Thalhah bin ‘Ubaidillah Dijamin Masuk Surga dan Dikenal Dermawan
Nama beliau adalah Thalhah bin ‘Ubaidillah bin ‘Utsman bin ‘Amr bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim bin Murrah, At-Taimi Al-Qurasyi, Abu Muhammad, putra paman Abu Bakar Ash-Shiddiq. Ibunya bernama Sha’bah binti ‘Abdillah bin Imad bin Malik bin Rabiah Ibnu Abkar Al-Hadhramiyyah Al-Kindiyah. Ia lahir sekitar enam belas tahun sebelum pengutusan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Keutamaan Thalhah bin ‘Ubaidillah
Ia termasuk generasi pendahulu yang masuk Islam, juga termasuk dari orang yang mendapatkan hidayah lewat Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Thalhah tidak mengikuti perang Badar karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutusnya bersama Sa’id bin Zaid untuk menelisik berita rombingan kaum musyrik. Namun, Thalhah dan Sa’id bin Zaid tetap diberikan ghanimah dan upah.
Thalhah yang melindungi Rasulullah dalam perang Uhud, ia menangkis anak panah yang melesak ke arah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga jari beliau terluka.
Thalhah disanjung karena kebaikan hati dan sedekah beliau. Pada perang Uhud, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut Thalhah dengan sebutan Thalhah Al-Khair (orang yang baik hati). Dalam perang Dzul Asyirah, ia disebut Thalhah Al-Fayadh (orang yang melimpah pemberiannya). Dalam perang Khaibar, beliau menyebutnya dengan Thalhah Al-Jud (orang yang dermawan).
Thalhah dijamin masuk surga dan ia disebut syahid.
Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى شَهِيدٍ يَمْشِى عَلَى وَجْهِ الأَرْضِ فَلْيَنْظُرْ إِلَى طَلْحَةَ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ
“Siapa yang ingin melihat seorang syahid yang berjalan di atas muka bumi, lihatlah pada Thalhah bin ‘Ubaidillah.”(HR. Tirmidzi, no. 3739 dan Ibnu Majah, no. 125. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih).
Thalhah wafat pada tahun 36 H pada peristiwa perang Jamal. Ia keluar bersama Aisyah dan Zubair untuk menuntut qisas atas terbunuhnya Utsman bin ‘Affan. Kemudian permasalahannya semakin berkembang hingga memaksa mereka berhadapan dengan pasukan Ali dalam sebuah pertempuran yang disebut sebagai pertempuran Jamal.
Thalhah bin ‘Ubaidillah menikah dengan delapan istri, memiliki 11 putra dan 4 putri.
Referensi:
Profil Keluarga 30 Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang Dijamin Masuk Surga. Dr. Jasim Muhammad Badr. Penerbit Kiswah.
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal, MSc
Sumber: https://rumaysho.com/
MUTIARA NASEHAT THALHAH BIN UBAIDILLAH RADHIYALLAHU ‘ANHU
Segala puji hanya untuk Allah Ta’ala, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi wa sallam beserta keluarga dan seluruh sahabatnya Dia adalah salah seorang sahabat terkemuka, termasuk salah seorang yang dijamin masuk surga. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan beliau ridha kepadanya. Al-Faruq memasukkannya sebagai anggota majelis syura yang berjumlah enam orang saat menjelang wafatnya. Dia adalah Thalhah bin Ubaidillah bin Utsman bin Amar at-Taimy, Abu Muhammad, seseorang yang sejarah telah menorehkan biografinya dengan huruf huruf dari cahaya, bukankah dia yang memasang punggungnya untuk melindungi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di saat perang Uhud? Sehingga punggung bagaikan punggung landak karena begitu banyaknya anak panah yang menancap padanya. Tangannya menjadi cacat (tidak bisa bergerak) karena melindungi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di saat perang Uhud. Karena itulah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang dia: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «أَوْجَبَ طَلْحَةُ» [ أخرجه الترمذي ] “Surga wajib untuknya.’[1] Apabila Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu menyebutkan perang Uhud, ia berkata: ‘Semua itu adalah harinya Thalhah.’ Ia menghadiri semua peperangan bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan terbunuh pada tahun 36 H, dan usianya adalah 64 tahun. Di antara mutiara nasehatnya –kendati tidak banyak- adalah: «إِنَّا لَنَجِدُ بِأمَوْاَلِنَا مَايَجِدُ الْبُخَلاَءُ لكِنَّنَا نَتَصَبَّرُ» “Sesungguhnya kami mendapatkan pada harta kami seperti yang didapatkan oleh orang orang bakhil, akan tetapi kami berusaha bersabar.” Maksudnya, sesungguhnya mencintai harta merupakan tabiat dan kesenangan jiwa, akan tetapi perbedaan di antara orang yang bakhil dan pemurah, di antara yang suka memberi dan menahan harta, adalah sabar dan mengenal hakikat harta, sesungguhnya ia akan pergi berlalu, dan sesungguhnya harta yang tersisa pada hakikatnya adalah yang diinfakkan hamba, bukan yang disimpannya. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan al-Bukhari rahimahullah dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «أَيُّكُمْ مَالُ وَارِثِهِ أَحَبُّ إِلَيْهِ مِنْ مَالِهِ؟ قَالُوا: يا رسول الله, مَا مِنَّا أَحَدٌ إِلاَّ مَالُهُ أَحَبُّ إِلَيْهِ. قَالَ: فإِنَّ مَالَهُ مَا قَدَّمَ وَمَالَ وَارِثِهِ مَا أَخَّرَ» [ أخرجه البخاري ] Baca Juga Nasehat Untuk Para Da'i Salafy Di Indonesia “Siapakah dari kalian yang harta ahli warisnya lebih dicintainya dari pada hartanya sendiri? Mereka menjawab: ‘Tidak ada seorang pun dari kami kecuali hartanya lebih disukainya.’ Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Maka sesungguhnya hartanya adalah yang dia berikan (sedekahkan) dan harta ahli warisnya adalah yang disimpannya.”[2] Sungguh biografi Thalhah Radhiyallahu ‘anhu merupakan saksi langsung dari sikap pemurahnya dan merupakan bukti hidup bagi nasehat ini. Qabishah bin Jabir berkata: ‘Aku menyertai Thalhah, maka aku belum pernah melihat seseorang yang lebih pemurah darinya.[3] Dia tidak membiarkan seseorang dari bani Taim yang fakir kecuali ia menanggung biaya hidupnya, keluarganya, menikahkan yang belum kawin, melayani yang kesusahan, dan membayar yang punya hutang.[4] Di antara mutiara nasehatnya adalah[5]: «لاَتُشَاوِرْ بَخِيْلًا فىِ صِلَةٍ وَلَاجَبَانًا فِى حَرْبٍ وَلَاشَابًّا فِى جَارِيَةٍ» “Jangan bermusyarah kepada orang bakhil dalam silaturrahim, Jangan minta pendapat kepada yang penakut dalam berperang, dan jangan bertanya kepada anak muda tentang masalah jariyah (wanita muda).’ Maksudnya : apabila seseorang ingin musyawarah maka hendaklah ia memilih orang yang pas untuk musyawarah dan jauhilah dari orang yang memiliki sifat yang bertolak belakang bagi perkara yang diminta pendapatnya, karena hasilnya sudah bisa diketahui sebelumnya. Maka siapa yang meminta pendapat kepada orang bakhil dalam masalah memberi (sedekah) maka ia tidak akan memberi pendapat kecuali untuk menyimpan. Siapa meminta pendapat kepada orang yang penakut untuk ikut berperang, maka ia tidak akan memberikan saran kepadanya kecuali agar tidak pergi dan menakut nakutinya dari kematian yang tidak akan lebih cepat dan tidak lebih lambat yang taqdirnya. Karena inilah, sesungguhnya termasuk kesempurnaan akal seseorang adalah meminta pendapat dan orang yang diminta pendapatnya adalah yang sesuai, di mana dia dikenal memiliki hikmah dan cerdas serta punya pengalaman terhadap persoalan yang dimintai pendapatnya, sebagaimana yang dikatakan Luqmanul Hakim kepada putranya : ‘Musyawarahlah kepada orang yang sudah berpengamalan, maka sesungguhnya ia memberikan kepadamu dari pendapatnya berdasarkan pengalaman yang telah dilewatinya dengan mahal, sedangkan engkau mengambilnya dengan gratis.’[6] Baca Juga Nasehat Untuk Para Da'i Sebagian ahli hikmah berkata: ‘Siapa yang meminta pendapat, maka sesungguhnya dia menyandarkan kepada pendapatnya beberapa pendapat orang orang yang berakal dan menggabungkan kepada dirinya akal orang orang yang bijaksana. Pendapat pribadi sangat mungkin tergelincir, akal individu bisa jadi tersesat, dan dikatakan orang : Tidak rugi orang yang meminta pilihan (istikharah) dan tidak menyesal orang yang meminta pendapat.[7] [Disalin dari من مواعظ طلحة بن عبيدالله رضي الله عنه Penulis Dr. Umar bin Abdullah bin Muhammad al-Muqbil, Penerjemah : Muhammad Iqbal A. Gazali, Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad. Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah. IslamHouse.com 2014 – 1435]
______
Footnote
[1] HR. At-Tirmidzi 1692
[2] HR. Al-Bukhari 6442.
[3] Mu’jam Shahabah karya al-Baghawi 3/255.
[4] Thabaqat Kubra 3/166.
[5] Makarimul Akhlaq, al-Kharaithy 1/252.
[6] Adabud Dun-ya wad Din, hal 303.
[7] Adabud Dun-ya wad Din, hal 300
Referensi: https://almanhaj.or.id/