Aku akan membunuh Muawiyah bin Abu Sufyan.”
Dan Amr bin Bakr berkata, “Aku yang menghabisi Amr bin al-Ash.”
Mereka berikrar. Mengikat perjanjian untuk tidak mundur dari rencana busuk itu sampai masing-masing berhasil membunuh targetnya atau terbunuh dalam misi tersebut. Mereka hunuskan pedang sambil menyebut nama-nama target masing-masing. Operasi pembunuhan ini akan dilaksanakan pada 17 Ramadhan 40 H. Berangkatlah tiga orang celaka ini menuju para sahabat yang mulia itu.
Ibnu Muljam berangkat ke Kufah. Di sana ia menyembunyikan identitasnya. Sampai pun kepada pemberontak yang dulu turut bersamanya di Perang Nahrawan. Saat itu pula hadir seorang wanita cantik, yang ayah dan kakaknya tewas oleh pasukan Ali di Nahrawan. Namanya Qathami. Ibnu Muljam mencoba meminangnya. Qathami mau menerima pinangan itu dengan beberapa syarat. Yaitu: mahar tiga ribu dirham, seorang pembantu, budak wanita, dan membunuh Ali bin Abu Thalib. Ibnu Muljam berkata, “Engkau pasti mendapatkan persyaratanmu itu. Demi Allah, aku datang ke kota ini memang untuk tujuan membunuh Ali.”
Semakin dekatlah hari dimana Ibnu Muljam hendak melaksanakan misinya. Istrinya menyertakan laki-laki dari kaumnya yang bernama Wardan untuk melindungi suaminya. Kemudian Ibnu Muljam merekrut Syabib bin Barjah yang juga merupakan veteran Perang Nahrawan. Awalnya Syabib menolak karena kedudukan Ali bin Abu Thalib. Tapi ia berteman dengan orang yang salah. Ibnu Muljam berhasil membujuknya. Menumpahkan darah laki-laki shaleh dan ahlul bait Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Masuklah bulan Ramadhan. Ibnu Muljam menginstruksikan misi akan dilaksanakan pada tanggal 17 Ramadhan. “Malam itulah aku membuat kesepatakan dengan teman-temanku untuk membunuh target masing-masing,” kata Ibnu Muljam.
Komplotan Ibnu Muljam bergerak. Ketiganya menghunuskan pedang. Bersembunyi di pintu yang menjadi tempat kebiasaan Ali keluar. Saat keluar, Ali berteriak membangunkan masyarakat, “Shalat!!.. Shalat!!..” Saat itulah dengan cepat Syabib menyabetkan pedangnya ke leher Ali. Dan Ibnu Muljam menimpalinya dengan membacok kepala sahabat yang mulia ini. Darah Ali mengucur membasahi janggutnya. Ibnu Muljam berkata, “Tidak ada hukum kecuali milik Allah. Bukan milikmu dan bukan milik teman-temanmu, hai Ali!” Ia membaca ayat:
“Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.” [Quran Al-Baqarah: 207].
Ali berteriak, “Tangkap mereka!”
Wardan terbunuh dalam pengejaran. Sementara Syabib berhasil meloloskan diri. Dan Ibnu Muljam tertangkap.
Akhirnya, Ali bin Abu Thalib menghembuskan nafas terakhir pada 21 Ramadhan 40 H.
Di tempat lain, Al-Barrak menyabet Muawiyah yang sedang mengimami shalat subuh. Muawiyah terluka. Tapi serangan itu tak sampai membunuhnya. Sementara Amr bin Bakr salah dalam targetnya. Pada hari itu, Amr tidak bisa mengimami shalat karena sedang diare. Imam penggantinya, Kharijah bin Abu Habib pun terbunuh. Ketiga Khawarij ini berhasil ditangkap dan dihukum mati.
Tentu banyak pelajaran dari kisah ini. Tapi, kami menyengajakan untuk tidak berpanjang-panjang dalam rentetan peristiwa sejarah di bulan Ramadhan ini.
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: Wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). (QS. Ali Imran: 14).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidaklah aku tinggalkan sepeninggalku fitnah (cobaan) yang lebih berbahaya bagi kaum laki-laki daripada (fitnah) wanita.” (Muttafaq ‘alaihi).
Ibnu Muljam dan Wanita Cantik berpaham Khawarij
Dan masyahur di kalangan umat ini tentang sebuah golongan yang banyak menimbulkan kekacaun negeri, mereka adalah golongan khawarij. Golongan ini muncul pertama kali pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam ketika dalam peristiwa pembagian harta ghanimah pada perang Hunain. Dan datanglah seorang lelaki datang kepada Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dan langsung serta merta mengatakan, “Berbuat adillah hai Muhammad!!” Maka nabi shallallahu ‘alahi wa sallam menjawab,” Dan celakalah, Siapa yang bisa berbuat adil, Selain keadilanku.”
Pesatnya paham ini ketika masa pemerintahan khalifah Ali radhiallahu ‘anhu ketika terjadi perang siffin. Mereka menyempal dari barisan pasukan Ali dengan alasan Ali telah berbuat maksiat kepada Allah..
Setelah kejadian itu mereka meninggalkan bashrah menuju ke suatu daerah yang bernama Harura’. Sehingga kaum khawarij ini dinamakan juga dengan haruriyun/haruriyah. Kemudian Imam Ali memerangi mereka dalam perang An-Nahrawan, dan mereka berhasil dikalahkan.
Telah disebutkan oleh ibnu Faraj Al-Jauzi rahimahullah ta’ala dalam kitab Dzamulhawa :
Siapa yang tidak kenal dengan Pembunuh masyhur ini, dialah Abdurrahman ibnu Muljam sang pembunuh khalifah Ali radhiallahu ‘anhu.
Abdurrahman ibnu Muljam dulunya seorang ahlussunnah, fasih dalam Alquran, dan taat menjalankan agama. Dia di utus oleh khalifah Umar bin Khatab radhiallahu ‘anhu ke Mesir untuk mengajar penduduknya.
Diceritakan, suatu ketika Abdurrahman bin Muljam melihat wanita dari Taim Ar-Rabbab yang biasa dipanggil Qatham. Ia merupakan wanita yang paling cantik, tetapi berpaham khawarij. Kaum wanita tersebut telah dibunuh karena mengikuti paham khawarij pada perang An-Nahrawan.
Ketika Ibnu Muljam melihatnya, dia jatuh cinta padanya lalu melamarnya. Wanita ini mengatakan, “Aku tidak menikah denganmu kecuali dengan syarat mahar 3000 dinar dan membunuh Ali bin Abi Thalib”. Akhirnya, dia menikahinya dengan syarat tersebut. Ketika telah bersua dengannya, wanita ini berkata, “Hai! Kamu telah menyelesaikan (hajatmu). Pergilah!” Ia pun keluar dengan menyandang senjatanya, dan Qatham juga keluar. Lalu, Qatham memasangkan peci kepadanya di masjid. Ketika ‘Ali keluar sambil menyerukan, “Shalat! shalat!”, Ibnu Muljam mengikutinya dari belakang lalu menebasnya dengan pedang pada batok kepalanya.
Tentang hal ini, seorang penyair berkata,
لم أر مهرا ساقه ذو سماحة … كمهر قطام بيننا غير معجم
ثلاثة آلاف وعبد وقينة … وقتل علي بالحسام المصمم
فلا مهر أغلى من علي وإن غلا … ولافتك إلا دون فتك ابن ملجم
Aku tidak melihat mahar yang dibawa oleh orang yang punya kehormatan
Seperti mahar Qatham yang sedemikian jelas tidak samar
Mahar 3000 dinar, hamba sahaya, biduanita
Dan membunuh ‘Ali dengan pedang yang tajam
Tidak ada mahar yang lebih mahal dari Ali meskipun berlebihan
Tidak ada kebengisan yang Melebihi kebengisan Ibnu Muljam
(Dzammul hawa (ذم الهوى) yang ditahqiq Musthafa Abdul Wahid hal. 361)
Referensi:
Madah Tarikh At-Tasyri’ Al-Islamiy, Mustawal ulla, MEDIU