Tokoh Islam Abu Muslim al-Khaulani, Abdullah bin Tsuwab
Tersebar berita di seluruh penjuru Jazirah Arab bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sakit sepulang beliau dari haji Wada. Setan pun memprovokasi Aswad al-Ansi agar kembali kepada kekafiran setelah keimanannya. Dan agar dia berkata tentang Allah dengan dusta. Dia mengaku kepada kaumnya sebagai nabi yang diutus oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dia adalah manusia yang kuat jasadnya, besar ambisinya, keras jiwanya dan akrab dengan kejahatannya. Dia juga ahli dalam hal ikhwal perdukunan jahiliyah, gemar menggunakan sihir untuk mencelakakan orang. Di samping dia juga fasih lisannya, bagus argumennya, cerdas otaknya, pandai menyesatkan orang dengan kebathilannya. Dia mencari pendukung dengan cara membagi-bagikan hadiah dan pemberian. Ketika tampil di muka umum dia selalu mengenakan topeng hitam agar terkesan angker dan terasa kuat kehebatannya.
Dengan cepat dakwah Aswad al-Ansi menyebar di penjuru Yaman bagaikan api yang membakar ilalang. Dia dibantu oleh kabilah Bani Madhaj, kelompok terbesar di Yaman dari segi jumlah dan kekuasaannya. Masih pula didukung oleh kemampuan untuk merekayasa cerita dusta, kepalsuan serta memperalat para pengikutnya yang pandai untuk menguatkan siasatnya.
Dia mengaku bahwa malaikat turun dari langit untuk membawakan wahyu dan memberitahukan hal-hal ghaib kepadanya, lalu dia membuat berbagai rekayasa agar orang-orang percaya dengan pengakuannya.
Dia menaruh mata-mata di berbagai tempat untuk mendengarkan masalah-masalah yang dikeluhkan masyarakat, menguak rahasia-rahasia mereka, serta memancing cita-cita dan harapan yang tersimpan di benak mereka. Pada saat yang sama dia mengusahakan agar orang-orang minta tolong kepadanya.
Ketika orang-orang datang, dia melayani mereka dengan baik, memenuhi segala kebutuhan mereka dan mengatasi segala kesulitan mereka. Dia tunjukkan seolah-olah dia mengetahui segala rahasia yang tersimpan dalam hati mereka. Dipamerkannya hal-hal ajaib dan menakjubkan sehingga mampu menyihir akal dan membingungkan pikiran mereka.
Dalam waktu singkat namanya menjadi besar, kehebatannya kian tersohor, pengikutnya makin banyak. Shan’a kini berada di bawah kendalinya, dari sini terus menyebar ke tempat lain sampai meliputi seluruh Yaman, antara Hadramaut, Tha’if, Bahrain serta Aden.
Ketika telah merasa besar kekuatannya, dan banyak pula negeri maupun kekuasaannya, dia beraksi memburu orang-orang yang menentangnya, orang-orang yang dikaruniai iman kepada Allah secara tulus dan beragama yang lurus.
Terhadap orang-orang tersebut Aswad al-Ansi berlaku bengis, bahkan tak segan-segan melakukan penyiksaan secara sadis. Di antara para penentang tersebut, terdapat seorang tokoh bernama Abdullah bin Tsuwab yang dikenal dengan julukan Abu Muslim al-Khaulani.
Abu Muslim al-Khaulani adalah seorang yang kokoh imannya, pantang kompromi dengan kebathilan dan senantiasa menyerukan kebenaran. Dia mengikhlaskan hidupnya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala semata. Dia menjauhi kesenangan dunia dan perhiasannya, bernadzar bahwa hidupnya akan digunakan untuk menaati Allah Subhanahu wa Ta’ala serta mendakwahkan agamanya. Dijualnya murah-murah kenikmatan sementara di dunia untuk ditukar dengan kenikmatan abadi. Tak heran bila orang-orang menyambutnya dengan baik, memandangnya sebagai orang yang suci jiwanya dan mustajab doanya di sisi Rabb-nya.
Aswad al-Ansi sudah gatal untuk menangkap Abu Muslim lalu menghukumnya sekeras mungkin. Agar orang lain yang akan menentangnya gentar dan dapat ditundukkan.
Maka, dia perintahkan prajuritnya mengumpulkan kayu bakar di lapangan Shan’a, lalu disulut dengan api. Orang-orang dipanggil untuk menyaksikan bagaimana seorang ahli fikih di Yaman dan ahli ibadahnya Abu Muslim al-Khaulani hendak “bertaubat” kepada Aswad dan mengimani kenabiannya.
Sampailah waktu yang telah direncanakan, Aswad al-Ansi memasuki lapangan yang telah dipadati manusia. Dia berjalan dengan kawalan ketat, kemudian duduk di atas kursi kebesaran di depan api yang menyala-nyala.
Sejurus kemudian, Abu Muslim al-Khaulani diseret ke tengah arena. Pendusta yang kejam itu memandang Abu Muslim dengan congkak, lau berpaling ke arah api yang berkobar dan menjilat-jilat seraya bertanya,
Aswad: “Apakah engkau bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasul Allah?”
Abu Muslim: “Benar, Aku bersaksi bahwa dia adalah hamba Allah dan utusan-Nya. Dialah sayyidul mursalin dan penutup para Nabi.”
Dahi Aswad al-Ansi menggerutu. Kedua alisnya bertaut pertanda marah.
Aswad : “Apakah Engkau bersaksi bahwa aku adalah rasul Allah?”
Abu Muslim: “Telingaku tersumbat, tak bisa mendengar kata-katamu.”
Aswad : “Kalau begitu, aku akan mencampakkanmu ke dalam api itu.”
Abu Muslim: “Bila engkau membakar aku dengan api dari kayu, engkau akan dibalas dengan api yang bahan bakarnya manusia dan batu-batu, di bawah penjagaan malaikat-malaikat yang perkasa, yang tidak menentang Allah Subhanahu wa Ta’ala dan senantiasa mematuhi perintah yang diberikan kepada mereka.
Aswad : “Aku tidak tergesa-gesa, aku beri engkau kesempatan untuk menggunakan otakmu. Apakah engkau tetap mengakui bahwa Muhammad adalah rasul Allah?”
Abu Muslim: “Benar. Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba Allah dan rasul-Nya. Allah mengutusnya dengan membawa agama dan petunjuk yang benar. Allah menutup seluruh risalah-Nya dengan risalah yang dibawa oleh Muhammad.”
Aswad al-Ansi meninggikan nada suaranya.
Aswad : “Kamu bersaksi bahwa aku adalah utusan Allah?”
Abu Muslim: “Sudah aku katakan kepadamu, bahwa telingaku tersumbat sehingga tak bisa mendengar kata-katamu itu.”
Semakin naik pitamlah Aswad al-Ansi mendengar ketegasan jawaban, ketenangan serta ketegarannya. Dia hendak memerintahkan agar Abu Muslim al-Khaulani dicampakkan ke dalam api, tapi tangan kanannya berusaha mencegahnya seraya berbisik di telinganya: “Anda tahu bahwa orang ini berjiwa suci, doanya mustajab, sementara Allah tak pernah membiarkan hamba-Nya yang beriman di saat-saat kritis. Bila Anda lemparkan dia ke dalam api lalu ternyata Allah menyelamatkannya, maka semua yang kau bina dengan susah payah ini akan hancur dalam sekejap, karena orang-orang akan mengingkari kenabianmu saat itu juga. Bila engkau membakarnya dan dia mati, orang-orang akan mengaguminya, bahkan menyanjungnya sebagai syuhada. Oleh karena itu, lebih baik Anda melepaskan dia, asingkan saja dia dari negeri ini. Hindarilah dia, engkau akan menjadi lebih tenang dan bisa santai.”
Nabi palsu itu menerima saran tersebut. Dia membekaskan Abu Muslim lalu mengusirnya keluar dari Yaman.
Berangkatlah Abu Muslim al-Khaulani menuju Madinah dan sangat berharap dapat menjumpai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau sudah beriman sebelum bertemu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan rindu untuk mendampingi beliau sebagai sahabat.
Tapi sayang, belum lagi memasuki Madinah, beliau mendengar kabar bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat dan Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu terpilih sebagai khalifah kaum muslimin. Tak terkira betapa kecewa beliau mendengarnya.
Setibanya di Madinah, beliau langsung menuju Masjid Nabawi. Beliau menambatkan ontanya di samping masjid, kemudian memasuki Masjid Nabawi setelah mengucapkan shalawat dan salam bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Beliau mendekati salah satu tiang masjid lalu shalat di sana. Usai shalat, Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu menghampirinya seraya bertanya,
Umar: “Dari manakah asal Anda?”
Abu Muslim: “Saya dari Yaman.”
Umar: “Bagaimana kabar saudara kita yang hendak dibakar hidup-hidup oleh musuh Allah Subhanahu wa Ta’ala lalu Alah menyelamatkannya itu?”
Abu Muslim: “Alhamdulillah dia dalam keadaan baik.”
Umar: “Demi Allah, bukankah Anda orangnya?”
Abu Muslim: “Benar,”
Maka Umar bin Khathab mencium antara kedua mata Abu Muslim.
Umar: “Tidakkah Anda mendengar berita tentang apa yang dilakukan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada musuh-Nya dan musuh Anda itu?”
Abu Muslim: “Tidak. Sejak meninggalkan Yaman, saya tak lagi mendengar beritanya.”
Umar: “Allah Subhanahu wa Ta’ala telah membunuh al-Ansi melalui tangan orang-orang beriman yang ada di sana dan mengakhiri kekuasaannya serta mengembalikan para pengikutnya ke jalan Allah.”
Abu Muslim: “Segala puji bagi Allah yang belum mematikan saya sampai saya mendengar tewasnya penjahat itu dan kembalinya penduduk Yaman ke pangkuan Islam.”
Umar: “Segala puji bagi Allah yang memberi kesempatan kepada saya untuk bertemu dengan umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang hendak diperlakukan seperti khalilullah (kesayangan Allah) Ibrahim ‘alaihissalam.”
Setelah itu Umar bin Khathab mengajak Abu Muslim menghadap khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu. Kemudian beliau berbai’at kepada khalifah muslimin itu.
Setibanya Abu Muslim, Abu Bakar mempersilakan beliau duduk di antara dirinya dan Umar radhiyallahu ‘anhu. Setelah kedua sahabat utama tersebut berbincang-bincang dan mendengarkan kisah Abu Muslim mengenai Aswad al-Ansi.
Cukup lama Abu Muslim al-Khaulani tinggal di Madinah. Dengan tekun dia datang ke Masjid Nabawi, shalat di Raudhah suci dan belajar kepada para tokoh sahabat seperti Abu Ubaidah bin Jarrah, Abu Dzar al-Ghifari, Ubaidah bin Shamit, Muadz bin Jabal, dan Auf bin Malik al-Asyja. Sesudah itu beliau menuju ke Syam dan menetap di sana. Beliau memilih tinggal di perbatasan agar bisa bergabung dengan kaum muslimin memerangi Romawi dan meraih pahala mujahid fi sabilillah.
Tatkala khilafah dipegang oleh Amirul Mukminin Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Abu Muslim sering menghadiri majelisnya. Banyak peristiwa masyhur yang menunjukkan keagungan kedua orang ini beserta derajat serta adab yang diterapkan oleh mereka.
Pernah Abu Muslim mendatangi Mu’awiyah yang sedang duduk di tengah pertemuan. Beliau dikelilingi oleh para pejabat, panglima perang, dan tokoh-tokoh kaum. Beliau melihat betapa orang-orang menghormati dan menyanjung Mu’awiyah secara berlebihan. Beliau khawatir hal itu akan merusak keimanan Amirul Mukminin, sehingga didahuluinya memberi salam: “Assalamu’alaika ya ajiral (pelayan) mukminin.” Spontan orang-orang menegurnya, “Katakanlah, ‘Amirul Mukminin (pemimpin) mukminin.”
Beliau tak mempedulikan tanggapan mereka dan bahkan mengulangi salamnya, “Assalamu’alaika ya ajiral mukminin.” Orang-orang berkata, “Amirul Mukminin, wahai Abu Muslim.” Beliau tetap pada pendiriannya berkata, “Assalamu’alaika ya ajiral mukminin.”
Tatkala orang-orang mulai mengecamnya, beliau berkata, “Anda adalah orang yang diangkat Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai pejabat bagi umat, seumpama orang yang disewa untuk mengurus ternak-ternaknya. Dia akan diberi upah besar, jika mengurus peternakan itu dengan baik dan rajin merawat sehingga yang kecil menjadi besar, yang kurus menjadi gemuk dan yang sakit menjadi sehat. Tetapi jika teledor, tidak mengurusnya dengan baik, sehingga ternak-ternak itu kurus kering lalu mati, susut hasil bulu dan susunya, maka dia tak akan diberi upah, bahkan akan menerima murka dan hukuman. Oleh karena itu Anda, wahai Mu’awiyah, boleh memilih mana yang baik bagi Anda dan lupa mana yang Anda kehendaki.”
Khalifah duduk mendengarkan kemudian mengangkat kepala seraya berkata, “Semoga Allah membalas Anda dengan yang lebih baik atas perhatian Anda kepada kami dan juga rakyat. Kami mengenal Anda yang selalu memberikan nasihat karena Allah dan rasul-Nya dan bagi kebaikan kaum muslimin.”
Kasus lain, ketika Abu Muslim al-Khaulani menghadiri shalat Jumat di Damaskus. Amirul Mukminin Mu’awiyah menyampaikan khutbah berisi himbauan agar masyarakat membersihkan dan mengeruk sungai Barada agar airnya bersih.
Ketika beliau tengah berkhutbah, dari tengah-tengah jamaah Abu Muslim angkat suara: “Wahai Mu’awiyah sadarkah Anda bahwa hari ini atau esok Anda akan mati dan berumah di lahat? Bila Anda membawa bekal, maka itulah yang diperintahkan bagi Anda. Bila Anda datang dengan tangan kosong maka akan Anda dapati tempat Anda berupa lahat yang datar saja. Saya mengharapkan wahai Mu’awiyah jangan sampai Anda menyangka bahwa kekuasaan adalah sekadar seperti perintah menggali sungai dan mengumpulkan harta. Khiafah menuntut adanya amalan yang benar dan tindakan adil yang menyeru manusia kepada hal-hal yang diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Wahai Mu’awiyah, tak perlu Anda mengkhawatirkan keruhnya sungai bila sumbernya bersih. Sesungguhnya Anda adalah sumber kami, maka berusahalah agar diri Anda bersih. Wahai Mu’awiyah, bila Anda menzhalimi seseorang, maka kezhaliman itu bisa dihapus dengan keadilan Anda. Waspadalah terhadap kezhaliman, sebab ia adalah kegelapan di akhirat.”
Ketika Abu Muslim menyelesaikan kata-katanya, Mu’awiyah turun dari mimbar, menghampirinya lalu berkata, “Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati Anda dan semoga Allah membalas kebaikan Anda.”
Contoh yang lain, ketika Mu’awiyah kembali tampil di mimbar untuk berkhutbah, beliau menunda pembagian harta untuk masyarakat dua bulan kedepan. Abu Muslim menegurnya: “Wahai Mu’awiyah harta ini bukanlah harta Anda ataupun harta ayah-ibu Anda. Mengapa Anda menahannya begitu lama dari orang-orang?”
Tanda kemarahan nampak tersirat pada wajah Mu’awiyah. Orang-orang menunggu apa yang hendak dilakukannya. Dia memberi isyarat agar orang-orang tetap di tempat masing-masing, sementara dia sendiri turun dari mimbar, berwudhu kemudian menyiram tubuhnya lalu naik lagi ke mimbar.
Kemudian beliau mengucapkan tahmid dan tasbih dan berkata, “Tadi Abu Muslim mengingatkan bahwa harta ini bukanlah hartaku atau harta ayah bundaku. Sungguh tak ada yang salah pada kata-kata itu. Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Marah itu berasal dari setan dan setan berasal dari api, maka apabila salah satu dari kalian marah, hendaklah segera mandi.” Wahai saudara-saudara pergilah kalian mengambil hak kalian dengan berkah Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Semoga Allah membalas kebaikan Abu Muslim al-Khaulani yang mampu menjadi teladan yang baik dalam menyampaikan kebenaran. Semoga Allah melimpahkan rahmat serta ridha-Nya kepada Amirul Mukminin Mu’awiyah bin Abi Sufyan karena dia memberi teladan kepada para penguasa tentang bagaimana menerima kebenaran dan tunduk kepada kalimat yang benar.
Sumber: Mereka adalah Para Tabi’in, Dr. Abdurrahman Ra’at Basya, At-Tibyan, Cetakan VIII, 2009
Sumber: https://kisahmuslim.com/